Saturday, January 5, 2008

Untuk Hargo (dengan harapan seniman tak bersembunyi)

1988 Dua jam sebelum pembukaan pameran itu, listrik mati; saya selesaikan persiapan konsumsi dengan penerangan lilin. Lima menit menjelang pembukaan, lampu nyala!
Mella Jaarsma

KITA tahu, Mella adalah seniman dan – bersama suaminya, Nindityo Adipurnomo – mendirikan ruang yang kini bernama Rumah Seni Cemeti. Sepenuhnya saya yakin, dunia seni rupa kontemporer Indonesia berutang banyak kepada keduanya dan ruang yang lazim disebut Cemeti saja itu.

Jauh sebelumnya seni rupa Indonesia hanya beredar di beberapa galeri komersial saja. Sulit kiranya membayangkan bagaimana seorang seniman muda, katakanlah seperti Hargo yang mengaku bekerja sebagai pelukis itu, untuk bisa berpameran di tempat-tempat itu. Cemeti membuktikan sebaliknya. Di sana, terutama ketika masih menempati rumah mungil di Ngadisuryan 7A, seniman muda gampang berpameran. Saya sempat menyaksikan pameran tunggal AS Kurnia di sana. Ia mengeksplorasi rerantingan dan kini seni rupa seperti itu diistilahkan sebagai instalasi dinding. Jika tak salah itu pameran tunggalnya yang kedua di Cemeti, sekitar 1990-an awal.

Pada tahun 1988 itu, ketika suatu malam listrik mati, sedang diadakan pameran perdana dan sekaligus mengenalkan ruang pamer Cemeti. Ada lima seniman muda yang menjejakkan sejarahnya, yakni: Eddie Hara, Heri Dono, Harry Wahyu, Mella dan Nindityo. Menurut catatan Mikke Susanto (Pigura dan Sejarah Tersembunyi dalam “15 Years Cemeti Art House Exploring Vacuum”, Cemeti Art House: 2003), ruang pamer itu telah berganti nama sebanyak empat kali. Cemeti kemudian menjadi Cemeti Modern Art Gallery (November 1989), Cemeti Contemporary Art Gallery (Maret 1994), dan Cemeti Art House (1999).

Dengan menyebutkan sekilas sejarah Rumah Seni Cemeti, tentu tidak ada niatan ingin mengultuskannya, saya hanya ingin kita semua secara adil menghargai jerih payahnya selama 20 tahun mengelola ruang pamer itu.

Saya paham benar bagaimana sulitnya mengelola suatu ruang pamer secara konsisten dan yang terus bertumbuh. Hal yang sama saya alami pula tatkala mendirikan dan mengoperasikan Rumah Seni Yaitu, padahal RSY baru berusia dua tahun lewat lima bulan. Ini tentu tidak sebanding dengan jalan panjang – dua puluh tahun – yang sudah ditempuh oleh Cemeti.

Agaknya lebih mudah membangun gedung RSY. Uang empat ratus juta terasa sedikit jika ditakar dengan biaya operasional – ingat, biaya tak cuma ongkos, namun terhitung pula keringat yang bercucuran! – ketika menjalankan program-program RSY selama ini. Sejatinya belum tampak reward – dalam kalkulasi bisnis – yang berarti dari rumah seni di Kampung Jambe itu. Akan tetapi, perlu saya tuliskan di sini, meski dengan kerendahan hati, penghargaan terbesar dan berkesan ialah tatkala para seniman kondang berduyun-duyun datang dan membuat proyek seninya di RSY. Tentu saja saya sama sekali tidak menafikan mereka yang sedang tertatih-taih menapaki jalan keseniannya.

Bagi seniman papan atas atau sekelas Hargo sekalipun, misalnya, tak pernah pintu RSY tertutup. Pintu itu selalu terbuka mengundang siapa saja untuk membabarkan gagasan dan praktik berkesenian yang berarti bagi masyarakatnya. Ingat-ingat pula, saya tidak akan pernah percaya bahwa berkesenian cuma wilayah sakral bagi mereka yang disebut seniman.

Saya yakin, akan tetapi mohon dengan segala hormat agar kepercayaan ini tidak diartikan sebagai kepongahan, bahwa: RSY telah dan sedang memberikan kontribusi positifnya terhadap art-world kota Semarang. Bukankah hal ruang mediasi – sebut saja galeri – yang berserak banyak, dengan semua cacat atau kelebihan ideologi berkeseniannya, pantas dicatat sebagai bagian dari dinamika praktik berkesenirupaan kota? Meskipun kita sadar, ada juga ruang-ruang yang tidak jelas arah dan kehilangan semangatnya.

Ruang-ruang berkesenian, meski tidak harus dibatasi oleh empat dinding kukuh, sudah semestinya ditumbuhkan terus-menerus dan menjadi tempat bereksperimentasi. Kendati dalam skala kecil dan playful.

Oleh karena itu, harapan saya, ruang seperti RSY atau lainnya pantas dirawat sepenuh minat oleh semua pemangku kepentingan seni rupa kota. Ruang-ruang mediasi itu layak dianggap sebagai mitra. Bukan sebaliknya, dimusuhi dan dicerca sebagai ruang hegemonik dan ditakuti memangsa kreativitas seniman.

Saya tidak pernah paham, bagaimana menjelaskan perilaku seniman tertentu yang menolak ruang dengan alasan sumir dan dicekam paranoia akut. Semestinya ditilik secara jernih: adakah selama ini para seniman itu – tentu saja ini tidak menggeneralisasi semua seniman – telah mendiskusikan gagasannya kepada pengelola ruang bersangkutan. Dalam jalan yang lebih sederhana, bisakah para seniman itu menjajakan gagasan atau produk seninya secara santun. Hal itu sebenarnya mengenai telisik tata-krama. Sebab, kita paham, seniman adalah suatu profesi dan sebagaimana profesi lainnya tak menyandang privilese berlebihan.

Komunikasi, pada hakikatnya, tak pernah jauh dari upaya serius – dan terus-menerus tak kenal lelah – mengeliminasi semua keterbatasan yang menghadang para pihak. Saya mengandaikan suatu dialog yang mengabaikan diferensiasi ras, gender, atau kelas. Bahkan tak ada hierarki atau dikotomi usia dalam kamus saya. Juga tak ada pusat kekuasaan.

Pada konteks inilah – apa yang disebut sebagai pusat kekuasaan – kita perlu mencermati seperlunya. Umumnya kita beranggapan bahwa sebuah pusat legitimasi sudah selayaknya hadir dan membaptis apa-apa yang kita lakukan di sini, di Semarang. Dan pusat kekuasaan seni rupa itu, tidak lain, adalah Jakarta-Jogja-Bandung. Di luar itu adalah periferi.

Tetapi, bukankah Jakarta-Jogja-Bandung adalah pertanda lokasi saja. Nirwan Dewanto menyebutkan: pusat kesenian kini hanyalah benar-benar sebuah keterangan tempat. Bahkan ia (Pusat yang Meluruh dalam “Senjakala Kebudayaan”, Bentang: 1996) menandaskan, pusat kesenian itu identik sebagai seniman, dan “seniman bukan lagi legislator dunia,” katanya.

Itulah alasannya mengapa saya – dalam konteks pengelolaan RSY – lebih menghargai kaum apresian ketimbang sejumlah seniman yang berhumbalang dengan kepongahannya, yang menyeolahkan: RSY bukan apa-apa dibandingkan dengan diri dan keseniannya itu. Bagi saya jelas: RSY tidak hendak tunduk kepada pusat seperti itu.

RSY hendak menyejajarkan dirinya – dengan paham egaliter dan moderat – bersama pusat yang lain. Akan tetapi, saya dan RSY hendak menjadi pusat yang menunduk. Kami menunduk takzim di hadapan persahabatan yang dilandasi oleh semangat dialektika. Kami bersemangat menolak rezimisasi atau kolonisasi gagasan sekalipun. Kami ingin kita duduk sama tinggi dan berdiskusi menepis kecurigaan: bahwa kami hendak mengkooptasi sekalipun isi kepala anda.

Bahwa pada perjalanannya, ketika saya mengelola RSY dengan sepenuh cinta dan dana, tak bisa dihindari kesan lahirnya sebuah kekuasaan yang menakutkan. RSY telah menjadi tanda hegemonik dan itupun dengan gerakan yang tidak membumi pula, kata orang. Tentang hal keduanya, saya tidak paham benar, karena: saya tidak pernah berangan dan oleh karenanya mengerucutkan kegiatan RSY sekadar menjadi lembaga yang teledor dan menggiriskan hati seniman pemula (seperti Hargo, misalnya). Juga, saya tidak paham tentang gerakan membumi jika itu sekadar kegiatan tak berujung pangkal yang didasari ideologi proletariat yang rapuh.

Di ruang RSY itu kami berharap kita semua menjadi diri kita sendiri: dengan warna-warni cemerlang pula. Artinya, kami menolak keseragaman berpikir termasuk pula menggugat linearitas bentuk kesenian. Bagi kami: kesenirupaan bukan hanya lukisan. Kesenirupaan adalah wilayah luas arena ekspresi kelimun: seniman dan apresian.

Terkait dengan pluralitas bentuk kesenirupaan kota, lihatlah dengan jujur, bukankah telah berserak sejumlah seniman muda dengan ragam praktik artistika yang berlainan. Dan saya percaya, termasuk Anda kiranya jika hendak bersikap jujur, bahwa sedikit atau banyak ada peran RSY dan saya di sana. Jika benar demikian, bukankah ini bukti bahwa ruang itu juga telah mendiseminasikan gagasan dan praktik keseniannya kepada khalayak seniman itu.

RSY dan saya tidak pernah hendak mencuri popularitas atau sekalipun menggali ladang sekalian anda. Bahkan sebaliknya, datang dan manfaatkanlah pengalaman kami untuk kian menggelembungkan praktik berkesenian sekalian seniman seni rupa Semarang.

Jangan harap seketika, dan serta-merta, sekalian praktik estetik seseorang seniman terangkat ke permukaan. Saya meyakini, bahwa praktik estetika yang menjurus kemudian menjadi basis ideologi berkeseniannya adalah suatu proses panjang. Dan suatu proses memerlukan upaya – dan dalam tempo – yang panjang. Akan tetapi, di lubuk terdalam saya, ada harapan bahwa upaya dan tempo panjang itu bisa dipersingkat. Kita menyinggung tentang strategi dan manajemen berkesenian. Pada ruas-ruas inilah, barangkali, Anda bisa mempercayai pengalaman RSY dan saya.

Kepada engkau, kritisisme – yang selama ini terbersit dan melekat erat pada sikap dan tindakan – perlu disemai agar bertumbuh, menajam, dan tidak meluruh. Skeptisisme, itu yang saya lakukan selama ini: melihat problematika dengan kedalaman. Jangan heran atau tersudut, sungguh, saya tidak berniat buruk ketika melakukan praktik tekstualitas.

Hargo, risalah ini saya tuliskan dengan harapan engkau – dan sekalian seniman yang bergejolak untuk bertumbuh – bersedia datang dan berdiskusi untuk memunculkan gagasan-gagasan segar. Jelas: ruang RSY ada untuk kian mengada bersama engkau.

Saya ingin listrik tidak tiba-tiba mati dan, sejurus kemudian, tiba-tiba pula lampu nyala. Saya ingin semangat Cemeti tetap melecut RSY dan saya: kami senang mencongklang…***

No comments: