Rumah Seni Yaitu:
APA yang bisa disumbangkan oleh seni, barangkali, tak terlalu tegas. Bahkan seringkali seni itu, secara epistemologis, juga tak jelas-jelas uraiannya. Ada banyak definisi tentangnya. Ada banyak teka-teki yang menyertainya.
Plato menjelaskan, dengan sepenuh niscaya, bahwa seni yang baik ialah mimikri alam. Pokok soal ini menegaskan: alamlah yang pertama-tama hadir sebagai referens. Akan tetapi, sekarang kita tak terlalu paham bahwa seni selalu dan baik jika merepresentasikan semesta. Tentang semesta, agaknya, selalu berada dalam konstrain bahasa.
Dan yang pertama-tama sekiranya adalah bahasa. Teks ini, tidak lain, adalah upaya melihat bahasa: sebagai pusat yang selalu menggetarkan. Tak mengapalah jika teks ini melantur pula.
Manusia menyatakan dirinya melalui bahasa. Tidak ada subjek yang bebas dari bahasa, kata Lacan. Artinya, manusia hanya bisa dimengerti oleh yang lain hanya dan di dalam bahasa. Relasi kebahasaan ini tidak menyendiri dan terisolir dari lainnya. Dengan kata lain, hubungan kebahasaan selalu interelasional. Ia ada karena bertalian dengan teks lain. Intertekstualitas itu menyebabkan kehadiran dan nilai subjek hanya berarti bilamana ia berada dengan subjek lainnya.
Meskipun subjek berada dalam bahasa, ini tidak berarti Lacan menyetujui adanya metabahasa. Tentang pengertian suatu bahasa yang stabil – hubungan penanda dan petanda yang dapat diperkirakan – diyakini mulanya berasal dari Saussure. Ahli linguistik strukturalis ini menuliskan bahwa relasi keduanya selayak dua sisi dari kertas yang sama. Penanda dan petanda berkorespondensi jelas satu sama lain.
Akan halnya tanda, seturut Derrida, tidak memiliki makna tetap. Ia selalu hadir merujuk, terikat pada yang lain. Tanda hanya meninggalkan jejak-jejak dengan makna yang selalu tertunda. Pada tanda – dan secara luas adalah teks – tidak hadir dan sampai pada makna terakhir: tanda tidak pernah berakhir pada petanda yang final. Ia selalu menghindar, menghasut siapa saja untuk mempermainkan penanda itu dan mempertanyakan makna apapun yang hadir dari arus permainan penanda-petanda. Sebenarnya Derrida tengah meragukan fonosentrisme, yakni keyakinan bahwa ujaran adalah awal dari kehadiran.
Fonosentrisme menegaskan bahwa ujaran adalah suara murni, langsung, dari sosok yang berbicara. Saya berbicara dan, sejelas-jelasnya, kehadiran saya ditentukan oleh ujaran itu. Ujaran dipercayai imanen dan ini, terutama, terlihat pada saat kita sedang berbicara dengan diri kita sendiri: suara batin adalah benar. Dengan begitu, fonosentrisme menempatkan tulisan – teks – pada posisi di bawahnya. Tulisan dianggap sebagai ujaran yang tidak langsung. Tulisan hanyalah bentuk transkripsi dari ujaran, salinan secara fonetis belaka. Tulisan, dengan begitu, dinilai sebagai berkelas dua, tidak murni, dan mekanis.
Anggapan bahwa filsafat mampu mengantarkan manusia pada kehadiran, kebenaran, menyingkap misteri, dan sampai pada kebenaran adalah mitos metafisika. Selama ini Filsafat Barat lebih menaruh perhatian dan meninggikan aspek ujaran dan suara. Kata Madan Sarup, “Dalam tradisi ini, struktur fenomenologis suara dipandang sebagai bukti kehadiran-diri yang paling langsung.”
Selain fonosentrisme, Filsafat Barat berfokus pada kebenaran esensial, yakni kerinduan pada yang transendental, agung, dan oleh karenanya kokoh, stabil. Pengertian ini tertuju pada penanda-penanda yang transenden: logos. Gagasan logosentrisme ini mewujud pada ide-ide tentang, antara lain, Konsep, Materi, Roh, Dunia, atau Tuhan.
Derrida menolak asas metafisika itu. Menurutnya, gagasan besar itu tetap harus mengartikan adanya kehadiran yang lain. Kehadiran selalu mengandaikan adanya kehadiran yang lain. Bahwa hadirnya makna tak lain selalu terkait dengan makna lainnya. Dan filsafat tidak lain selalu berada dalam kebahasaan dengan segenap sistem penandaan yang tidak tunggal.
Teks – dengan segenap diferensialitas tanda dan sistem penandaannya – mengandaikan hadirnya makna yang selalu terkait dengan teks lainnya. Intertekstualitas selalu menolak makna absolut dan otonom. Singkatnya, “Kebenaran dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks, diinvensi dan direkayasa dalam teks” (Muhammad Al-Fayyadl, 2006).
Esai singkat ini – sebuah teks semenjana yang mencuri teks eksistensial lain – hendak meragukan ujaran-ujaran yang selalu bergerak memaksa. Verbalitas – dengan seluruh artikulasinya – tidak lain fonosentrisme pula.
Mungkin orang-orang yang merayakan ujaran, dan sebaliknya menjauhi upaya ‘menulis’ (écriture, seturut Derrida), sedang menghidupkan mitos dirinya sepanjang zaman.
Akan tetapi, seperti dituturkan Goenawan Mohamad, Derrida berkata: “Saya tak percaya orang hidup-terus post-mortem.” Dan seperti memuji, GM – konon sastrawan dengan sejumlah besar ‘barangkali’ itu – melanjutkan tulisannya: “Tapi kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya, hidup terus, survivre, “di atas” atau “mengatasi” (sur) “hidup” (vivre), melampaui atau mengatasi kehadiran.”
Dan dulu, di tengah kelimun, Sokrates hadir: berbicara terus. Namun dia telah mangkat, sudah lama dan dulu. Barangkali sekarang adalah zaman ketika kita harus menulis: terus menulis. Kata-kata yang dituliskan akan hidup terus.***
Plato menjelaskan, dengan sepenuh niscaya, bahwa seni yang baik ialah mimikri alam. Pokok soal ini menegaskan: alamlah yang pertama-tama hadir sebagai referens. Akan tetapi, sekarang kita tak terlalu paham bahwa seni selalu dan baik jika merepresentasikan semesta. Tentang semesta, agaknya, selalu berada dalam konstrain bahasa.
Dan yang pertama-tama sekiranya adalah bahasa. Teks ini, tidak lain, adalah upaya melihat bahasa: sebagai pusat yang selalu menggetarkan. Tak mengapalah jika teks ini melantur pula.
Manusia menyatakan dirinya melalui bahasa. Tidak ada subjek yang bebas dari bahasa, kata Lacan. Artinya, manusia hanya bisa dimengerti oleh yang lain hanya dan di dalam bahasa. Relasi kebahasaan ini tidak menyendiri dan terisolir dari lainnya. Dengan kata lain, hubungan kebahasaan selalu interelasional. Ia ada karena bertalian dengan teks lain. Intertekstualitas itu menyebabkan kehadiran dan nilai subjek hanya berarti bilamana ia berada dengan subjek lainnya.
Meskipun subjek berada dalam bahasa, ini tidak berarti Lacan menyetujui adanya metabahasa. Tentang pengertian suatu bahasa yang stabil – hubungan penanda dan petanda yang dapat diperkirakan – diyakini mulanya berasal dari Saussure. Ahli linguistik strukturalis ini menuliskan bahwa relasi keduanya selayak dua sisi dari kertas yang sama. Penanda dan petanda berkorespondensi jelas satu sama lain.
Akan halnya tanda, seturut Derrida, tidak memiliki makna tetap. Ia selalu hadir merujuk, terikat pada yang lain. Tanda hanya meninggalkan jejak-jejak dengan makna yang selalu tertunda. Pada tanda – dan secara luas adalah teks – tidak hadir dan sampai pada makna terakhir: tanda tidak pernah berakhir pada petanda yang final. Ia selalu menghindar, menghasut siapa saja untuk mempermainkan penanda itu dan mempertanyakan makna apapun yang hadir dari arus permainan penanda-petanda. Sebenarnya Derrida tengah meragukan fonosentrisme, yakni keyakinan bahwa ujaran adalah awal dari kehadiran.
Fonosentrisme menegaskan bahwa ujaran adalah suara murni, langsung, dari sosok yang berbicara. Saya berbicara dan, sejelas-jelasnya, kehadiran saya ditentukan oleh ujaran itu. Ujaran dipercayai imanen dan ini, terutama, terlihat pada saat kita sedang berbicara dengan diri kita sendiri: suara batin adalah benar. Dengan begitu, fonosentrisme menempatkan tulisan – teks – pada posisi di bawahnya. Tulisan dianggap sebagai ujaran yang tidak langsung. Tulisan hanyalah bentuk transkripsi dari ujaran, salinan secara fonetis belaka. Tulisan, dengan begitu, dinilai sebagai berkelas dua, tidak murni, dan mekanis.
Anggapan bahwa filsafat mampu mengantarkan manusia pada kehadiran, kebenaran, menyingkap misteri, dan sampai pada kebenaran adalah mitos metafisika. Selama ini Filsafat Barat lebih menaruh perhatian dan meninggikan aspek ujaran dan suara. Kata Madan Sarup, “Dalam tradisi ini, struktur fenomenologis suara dipandang sebagai bukti kehadiran-diri yang paling langsung.”
Selain fonosentrisme, Filsafat Barat berfokus pada kebenaran esensial, yakni kerinduan pada yang transendental, agung, dan oleh karenanya kokoh, stabil. Pengertian ini tertuju pada penanda-penanda yang transenden: logos. Gagasan logosentrisme ini mewujud pada ide-ide tentang, antara lain, Konsep, Materi, Roh, Dunia, atau Tuhan.
Derrida menolak asas metafisika itu. Menurutnya, gagasan besar itu tetap harus mengartikan adanya kehadiran yang lain. Kehadiran selalu mengandaikan adanya kehadiran yang lain. Bahwa hadirnya makna tak lain selalu terkait dengan makna lainnya. Dan filsafat tidak lain selalu berada dalam kebahasaan dengan segenap sistem penandaan yang tidak tunggal.
Teks – dengan segenap diferensialitas tanda dan sistem penandaannya – mengandaikan hadirnya makna yang selalu terkait dengan teks lainnya. Intertekstualitas selalu menolak makna absolut dan otonom. Singkatnya, “Kebenaran dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks, diinvensi dan direkayasa dalam teks” (Muhammad Al-Fayyadl, 2006).
Esai singkat ini – sebuah teks semenjana yang mencuri teks eksistensial lain – hendak meragukan ujaran-ujaran yang selalu bergerak memaksa. Verbalitas – dengan seluruh artikulasinya – tidak lain fonosentrisme pula.
Mungkin orang-orang yang merayakan ujaran, dan sebaliknya menjauhi upaya ‘menulis’ (écriture, seturut Derrida), sedang menghidupkan mitos dirinya sepanjang zaman.
Akan tetapi, seperti dituturkan Goenawan Mohamad, Derrida berkata: “Saya tak percaya orang hidup-terus post-mortem.” Dan seperti memuji, GM – konon sastrawan dengan sejumlah besar ‘barangkali’ itu – melanjutkan tulisannya: “Tapi kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya, hidup terus, survivre, “di atas” atau “mengatasi” (sur) “hidup” (vivre), melampaui atau mengatasi kehadiran.”
Dan dulu, di tengah kelimun, Sokrates hadir: berbicara terus. Namun dia telah mangkat, sudah lama dan dulu. Barangkali sekarang adalah zaman ketika kita harus menulis: terus menulis. Kata-kata yang dituliskan akan hidup terus.***
No comments:
Post a Comment