(Photo: Ferintus Karbon)
SAYA bukan movie-goer. Tentang ini perlu saya utarakan, terutama, oleh karena satu hal: film bukan minat saya yang pokok. Sejelasnya ini sebuah apologia: saya tak menguasai sekian banyak pengetahuan tentang perfilman.
Bagi saya, film atau gambar sekuensial itu teramat sarat dengan pelbagai kemungkinan telaah. Sebab, kita tahu, di sana tak cuma gambar yang kita cermati, namun sekaligus meliputi episteme tentang, antara lain: property, wardrobe, tata cahaya, tata rias, musik, narasi atau teks dialogal dan setimbunan pokok soal yang lain. Membincangkan fotografi lebih menggairahkan dan—karena dilandasi minat personal—terasa lebih mudah bagi saya.
Lalu, apa yang mesti saya utarakan terkait dengan suatu lembaga mahasiswa, di Semarang, yang sekaum-sepaham tentang perfilman? Tak ada yang aneh menimbang kumpulan mahasiswa itu selain tak banyak aktivitas yang dihasilkan oleh mereka.
Sudah jadi rahasia umum, suatu kelompok kemahasiswaan tak pernah bisa menorehkan aktivitas konstan dan konsisten. Selain karena faktor keanggotaan yang cair, keterbatasan waktu, hingga tak adanya impetus kreativitas. Ini semua, pada akhirnya, menjelaskan secara sederhana bahwa kalangan mahasiswa itu jarang melahirkan karya-karya yang menakjubkan.
Akan tetapi, mesti ada justifikasi lain yang bisa disampaikan. Benar, anak-anak muda mahasiswa itu sedang bertumbuh, mencari bentuk, dan di sana-sini terantuk pada kurangnya akses atas modal. Kendati begitu, andai saja khalayak punya etos melangit, termasuk pula mereka: mahasiswa itu, setiap kendala dan aral laik disiasati demi hasil akhir yang lebih baik.
Acapkali pada etos itulah kita kehilangan arah. Kita menyaksikan, dengan derajad keheranan yang mustahak, anak-anak muda yang, konon, penerus bangsa itu tak punya inisiatif yang memadai. Maka, kerap mereka cuma tampak sedang berleha-leha.
Kadang-kadang, secara sporadis, ada pula sejumput mahasiswa dengan aktivitas dan pemikiran serasa memadai. Pada merekalah mesti diberikan perhatian. Digenjot dengan omnibus pemikiran.
Komunitas pecinta film, sebagai misal, semestinya tak sekadar menabalkan sederet program mercusuar. Atau cuma mengagendakan sejumlah pemutaran film dengan dalih apresiasi. Sepantasnya disamping ada penikmat, tentu terhormat pula bila ada berderet-deret pekerja film atau penulis dan pula kritikus. Celaka, selama ini khalayak tak pernah dapat kehormatan menyaksikan inisiasi beragam atribut itu.
Arkian, hendak ke manakah kelimun mahasiswa yang bersepaham tentang perfilman itu? Di zaman kiwari, tatkala etos gampang merunduk dan orang kehilangan arah, maka hanya ada satu kata: bangun.
Esei ini taklah laik ditafsir sebagai sepotong risalah mustaid. Niscaya cuma remah-remah gagasan semenjana. Jadi: kalian tak perlu bersitegang atau meracau.
Bagi saya, film atau gambar sekuensial itu teramat sarat dengan pelbagai kemungkinan telaah. Sebab, kita tahu, di sana tak cuma gambar yang kita cermati, namun sekaligus meliputi episteme tentang, antara lain: property, wardrobe, tata cahaya, tata rias, musik, narasi atau teks dialogal dan setimbunan pokok soal yang lain. Membincangkan fotografi lebih menggairahkan dan—karena dilandasi minat personal—terasa lebih mudah bagi saya.
Lalu, apa yang mesti saya utarakan terkait dengan suatu lembaga mahasiswa, di Semarang, yang sekaum-sepaham tentang perfilman? Tak ada yang aneh menimbang kumpulan mahasiswa itu selain tak banyak aktivitas yang dihasilkan oleh mereka.
Sudah jadi rahasia umum, suatu kelompok kemahasiswaan tak pernah bisa menorehkan aktivitas konstan dan konsisten. Selain karena faktor keanggotaan yang cair, keterbatasan waktu, hingga tak adanya impetus kreativitas. Ini semua, pada akhirnya, menjelaskan secara sederhana bahwa kalangan mahasiswa itu jarang melahirkan karya-karya yang menakjubkan.
Akan tetapi, mesti ada justifikasi lain yang bisa disampaikan. Benar, anak-anak muda mahasiswa itu sedang bertumbuh, mencari bentuk, dan di sana-sini terantuk pada kurangnya akses atas modal. Kendati begitu, andai saja khalayak punya etos melangit, termasuk pula mereka: mahasiswa itu, setiap kendala dan aral laik disiasati demi hasil akhir yang lebih baik.
Acapkali pada etos itulah kita kehilangan arah. Kita menyaksikan, dengan derajad keheranan yang mustahak, anak-anak muda yang, konon, penerus bangsa itu tak punya inisiatif yang memadai. Maka, kerap mereka cuma tampak sedang berleha-leha.
Kadang-kadang, secara sporadis, ada pula sejumput mahasiswa dengan aktivitas dan pemikiran serasa memadai. Pada merekalah mesti diberikan perhatian. Digenjot dengan omnibus pemikiran.
Komunitas pecinta film, sebagai misal, semestinya tak sekadar menabalkan sederet program mercusuar. Atau cuma mengagendakan sejumlah pemutaran film dengan dalih apresiasi. Sepantasnya disamping ada penikmat, tentu terhormat pula bila ada berderet-deret pekerja film atau penulis dan pula kritikus. Celaka, selama ini khalayak tak pernah dapat kehormatan menyaksikan inisiasi beragam atribut itu.
Arkian, hendak ke manakah kelimun mahasiswa yang bersepaham tentang perfilman itu? Di zaman kiwari, tatkala etos gampang merunduk dan orang kehilangan arah, maka hanya ada satu kata: bangun.
Esei ini taklah laik ditafsir sebagai sepotong risalah mustaid. Niscaya cuma remah-remah gagasan semenjana. Jadi: kalian tak perlu bersitegang atau meracau.
No comments:
Post a Comment