Saturday, March 22, 2008

Nalar Pasaran

"Kertas Kerja Jogja" exhibited at Rumah Seni Yaitu;
a join production with Cemeti Art Foundation (now IVAA).

DUNIA seni rupa Tanah Air kembali gegap-gempita. Padahal belum lama art-world kita diserbu oleh karya-karya lukisan seniman kontemporer China. Paradoksnya, tak semua perupa Indonesia menikmati sebaran kapital yang meruah itu.

Hanya sebagian kecil perupa yang siap berlaga dalam ‘industri’ seni rupa yang kian canggih. Kita lihat, tidak banyak nama bertengger pada puncak kapitalisasi artifak seni. Hal itu bisa dilihat dari kiprah sejumlah balai lelang Indonesia atau tingkat Asia.

Kapitalisasi artifak seni rupa, dalam bentuk jual-beli karya terutama lukisan, mulai diminati dan dijadikan ajang investasi. Orang menganggap artifak seni punya ‘value’ dalam bilangan yang menggiurkan. Disamping itu, terlibat dalam praksis berkesenian, meskipun sekadar di tingkat hilirnya, mampu memberikan kebanggaan dan kepuasan batin.

Beberapa hal itulah, antara lain faktor sosial-ekonomi, di luar perbincangan yang menyoal nilai-nilai intrinsik suatu karya seni, turut menyumbang sengkarut kapitalisasi artifak seni.

Peran Perantara
Bagaimanapun karya seni adalah cipta karya seniman dengan latar historisitas dan kepiawaian artistika tertentu. Oleh karena itu, biasanya hanya karya-karya dengan estetika kulminatif yang dapat menduduki posisi puncak dan meraih atribusi memadai secara finansial. Menjadi jelas, tidak semua karya – termasuk senimannya – mendapatkan remunerasi yang memadai. Namun mesti diingat, bahwa penghargaan tidak selalu berasal dari pasar saja yang seringkali berkesan anti-logika. Capaian yang menawan di tingkat diskursus sangat layak dihargai pula.

Dari tahun ke tahun jumlah pembutuh artifak seni meningkat. Hal ini mengindikasikan masih ada peluang bagi para perupa terlibat dalam pasar seni itu. Pasar seni mempunyai segmentasinya tersendiri. Artinya, karya seni dengan tingkatan beragam, jika dikelola dengan baik, niscaya akan menemukan para pembutuh yang tepat pula.

Oleh karena pasar bersifat spesifik, seringkali seniman membutuhkan mediator untuk memasarkan karya-karyanya. Diperlukan berbagai lembaga penyokong untuk menaikkan pamor artistika atau nilai kapitalnya.

Mata rantai perdagangan artifak seni melibatkan banyak perantara. Lembaga itu, antara lain, galeri, kolektor (individual/korporat), balai lelang, art-dealer, kurator, kritikus, lembaga riset budaya/pendidikan, museum seni, pemerintah, dan termasuk juga media massa.

Namun, sayangnya, sejauh ini negara – tepatnya pemerintah – tidak saja pasif namun juga tidak pernah peduli pada ranah seni rupa kontemporer yang pantas dilirik sebagai pengail devisa penting. Peran pemerintah yang memadai akan semakin mempercepat pertumbuhan kapitalisasi artifak seni. Pemerintah China, sebagai misal, membuktikannya melalui ‘Distrik 798’ di Beijing. Sekarang kawasan itu terbukti sebagai salah satu pusat perdagangan seni rupa dunia. ‘The hottest cultural zone’, sebut Financial Times.

Bandingkan dengan kondisi Indonesia. Selama ini kita tidak punya strategi kebudayaan yang jelas. Alhasil, pergaulan seni-budaya Indonesia, di tingkat global, terasa menyedihkan. Kita tentu masih ingat takala pameran KIAS di Amerika Serikat, beberapa tahun silam, cuma dikerling sebagai karya antropologis. Bukan sebagai karya seni kontemporer dalam pergaulan bangsa-bangsa modern.

Kompleksitas perkembangan dan perdagangan artifak seni, ditambah lowongnya peran pemerintah dan lembaga penilai, menyebabkan pasar bergerak tak terkendali. Hal itu diperkeruh oleh praktik takhyulisme: nilai (value) seni yang baik paralel dengan nilai kapital yang tinggi.

Peran Kuasi-Kurator
Belakangan beberapa pemilik galeri mulai mengenalkan karya seni rupa (baca: lukisan) kontemporer Indonesia ke luar negeri, tepatnya di China. Upaya ini diharapkan meraih perhatian pasar tingkat dunia. Kita tahu, pasar seni rupa China sedang melambung beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, cara ini – yaitu melirik pasar China sembari menghampiri gelagat artistika senimannya – tak pelak menggulirkan sentimen di kalangan perupa Indonesia.

Munculnya Tim Buzer (kependekan dari Butuh Uang Zegera) Jogja menggambarkan pekanya sentimen pasar seni rupa kita [lihat “Seni Rupa Berorientasi Pasar Digugat”, Kompas, Selasa (20/11)]. Disinyalir, galeri dan kurator sekarang hanya gemar memediasi karya-karya yang diminati pasar. Akibatnya, ada banyak perupa dan karya seni yang baik – gagasan dan estetika – di luar arus utama kurang diperhatikan. Padahal relasi pasar dan capaian artistika suatu karya seringkali tidak paralel. Pasar acap menunjukkan gelagat rekayasa, mengagungkan tren semata, atau mengekor pada fenomena supply-demand.

Dilema pasar itu juga melahirkan praktik memalukan sebagian perupa termasuk pula kurator kita. Mereka bekerja sekadar memenuhi tuntutan pasar, yakni dari visualitas karya sampai dengan gagasannya dipatok oleh pemodal (baca: pemilik galeri). Akibatnya, artifak seni yang dimediasikan cenderung medioker bahkan tidak jarang tersebut buruk dari kacamata estetika.

Arkian, kerangka kuratorial (intelectual framework) yang digulirkan kurator-pemuja-pasar semata gincu murahan dan cerminan kuasi-intelektualitas. Begitu pula nalar karya seni rupa pasaran itu.

Tubagus P. Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas Rabu, 28/11/2007]

No comments: