KRITIK yang baik selalu meluaskan pemahaman dan meningkatkan apresiasi – para pembacanya – tentang apa itu seni. Namun, membincangkan apa itu seni dan juga kritik yang baik itu seperti apa bukanlah perkara mudah.
Seringkali satu kritik – dan seolah sudah menjadi anggapan bersama – hanya dipahami sebagai bentuk penghakiman belaka. Kritik cuma disempitkan sebagai justifikasi setuju, tidak setuju, suka, tidak suka, serta penilaian negatif tentang suatu karya atau peristiwa seni. Padahal kritik seni punya peran menerangkan, menjelaskan, dan memberikan pertimbangan – dari keyakinan sang kritikus – kepada publik secara jujur.
Kritikus tidak semena-mena menyampaikan kritiknya. Ia bekerja dengan kejujuran, dedikasi, integritas, dan kredibilitas yang dipertaruhkan. Meski kritik yang ditulis bukan satuan-satuan dogmatis, namun kebenaran yang diyakini itu akan dipertahankannya dengan gigih. Tetapi, kritik yang baik seyogianya bersifat ‘terbuka’ dan – kata Mark Stevens – ‘incomplete’. Artinya, suatu kritik tidaklah anti-kritik. Suatu kritik terbuka untuk diperbaiki, didiskusikan lagi, atau dibantah esensinya. Maka, seringkali kita lihat ada debat terbuka atau polemik – di media massa – tentang topik tertentu. Jika suatu kritik dianggap sebagai tesis, maka antitesisnya tak perlu dicibir sebagai mengada-ada saja. Sesungguhnya kritik itu sendiri suatu karya seni, kata Sanento Yuliman.
Sedangkan bagi Terry Barrett (dalam “Criticizing Photograph, an Introduction to Understanding Images”, Mayfield Publishing Company, California, USA; edisi ketiga: 2000), kritik adalah ‘informed discourse’ yang memperkaya pemahaman dan pencerapan tentang seni. Singkatnya, suatu kritik adalah diskursus – teks tertulis atau verbal – berdasar (ilmu) pengetahuan, bukan pendapat pokrol bambu atau ngelantur saja.
Siapa tentang Apa
Pro-kontra atas suatu kritik, termasuk metode atau pendekatan yang diaplikasikan, kepentingan ideologis yang disandang sang kritikus, juga latar pendidikan dan basis teori yang dipakai selalu menimbulkan diskusi yang panjang.
Latar belakang edukasi kritikus kerap menjadi gunjingan. Jika tidak mengenyam pendidikan seni, humaniora, atau yang menjadi bidang keahliannya, seseorang kritikus dianggap kurang kapabel menjalankan tugasnya. Namun, kenyataannya ada banyak kritikus baik yang tidak pernah sedikit pun mempunyai pendidikan formal (seni). Ambil contoh A.D. Coleman, kritikus fotografi yang sering menulis untuk Popular Photography, New York Times, dan Artforum. Coleman bukan fotografer dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal fotografi sedikit pun. Di Indonesia, Oscar Motuloh menjadi contoh lain. Direktur Galeri Foto Jurnalistik ANTARA itu berangkat dari wartawan tulis dan sekarang dikenal luas sebagai pewarta foto dan kurator foto jurnalistik yang paling dihormati di Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, kita mengenal nama Nirwan Dewanto. Secara formal ia lulusan Departemen Geologi ITB. Tetapi kiprahnya dalam kritik seni, sastra, teater, atau kebudayaan secara luas tidak diragukan lagi. Ia menyebut diri sebagai ‘penulis eklektik’.
Lantas, apa relevansi latar pendidikan formal dalam perjalanan intelektual kita? Tidak banyak, jika kita mau berkaca pada sejumlah besar lulusan perguruan tinggi yang ‘tidak bersuara’ sama sekali.
Signifikansi terbesar dari ‘siapa’ seorang kritikus, saya kira, pada kontribusi pemikiran dialektis dan praktik intelektualitasnya ketika menyikapi fenomena seni dan budaya yang digelutinya. Dus, kita sedang mendiskusikan tentang ‘apa’ ketimbang ‘siapa’nya. Mengacu pada pemikiran seperti ini kita akan terhindar dari pemberhalaan pada nama-nama ‘selebritas’ saja. Yang penting bukan pada nama, namun pada kadar diskursus yang ditawarkan seseorang. Bukan begitu?
Menyoal sumbangan pemikiran seseorang kritikus, tidak bisa lain, publik mesti menyorotinya dari, salah satunya, sisi keluasan ‘episteme’ yang dikuasainya. Juga, pada kemampuan ‘retorika’nya, terutama pada bahasa tekstual. Tambahan lagi, tanggung jawab kritikus ialah pada nilai-nilai estetik (aesthetics values) yang diyakini dan dipahaminya.
Kritikus (bahkan kurator sekalipun!) harus rajin mempublikasikan kritik-kritik atau pemikirannya. Dia tidak bekerja dalam keyakinan yang tertutup, namun suatu perjumpaan (encounter) dengan karya atau peristiwa seni secara open-minded. Kritikus selalu bekerja dengan cara mempertanyakan, skeptis, dan mendudukkan seni dalam konteksnya (polisemi). Ini berarti, kajian seni tidak terpaku pada teori estetika saja, namun bisa melibatkan disiplin sosiologi, antropologi, sejarah, serta berbagai teori lainnya.
Seorang kritikus harus berlaku adil (fairness) ketika berhadapan dengan karya seni atau seniman yang sedang dievaluasinya. Dan harus diingat, dalam bahasa Christopher Knight, kritikus bukanlah penyambung intensi seniman terhadap publiknya. Dengan nada sama, Coleman mengatakan, kritikus bukan ‘anyone’s mouthpiece’, namun suara independen. Lebih jauh ditandaskannya, kritikus tidak perlu ‘hunger for power and the need to be liked!’ Artinya, persetan dengan kekuasaan dan sanjungan.
Dalam hal pengalaman saya pribadi, tidak pernah dan tidak akan saya menuliskan pandangan atau kritik-kritik saya demi untuk menyenangkan sekelompok kawan atau seniman tertentu saja. Sebaliknya, kritikus bekerja untuk kepentingan publik secara luas. Sebab, kritikus hakikatnya adalah juga praktisi jurnalisme. Dan seorang jurnalis – sejalan dengan gagasan Bill Kovach – bekerja menyampaikan kebenaran untuk warga (citizens).
Kritik Selibat
Dalam catatan Dr. Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, wilayah kritik seni sekarang terlihat tak jelas sosoknya. Ketidakjelasan itu dikarenakan berubahnya parameter dan paradigma kritik seni. Secara klasik, kritik mengandung unsur deskripsi, interpretasi, dan evaluasi. Menurutnya, orang kini cenderung berhenti hanya pada unsur ‘interpretasi’. Pada tahap ‘evaluasi’ orang menjadi sangat ragu-ragu.
Kompleksitas pemikiran dan praktik kritik seni (jurnalistik) itu terungkap dalam tesis Mamannoor (2002). Pada satu sisi, kehadiran kritik seni dirasakan oleh publik bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi suatu karya atau peristiwa seni. Kritikus bertugas memberikan pengetahuan itu. Ia sebagai mediator antara seniman berikut karyanya dan publik. Namun, sebagian seniman, pada sisi lain, menganggap bahwa kritik sering dianggap cuma menjelek-jelekkan. Sebagian besar seniman lainnya, akhirnya, toh mengakui kegunaan kritik terhadap peningkatan prestasinya.
Patut dicatat, tak akan pernah ada kritik yang sebenar-benarnya objektif, sekalipun seorang kritikus telah menjaga jarak dan bersikap independen. Namun, subjektivitas yang melekat pada kritikus, dan otomatis muncul juga pada hasil telaahnya, adalah subjektivitas berdasar parameter-paramater yang diyakininya sahih. Pada titik inilah ‘objektivitas’ itu dimaksudkan.
Sebagian kritikus menghindari ‘terlibat’ atau di bawah ‘pengaruh’ seniman atau institusi tertentu. Meski tidak bisa disangkal, keterlibatan emosional kritikus terhadap suatu karya seni (plus senimannya) mampu memberikan pembacaan yang mendalam. Inilah yang ditawarkan oleh Mamannoor dengan pendekatan kritik kosmologisnya, yakni suatu pendekatan ‘positivistik’.
Namun, kedekatan dengan sumber telaah harus terhindar dari praktik ‘kritik seni selibat’, yaitu: kritik yang cuma menyodorkan puja-puji semu. Praktik semacam ini tidak saja merugikan senimannya, namun seluruh art-world kita. (Tubagus P. Svarajati)
Seringkali satu kritik – dan seolah sudah menjadi anggapan bersama – hanya dipahami sebagai bentuk penghakiman belaka. Kritik cuma disempitkan sebagai justifikasi setuju, tidak setuju, suka, tidak suka, serta penilaian negatif tentang suatu karya atau peristiwa seni. Padahal kritik seni punya peran menerangkan, menjelaskan, dan memberikan pertimbangan – dari keyakinan sang kritikus – kepada publik secara jujur.
Kritikus tidak semena-mena menyampaikan kritiknya. Ia bekerja dengan kejujuran, dedikasi, integritas, dan kredibilitas yang dipertaruhkan. Meski kritik yang ditulis bukan satuan-satuan dogmatis, namun kebenaran yang diyakini itu akan dipertahankannya dengan gigih. Tetapi, kritik yang baik seyogianya bersifat ‘terbuka’ dan – kata Mark Stevens – ‘incomplete’. Artinya, suatu kritik tidaklah anti-kritik. Suatu kritik terbuka untuk diperbaiki, didiskusikan lagi, atau dibantah esensinya. Maka, seringkali kita lihat ada debat terbuka atau polemik – di media massa – tentang topik tertentu. Jika suatu kritik dianggap sebagai tesis, maka antitesisnya tak perlu dicibir sebagai mengada-ada saja. Sesungguhnya kritik itu sendiri suatu karya seni, kata Sanento Yuliman.
Sedangkan bagi Terry Barrett (dalam “Criticizing Photograph, an Introduction to Understanding Images”, Mayfield Publishing Company, California, USA; edisi ketiga: 2000), kritik adalah ‘informed discourse’ yang memperkaya pemahaman dan pencerapan tentang seni. Singkatnya, suatu kritik adalah diskursus – teks tertulis atau verbal – berdasar (ilmu) pengetahuan, bukan pendapat pokrol bambu atau ngelantur saja.
Siapa tentang Apa
Pro-kontra atas suatu kritik, termasuk metode atau pendekatan yang diaplikasikan, kepentingan ideologis yang disandang sang kritikus, juga latar pendidikan dan basis teori yang dipakai selalu menimbulkan diskusi yang panjang.
Latar belakang edukasi kritikus kerap menjadi gunjingan. Jika tidak mengenyam pendidikan seni, humaniora, atau yang menjadi bidang keahliannya, seseorang kritikus dianggap kurang kapabel menjalankan tugasnya. Namun, kenyataannya ada banyak kritikus baik yang tidak pernah sedikit pun mempunyai pendidikan formal (seni). Ambil contoh A.D. Coleman, kritikus fotografi yang sering menulis untuk Popular Photography, New York Times, dan Artforum. Coleman bukan fotografer dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal fotografi sedikit pun. Di Indonesia, Oscar Motuloh menjadi contoh lain. Direktur Galeri Foto Jurnalistik ANTARA itu berangkat dari wartawan tulis dan sekarang dikenal luas sebagai pewarta foto dan kurator foto jurnalistik yang paling dihormati di Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, kita mengenal nama Nirwan Dewanto. Secara formal ia lulusan Departemen Geologi ITB. Tetapi kiprahnya dalam kritik seni, sastra, teater, atau kebudayaan secara luas tidak diragukan lagi. Ia menyebut diri sebagai ‘penulis eklektik’.
Lantas, apa relevansi latar pendidikan formal dalam perjalanan intelektual kita? Tidak banyak, jika kita mau berkaca pada sejumlah besar lulusan perguruan tinggi yang ‘tidak bersuara’ sama sekali.
Signifikansi terbesar dari ‘siapa’ seorang kritikus, saya kira, pada kontribusi pemikiran dialektis dan praktik intelektualitasnya ketika menyikapi fenomena seni dan budaya yang digelutinya. Dus, kita sedang mendiskusikan tentang ‘apa’ ketimbang ‘siapa’nya. Mengacu pada pemikiran seperti ini kita akan terhindar dari pemberhalaan pada nama-nama ‘selebritas’ saja. Yang penting bukan pada nama, namun pada kadar diskursus yang ditawarkan seseorang. Bukan begitu?
Menyoal sumbangan pemikiran seseorang kritikus, tidak bisa lain, publik mesti menyorotinya dari, salah satunya, sisi keluasan ‘episteme’ yang dikuasainya. Juga, pada kemampuan ‘retorika’nya, terutama pada bahasa tekstual. Tambahan lagi, tanggung jawab kritikus ialah pada nilai-nilai estetik (aesthetics values) yang diyakini dan dipahaminya.
Kritikus (bahkan kurator sekalipun!) harus rajin mempublikasikan kritik-kritik atau pemikirannya. Dia tidak bekerja dalam keyakinan yang tertutup, namun suatu perjumpaan (encounter) dengan karya atau peristiwa seni secara open-minded. Kritikus selalu bekerja dengan cara mempertanyakan, skeptis, dan mendudukkan seni dalam konteksnya (polisemi). Ini berarti, kajian seni tidak terpaku pada teori estetika saja, namun bisa melibatkan disiplin sosiologi, antropologi, sejarah, serta berbagai teori lainnya.
Seorang kritikus harus berlaku adil (fairness) ketika berhadapan dengan karya seni atau seniman yang sedang dievaluasinya. Dan harus diingat, dalam bahasa Christopher Knight, kritikus bukanlah penyambung intensi seniman terhadap publiknya. Dengan nada sama, Coleman mengatakan, kritikus bukan ‘anyone’s mouthpiece’, namun suara independen. Lebih jauh ditandaskannya, kritikus tidak perlu ‘hunger for power and the need to be liked!’ Artinya, persetan dengan kekuasaan dan sanjungan.
Dalam hal pengalaman saya pribadi, tidak pernah dan tidak akan saya menuliskan pandangan atau kritik-kritik saya demi untuk menyenangkan sekelompok kawan atau seniman tertentu saja. Sebaliknya, kritikus bekerja untuk kepentingan publik secara luas. Sebab, kritikus hakikatnya adalah juga praktisi jurnalisme. Dan seorang jurnalis – sejalan dengan gagasan Bill Kovach – bekerja menyampaikan kebenaran untuk warga (citizens).
Kritik Selibat
Dalam catatan Dr. Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, wilayah kritik seni sekarang terlihat tak jelas sosoknya. Ketidakjelasan itu dikarenakan berubahnya parameter dan paradigma kritik seni. Secara klasik, kritik mengandung unsur deskripsi, interpretasi, dan evaluasi. Menurutnya, orang kini cenderung berhenti hanya pada unsur ‘interpretasi’. Pada tahap ‘evaluasi’ orang menjadi sangat ragu-ragu.
Kompleksitas pemikiran dan praktik kritik seni (jurnalistik) itu terungkap dalam tesis Mamannoor (2002). Pada satu sisi, kehadiran kritik seni dirasakan oleh publik bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi suatu karya atau peristiwa seni. Kritikus bertugas memberikan pengetahuan itu. Ia sebagai mediator antara seniman berikut karyanya dan publik. Namun, sebagian seniman, pada sisi lain, menganggap bahwa kritik sering dianggap cuma menjelek-jelekkan. Sebagian besar seniman lainnya, akhirnya, toh mengakui kegunaan kritik terhadap peningkatan prestasinya.
Patut dicatat, tak akan pernah ada kritik yang sebenar-benarnya objektif, sekalipun seorang kritikus telah menjaga jarak dan bersikap independen. Namun, subjektivitas yang melekat pada kritikus, dan otomatis muncul juga pada hasil telaahnya, adalah subjektivitas berdasar parameter-paramater yang diyakininya sahih. Pada titik inilah ‘objektivitas’ itu dimaksudkan.
Sebagian kritikus menghindari ‘terlibat’ atau di bawah ‘pengaruh’ seniman atau institusi tertentu. Meski tidak bisa disangkal, keterlibatan emosional kritikus terhadap suatu karya seni (plus senimannya) mampu memberikan pembacaan yang mendalam. Inilah yang ditawarkan oleh Mamannoor dengan pendekatan kritik kosmologisnya, yakni suatu pendekatan ‘positivistik’.
Namun, kedekatan dengan sumber telaah harus terhindar dari praktik ‘kritik seni selibat’, yaitu: kritik yang cuma menyodorkan puja-puji semu. Praktik semacam ini tidak saja merugikan senimannya, namun seluruh art-world kita. (Tubagus P. Svarajati)
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa (6/2/2007)]
No comments:
Post a Comment