[Photo: Importal's collection]
NIRWAN Ahmad Arsuka—dalam suatu risalahnya—mengandaikan bahwa seni rupa adalah sastra, dan lukisan adalah puisi, maka fotografi adalah bahasa[1]. Tampak jelas—dalam pandangan ini—fotografi adalah suatu ‘bahasa’ dan bersamanya dunia dialami dan dipahami.
[1] Nirwan Ahmad Arsuka, “Sontag, Citra, Waktu” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam nomor 23-2007, edisi online.
Tatkala sastra—tentu di dalamnya termasuk semua genre penulisan, tak terkecuali yang hanya bersifat sastrawi—dituliskan dalam dan melalui bahasa dan puisi pun demikian, maka bahasa mendapat peran sentral. Peran penting bahasa itulah, dan dikaitkan dengan fotografi, yang ditonjolkan oleh Arsuka. Menurut pemikirannya pula, fotografi tak lain termasuk dalam domain seni rupa; atau seni visual. Pernyataan ini niscaya menghalau inferioritas, yang di dalamnya para juru foto dalam tempo panjang senantiasa gundah: adakah fotografi di bawah strata seni rupa atau—singkatnya—lukisan.
Dengan menggamit fotografi ke dalam keluarga seni rupa—dan sebagai konsekuensinya—jelaslah kita mesti melacak jejaknya dalam ‘episteme’ kesenirupaan pula. Perkara ini meneguhkan kita, meski dengan sejumlah pertanyaan yang memerlukan kajian lanjutan, bahwa tindak-tanduk teknologi fotografi adalah semacam kelebihannya dibandingkan dengan seni rupa konvensional yang mengandalkan kepiawaian tangan belaka. Kita bisa membuka lembaran sejarah, tatkala daguerrotype ditemukan pertama kalinya pada tarikh 1837, sontak para pelukis semasa gentar oleh kekuatan reproduksinya. Mereka kalut: jangan-jangan teknologi baru itu menindas kedigdayaan seniman.
Akan tetapi, kita paham, di kemudian hari fotografi dipandang sebagai mampu melancarkan ekspresi seni yang demokratis. Hal itu—sekali lagi—menyoal asas-asas reproduksi yang bisa dilakukan oleh praktik fotografi itu. Dan pada tiga dekade pertama abad dua puluh, kita catat dengan takzim, ada sosok Walter Benjamin, kepada siapa kita berhutang pemikiran: aura seni elitis itu—seperti seni lukis—telah sirna oleh lahirnya fotografi[2]. Otentisitas meredup, digantikan praktik reproduktif. Dan oleh karena itu seni, lantas, mampu dikonsumsi oleh siapa saja. Inilah, antara lain, yang menghilangkan praktik pembedaan antara seni tinggi atau seni rendah. Meski perdebatan mengenai keduanya masih berlanjut hingga sekarang—publik pun, dalam praktiknya, tak kuasa benar menyamakan keduanya setara[3].
Dengan menggamit fotografi ke dalam keluarga seni rupa—dan sebagai konsekuensinya—jelaslah kita mesti melacak jejaknya dalam ‘episteme’ kesenirupaan pula. Perkara ini meneguhkan kita, meski dengan sejumlah pertanyaan yang memerlukan kajian lanjutan, bahwa tindak-tanduk teknologi fotografi adalah semacam kelebihannya dibandingkan dengan seni rupa konvensional yang mengandalkan kepiawaian tangan belaka. Kita bisa membuka lembaran sejarah, tatkala daguerrotype ditemukan pertama kalinya pada tarikh 1837, sontak para pelukis semasa gentar oleh kekuatan reproduksinya. Mereka kalut: jangan-jangan teknologi baru itu menindas kedigdayaan seniman.
Akan tetapi, kita paham, di kemudian hari fotografi dipandang sebagai mampu melancarkan ekspresi seni yang demokratis. Hal itu—sekali lagi—menyoal asas-asas reproduksi yang bisa dilakukan oleh praktik fotografi itu. Dan pada tiga dekade pertama abad dua puluh, kita catat dengan takzim, ada sosok Walter Benjamin, kepada siapa kita berhutang pemikiran: aura seni elitis itu—seperti seni lukis—telah sirna oleh lahirnya fotografi[2]. Otentisitas meredup, digantikan praktik reproduktif. Dan oleh karena itu seni, lantas, mampu dikonsumsi oleh siapa saja. Inilah, antara lain, yang menghilangkan praktik pembedaan antara seni tinggi atau seni rendah. Meski perdebatan mengenai keduanya masih berlanjut hingga sekarang—publik pun, dalam praktiknya, tak kuasa benar menyamakan keduanya setara[3].
[2] Walter Benjamin, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations (London: Pimlico, 1999.).
[3] Baca telaah Budi Darma, “Ironi si Kembar Siam Tentang Posmo dan Kajian Budaya” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam nomor 18-2001.
Praktik reproduksi dalam dunia fotografi, sebenarnya, tak lain menggandakan imaji sedemikian rupa sama persisnya. Fotografi niscaya berhutang pada teknologi kamera, film (dan kini digantikan oleh piksel digital), dan mesin cetak foto. Meski demikian, ada hal lain yang mesti—dan tak bisa lain—disebutkan dalam perbincangan tentang aspek penggandaan itu. Jelas, yang digandakan—atau direproduksi dan bisa dalam jumlah tak terbatas—ialah citraan atau images. Pada fotografi, citraanlah yang selama ini digeluti.
Citraan dalam selembar foto tak lain ialah representasi[4] dari sesuatu. Jika selembar foto menyuguhkan suatu pemandangan, maka ia bukanlah pemandangan itu sendiri, melainkan representasi dari suatu pemandangan yang riil, yang ada benar. Meski begitu, pemandangan yang kita lihat—dalam dunia kenyataan—sebenarnya tak lebih dari suatu pengalaman di dalam bahasa. Dengan begitu, bahasa mendahului pengalaman eksistensial—pengalaman diwujudkan dalam bentuk bahasa metafor[5]. Menimbang hal itu, bisa jadi analogi ini berujung pada pertanyaan fenomenologis: apakah citraan fotografis itu suatu metafor?
Citraan dalam selembar foto tak lain ialah representasi[4] dari sesuatu. Jika selembar foto menyuguhkan suatu pemandangan, maka ia bukanlah pemandangan itu sendiri, melainkan representasi dari suatu pemandangan yang riil, yang ada benar. Meski begitu, pemandangan yang kita lihat—dalam dunia kenyataan—sebenarnya tak lebih dari suatu pengalaman di dalam bahasa. Dengan begitu, bahasa mendahului pengalaman eksistensial—pengalaman diwujudkan dalam bentuk bahasa metafor[5]. Menimbang hal itu, bisa jadi analogi ini berujung pada pertanyaan fenomenologis: apakah citraan fotografis itu suatu metafor?
[4] Budi Darma menamai hal representasi itu dengan sebutan ‘versi’, ibid.
[5] Metafor adalah suatu sistem bahasa yang bersifat analogi-simbolik, tidak mededahkan kenyataan sebenarnya, melainkan suatu pelukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Untuk pengantar bahasan mengenai filsafat bahasa, khususnya metafor, lihat I. Bambang Sugiharto, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003, Cet. 6.).
Sekarang kita paham—dalam dunia yang berhumbalang dan beririsan ini—kita tak kuasa melepaskan diri dari jerat visualitas; kita dikepung oleh suatu dunia yang penuh dengan ledakan gambar. Visualitas itu hampir selalu mempertontonkan imaji-imaji yang terbarui, terkadang ganjil, dan seringkali meneror benak. Ledakan gambar itu, niscaya, representasional. Meski pengertian ini tak selalu berarti: imaji-imaji yang terepresentasi berasal dari realitas empirik atau dunia bahasa yang kita kenal. Patut dikatakan: dunia yang sarat ledakan gambar ini juga merepresentasikan segala ihwal angan-angan. Alhasil, imaji-imaji yang tersajikan terkadang tak kita kenal fenomenanya.
Jika suatu citraan dalam foto adalah hanya suatu representasi, apakah kita masih meyakini bahwa foto itu menyatakan suatu kebenaran? Dalam hal apa yang direpresentasikan, bisakah dikatakan bahwa citraan itu tak lebih perkara kita berbahasa? Sejauh manakah pengalaman berbahasa kita diperlukan dan mampu mengurai linguistikalitas fotografi? Dengan kata lain, esai ini hendak menekankan gelagat fotografi sebagai bahasa, sebagai teks.
Dengan mengandaikan imaji fotografis adalah sebuah teks—bahasa, untuk gampangnya—maka senyatanya diperlukan pengetahuan berbahasa agar orang mampu ‘berkomunikasi’ dengannya. Tata bahasa atau seluk-beluk gambar, tentu saja, tak sama dengan abjad (Latin) yang kita kenal selama ini. Dialog akan produktif jika kita, sebagai misal, membekali diri dengan semiotika. Bagian dari kajian bahasa ini memfokuskan diri pada relasi penanda-petanda dan juga analisis bahasa gambar. Akan tetapi, kita jangan berhenti pada ranah ini saja, sebab ada banyak peranti—misal: hermeneutika, sejarah, antropologi—yang bisa dipakai sebagai alat bantu analisa.
Berbagai cara ‘membaca’ foto itu sebenarnya merujuk pada keyakinan: bahwa praktik interpretasi—atau tafsir bebas, jika hendak disederhanakan—pantas dirayakan. Suatu laku pengkajian terhadap foto, tidak lain, ialah praktik interpretasi terhadap sesuatu teks di dalam konteksnya[6]. Jelas sudah, fotografi—seperti mesti dan hampir selalu—didekati dari sudut interpretatif, personal dan subyektif.
Jika suatu citraan dalam foto adalah hanya suatu representasi, apakah kita masih meyakini bahwa foto itu menyatakan suatu kebenaran? Dalam hal apa yang direpresentasikan, bisakah dikatakan bahwa citraan itu tak lebih perkara kita berbahasa? Sejauh manakah pengalaman berbahasa kita diperlukan dan mampu mengurai linguistikalitas fotografi? Dengan kata lain, esai ini hendak menekankan gelagat fotografi sebagai bahasa, sebagai teks.
Dengan mengandaikan imaji fotografis adalah sebuah teks—bahasa, untuk gampangnya—maka senyatanya diperlukan pengetahuan berbahasa agar orang mampu ‘berkomunikasi’ dengannya. Tata bahasa atau seluk-beluk gambar, tentu saja, tak sama dengan abjad (Latin) yang kita kenal selama ini. Dialog akan produktif jika kita, sebagai misal, membekali diri dengan semiotika. Bagian dari kajian bahasa ini memfokuskan diri pada relasi penanda-petanda dan juga analisis bahasa gambar. Akan tetapi, kita jangan berhenti pada ranah ini saja, sebab ada banyak peranti—misal: hermeneutika, sejarah, antropologi—yang bisa dipakai sebagai alat bantu analisa.
Berbagai cara ‘membaca’ foto itu sebenarnya merujuk pada keyakinan: bahwa praktik interpretasi—atau tafsir bebas, jika hendak disederhanakan—pantas dirayakan. Suatu laku pengkajian terhadap foto, tidak lain, ialah praktik interpretasi terhadap sesuatu teks di dalam konteksnya[6]. Jelas sudah, fotografi—seperti mesti dan hampir selalu—didekati dari sudut interpretatif, personal dan subyektif.
[6] Bagi E.D.Hirsch Jr, “… konteks adalah sesuatu yang sudah ditentukan—pertama oleh pengarang dan kemudian, melalui rekaan, oleh penafsir. Konteks bukanlah sesuatu yang sudah ada begitu saja tanpa ada orang yang membuat batasan-batasannya.” Lihat E.D. Hirsch Jr, “Keabsahan sebuah Interpretasi” dalam Hidup Matinya Sang Pengarang (Toeti Heraty, ed., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.).
Setakat ini fotografi Indonesia abai pada ihwal ekstrinsik—dunia luar, kata lainnya—relasi foto dengan dunia luar itu dan bagaimana serta dengan cara apa fotografi layak didekati; tak hanya menyoal teknologinya[7].
[7] Tentang teknologi fotografi, ketika lensa dan film belum setajam sekarang, Rudolf Mrazek menulis “Orang-orang pribumi yang biasa bergerak terlalu cepat, akan dibuat diam”. Lihat Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.).
Semarang, 20 Juni 2008
[CATATAN: Esai ini dibawakan dalam diskusi di Rumah Seni Yaitu, Jumat, 20 Juni 2008, jam 19:00 WIB—mengiringi ADVY Photo Expo “C4C” tanggal 11—28 Juni 2008.]
No comments:
Post a Comment