Thursday, June 26, 2008

Galeri (di) Semarang

"Berkoper-koper Cerita" of Hardiman Radjab exhibited at
Rumah Seni Yaitu: August 3-20, 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

KEPINDAHAN Galeri Semarang, dari lokasi awal di jalan Dr Cipto ke kawasan Kota Lama Semarang, membawa sinyal optimisme. Diharapkan, kawasan dengan fasad keeropaan itu akan berwajah kultural baru. Sejatinya kawasan itu layak digagas menjadi ruang kreasi seni-budaya internasional.

Meski digambarkan sebagai kawasan yang sangat potensial, dalam skala industri turisme, Kota Lama selama ini terlelap terus. Tak ada kegiatan kultural yang memadai. Yang tampak hanya irama monoton kehidupan harian. Lingkungan tidak terpelihara dan terkesan kumuh.

Pameran foto “Blank Spot” di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe Semarang, Desember lalu, jelas-jelas menggambarkan kawasan itu sebagai wilayah yang tak terurus, bermasalah, dan di ambang kehancuran. Pada malam hari daerah itu terasa sangat mencekam: sepi, suram, dan nyaris tidak ada denyut kehidupan yang berarti. Dan emperan menjadi istana peraduan bagi mereka yang tidak berumah.

Sudah lama pemerintah tak mampu mengolah kawasan itu menjadi lebih hidup, meskipun tak sedikit dana telah dikucurkan di sana. Beberapa program sudah dibuat, namun kenyataannya wilayah itu tetap saja tidak terurus. Kenyataannya, jejak-jejak sejarah kolonial di sana meninggalkan aneka bangunan dan lingkungan yang menawan. Wilayah ini, jika digarap secara integral, laik menyerupai kawasan Dashanzi atau areal ‘798’, yakni pusat seni rupa kontemporer kelas dunia di Beijing. Bedanya, di sana kawasan itu adalah bekas tangsi-tangsi militer China.

Kehadiran satu galeri seni rupa di Kawasan Kota Lama sangat mungkin menjadi impetus pertumbuhan budaya baru di kawasan itu. Harapannya adalah agar seluruh programnya juga memberikan kontribusi positif bagi kotanya.

Agen Budaya
Sudah saatnya para pemangku kepentingan kota memandang pertumbuhan budaya dalam perspektif kreatif-industrial. Banyak contoh keberhasilan yang bisa dikisahkan. Parade fesyen jalanan di Rio de Jainero adalah contoh industri budaya yang fenomenal. Bienial seni rupa di beberapa negara —semisal Venice, Havana, Gwangju, dan Beijing— termasuk industri budaya-kreatif dengan perputaran kapital yang menggiurkan. Di Indonesia, bisa jadi, ‘pusat’ produksi artistika seni rupa adalah Yogyakarta. Sedangkan Jember, kota kecil di belahan timur pulau Jawa, mulai menunjukkan diri sebagai buah-bibir budaya fesyen kontemporer Indonesia.

Penting ditumbuhkan kesadaran bahwa industri budaya-kreatif tidak saja mampu mendatangkan devisa, namun pula memberikan harkat mulia bagi suatu bangsa. Pada titik ini, galeri sebagai salah satu komponen dalam ‘industri’ seni rupa terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan.

Menimbang peran seni dalam investasi kultural suatu bangsa, jelaslah, inisiasi suatu ruang mediasinya menjadi penting dihargai. Apalagi negara atau pemerintah tidak pernah memberikan atensinya sedikitpun. Perhatian juga tidak muncul dari dewan-dewan seni apapun.

Galeri seni rupa punya peran ganda, yakni sebagai ruang mediasi karya seni dan agen budaya. Galeri—dalam kalimat Brian O’Doherty (“The Gallery as a Gesture”, 1981): “… leads in two directions. It comments on the ‘art’ within, to which it is contextual. And it comments on the wider context —street, city, money, business— that contains it.”

Kebanyakan galeri membidik sisi komersialnya saja. Rutinitas pameran hanya diniatkan sebagai ajang jual-beli karya—terutama lukisan. Memang tidak bisa disangkal bahwa galeri (komersial) mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar pada karya seni yang dimediasikan. Kesejahteraan seniman, pada akhirnya, meningkat pula.

Sebaliknya, galeri bisa mengenalkan karya seni sebagai media apresiasi dan sarana edukasi. Singkatnya, galeri berfungsi sebagai ruang produksi signifikasi. Seniman dan audiens dipertautkan dengan karya seni di ruang galeri. Dari sini lahirlah, idealnya, pemahaman bersama tentang nilai-nilai (values) estetika karya seni itu. Juga, nilai guna seni (dalam perspektif sosio-politis, misalnya) bisa dikembangkan menjadi media penyadaran publik; seni sebagai pembentukan nilai-nilai etika kemasyarakatan.

Galeri pantas menjadikan dirinya sebagai katalisator atau impetus praktik seni dan kultur kota. Program-program yang dijalankan diharapkan mampu memberikan nilai tambah kultural: bagi masyarakat seni dan pendukungnya, juga publik secara keseluruhan. Singkatnya, galeri sebagai sarana transformasi kultural.

Sebagai salah satu agen budaya, pusat diskursus dan praktik produksi seni mutakhir di dalam medan sosial seni yang ‘sehat’, galeri pantas memainkan peran sebagai ‘pengawal’ etika komunitas. Akan tetapi, galeri mesti menepis praktik wacana hegemonik dan menghindar dari kepongahan sebagai satu-satunya penentu selera maupun nilai. Tegasnya, demokratisasi gagasan conditio sine qua non bagi lahirnya pemikiran dan karya seni superlatif-komparatif.

Pendeknya, lembaga galeri jangan hanya dikonstruksi sebagai mesin cetak uang dari praktik komodifikasi karya seni. Galeri, ibaratnya, adalah plasa atau ruang pertemuan kultural; penanda zaman.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Selasa, 17/06/2008.]

No comments: