Sunday, February 17, 2008

Menjadi Kritikus ala Diane Loving

Photography: William Kwan


“TAK seorang pun ingin terlihat tidak berpendidikan, khususnya ketika menghadapi pokok bahasan yang elegan ini, yakni seni rupa,” kata Diane Loving. Kita, di sini: Semarang, tak pernah mendengar nama Diane Loving dibincangkan.

Akan tetapi, meski tidak kita kenal, dan entah seberapa terkenal Loving di belahan bumi lainnya, barangkali baik kita simak pendapatnya tentang bagaimana menjadi seorang kritikus seni (rupa). Siapa tahu kita menjadi ahlinya di bidang kesenirupaan. Dan Loving menyambung lagi kalimatnya, “Mungkin itulah mengapa percakapan di galeri atau di museum seni dilakukan dengan nada pelan.”

Diane Loving seorang seniman, kritikus seni, dan pengajar studi umum di Kolese Brown Mackie, Tucson. Loving juga seorang ilustrator yang telah menerbitkan lima buku ilustrasi dan animasinya sendiri. Dia yakin, setiap orang bisa menjadi kritikus seni yang dihargai dengan sedikit bantuan dari empat-langkah yang akan ditunjukkannya. Langkah-langkah itu akan “Mengubah ‘kritikus seni amatir’ yang biasa-biasa saja menjadi seorang ahli seni yang penuh percaya diri,” imbuhnya.

“Semua seniman harus membekali diri dengan keahlian kritik seni. Meski sederhana, empat langkah itu menggulirkan banyak gagasan tentang satu karya seni, menghasilkan pemikiran yang baik secara deduktif mengenainya. Proses itu niscaya digunakan saat mengkritisi karya-karya Anda sendiri atau karya orang lain,” tegas penyandang Master in Teaching dan B.A. dalam Sejarah Seni itu.

Langkah 1: Katakan Apa yang Anda Lihat
Kuncinya ialah menjelaskan (secara rinci) suatu karya seni itu. Untuk melakukan hal itu, Anda harus benar-benar menelisik karya itu, dan catat sebanyak mungkin detil-detilnya sehingga Anda bisa menguraikannya. Ingat, proses itu bukan satu balapan! Tenang dan dekati secara intim karya seni itu. Makin banyak detil yang Anda ambil, akan makin mudah Anda mengatakan apa yang dilihat.

Langkah 2: Analisa dan Sintesa
Kajilah menyeluruh dan sistematis detil-detil yang tersebar itu, yang menyerupai papan teka-teki, dan perhatikan elemen-elemen yang mendukung suatu karya. Adakah warna-warna yang menyenangkan? Garis-gemaris yang yang menarik? Perhatikan permainan bentuk atau polanya. Apakah bentuk dan pola itu seimbang? Apakah pusat perhatiannya? Saat Anda menganalisa detil-detilnya, gabungkan (detil-detil secara bersama) dan cermati bagaimana elemen-elemen individual itu mempengaruhi keseluruhan komposisi.

Langkah 3: Keberanian suatu Interpretasi
Apa yang Anda pikirkan tentang suatu lukisan? Apakah Anda pikir si seniman sedang berbicara dengan Anda secara pribadi? Ingat, Anda tidak salah jika menggunakan pernyataan-pernyataan “aku”, seperti “Aku terhasut oleh penggunaan yang berlebihan warna-warna cerah itu,” atau “Pemandangan ini mengingatkan aku pada danau tempat bermainku ketika aku kecil di Maine.” Danau itu mungkin ada di Timbuktu, namun fakta-fakta adalah hal yang mengecoh di dalam seni. Interpretasi Anda absah jika diekspresikan secara personal dan didukung oleh langkah satu dan dua di atas.

Langkah 4: Anda adalah sang Hakim
Bagian yang menyenangkan! Jawablah secara sederhana; apakah Anda suka pada karya seni itu? Gunakan tiga langkah pertama untuk mendukung penilaian Anda, dan Anda tidak akan salah. Pendapat-pendapat dari para kritikus seni “profesional” tidak lagi lebih penting ketimbang pendapat Anda sendiri. Tak pernah ada satu pun karya seni, secara universal, yang dicinta atau dibenci. Jadi, apapun pendapat Anda, Anda adalah bagian dari kalangan kritikus baik lainnya, di suatu tempat.

Pokok-pokok pikiran Diane Loving itu bisa disimak di situs http://painting.suite101.com/article.cfm/how_to_be_an_art_critic. Empat jurusnya tidak lain bisa diperas menjadi, seperti ini: deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi. Dan banyak sekali buku tentang kritik seni yang mendedahkan pokok-pokok bahasan yang mirip Loving.

Seturut Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Parahyangan Bandung, orang kini cenderung berhenti pada hanya unsur ‘interpretasi’, pada tahap ‘evaluasi’ orang menjadi sangat ragu-ragu. Itu tidak lain dikarenakan ketidakjelasan parameter dan paradigma kritik seni. Agaknya dia hendak mengatakan bahwa ‘kritik seni’ kita sekarang melempem.

Dan kita tahu, apa yang disebut ‘kritik’ itu adalah sampar bagi sebagian seniman yang, barangkali, tidak pernah hendak paham bahwa hakikat kritik adalah karib-kreatif baginya. Kritik, sebetapapun pedasnya, pantas disimak dan disikapi secara rileks.

Sungguh aneh, bagaimana suatu kritik bisa membuat yang tertuju seakan mati langkah, daya, dan pikir. Barangkali orang-orang ini, yang tak tahan kritik, melupakan satu hal: kritik adalah petuah gratis.

Mengherankan pula, bagaimana mungkin orang-orang yang mendaulat dirinya sebagai kritikus, ahli seni, atau kurator – jelas saya sedang bicara tentang kondisi di sini, di Semarang – nyaris nihil menuliskan dan mempublikasikan pandangannya, bahkan tak pernah. Lantas, bagaimana publik mampu membaca: tentang suatu harkat, nilai, atau kompetensi?

Kiranya para kritikus, ahli seni, atau kurator seni rupa – di Semarang! – tak cuma gemar mengumbar kata, namun piawai pula mempublikasikan opininya. Bagaimana, bisa?***

No comments: