Photography: Hendro Wasito
[CATATAN: Esei ini dipesan oleh Yayasan Seni Cemeti (sekarang IVAA, Indonesia Visual Art Archive) sebagai bagian dari pemetaan art-world di beberapa kota Indonesia. Saya tuliskan pada kuartal pertama tahun 2006. Diterbitkan dalam CD “AKAP, Antar Kota Antar Propinsi” produksi Yayasan Seni Cemeti, akhir 2006.]
***
[CATATAN: Esei ini dipesan oleh Yayasan Seni Cemeti (sekarang IVAA, Indonesia Visual Art Archive) sebagai bagian dari pemetaan art-world di beberapa kota Indonesia. Saya tuliskan pada kuartal pertama tahun 2006. Diterbitkan dalam CD “AKAP, Antar Kota Antar Propinsi” produksi Yayasan Seni Cemeti, akhir 2006.]
***
SEPINTAS kilas tak ada yang kurang dari Semarang. Sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah, Semarang memiliki infrastruktur sosial-politik-ekonomi dan seluruh aspek kebudayaan lainnya yang relatif cukup lengkap. Mudah dipastikan, bahwa Semarang – dalam kadar tertentu – dijadikan acuan atau role-model bagi praktik perikehidupan kebanyakan daerah lainnya; terutama praktik pemerintahannya. Model panutan itu tidak dengan sendirinya seragam pada praksis kebudayaannya. Sebagai contoh, kebudayaan Surakarta tentu tidak mengacu pada praktik kultural yang berlangsung di Semarang.
Dalam praktik atau pemikiran kesenian, juga tak terlihat keseragaman atau keniscayaan bahwa Semarang dijadikan acuan. Sebab, dari amatan dan berdasar referensi media massa, setiap daerah atau kota mempunyai problematikanya yang spesifik. Namun, secara umum, jelas terbaca keterpinggiran aktivitas dan apresiasi seni rupa dalam praktik kemasyarakatan kota-kota di Jawa Tengah; tak terkecuali Semarang.
Praksis seni rupa Semarang – dari hulu sampai hilir, yakni dari praktik kreasi sampai nilai apresiasi estetik ataupun ekonomisnya – terlihat belum tertata baik. Meski belum terlihat ideal, dari sisi kreator, organisasi seni, wahana mediasi diskursus atau kekaryaan, sampai tingkat apresiasi penikmat (selected interest group) seni rupa kota ini sejujurnya relatif cukup memadai.
Secara umum, kelembagaan dan faktor-faktor pendukung kesenirupaan Semarang cukup lengkap, namun ada pertanyaan yang selalu mengganjal, ialah: mengapa seni rupa Semarang tidak pernah mustahak bertengger dalam medan sosial seni nasional. Politik kesenian Semarang pun tidak luas beresonansi. Kontribusi seniman (baca: perupa) Semarang, secara individual ataupun berkelompok, juga tidak signifikan bagi kotanya sendiri apalagi untuk skala Indonesia. Ada apa gerangan dengan kota ini?
Tulisan singkat ini tidak berpretensi ingin memetakan secara lengkap, integral, dan komprehensif tentang praktik kreasi atau kelembagaan kesenirupaan Semarang. Juga tidak ada intensi untuk menambah atau mengurangi fakta faktual yang terjadi selama ini sepanjang ingatan memungkinkan. Lebih jauh lagi, tidak terbersit ingatan untuk memarjinalisasi seseorang, lembaga, kelompok, atau praktik seni rupa yang ada atau pernah ada. Tulisan ini harap dicatat sebagai upaya dialektika atas praksis kesenirupaan sebuah kota yang selalu terusik ingatannya agar tidak lupa berproses terus.
Ragam Kelembagaan
Semarang mempunyai satu lembaga pendidikan tinggi seni rupa, yakni Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unnes). Insititusi Unnes dulu bernama IKIP Negeri Semarang. Baru tiga tahun terakhir Unnes mempunyai program seni rupa murni dan desain komunikasi visual. Sebelumnya hanyalah kependidikan seni rupa yang meluluskan sarjana-sarjana kependidikan saja.
Lembaga atau organisasi lain yang de facto ada, ialah: Dewan Kesenian Semarang (Dekase) yang merupakan bagian dari Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Keduanya mendapat santunan dari APBD Pemkot atau Pemprov. DKJT mengelola satu kawasan yang disebut Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Di sana ada ruang pamer seni rupa, yakni Galeri PKJT. Jauh sebelumnya terjadi tarik ulur antara seniman dan budayawan Semarang (baca: Jawa Tengah) yang menginginkan agar mereka bisa berkiprah di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) yang terletak di pusat kota. Dengan berbagai latar dan pertimbangan (politis), akhirnya PKJT dibangun di areal Taman Budaya Maerokoco, yakni semacam miniatur Jawa Tengah. Sayang sekali lokasi PKJT jauh dari pusat kota dan sejauh ini belum banyak kegiatannya yang menonjol. Sementara itu areal TBRS tetap menjadi rumah bagi sejumlah seniman dari berbagai disiplin kesenian. Sesekali masih diadakan kegiatan seni di sana.
Pada galibnya praktik riil kesenirupaan kota berlangsung di ruang-ruang yang dikelola oleh pemodal partikelir, bukan di lembaga-lembaga formal di atas. Ruang-ruang itu ialah Galeri Semarang, Rumah Seni Kayangan, Galeri Proses Borobudur, Galeri Joglo, Rumah Seni Yaitu, dan Galeri Dahara. Beberapa kali pernah pula diselenggarakan pameran seni rupa di Museum Ronggowarsito. Selain itu kegiatan seni rupa (baca: pameran lukisan) diadakan juga di lobby-lobby hotel tertentu. Sesekali pula aktivitas seni rupa merambah ruang-ruang informal (bukan spesifik sebagai ruang apresiasi seni) lainnya, seperti misalnya di balai desa atau kampus (selain di kampus Unnes).
Ruang-ruang seni di atas, dengan sendirinya, juga berperan sebagai organisator atau penyelenggara aktivitas seni rupa yang berlangsung di sana. Namun ada juga lembaga yang menahbiskan diri sebagai penyelenggara kegiatan seni rupa. Yang sedikit itu bisa disebut Bilik Rupa dan Joglo Art Event Organiser. Lantas ada juga organisasi yang acap terlibat sebagai pendukung kegiatan seni rupa, yaitu Komunitas Budaya Tapak Kaki. Tercatat pula agen penyelenggara seni rupa perorangan yang, sepengetahuan saya, hanya ada satu sosok.
Di samping ruang, lembaga, atau organisasi penyelenggara seni di atas, patut pula diketengahkan sejumlah organisasi tempat bercokolnya beberapa seniman di dalamnya. Tidak banyak organisasi seniman di Semarang, dua tahun terakhir ini yang muncul hanya Komunitas Kayangan, Komunis[in], dan Komunitas 36derajad. Itu pun keanggotannya tumpang tindih. Di luar kelompok itu tetap saja melenggang bebas sejumlah seniman yang tidak mengikatkan diri secara formal pada komunitas atau kelompok tertentu (lebih lengkap simak Tubagus P. Svarajati dalam “Melacak Jejak Seni Rupa Semarang”, Suara Merdeka, Minggu, 22 Januari 2006).
Yang penting digarisbawahi dari praktik kesenirupaan kota ini, ialah adanya ruang publikasi yang sangat memadai dalam dua tahun terakhir ini. Harian Suara Merdeka menempati urutan teratas dalam hal itu; halaman ‘Bianglala’, yang muncul setiap minggunya, kini menjadi acuan seniman Semarang (bahkan bisa jadi dalam skala Jawa Tengah). Harian Kompas Jateng-DIY menempati urutan berikutnya. Kedua koran itu – termasuk sejumlah jurnalisnya yang mempunyai minat khusus – memberikan perhatian yang sangat memadai pada praktik kesenirupaan Semarang. Bentuk partisipasi keduanya berupa ulasan, kritik, atau sekadar reportase atas peristiwa seni rupa yang ada.
Lantas, pertanyaan mendasar ialah: siapakah dan berasal dari manakah mereka yang menyebut diri sebagai seniman (baca: perupa) Semarang? Apa latar edukasi seni mereka? Siapa dan juga latar mereka yang selama ini bergelut sebagai penyanggah medan sosial seni (artworld) kota ini; termasuk di sini ialah para pemilik, pengelola, penulis seni, jurnalis, dan apresian/kolektor seni.
Perlu ditegaskan, bahwa penyebutan identitas kekotaan lebih sebagai tempat domisili atau berkreasi ketimbang sebagai acuan kota kelahiran atau bersifat geopolitis.
Tegangan Kreasi-Apresiasi
Sepanjang catatan yang ada, dalam jangka waktu yang sangat panjang, lembaga Unnes belum pernah melahirkan sosok-sosok dengan pemikiran ataupun karya-karya yang fenomenal. Saya duga model kependidikan seni rupa Unnes menjauhkan para peserta didiknya dari diskursus seni kontemporer global. Kemungkinan besar pendidikan di sana sekadar diarahkan memenuhi kebutuhan praktis kepengajaran seni rupa dasar di sekolah-sekolah menengah kita. Jika asumsi ini benar, maka sungguh terasa mahal pendidikan seni rupa itu. Seyogianya bisa disinergikan antara kepentingan praktis dan kreatif yang bisa meninggikan kompetensi kelulusan Unnes itu (lebih jauh lihat Tubagus P. Svarajati dalam “Bayang-bayang Seni Rupa Unnes”, Suara Merdeka, Minggu, 26 Juni 2005).
Namun, dalam kurun 3 tahun terakhir, seni rupa kota ini mulai diramaikan oleh beberapa sarjana kependidikan seni (dari IKIP Negeri Semarang) dan sebagian mahasiswa seni rupa Unnes. Kemunculan mereka, dalam amatan saya, terpicu oleh tegangan dan pergaulan para seniman (berikut karya-karyanya) luar daerah – terutama yang berasal dari “pusat” legitimasi kesenian nasional, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta – yang mampir ke Semarang dalam kerangka peristiwa atau pameran seni rupa. Saya menduga, bahwa pengetahuan dan ketrampilan mereka terutama bukan diasah dari kampus, melainkan akibat dari proses belajar dan pengamatan atas dinamika seni rupa nasional, regional, atau global yang dalam konteks jaringan teknologi informasi internet upaya itu terbentang luas dan murah.
Sementara itu, sebagian besar seniman (baca: perupa) Semarang tidak pernah mengecap pendidikan kesenirupaan formal. Kok Poo dan Inanta Hadipranoto, misalnya, hanya belajar di Sanggar Pejeng di bawah asuhan Dullah. Begitu juga AS Kurnia, yang kini menetap di Bali, bukan lulusan perguruan tinggi seni. Sejumlah nama lain, yang kini meramaikan proses kreatif seni rupa kota ini, juga tidak punya latar edukasi seni formal, seperti: Agung Yuliansyah, Ham Ngien Beng, Ibnu Thalhah, atau Atie Krisna.
Sebagian selftaught-artists kota ini dalam posisi yang gamang kini. Lama sebelumnya mereka mendominasi percaturan seni rupa kota dengan model karya-karya representasionalnya (naturalisme dan realisme). Sekarang eksistensinya lambat-laun mulai tergusur – dalam konteks praksis dan pewacanaan – oleh mereka yang pernah mengecap pendidikan seni secara formal.
Mengenai para pemodal partikelir atau pengelola ruang-ruang seni kota ini tak jauh beda dengan profil perupanya. Sebagian besar pemodal berlatar saudagar. Mereka mengenal diskursus seni rupa hanya dari pergaulan, isu-isu, dan pembelajaran sendiri. Kawan-kawan jurnalis pun tidak ada yang khusus berlatar seni rupa. Bahkan ada satu sosok pengelola ruang dan penulis seni yang bekas peternak babi selama belasan tahun.
Namun begitu, uniknya, peta seni rupa Semarang sekarang mulai transparan dan dikenal oleh kalangan lebih luas daripada satu dekade sebelumnya. Ini tidak lain, hemat saya, buah dari upaya beberapa pihak yang tak kenal lelah yang selalu mengintroduksikan seni rupa kota ini ke tataran lebih luas. Untuk itu peran penulis seni cukup signifikan diketengahkan. Hanya sayang sekali, hingga kini belum muncul penulis seni rupa dengan kapabilitas yang memadai untuk menohok pentas mediasi nasional.
Kelangkaan penulis, kritikus, atau kurator yang bermartabat dan andal memang menjadi kendala serius dari sebuah kota yang hendak mengembangkan potensi lokalitasnya. Tak terkecuali Semarang juga bernasib seperti itu. Kelangkaan pemikir dan pencatat kebudayaan itu menyebabkan historisitas kesenian Semarang menjadi marjinal. Realitas ini sungguh ironis mengingat Semarang memiliki lembaga tinggi pendidikan seni rupa Unnes. Inilah salah satu fakta penghambat mengapa potensi seni rupa kota Semarang – tentu saja dengan segenap plus-minusnya – kurang bergaung dalam jangka waktu yang lama. Belum lagi memikirkan relasi horisontal antarseniman yang tak selalu berkoinsidensi secara baik.
Salah satu batu sandungan terbesar, mengapa Semarang terasa mati suri, ialah tiadanya praktik dialektika yang menawan. Maka tatkala ada media massa lokal yang menyediakan ruang dialog, segera saja sebagian seniman tercerahkan. Namun pada sisi sebaliknya diskursus yang muncul semakin meminggirkan mereka oleh sebab disparitas intelektualitas yang teramat jauh. Bahkan berdasar sinyalemen AS Kurnia, Semarang tidak pernah punya tradisi kreatif yang memadai. Ini satu fakta yang mungkin juga terjadi di banyak kota di Indonesia.
Di samping minimnya pergumulan intelektualitas, tipisnya jejaring antarseniman antarkota atau wilayah juga meminggirkan Semarang dalam konstelasi seni rupa kontemporer nasional. Dalam konteks ini tak terlihat peran yang menonjol dari lembaga-lembaga kesenian plat merah, seperti Dekase atau DKJT. Sungguh mengherankan, dengan peran yang tidak jelas toh mereka tetap dipertahankan eksistensinya melalui kucuran dana rakyat (yang mungkin tak sedikit pula).
Komitmen dan Integritas
Penyanggah seni rupa kota Semarang, meski karut-marut, sebenarnya menampakkan kecukupan infrastruktur kesenian yang ideal. Jika Semarang masih terseok tak dikenal, maka tidak bisa lain, seluruh elemen penyanggah medan sosial seni harus bersinergi untuk meningkatkan harkat dan posisi tawar potensi lokalitasnya, meskipun suatu praktik sinergis tak selalu wajib berwajah monografis.
Lembaga-lembaga plat merah yang ada lebih baik diarahkan pada semacam think-tank, sehingga mampu memetakan potensi lokal dan mengonstruksi arah perkembangan seni kota mengacu pada dinamika seni rupa global. Idealnya mereka berfungsi sebagai perancang cetak biru kesenian yang visioner, bukan hanya sebagai operator acara-acara musiman saja.
Unnes pun seyogianya membaca tanda-tanda zaman, sehingga mampu melahirkan tidak saja pendidik seni namun sekaligus seniman yang mumpuni. Pada saatnya nanti kelulusannya akan diakomodasi oleh ruang seni yang berserak secara layak.
Ruang-ruang seni formal idealnya menyajikan tak hanya karya-karya kanonik yang money-valued saja, melainkan juga merangsang tumbuhnya ekspresi seni yang worth-valued sekalipun melawan arus. Sekadar peristiwa seni kecil pun cukup berarti jika dilatari semangat atau konsep pemikiran (school of thought) yang fundamental. Sebab, saya yakin, peran ruang seni semacam itu masih dominan dan mampu membelokkan suatu kecenderungan seni suatu kota. Pada titik inilah, saya harap, para seniman tak mudah tergiur dan terbutakan mata-pikirannya oleh ruang-ruang tertentu yang hanya memproduksi peristiwa seni yang kemedol.
Pada tingkatan produsen atau kreatornya, tentu saja, diharapkan lahir kreasi yang menarik dan pemikiran yang serius. Kreator dituntut agar lebih banyak menampilkan aksi seninya ketimbang berkasak-kusuk menelorkan isu atau sentimen yang tidak produktif. Relasi horisontal wajib dibangun di atas prinsip egaliterianisme, bukan cuma perebutan kuasi-legitimasi sesaat. Sejatinya, hanya kepada para seniman-yang-bertanggung-jawab seni rupa suatu kota bergantung; bukan para seniman umuk yang selalu sumuk membual.
Untuk Semarang, saya kira, para seniman dan seluruh penyanggah seninya masih perlu diuji oleh sang waktu agar bisa tampil ke ruang yang lebih luas. Faktor sangat penting, hemat saya, ialah perihal manajemen seni dan komitmen pada gagasan serta perjuangan kesenian yang tak selalu harus berlabuh pada praktik seni mainstream. Keyakinan semacam ini pun, di tengah-tengah minimnya modal kapital dan gersangnya apresiasi pada idealisme kerja kebudayaan yang tak-berkesudahan, pantas diuji oleh sang waktu.
Satu hal sangat jelas, bahwa Galeri Semarang dengan sejumlah pamerannya, meskipun bukan faktor determinan satu-satunya, sejauh ini cukup mengusik naluri kreatif seniman lokal. Ruang pamer itu – dengan kecenderungan apresiasi nilai ekonomis seni yang cukup kuat – secara tidak langsung juga telah mencirikan suatu kota yang ada aktivitas seni rupanya. Ruang-ruang lainnya, maaf, belum terdeteksi secara jernih.
Catatan ini, pada ujungnya, tak bisa lain harus menyebutkan eksistensi Rumah Seni Yaitu (RSY). RSY dipandang sebagai ruang yang lebih cair, tidak rigid, dalam hal produksi seninya, yaitu visual arts dengan keberagaman wujudnya. Imbasnya: RSY menjadi satu-satunya ruang seni rupa di Semarang yang mudah dan banyak diakses oleh publik sekalipun mereka awam tentang kesenirupaan.
Oleh kehadiran RSY perbincangan seni rupa kota Semarang telah memasuki babakan baru.
Tubagus P. Svarajati
Pengelola Rumah Seni Yaitu:
Dalam praktik atau pemikiran kesenian, juga tak terlihat keseragaman atau keniscayaan bahwa Semarang dijadikan acuan. Sebab, dari amatan dan berdasar referensi media massa, setiap daerah atau kota mempunyai problematikanya yang spesifik. Namun, secara umum, jelas terbaca keterpinggiran aktivitas dan apresiasi seni rupa dalam praktik kemasyarakatan kota-kota di Jawa Tengah; tak terkecuali Semarang.
Praksis seni rupa Semarang – dari hulu sampai hilir, yakni dari praktik kreasi sampai nilai apresiasi estetik ataupun ekonomisnya – terlihat belum tertata baik. Meski belum terlihat ideal, dari sisi kreator, organisasi seni, wahana mediasi diskursus atau kekaryaan, sampai tingkat apresiasi penikmat (selected interest group) seni rupa kota ini sejujurnya relatif cukup memadai.
Secara umum, kelembagaan dan faktor-faktor pendukung kesenirupaan Semarang cukup lengkap, namun ada pertanyaan yang selalu mengganjal, ialah: mengapa seni rupa Semarang tidak pernah mustahak bertengger dalam medan sosial seni nasional. Politik kesenian Semarang pun tidak luas beresonansi. Kontribusi seniman (baca: perupa) Semarang, secara individual ataupun berkelompok, juga tidak signifikan bagi kotanya sendiri apalagi untuk skala Indonesia. Ada apa gerangan dengan kota ini?
Tulisan singkat ini tidak berpretensi ingin memetakan secara lengkap, integral, dan komprehensif tentang praktik kreasi atau kelembagaan kesenirupaan Semarang. Juga tidak ada intensi untuk menambah atau mengurangi fakta faktual yang terjadi selama ini sepanjang ingatan memungkinkan. Lebih jauh lagi, tidak terbersit ingatan untuk memarjinalisasi seseorang, lembaga, kelompok, atau praktik seni rupa yang ada atau pernah ada. Tulisan ini harap dicatat sebagai upaya dialektika atas praksis kesenirupaan sebuah kota yang selalu terusik ingatannya agar tidak lupa berproses terus.
Ragam Kelembagaan
Semarang mempunyai satu lembaga pendidikan tinggi seni rupa, yakni Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unnes). Insititusi Unnes dulu bernama IKIP Negeri Semarang. Baru tiga tahun terakhir Unnes mempunyai program seni rupa murni dan desain komunikasi visual. Sebelumnya hanyalah kependidikan seni rupa yang meluluskan sarjana-sarjana kependidikan saja.
Lembaga atau organisasi lain yang de facto ada, ialah: Dewan Kesenian Semarang (Dekase) yang merupakan bagian dari Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Keduanya mendapat santunan dari APBD Pemkot atau Pemprov. DKJT mengelola satu kawasan yang disebut Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Di sana ada ruang pamer seni rupa, yakni Galeri PKJT. Jauh sebelumnya terjadi tarik ulur antara seniman dan budayawan Semarang (baca: Jawa Tengah) yang menginginkan agar mereka bisa berkiprah di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) yang terletak di pusat kota. Dengan berbagai latar dan pertimbangan (politis), akhirnya PKJT dibangun di areal Taman Budaya Maerokoco, yakni semacam miniatur Jawa Tengah. Sayang sekali lokasi PKJT jauh dari pusat kota dan sejauh ini belum banyak kegiatannya yang menonjol. Sementara itu areal TBRS tetap menjadi rumah bagi sejumlah seniman dari berbagai disiplin kesenian. Sesekali masih diadakan kegiatan seni di sana.
Pada galibnya praktik riil kesenirupaan kota berlangsung di ruang-ruang yang dikelola oleh pemodal partikelir, bukan di lembaga-lembaga formal di atas. Ruang-ruang itu ialah Galeri Semarang, Rumah Seni Kayangan, Galeri Proses Borobudur, Galeri Joglo, Rumah Seni Yaitu, dan Galeri Dahara. Beberapa kali pernah pula diselenggarakan pameran seni rupa di Museum Ronggowarsito. Selain itu kegiatan seni rupa (baca: pameran lukisan) diadakan juga di lobby-lobby hotel tertentu. Sesekali pula aktivitas seni rupa merambah ruang-ruang informal (bukan spesifik sebagai ruang apresiasi seni) lainnya, seperti misalnya di balai desa atau kampus (selain di kampus Unnes).
Ruang-ruang seni di atas, dengan sendirinya, juga berperan sebagai organisator atau penyelenggara aktivitas seni rupa yang berlangsung di sana. Namun ada juga lembaga yang menahbiskan diri sebagai penyelenggara kegiatan seni rupa. Yang sedikit itu bisa disebut Bilik Rupa dan Joglo Art Event Organiser. Lantas ada juga organisasi yang acap terlibat sebagai pendukung kegiatan seni rupa, yaitu Komunitas Budaya Tapak Kaki. Tercatat pula agen penyelenggara seni rupa perorangan yang, sepengetahuan saya, hanya ada satu sosok.
Di samping ruang, lembaga, atau organisasi penyelenggara seni di atas, patut pula diketengahkan sejumlah organisasi tempat bercokolnya beberapa seniman di dalamnya. Tidak banyak organisasi seniman di Semarang, dua tahun terakhir ini yang muncul hanya Komunitas Kayangan, Komunis[in], dan Komunitas 36derajad. Itu pun keanggotannya tumpang tindih. Di luar kelompok itu tetap saja melenggang bebas sejumlah seniman yang tidak mengikatkan diri secara formal pada komunitas atau kelompok tertentu (lebih lengkap simak Tubagus P. Svarajati dalam “Melacak Jejak Seni Rupa Semarang”, Suara Merdeka, Minggu, 22 Januari 2006).
Yang penting digarisbawahi dari praktik kesenirupaan kota ini, ialah adanya ruang publikasi yang sangat memadai dalam dua tahun terakhir ini. Harian Suara Merdeka menempati urutan teratas dalam hal itu; halaman ‘Bianglala’, yang muncul setiap minggunya, kini menjadi acuan seniman Semarang (bahkan bisa jadi dalam skala Jawa Tengah). Harian Kompas Jateng-DIY menempati urutan berikutnya. Kedua koran itu – termasuk sejumlah jurnalisnya yang mempunyai minat khusus – memberikan perhatian yang sangat memadai pada praktik kesenirupaan Semarang. Bentuk partisipasi keduanya berupa ulasan, kritik, atau sekadar reportase atas peristiwa seni rupa yang ada.
Lantas, pertanyaan mendasar ialah: siapakah dan berasal dari manakah mereka yang menyebut diri sebagai seniman (baca: perupa) Semarang? Apa latar edukasi seni mereka? Siapa dan juga latar mereka yang selama ini bergelut sebagai penyanggah medan sosial seni (artworld) kota ini; termasuk di sini ialah para pemilik, pengelola, penulis seni, jurnalis, dan apresian/kolektor seni.
Perlu ditegaskan, bahwa penyebutan identitas kekotaan lebih sebagai tempat domisili atau berkreasi ketimbang sebagai acuan kota kelahiran atau bersifat geopolitis.
Tegangan Kreasi-Apresiasi
Sepanjang catatan yang ada, dalam jangka waktu yang sangat panjang, lembaga Unnes belum pernah melahirkan sosok-sosok dengan pemikiran ataupun karya-karya yang fenomenal. Saya duga model kependidikan seni rupa Unnes menjauhkan para peserta didiknya dari diskursus seni kontemporer global. Kemungkinan besar pendidikan di sana sekadar diarahkan memenuhi kebutuhan praktis kepengajaran seni rupa dasar di sekolah-sekolah menengah kita. Jika asumsi ini benar, maka sungguh terasa mahal pendidikan seni rupa itu. Seyogianya bisa disinergikan antara kepentingan praktis dan kreatif yang bisa meninggikan kompetensi kelulusan Unnes itu (lebih jauh lihat Tubagus P. Svarajati dalam “Bayang-bayang Seni Rupa Unnes”, Suara Merdeka, Minggu, 26 Juni 2005).
Namun, dalam kurun 3 tahun terakhir, seni rupa kota ini mulai diramaikan oleh beberapa sarjana kependidikan seni (dari IKIP Negeri Semarang) dan sebagian mahasiswa seni rupa Unnes. Kemunculan mereka, dalam amatan saya, terpicu oleh tegangan dan pergaulan para seniman (berikut karya-karyanya) luar daerah – terutama yang berasal dari “pusat” legitimasi kesenian nasional, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta – yang mampir ke Semarang dalam kerangka peristiwa atau pameran seni rupa. Saya menduga, bahwa pengetahuan dan ketrampilan mereka terutama bukan diasah dari kampus, melainkan akibat dari proses belajar dan pengamatan atas dinamika seni rupa nasional, regional, atau global yang dalam konteks jaringan teknologi informasi internet upaya itu terbentang luas dan murah.
Sementara itu, sebagian besar seniman (baca: perupa) Semarang tidak pernah mengecap pendidikan kesenirupaan formal. Kok Poo dan Inanta Hadipranoto, misalnya, hanya belajar di Sanggar Pejeng di bawah asuhan Dullah. Begitu juga AS Kurnia, yang kini menetap di Bali, bukan lulusan perguruan tinggi seni. Sejumlah nama lain, yang kini meramaikan proses kreatif seni rupa kota ini, juga tidak punya latar edukasi seni formal, seperti: Agung Yuliansyah, Ham Ngien Beng, Ibnu Thalhah, atau Atie Krisna.
Sebagian selftaught-artists kota ini dalam posisi yang gamang kini. Lama sebelumnya mereka mendominasi percaturan seni rupa kota dengan model karya-karya representasionalnya (naturalisme dan realisme). Sekarang eksistensinya lambat-laun mulai tergusur – dalam konteks praksis dan pewacanaan – oleh mereka yang pernah mengecap pendidikan seni secara formal.
Mengenai para pemodal partikelir atau pengelola ruang-ruang seni kota ini tak jauh beda dengan profil perupanya. Sebagian besar pemodal berlatar saudagar. Mereka mengenal diskursus seni rupa hanya dari pergaulan, isu-isu, dan pembelajaran sendiri. Kawan-kawan jurnalis pun tidak ada yang khusus berlatar seni rupa. Bahkan ada satu sosok pengelola ruang dan penulis seni yang bekas peternak babi selama belasan tahun.
Namun begitu, uniknya, peta seni rupa Semarang sekarang mulai transparan dan dikenal oleh kalangan lebih luas daripada satu dekade sebelumnya. Ini tidak lain, hemat saya, buah dari upaya beberapa pihak yang tak kenal lelah yang selalu mengintroduksikan seni rupa kota ini ke tataran lebih luas. Untuk itu peran penulis seni cukup signifikan diketengahkan. Hanya sayang sekali, hingga kini belum muncul penulis seni rupa dengan kapabilitas yang memadai untuk menohok pentas mediasi nasional.
Kelangkaan penulis, kritikus, atau kurator yang bermartabat dan andal memang menjadi kendala serius dari sebuah kota yang hendak mengembangkan potensi lokalitasnya. Tak terkecuali Semarang juga bernasib seperti itu. Kelangkaan pemikir dan pencatat kebudayaan itu menyebabkan historisitas kesenian Semarang menjadi marjinal. Realitas ini sungguh ironis mengingat Semarang memiliki lembaga tinggi pendidikan seni rupa Unnes. Inilah salah satu fakta penghambat mengapa potensi seni rupa kota Semarang – tentu saja dengan segenap plus-minusnya – kurang bergaung dalam jangka waktu yang lama. Belum lagi memikirkan relasi horisontal antarseniman yang tak selalu berkoinsidensi secara baik.
Salah satu batu sandungan terbesar, mengapa Semarang terasa mati suri, ialah tiadanya praktik dialektika yang menawan. Maka tatkala ada media massa lokal yang menyediakan ruang dialog, segera saja sebagian seniman tercerahkan. Namun pada sisi sebaliknya diskursus yang muncul semakin meminggirkan mereka oleh sebab disparitas intelektualitas yang teramat jauh. Bahkan berdasar sinyalemen AS Kurnia, Semarang tidak pernah punya tradisi kreatif yang memadai. Ini satu fakta yang mungkin juga terjadi di banyak kota di Indonesia.
Di samping minimnya pergumulan intelektualitas, tipisnya jejaring antarseniman antarkota atau wilayah juga meminggirkan Semarang dalam konstelasi seni rupa kontemporer nasional. Dalam konteks ini tak terlihat peran yang menonjol dari lembaga-lembaga kesenian plat merah, seperti Dekase atau DKJT. Sungguh mengherankan, dengan peran yang tidak jelas toh mereka tetap dipertahankan eksistensinya melalui kucuran dana rakyat (yang mungkin tak sedikit pula).
Komitmen dan Integritas
Penyanggah seni rupa kota Semarang, meski karut-marut, sebenarnya menampakkan kecukupan infrastruktur kesenian yang ideal. Jika Semarang masih terseok tak dikenal, maka tidak bisa lain, seluruh elemen penyanggah medan sosial seni harus bersinergi untuk meningkatkan harkat dan posisi tawar potensi lokalitasnya, meskipun suatu praktik sinergis tak selalu wajib berwajah monografis.
Lembaga-lembaga plat merah yang ada lebih baik diarahkan pada semacam think-tank, sehingga mampu memetakan potensi lokal dan mengonstruksi arah perkembangan seni kota mengacu pada dinamika seni rupa global. Idealnya mereka berfungsi sebagai perancang cetak biru kesenian yang visioner, bukan hanya sebagai operator acara-acara musiman saja.
Unnes pun seyogianya membaca tanda-tanda zaman, sehingga mampu melahirkan tidak saja pendidik seni namun sekaligus seniman yang mumpuni. Pada saatnya nanti kelulusannya akan diakomodasi oleh ruang seni yang berserak secara layak.
Ruang-ruang seni formal idealnya menyajikan tak hanya karya-karya kanonik yang money-valued saja, melainkan juga merangsang tumbuhnya ekspresi seni yang worth-valued sekalipun melawan arus. Sekadar peristiwa seni kecil pun cukup berarti jika dilatari semangat atau konsep pemikiran (school of thought) yang fundamental. Sebab, saya yakin, peran ruang seni semacam itu masih dominan dan mampu membelokkan suatu kecenderungan seni suatu kota. Pada titik inilah, saya harap, para seniman tak mudah tergiur dan terbutakan mata-pikirannya oleh ruang-ruang tertentu yang hanya memproduksi peristiwa seni yang kemedol.
Pada tingkatan produsen atau kreatornya, tentu saja, diharapkan lahir kreasi yang menarik dan pemikiran yang serius. Kreator dituntut agar lebih banyak menampilkan aksi seninya ketimbang berkasak-kusuk menelorkan isu atau sentimen yang tidak produktif. Relasi horisontal wajib dibangun di atas prinsip egaliterianisme, bukan cuma perebutan kuasi-legitimasi sesaat. Sejatinya, hanya kepada para seniman-yang-bertanggung-jawab seni rupa suatu kota bergantung; bukan para seniman umuk yang selalu sumuk membual.
Untuk Semarang, saya kira, para seniman dan seluruh penyanggah seninya masih perlu diuji oleh sang waktu agar bisa tampil ke ruang yang lebih luas. Faktor sangat penting, hemat saya, ialah perihal manajemen seni dan komitmen pada gagasan serta perjuangan kesenian yang tak selalu harus berlabuh pada praktik seni mainstream. Keyakinan semacam ini pun, di tengah-tengah minimnya modal kapital dan gersangnya apresiasi pada idealisme kerja kebudayaan yang tak-berkesudahan, pantas diuji oleh sang waktu.
Satu hal sangat jelas, bahwa Galeri Semarang dengan sejumlah pamerannya, meskipun bukan faktor determinan satu-satunya, sejauh ini cukup mengusik naluri kreatif seniman lokal. Ruang pamer itu – dengan kecenderungan apresiasi nilai ekonomis seni yang cukup kuat – secara tidak langsung juga telah mencirikan suatu kota yang ada aktivitas seni rupanya. Ruang-ruang lainnya, maaf, belum terdeteksi secara jernih.
Catatan ini, pada ujungnya, tak bisa lain harus menyebutkan eksistensi Rumah Seni Yaitu (RSY). RSY dipandang sebagai ruang yang lebih cair, tidak rigid, dalam hal produksi seninya, yaitu visual arts dengan keberagaman wujudnya. Imbasnya: RSY menjadi satu-satunya ruang seni rupa di Semarang yang mudah dan banyak diakses oleh publik sekalipun mereka awam tentang kesenirupaan.
Oleh kehadiran RSY perbincangan seni rupa kota Semarang telah memasuki babakan baru.
Tubagus P. Svarajati
Pengelola Rumah Seni Yaitu:
No comments:
Post a Comment