Wednesday, March 5, 2008

Realitas, Ruang, dan Waktu Fotografis

An exhibition at Cemeti Art House
(Photo: Ferintus Karbon)

LAZIMNYA orang menganggap foto adalah representasi sahih atas realitas empirik. Anggapan itu, barangkali, tidak salah karena tanda-tanda objektif di sana diyakini benar adanya.

Akan tetapi, kesadaran fenomenologis itu – pengakuan bahwa citraan dalam foto adalah representasi riil atas suatu fenomena – pantas dipertanyakan. Kita tidak pernah mengira bahwa praktik memotret adalah suatu tindakan intervensi, betapapun kecilnya, terhadap realitas empirik atau momen yang diabadikan oleh fotografer.

Dari jendela bidiknya seorang fotografer, mau tidak mau, diharuskan memilih dan itu artinya, seperti yang diungkapkan oleh Michelangelo Antonioni: “Dengan membuat seleksi, Anda memalsukannya. Atau, seperti kata orang, Anda menafsirkannya” (via Seno Gumira Ajidarma/ SGA dalam “Kalacitra”, Esei-esei Bentara 2002, Penerbit Buku Kompas, 2002).

Perkara campur tangan itu dengan mudah kita analisis dari sisi ini: dunia atau realitas di hadapan fotografer membentang tak terbatas dan ketika dia membidik lalu membingkai sesuatu perkara atau kejadian (=fenomen), berarti dia telah meniadakan yang lain untuk hanya satu frame tertentu. Keputusan memilih ini jika bukan ‘pemalsuan’ (atau tindakan manipulatif) adalah suatu penafsiran tentang dunia. Dengan memilih berarti mengeliminasi dan itu jelas menegasikan (menidakkan) yang lain.

Terang sudah, sebuah foto adalah suatu konstruksi subjektivitas. Dengan kata lain, tak ada foto yang benar-benar objektif sekalipun itu foto jurnalistik yang, dalam semangatnya, tidak mentolerir adanya praktik manipulasi.
***
Lantas, realitas seperti apakah yang hadir dan dipilih oleh fotografer dan mewujud dalam sebingkai foto?

Pertanyaan di atas berujung pada suatu pengandaian tentang seseorang fotografer dengan kesepenuhan tanggung jawab, historisitas, imajinasi, intensi, juga ideologinya yang bercampur aduk dan mengkonstruksi karyanya.

Dus, seorang fotografer – tak peduli ia seorang profesional, amatir, atau pemula – akan melahirkan karya foto sesuai dengan batas-batas kemampuannya sendiri. Deskripsi ini mendedahkan mengapa satu karya foto dengan yang lainnya, kendati memvisualisasikan momen atau pesan yang sama, tidak akan sama persis nilai-nilai intrinsiknya. Dengan begitu sebuah foto merefleksikan suatu penggal kompleksitas identitas fotografernya.

Jelaslah, selembar foto adalah jejak-jejak kultural dari sesosok individu yang bebas merdeka, individualistik, dan eksistensialistik.

SGA mengatakan bahwa realitas dalam foto adalah “realitas (yang) selalu retak, dalam pengertian selalu berubah karena berada dalam waktu, dalam temporalitas” (ibid). Maksudnya, realitas – yang terepresentasikan sebagai momen atau kejadian – adalah masa lalu. Begitu juga waktu kejadian adalah waktu lampau. Namun sebaliknya, seseorang memaknai selembar foto dalam konteks kekinian, dalam situasi kontemporer.

Realitas yang terpenggal dan waktu yang terkompresi – dalam selembar foto – dihadirkan lagi secara live oleh pemandang yang sedang berdialog dengan foto itu. Tegasnya, seseorang pemandang foto itulah yang menghidupkan fenomen dan mengalirkan kemewaktuan fotografisnya.

Dalam kajian semiotika Barthesian, realitas dalam foto adalah representasi paradoksal. Mengapa? Sejauh ini pengalaman kehadiran mengandaikan adanya relasi spasial dan temporal pada satu titik, yaitu subjek. Sedangkan representasi realitas dalam foto memunculkan anggapan sekarang dan di sini dan dulu dan di sana (ST. Sunardi, Semiotika Negativa, Penerbit Kanal, 2002).

Lebih jauh Roland Barthes juga menyatakan, bahwa realitas dalam foto adalah realitas paradoksal, real-unreality. Disebut unreality karena realitas itu sudah lampau, bukan here-now. Sebaliknya disebut real karena realitas dalam foto bukan ilusi, ia adalah presence secara spasial.

Membicarakan realitas terkait erat dengan ruang. Realitas hadir menempati ruang tertentu. Tempat (place) dan ruang (space) dibedakan berdasarkan kehadiran-ketidakhadiran sebagai berikut: yang pertama dicirikan oleh adanya perjumpaan langsung, sedangkan yang kedua dicirikan oleh hubungan antarmereka yang tidak hadir (Anthony Giddens dikutip Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, Penerbit Bentang, 2005).

Dalam konteks fotografi, analog dengan pemikiran Giddens tadi, kita barangkali bisa mengatakan bahwa ruang adalah kehadiran yang ditandai oleh pemandang saat mengapresiasi atau meresepsi sebuah foto. Kehadiran pemandang dalam ruang yang sama dengan realitas fotografis itu bukan kehadiran secara fisik, melainkan kehadiran dalam ruang simbolik. Hubungan dialogal antara pemandang dengan foto di hadapannya melahirkan ruang signifikasi atau pertemuan nilai-nilai (ketidakhadiran).

Seterusnya pemandang meyakini, bahwa realitas atau fenomena dalam selembar foto itu benar adanya dan menempati ruang spasial tertentu, meskipun eksistensialitas itu senyatanya hanya di lembaran kertas foto. Kebenaran di sana dipercayai sepanjang jika mencitrakan atau ditandai oleh adanya tengara-tengara ikonik, simbolik, atau metaforik dari realitas empirik yang sudah dikenal, dialaminya atau terbayangkan ada.

Momen kejadian atau realitas – dalam perbincangan fotografis – menempati ruang dan terfragmentasi dalam satuan waktu tertentu. Dengan kata lain, realitas dalam foto terkonstruksi di dalam suatu ruang spasial tertentu dengan rentang waktu yang terkompresi. Prosesnya begini: fenomena ruang dan waktu eksistensial (sebelum “diambil” oleh kamera) dicerabut dari asalnya (melalui mekanisasi kamera) dan terbekukan dalam selembar foto. Kondisi ini setidaknya memenuhi asersi “perentangan waktu-ruang”/”time-space distanciation” (B. Herry-Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar, KPG, 2002).
***
Sesungguhnya, waktu adalah dimensi yang utama dalam fotografi (David Finn, How To Look At Photographs, Penerbit Harry N. Abrams, Inc., 1994). Perbincangan tentang foto selalu melibatkan dimensi waktu, yaitu masa lampau yang terkompresi.

SGA (ibid) menuliskan, bahwa: Pengertian “mengabadikan” – dalam fotografi – bukan berarti sebuah foto membekukan waktu itu sendiri, melainkan karena momen yang terekam dalam foto itu terus-menerus berada dalam waktu, yang begitu relatif dalam pembermaknaan manusia sebagai Subjek-yang-Memandang. Dengan kata lain, pernyataan SGA itu berarti: dimensi waktu yang terbekukan dalam foto hanya dan selalu dihidupkan oleh dan di dalam imajinasi sang pemandang.

Di dalam fotografi, kode-kode realitas-ruang-waktu itu dimampatkan sedemikian rupa – hanya – dalam selembar kertas. Fenomena itu akan hadir dalam kesepenuhan maknawinya bagi siapapun seturut historisitasnya dan dalam kontekstualitasnya sendiri, meskipun dimensi nilai-nilainya tidak seragam bagi setiap orang.

Sesungguhnya selembar foto adalah sekeping citraan (image) sekalipun ia merepresentasikan realitas, ruang, dan waktu eksistensial. (Tubagus P Svarajati, mendirikan Mata Semarang Photography Club, 1998)

[CATATAN: Dikirimkan ke Suara Merdeka, Rabu 9/1/2008]

No comments: