Judul:
Seni Rupa Modern Indonesia
Esai-esai Pilihan
Penyunting:
Aminudin TH Siregar
Enin Supriyanto
Penerbit:
Nalar, Jakarta
Cetakan:
Pertama, November 2006
Tebal:
xxii+336 halaman
KAPAN seni rupa modern Indonesia layak ditengara? Ada dua jawaban berbeda. Trisno Sumardjo (dan Rivai Apin) menyatakan, bahwa seni rupa modern Indonesia dimulai dari S. Sudjojono melalui pendirian Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), 1938. Sebaliknya, Dan Suwaryono, meyakini titik itu berawal dari Raden Saleh.
Bagi Sumardjo, S. Sudjojono adalah orang Indonesia pertama yang dengan sadar memahami hakikat seni, tepatnya seni lukis, dengan teknik dan langgam baru serta visi sesuai dengan semangat zaman. S.S. 101, demikianlah ia menyebut dirinya, membuka halaman baru dalam sejarah seni lukis Indonesia, lanjut Sumardjo.
Pendapat Dan Suwaryono lain lagi. Kritikus ini menyakini, sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia ialah Raden Saleh. Ia pelukis Indonesia pertama yang mengekspresikan gagasan dan pemikirannya dengan cara Barat; melukis secara realistis dalam corak renaisans dengan mengambil teknik dan gaya baru. Adanya ‘unsur antarhubungan dan antarpengaruh sebagai kenyataan historis dalam sejarah seni lukis Indonesia kontemporer’ membuktikan bahwa ‘seni lukis Indonesia modern berpangkal tolak dari Raden Saleh dan bukan dari S. Sudjojono’.
Penyair Rivai Apin, dalam suatu kesaksiannya, menyatakan bahwa S. Sudjojono yang membalikkan iklim kepenyairan pada kedudukannya semula, yakni ‘bahwa suatu lukisan adalah juga suatu pengertian’. Seni rupa modern adalah suatu pengertian, tandas Rivai Apin.
Yang dimaksud dengan ‘pengertian’ adalah sebuah kesadaran (individu) memahami sang ‘aku’. Sebelumnya, kesadaran itu belum ada dan masih terpengaruh kolektivisme ragam tradisi. Kolektivisme itu ternyata telah mematikan cita-cita serta bakat perseorangan, karena memaksanya menganut sistem tata-tertib, tata susila dan pendidikan yang diperlukan oleh minoriteit yang berkuasa. Inilah latar pemikiran Apin yang menandai adanya kesadaran ke’aku’an sebagai penanda lahirnya seni lukis (atau rupa) modern Indonesia.
Perbincangan tentang titik berangkat seni rupa modern Indonesia, sedikit-banyak, tercermin dari polemik pemikiran di atas. Diskursus itu termasuk yang tergabung dalam satu buku kumpulan tulisan, dari berbagai sumber, bertajuk “Seni Rupa Modern Indonesia” yang disunting oleh Aminudin TH Siregar dan Enin Supriyanto.
Dalam keyakinan Aminudin TH Siregar, sangat mungkin perkembangan seni rupa modern kita bisa dilacak dari esai-esai yang bertebaran di koran atau majalah lama kita. Inilah keunikan sejarah seni rupa modern kita.
Bagi Sumardjo, S. Sudjojono adalah orang Indonesia pertama yang dengan sadar memahami hakikat seni, tepatnya seni lukis, dengan teknik dan langgam baru serta visi sesuai dengan semangat zaman. S.S. 101, demikianlah ia menyebut dirinya, membuka halaman baru dalam sejarah seni lukis Indonesia, lanjut Sumardjo.
Pendapat Dan Suwaryono lain lagi. Kritikus ini menyakini, sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia ialah Raden Saleh. Ia pelukis Indonesia pertama yang mengekspresikan gagasan dan pemikirannya dengan cara Barat; melukis secara realistis dalam corak renaisans dengan mengambil teknik dan gaya baru. Adanya ‘unsur antarhubungan dan antarpengaruh sebagai kenyataan historis dalam sejarah seni lukis Indonesia kontemporer’ membuktikan bahwa ‘seni lukis Indonesia modern berpangkal tolak dari Raden Saleh dan bukan dari S. Sudjojono’.
Penyair Rivai Apin, dalam suatu kesaksiannya, menyatakan bahwa S. Sudjojono yang membalikkan iklim kepenyairan pada kedudukannya semula, yakni ‘bahwa suatu lukisan adalah juga suatu pengertian’. Seni rupa modern adalah suatu pengertian, tandas Rivai Apin.
Yang dimaksud dengan ‘pengertian’ adalah sebuah kesadaran (individu) memahami sang ‘aku’. Sebelumnya, kesadaran itu belum ada dan masih terpengaruh kolektivisme ragam tradisi. Kolektivisme itu ternyata telah mematikan cita-cita serta bakat perseorangan, karena memaksanya menganut sistem tata-tertib, tata susila dan pendidikan yang diperlukan oleh minoriteit yang berkuasa. Inilah latar pemikiran Apin yang menandai adanya kesadaran ke’aku’an sebagai penanda lahirnya seni lukis (atau rupa) modern Indonesia.
Perbincangan tentang titik berangkat seni rupa modern Indonesia, sedikit-banyak, tercermin dari polemik pemikiran di atas. Diskursus itu termasuk yang tergabung dalam satu buku kumpulan tulisan, dari berbagai sumber, bertajuk “Seni Rupa Modern Indonesia” yang disunting oleh Aminudin TH Siregar dan Enin Supriyanto.
Dalam keyakinan Aminudin TH Siregar, sangat mungkin perkembangan seni rupa modern kita bisa dilacak dari esai-esai yang bertebaran di koran atau majalah lama kita. Inilah keunikan sejarah seni rupa modern kita.
***
Suatu kali, seseorang berkebangsaan Belanda, J. Hopman, menulis artikel berjudul ‘Toekomst van der Beeldende Kunst in Indonesie’ (Masa Depan Seni Rupa di Indonesia) di majalah berbahasa Belanda Uitzicht, edisi Januari 1947. Setelah melihat sebuah pameran di Batavia Kunstkring (pameran Persagi kedua, menurut kritikus Sudarmadji), Hopman menuliskan pendapatnya, “Seni lukis itu belum ada dan untuk sementara waktu dia juga tidak ada…. Belum dapat dikatakan bahwa seni lukis Indonesia sudah ada.”
Sontak saja sangkalan itu disergap oleh S. Sudjojono. Dalam artikel “Kami Tahu Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa” (Majalah Revolusioner No. 4 dan 5), juru bicara Persagi itu meradang “… tentang bagaimana seni lukis Indonesia yang akan datang kita bangsa Indonesia cukup cakap untuk mengaturnya sendiri…. Dan kalau sekarang bangsa Belanda yang di Uitzicht mau utik-utik tentang hal itu, kita tidak butuh campur tangan mereka. Mereka tidak pernah dalam tempo kurang lebih 350 tahun membuktikan, bahwa mereka cakap juga di dalam soal ini.”
Sontak saja sangkalan itu disergap oleh S. Sudjojono. Dalam artikel “Kami Tahu Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa” (Majalah Revolusioner No. 4 dan 5), juru bicara Persagi itu meradang “… tentang bagaimana seni lukis Indonesia yang akan datang kita bangsa Indonesia cukup cakap untuk mengaturnya sendiri…. Dan kalau sekarang bangsa Belanda yang di Uitzicht mau utik-utik tentang hal itu, kita tidak butuh campur tangan mereka. Mereka tidak pernah dalam tempo kurang lebih 350 tahun membuktikan, bahwa mereka cakap juga di dalam soal ini.”
***
Dinamika seni rupa Indonesia tercermin jelas dalam kumpulan esai ini. Menurut penyunting, tulisan-tulisan berasal dari sejumlah majalah dan koran yang terbit tahun 1930an dan kurun 1940-1970an. Esai tertua bertarikh 1041 dan termuda 1976. Namun ada beberapa yang tidak bertahun.
Esai-esai itu tidak diurutkan berdasarkan rentang sejarahnya (urutan waktu), namun dititikberatkan pada sebuah pemahaman. Dengan begitu, kilah penyunting, buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, namun (hanyalah) bahan pengantar bagi perbincangan seni rupa modern Indonesia.
Ada 40 artikel dengan isu beragam dalam buku ini. Boleh dikata semuanya masih punya relevansi gagasan, penetrasi politik, dan dampak sosial pada isu-isu kreativitas atau produksi estetik para seniman kita. Ini buku sangat baik untuk menyegarkan ingatan siapa saja yang terlibat dalam medan sosial seni Indonesia.
Akan lebih lengkap jika buku ini diimbuhi indeks dan bahan bacaan lanjutan untuk memudahkan dan meluaskan pemahaman atau kajian. Riwayat para penulis perlu diketengahkan guna menunjukkan ketokohannya.
Kedua penyunting dikenal sebagai kurator seni rupa andal. Selain itu, Aminudin TH Siregar adalah pengajar di FSRD-ITB Bandung dan Enin Supriyanto adalah redaktur majalah C-Arts. (Tubagus P. Svarajati)
Esai-esai itu tidak diurutkan berdasarkan rentang sejarahnya (urutan waktu), namun dititikberatkan pada sebuah pemahaman. Dengan begitu, kilah penyunting, buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, namun (hanyalah) bahan pengantar bagi perbincangan seni rupa modern Indonesia.
Ada 40 artikel dengan isu beragam dalam buku ini. Boleh dikata semuanya masih punya relevansi gagasan, penetrasi politik, dan dampak sosial pada isu-isu kreativitas atau produksi estetik para seniman kita. Ini buku sangat baik untuk menyegarkan ingatan siapa saja yang terlibat dalam medan sosial seni Indonesia.
Akan lebih lengkap jika buku ini diimbuhi indeks dan bahan bacaan lanjutan untuk memudahkan dan meluaskan pemahaman atau kajian. Riwayat para penulis perlu diketengahkan guna menunjukkan ketokohannya.
Kedua penyunting dikenal sebagai kurator seni rupa andal. Selain itu, Aminudin TH Siregar adalah pengajar di FSRD-ITB Bandung dan Enin Supriyanto adalah redaktur majalah C-Arts. (Tubagus P. Svarajati)
1 comment:
Artikel mengenai seni modern Indonesia yang sangat menarik.
Thanks for share
Post a Comment