Oct 26-Nov 5, 2007. (Photo: Ferintus Karbon)
DI PELATARAN Sangkring Art Space, tiga penyanyi dangdut membetot animo audiens, meski timbre mereka pas-pasan saja. Kelebihannya: liukan tubuh mereka bak magnet membetot sukma penonton lelaki.
Malam itu, Sabtu (31/5), desa Nitiprayan-Yogyakarta bergeletar. Tak saja dentam organ tunggal—dimainkan oleh pelukis Hadi Susanto—pula rentak gendang memeriahkan desa itu. Tak syak, keriuhan dipicu oleh hadirnya tiga penyanyi belia nan molek. Pinggul-pinggul mereka tak henti-henti mengentak kencang. Tubuh-tubuh itu cuma dibalut busana minimalis—tank-top dan celana pendek ketat. Pada salah satu penyanyi itu, saya pastikan, bibir celananya sejengkal di bawah pusar—ajaib, potongan kain itu tak melorot.
Musik terus berdentam—tubuh-tubuh segar itu tak henti meliuk-menggeliat. Langit malam—di atas Nitiprayan—sontak memanas. Pemuda kampung blingsatan. Sebagian perupa lelaki pun tak kuasa menahan diri—mereka menghambur di dekat dan di atas panggung: berjoget canggung, bergelejotan. Tampak Samuel Indratma, tokoh mural Yogya berambut gimbal, bergoyang lucu—ia mengingatkan kita pada gerak koreografi topeng monyet jalanan. Ada bule-kurus—seolah tak terurus—terus bergoyang; aneh dan menggelikan. Arahmaiani, perempuan perupa kontemporer, turut berjoget—pinggulnya bergerak-gerak seperti putaran baling-baling helikopter.
Tak perlu suara merdu untuk memanaskan suasana—yang penting goyangan penyanyinya; begitulah teriakan beberapa orang. Yuswantoro Adi, perupa tambun itu, sesekali berteriak menenangkan massa. Di sudut panggung, mendekati tiga penyanyi itu, dia tampak duduk tak nyaman. Ia terlihat bergelora seolah menahan sesuatu hasrat. Seakan-akan hendak menunjukkan kecakapannya pula, Putu Sutawijaya—si empunya Sangkring—turut berjoget. Perut buncitnya terantuk-antuk naik-turun—kucirnya bergoyang ke kiri-kanan. Sang istri mengabadikan segala tingkah polanya. Klop: lucu.
Nitiprayan, kita tahu, tempat mukim beberapa perupa kontemporer Indonesia yang menjadi buah bibir belakangan ini. Di sana, untuk menyebut sebagian saja, ada Putu Sutawijaya dan Nyoman Masriadi. Keduanya tercatat sebagai lokomotif yang menghela gebalau pasar seni rupa Tanah Air. Di balai lelang Sotheby’s Singapura muasalnya—April 2007—satu karya Putu Sutawijaya meraih hammer-price mendekati US$ 60,000. Sebulan kemudian karya Nyoman Masriadi melambung di Christie’s Hong Kong. Semenjak itu pasar seni rupa Indonesia melesat liar tak terkendali. Koran New York Times edisi Rabu (2/4) menyebut kejadian itu sebagai “Insiden Mei 2007”. Bukan salah kedua perupa Bali itu, tentu.
Dengan mengeja Nitiprayan, niscaya kita mesti menyebut pula Sangkring Art Space. Sudah setahun ini Nitiprayan diramaikan oleh kehadiran ruang pamer itu. Tak jelas bagaimana secara persis menyebut bentuk bangunan atau arsitekturnya. Gedung tiga lantai itu menjulang tinggi—menjadi tetenger baru, meski dengan fasad yang tak lazim; tepatnya aneh.
Pada malam itu sebenarnya ada pembukaan pameran lukisan Kisah Dua Kota di Sangkring. Pameran yang dikurasi oleh Wahyudin itu menampilkan sepuluh seniman Bali dan Yogyakarta. Keriuhan di luar ruang pamer sepertinya menepis animo penikmat seni untuk berlama-lama menatap karya-karya yang tergantung. Para seniman yang terlibat pameran pun bereaksi tak acuh. Ini gelagat yang aneh—seakan-akan mereka tak hirau pada karya-karyanya sendiri. Atau mungkin mereka terlalu percaya diri bahwasanya karya-karya itu akan menemukan pembutuhnya masing-masing?
Malam itu, Sabtu (31/5), desa Nitiprayan-Yogyakarta bergeletar. Tak saja dentam organ tunggal—dimainkan oleh pelukis Hadi Susanto—pula rentak gendang memeriahkan desa itu. Tak syak, keriuhan dipicu oleh hadirnya tiga penyanyi belia nan molek. Pinggul-pinggul mereka tak henti-henti mengentak kencang. Tubuh-tubuh itu cuma dibalut busana minimalis—tank-top dan celana pendek ketat. Pada salah satu penyanyi itu, saya pastikan, bibir celananya sejengkal di bawah pusar—ajaib, potongan kain itu tak melorot.
Musik terus berdentam—tubuh-tubuh segar itu tak henti meliuk-menggeliat. Langit malam—di atas Nitiprayan—sontak memanas. Pemuda kampung blingsatan. Sebagian perupa lelaki pun tak kuasa menahan diri—mereka menghambur di dekat dan di atas panggung: berjoget canggung, bergelejotan. Tampak Samuel Indratma, tokoh mural Yogya berambut gimbal, bergoyang lucu—ia mengingatkan kita pada gerak koreografi topeng monyet jalanan. Ada bule-kurus—seolah tak terurus—terus bergoyang; aneh dan menggelikan. Arahmaiani, perempuan perupa kontemporer, turut berjoget—pinggulnya bergerak-gerak seperti putaran baling-baling helikopter.
Tak perlu suara merdu untuk memanaskan suasana—yang penting goyangan penyanyinya; begitulah teriakan beberapa orang. Yuswantoro Adi, perupa tambun itu, sesekali berteriak menenangkan massa. Di sudut panggung, mendekati tiga penyanyi itu, dia tampak duduk tak nyaman. Ia terlihat bergelora seolah menahan sesuatu hasrat. Seakan-akan hendak menunjukkan kecakapannya pula, Putu Sutawijaya—si empunya Sangkring—turut berjoget. Perut buncitnya terantuk-antuk naik-turun—kucirnya bergoyang ke kiri-kanan. Sang istri mengabadikan segala tingkah polanya. Klop: lucu.
Nitiprayan, kita tahu, tempat mukim beberapa perupa kontemporer Indonesia yang menjadi buah bibir belakangan ini. Di sana, untuk menyebut sebagian saja, ada Putu Sutawijaya dan Nyoman Masriadi. Keduanya tercatat sebagai lokomotif yang menghela gebalau pasar seni rupa Tanah Air. Di balai lelang Sotheby’s Singapura muasalnya—April 2007—satu karya Putu Sutawijaya meraih hammer-price mendekati US$ 60,000. Sebulan kemudian karya Nyoman Masriadi melambung di Christie’s Hong Kong. Semenjak itu pasar seni rupa Indonesia melesat liar tak terkendali. Koran New York Times edisi Rabu (2/4) menyebut kejadian itu sebagai “Insiden Mei 2007”. Bukan salah kedua perupa Bali itu, tentu.
Dengan mengeja Nitiprayan, niscaya kita mesti menyebut pula Sangkring Art Space. Sudah setahun ini Nitiprayan diramaikan oleh kehadiran ruang pamer itu. Tak jelas bagaimana secara persis menyebut bentuk bangunan atau arsitekturnya. Gedung tiga lantai itu menjulang tinggi—menjadi tetenger baru, meski dengan fasad yang tak lazim; tepatnya aneh.
Pada malam itu sebenarnya ada pembukaan pameran lukisan Kisah Dua Kota di Sangkring. Pameran yang dikurasi oleh Wahyudin itu menampilkan sepuluh seniman Bali dan Yogyakarta. Keriuhan di luar ruang pamer sepertinya menepis animo penikmat seni untuk berlama-lama menatap karya-karya yang tergantung. Para seniman yang terlibat pameran pun bereaksi tak acuh. Ini gelagat yang aneh—seakan-akan mereka tak hirau pada karya-karyanya sendiri. Atau mungkin mereka terlalu percaya diri bahwasanya karya-karya itu akan menemukan pembutuhnya masing-masing?
***
Perilaku pasar seni rupa Tanah Air memang aneh—tak mudah dikalkulasi dan seringkali bersifat anomali. Meski begitu, antinomi pasar juga menyodorkan stimulus kapital yang tak tanggung-tanggung. Celakanya, banyak seniman muda (dan tak terhitung seniman tuanya)—dengan akar kreatif yang belum mendarah-daging—turut tersedot dalam pusaran artistika imitatif. Mereka meladeni nafsu pasar—mereka cuma memproduksi karya medioker. Bahkan tak jarang cuma bisa meniru gelagat seni lukis kontemporer China: lukisan representasional dengan latar datar sederhana. Tak ada evokasi—tak jelas pula makrifatnya. Mereka mempraktikkan “estetika China kontemporer” itu dengan “tanpa sensor dan rasa malu sedikit pun” (Aminudin TH Siregar, Kompas, Minggu, 1/6).
Akan halnya pasar yang tanpa acuan—tuna wacana—memang menguntungkan para spekulan. Orang-orang inilah yang kerap mengeruhkan tatanan dan meringkus dialektika yang terbangun dalam dunia gagasan seni. Sisi positifnya, maraknya komodifikasi lukisan seperti sekarang ini juga berjasa melahirkan sekian banyak pembutuh benda seni itu. Sebaliknya, saya teramat khawatir, akan ada sekelompok orang—para calon kolektor seni yang serius—yang dirugikan akibat turbulensi pasar yang sangat membodohi itu.
Situasi yang penuh keganjilan itu—di satu pihak kesejahteraan seniman lukis meningkat, di lain pihak terjadi pemiskinan diskursus seni—semestinya memaksa para pemangku kepentingan mengurai labirin dunianya. Kenyataannya sungguh jauh dari harapan. Lihatlah, para penulis atau kritikus seni malah berhumbalang menjadi kurator. Meski kita paham, tugas kurator tak bisa dianggap ringan. Akan tetapi, pada praktiknya, acap terlihat hasil kuratorial yang tak lebih sebagai pemanis suatu pameran. Fungsi kurator yang mampu memediasi seniman dan karyanya dengan publik terkotori oleh praktik kuratorial yang menyenangkan pemodal (baca: pemilik galeri) saja.
Determinisme pasar seni rupa pada akhirnya hanya melahirkan sekian banyak pameran etalatif bergaya art shop. Praktik yang memalukan itu melibatkan dan dikawal pula oleh sekian kurator yang kita punyai—juga menempati sekian ruang pamer yang (kelihatannya) terhormat. Simak pameran-pameran bertajuk “Survey”, “Manifesto”, dan “Freedom”.
Sebenarnya, fenomena apa atau siapa di balik kegaduhan pasar seni itu? Beberapa sinyalemen menyebutkan, boom pasar seni rupa kita diakibatkan oleh luberan dari perdagangan seni kontemporer China di tingkat dunia. Karena harganya semakin meninggi, maka para pembutuh seni kita tak mampu lagi membeli karya seni dari China daratan itu. Imbasnya, tak syak, situasi pasar kita menjadi tak terkendali. Akan tetapi, siapa di balik semua eforia itu? Tak jelas memang—selain kita hanya bisa mensinyalir, bahwa sabur-limbur itu diberi impetus pula oleh sebagian (besar) para pemilik galeri yang cuma melansir praktik komodifikasi lukisan.
Akan halnya pasar yang tanpa acuan—tuna wacana—memang menguntungkan para spekulan. Orang-orang inilah yang kerap mengeruhkan tatanan dan meringkus dialektika yang terbangun dalam dunia gagasan seni. Sisi positifnya, maraknya komodifikasi lukisan seperti sekarang ini juga berjasa melahirkan sekian banyak pembutuh benda seni itu. Sebaliknya, saya teramat khawatir, akan ada sekelompok orang—para calon kolektor seni yang serius—yang dirugikan akibat turbulensi pasar yang sangat membodohi itu.
Situasi yang penuh keganjilan itu—di satu pihak kesejahteraan seniman lukis meningkat, di lain pihak terjadi pemiskinan diskursus seni—semestinya memaksa para pemangku kepentingan mengurai labirin dunianya. Kenyataannya sungguh jauh dari harapan. Lihatlah, para penulis atau kritikus seni malah berhumbalang menjadi kurator. Meski kita paham, tugas kurator tak bisa dianggap ringan. Akan tetapi, pada praktiknya, acap terlihat hasil kuratorial yang tak lebih sebagai pemanis suatu pameran. Fungsi kurator yang mampu memediasi seniman dan karyanya dengan publik terkotori oleh praktik kuratorial yang menyenangkan pemodal (baca: pemilik galeri) saja.
Determinisme pasar seni rupa pada akhirnya hanya melahirkan sekian banyak pameran etalatif bergaya art shop. Praktik yang memalukan itu melibatkan dan dikawal pula oleh sekian kurator yang kita punyai—juga menempati sekian ruang pamer yang (kelihatannya) terhormat. Simak pameran-pameran bertajuk “Survey”, “Manifesto”, dan “Freedom”.
Sebenarnya, fenomena apa atau siapa di balik kegaduhan pasar seni itu? Beberapa sinyalemen menyebutkan, boom pasar seni rupa kita diakibatkan oleh luberan dari perdagangan seni kontemporer China di tingkat dunia. Karena harganya semakin meninggi, maka para pembutuh seni kita tak mampu lagi membeli karya seni dari China daratan itu. Imbasnya, tak syak, situasi pasar kita menjadi tak terkendali. Akan tetapi, siapa di balik semua eforia itu? Tak jelas memang—selain kita hanya bisa mensinyalir, bahwa sabur-limbur itu diberi impetus pula oleh sebagian (besar) para pemilik galeri yang cuma melansir praktik komodifikasi lukisan.
***
Kapan gebalau pasar seni kita akan berakhir? Siapa yang dirugikan dan akan menjadi korban? Apakah seniman kita mampu lepas dari jerat kontingensi pasar?
Esai ini tak hendak menjawab atau mengurai buhul persoalan itu. Saya pun tidak berpretensi ingin menjelaskan ihwal pameran di Sangkring atau yang di Taman Budaya Yogyakarta. Oleh sebab pasar seni dan kelimun telah menjadi esoterik pada dirinya sendiri, maka tak perlu ada eksplanasi mengapa—sekarang dan di sini—perupa cuma melahirkan lukisan-lukisan dangkal.
Tak perlu dijelaskan mengapa Mona Lisa dan Frida Kahlo ditampilkan secara kasar terpiuh dan tanpa kedalaman. Untuk meraih yang auratik, tak cukup hanya tampilkan ihwal ikonik. Apalagi jika teknis pun tidak memadai. (Tubagus P. Svarajati, penikmat seni rupa)
[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu, 15/6/2008.]
Esai ini tak hendak menjawab atau mengurai buhul persoalan itu. Saya pun tidak berpretensi ingin menjelaskan ihwal pameran di Sangkring atau yang di Taman Budaya Yogyakarta. Oleh sebab pasar seni dan kelimun telah menjadi esoterik pada dirinya sendiri, maka tak perlu ada eksplanasi mengapa—sekarang dan di sini—perupa cuma melahirkan lukisan-lukisan dangkal.
Tak perlu dijelaskan mengapa Mona Lisa dan Frida Kahlo ditampilkan secara kasar terpiuh dan tanpa kedalaman. Untuk meraih yang auratik, tak cukup hanya tampilkan ihwal ikonik. Apalagi jika teknis pun tidak memadai. (Tubagus P. Svarajati, penikmat seni rupa)
[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu, 15/6/2008.]
No comments:
Post a Comment