[Catatan: Esai ini diterbitkan di Kompas, Rabu (3/11/2004). Tidak ada program serius muncul dari galeri milik DKJT itu. Dalam catatan saya, sepanjang tahun 2007 hanya ada tiga kali pameran. Seterusnya dan sebelumnya juga ruang itu selalu mangkrak.]
***
***
GALERI Seni Rupa DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah) berada dalam kompleks yang bersebelahan dengan Taman Budaya Maerokoco Semarang. Di areal itu dirancang pula gedung teater tertutup, panggung teater terbuka, dan juga wisma seniman. Meski areal itu belum selesai dibangun seluruhnya, Galeri DKJT (yang telah jadi) pernah digunakan dua kali untuk pameran sketsa dan lukisan.
Dan inilah pangkal masalahnya: konstruksi bangunan Galeri DKJT itu teramat aneh untuk praktik kesenirupaan yang kita kenal selama ini.Memasuki bangunan itu pengunjung akan melewati satu pendopo kecil yang di kiri-kanannya terdapat “gardu” (persis gardu penjagaan di tangsi militer). Ada ruang cekung terbuka di depan pendopo. Pintu Galeri ada dua, di kiri-kanan bangunan, dan untuk mencapainya pengunjung harus melewati koridor pendek. Seluruh dinding Galeri melengkung-lengkung. Jarak dinding berhadap-hadapan terdekat 3,4 meter dan terjauh (ruang tengah yang berbentuk 2 cekungan berhadapan) 8,1 meter. Lebar Galeri sekitar 15 meter. Di beberapa titik, di depan dinding yang bergelombang, berdiri tegak 12 pilar yang hanya berjarak 0,3 meter dari dinding yang dihalangi pandangannya itu.
Arsitektur Galeri itu seperti huruf “C” dengan dua pintu masuk-keluar di kedua kakinya. Pada ruang dalam, di kedua sudut lengkung “C” itu, lantainya dinaikkan dua undakan. Tinggi dinding sekitar 2,5 meter saja. Lampu sorot dipasang sekenanya di dinding atas berbatasan dengan kisi-kisi. Tak seluruh dinding mampu diterangi oleh lampu-lampu itu.
Konstruksi bangunan Galeri itu, konon, digagas menyerupai irama gelombang air laut di tepi pantai. Paham itu, katanya, pas dengan lokasi Semarang yang adalah kota pesisir di pantai utara Laut Jawa.
Publik seni Jawa Tengah terheran-heran oleh paham arsitektur semacam itu. Bagaimana mungkin galeri untuk masyarakat Provinsi Jawa Tengah didesain dan dibangun dengan menolak kelaziman sebuah galeri dengan dinding-dinding yang lebar dan tinggi.
Lihatlah CP Artspace Gallery di Jakarta. Ruang galeri hanya selebar 7 meter dan panjang sekitar 20 meter. Ruang netral itu terasa lapang menyambut kehadiran karya seni dan para apresian. Atau bandingkan dengan Selasar Sunaryo Art Space Bandung. Meskipun arsitektur galeri sangat modern, toh, galeri itu menyediakan banyak dinding yang lebar dan tinggi untuk karya seni dua dimensi.
Secara teknis Galeri DKJT tak layak dipakai untuk berkesenian. Dindingnya tak bisa dipasangi karya lukis yang besar. Selebar satu meter saja sudah menimbulkan persoalan.
Tak ada karya patung atau instalasi yang bisa dipajang bebas dan aman dari lalu lalangnya pengunjung. Apalagi karya seni rupa kotemporer yang acapkali memerlukan ruang spasial yang luas dan tinggi, tentu saja, tak mungkin bersambut di sana.
Memasuki ruang Galeri DKJT itu pengunjung serasa berada di lorong yang sempit dan berkelok-kelok bak komidi putar. Apresian tak leluasa menikmati karya seni yang terpajang karena jarak pandang yang terlalu pendek. Belum lagi persoalan simbolisasi “ombak laut” itu yang selalu bakal hadir dan terus-menerus mengkooptasi karya seni dan mengintervensi proses signifikasi audiens.
Dan inilah pangkal masalahnya: konstruksi bangunan Galeri DKJT itu teramat aneh untuk praktik kesenirupaan yang kita kenal selama ini.Memasuki bangunan itu pengunjung akan melewati satu pendopo kecil yang di kiri-kanannya terdapat “gardu” (persis gardu penjagaan di tangsi militer). Ada ruang cekung terbuka di depan pendopo. Pintu Galeri ada dua, di kiri-kanan bangunan, dan untuk mencapainya pengunjung harus melewati koridor pendek. Seluruh dinding Galeri melengkung-lengkung. Jarak dinding berhadap-hadapan terdekat 3,4 meter dan terjauh (ruang tengah yang berbentuk 2 cekungan berhadapan) 8,1 meter. Lebar Galeri sekitar 15 meter. Di beberapa titik, di depan dinding yang bergelombang, berdiri tegak 12 pilar yang hanya berjarak 0,3 meter dari dinding yang dihalangi pandangannya itu.
Arsitektur Galeri itu seperti huruf “C” dengan dua pintu masuk-keluar di kedua kakinya. Pada ruang dalam, di kedua sudut lengkung “C” itu, lantainya dinaikkan dua undakan. Tinggi dinding sekitar 2,5 meter saja. Lampu sorot dipasang sekenanya di dinding atas berbatasan dengan kisi-kisi. Tak seluruh dinding mampu diterangi oleh lampu-lampu itu.
Konstruksi bangunan Galeri itu, konon, digagas menyerupai irama gelombang air laut di tepi pantai. Paham itu, katanya, pas dengan lokasi Semarang yang adalah kota pesisir di pantai utara Laut Jawa.
Publik seni Jawa Tengah terheran-heran oleh paham arsitektur semacam itu. Bagaimana mungkin galeri untuk masyarakat Provinsi Jawa Tengah didesain dan dibangun dengan menolak kelaziman sebuah galeri dengan dinding-dinding yang lebar dan tinggi.
Lihatlah CP Artspace Gallery di Jakarta. Ruang galeri hanya selebar 7 meter dan panjang sekitar 20 meter. Ruang netral itu terasa lapang menyambut kehadiran karya seni dan para apresian. Atau bandingkan dengan Selasar Sunaryo Art Space Bandung. Meskipun arsitektur galeri sangat modern, toh, galeri itu menyediakan banyak dinding yang lebar dan tinggi untuk karya seni dua dimensi.
Secara teknis Galeri DKJT tak layak dipakai untuk berkesenian. Dindingnya tak bisa dipasangi karya lukis yang besar. Selebar satu meter saja sudah menimbulkan persoalan.
Tak ada karya patung atau instalasi yang bisa dipajang bebas dan aman dari lalu lalangnya pengunjung. Apalagi karya seni rupa kotemporer yang acapkali memerlukan ruang spasial yang luas dan tinggi, tentu saja, tak mungkin bersambut di sana.
Memasuki ruang Galeri DKJT itu pengunjung serasa berada di lorong yang sempit dan berkelok-kelok bak komidi putar. Apresian tak leluasa menikmati karya seni yang terpajang karena jarak pandang yang terlalu pendek. Belum lagi persoalan simbolisasi “ombak laut” itu yang selalu bakal hadir dan terus-menerus mengkooptasi karya seni dan mengintervensi proses signifikasi audiens.
***
Dalam konteks kesenian, sebuah galeri (seni rupa) tak sekadar sebuah tempat/place (fisik) pamer, namun ia adalah ruang/space yang kondisional. Bisa jadi ruang yang reaksional pula. Bahkan sarat muatan filosofis, ideologis, sosiologis, politis dan seabrek peneraan lainnya. Tentu saja semua paham itu dalam konteks adanya pameran dan relasi kultural yang terbentuk di sana.
Galeri diartikan sebagai “ruang”, yakni ruang pertemuan ide dan gagasan dalam berbagai artikulasinya. Ia adalah konsepsi tentang pertemuan dan pergumulan antara kehadiran dan ketakhadiran.
Sekarang ini tengara proses penciptaan dan produksi karya seni, dalam kesenian kontemporer, tidak lagi mengabaikan ruang dan unsur keruangan. Ruang dalam konteks kesenian telah menjadi salah satu elemen estetik yang diperhitungkan secara signifikan. Seniman tidak lagi menganggap eksistensi ruang sebagai tempat karya seni terpajang secara fisik dan material saja (place). Tetapi sebaliknya, ruang dan atmosfer keruangannya (space) ialah bagian dari proses kreatif seniman dan – bahkan – menjadi bagian dari karya seninya.
Dalam paham dan relasinya, bahwa galeri sebagai ruang signifikasi interaktif, maka sebuah galeri – dalam bentuk fisiknya yang paling awal – diandaikan sebuah tempat yang “steril” dan “bebas nilai”. Ruangan galeri ialah sebuah tempat bagi seniman, karya seni, dan penonton (audience) atau apresian melakukan percakapan maknawi sehingga hadir tata nilai estetis yang, diamsalkan, menuju pencerahan atau transendental. Atau mungkin sebaliknya diintensikan untuk meneror kemapanan dialektis. Oleh sebab itu, sebuah galeri membiarkan keruangannya “tumbuh” seiring dengan kehadiran artefak dan apresian secara signifikan.
Tata arsitektural sebuah tempat spasial, dalam konteks galeri atau museum seni rupa, semestinya tidak membiarkan dirinya sendiri – tempat fisik dan material itu – sebagai sebuah tempat yang masif dan hegemonik. Struktur bangunan dan peruntukan ruang-ruangnya dirancang agar tidak mendominasi karya seni yang sedang dipamerkan.
Sesungguhnya tak ada parameter yang jelas seperti apakah sebuah ruang galeri yang “standar” itu. Namun, di sebagian besar galeri dan museum di Barat lazim ditemui bentuk ruang “netral” kotak (atau persegi panjang), berdinding vertikal, horisontal, bercat putih, dengan lantai dan plafon putih juga (“Function of Architecture” oleh Daniel Buren dalam “Thinking about Exhibitions”, Routledge, 1999).
Oleh karena itu, bangunan fisik galeri selayaknya membuka katub-katub kemungkinan seliar apapun. Biarkan seniman berinteraksi, bersosialisasi, dan berproses dalam “kekosongan”. Konstruksi dan tata ruang tergantung pada konsep dan ideologi yang hendak diuarkan oleh seniman dan corak keseniannya.
Lantas, bagaimana jika sebuah bangunan yang telah membawa ideologinya sendiri diperuntukkan bagi sebuah galeri seni rupa setingkat Jawa Tengah?
Galeri diartikan sebagai “ruang”, yakni ruang pertemuan ide dan gagasan dalam berbagai artikulasinya. Ia adalah konsepsi tentang pertemuan dan pergumulan antara kehadiran dan ketakhadiran.
Sekarang ini tengara proses penciptaan dan produksi karya seni, dalam kesenian kontemporer, tidak lagi mengabaikan ruang dan unsur keruangan. Ruang dalam konteks kesenian telah menjadi salah satu elemen estetik yang diperhitungkan secara signifikan. Seniman tidak lagi menganggap eksistensi ruang sebagai tempat karya seni terpajang secara fisik dan material saja (place). Tetapi sebaliknya, ruang dan atmosfer keruangannya (space) ialah bagian dari proses kreatif seniman dan – bahkan – menjadi bagian dari karya seninya.
Dalam paham dan relasinya, bahwa galeri sebagai ruang signifikasi interaktif, maka sebuah galeri – dalam bentuk fisiknya yang paling awal – diandaikan sebuah tempat yang “steril” dan “bebas nilai”. Ruangan galeri ialah sebuah tempat bagi seniman, karya seni, dan penonton (audience) atau apresian melakukan percakapan maknawi sehingga hadir tata nilai estetis yang, diamsalkan, menuju pencerahan atau transendental. Atau mungkin sebaliknya diintensikan untuk meneror kemapanan dialektis. Oleh sebab itu, sebuah galeri membiarkan keruangannya “tumbuh” seiring dengan kehadiran artefak dan apresian secara signifikan.
Tata arsitektural sebuah tempat spasial, dalam konteks galeri atau museum seni rupa, semestinya tidak membiarkan dirinya sendiri – tempat fisik dan material itu – sebagai sebuah tempat yang masif dan hegemonik. Struktur bangunan dan peruntukan ruang-ruangnya dirancang agar tidak mendominasi karya seni yang sedang dipamerkan.
Sesungguhnya tak ada parameter yang jelas seperti apakah sebuah ruang galeri yang “standar” itu. Namun, di sebagian besar galeri dan museum di Barat lazim ditemui bentuk ruang “netral” kotak (atau persegi panjang), berdinding vertikal, horisontal, bercat putih, dengan lantai dan plafon putih juga (“Function of Architecture” oleh Daniel Buren dalam “Thinking about Exhibitions”, Routledge, 1999).
Oleh karena itu, bangunan fisik galeri selayaknya membuka katub-katub kemungkinan seliar apapun. Biarkan seniman berinteraksi, bersosialisasi, dan berproses dalam “kekosongan”. Konstruksi dan tata ruang tergantung pada konsep dan ideologi yang hendak diuarkan oleh seniman dan corak keseniannya.
Lantas, bagaimana jika sebuah bangunan yang telah membawa ideologinya sendiri diperuntukkan bagi sebuah galeri seni rupa setingkat Jawa Tengah?
***
Seni rupa kontemporer adalah anak kandung modernitas yang, tidak bisa tidak, erat berkorelasi dengan kebudayaan dan wacana kontemporer. Dia hidup dan dihidupi oleh kapitalisme. Lokasi Galeri DKJT yang menjauh dari pusat kerumunan publik, ditambah lagi dengan bentuk bangunan yang ideologis-hegemonik itu, tidaklah tepat. Idealnya, wacana dan praktik seni rupa kontemporer menghampiri kelimun, bukan malah memunggunginya.
Publik seni Jawa Tengah mengelus dada memendam kalut. Benarkah ide dan desain Galeri DKJT yang amorf itu berasal dari para cerdik-cendekia Pengurus DKJT? Bagaimana kompetensi Komite Seni Rupa-nya yang tidak mampu menggagas ruang pamer yang representatif?
Suatu malam di bulan September 2004, pada pembukaan sebuah pameran, pengunjung terjebak di dalam Galeri. Hujan deras mengantar tempias air dan memerciki lukisan yang tergantung. Lantai basah dan kotor. Saya menjadi saksi itu semua.
Ah, seni rupa Jawa Tengah …, malang nian nasibmu, Nak.
Tubagus P. Svarajati,
Pemerhati seni rupa, tinggal di Semarang
Publik seni Jawa Tengah mengelus dada memendam kalut. Benarkah ide dan desain Galeri DKJT yang amorf itu berasal dari para cerdik-cendekia Pengurus DKJT? Bagaimana kompetensi Komite Seni Rupa-nya yang tidak mampu menggagas ruang pamer yang representatif?
Suatu malam di bulan September 2004, pada pembukaan sebuah pameran, pengunjung terjebak di dalam Galeri. Hujan deras mengantar tempias air dan memerciki lukisan yang tergantung. Lantai basah dan kotor. Saya menjadi saksi itu semua.
Ah, seni rupa Jawa Tengah …, malang nian nasibmu, Nak.
Tubagus P. Svarajati,
Pemerhati seni rupa, tinggal di Semarang
No comments:
Post a Comment