DARI Sydney, Triyanto Triwikromo berkirim e-mail: “Setelah melihat beberapa aktivitas kesenian di beberapa negara, saya kian melihat galeri Anda terlalu mewah ha ha ha…”
TT –begitu ia akrab disapa– seakan-akan sedang bercanda, meski terasa mengiris. Dan ia tak hanya berhenti di situ, sastrawan ‘sayap malaikat’ itu melanjutkan, seperti mengeluh: “Sayang tidak setiap saat galeri itu dimanfaatkan oleh siapa pun.”
Saya mengenal TT kira-kira delapan atau sembilan tahun lalu. Ketika itu kami meliput suatu acara di kaki gunung Merapi, Magelang. Oya, saat itu saya koresponden majalah fotografi FOTOmedia. Saya berangkat ke sana, dari Semarang, bersama Chandra Adi Nugroho, fotografer Kompas. Usai acara, Chandra bertolak ke Yogya. Saya pun berniat pulang sendiri. Mengetahui saya langsung ke Semarang, TT lantas ikut semobil. TT mengejar tenggat.
Di tengah jalan, mungkin sekitar dusun Jambu, terjadi kemacetan luar biasa. Mobil kami terjepit di antara kendaraan lainnya. Kami memutuskan berbelok arah dan mengikuti satu mobil omprengan mencari jalan alternatif. Kami melewati jalanan tanah merah di tengah kerindangan kebun kopi. Cukup jauh kami menerabas kebun kopi itu. Akhirnya kami sampai dekat rumah makan “Kopi Eva”. Malang benar, deretan mobil mengular juga di sana. TT mengambil inisiatif: ia turun dari mobilku dan –berlagak seperti kernet– ia hentikan mobil-mobil dari dua arah. Mobil kami pun meluncur mulus dari kebun kopi dan riang melenggang pulang. Jika ingat kejadian itu saya merasa TT memang punya bakat khusus.
Di mobil kami bercakap ngalor-ngidul. Yang masih teringat, ia sungguh mensyukuri hidupnya. Sebentar lagi ia mendapat kemuliaan ke Tanah Suci, katanya. Hebatnya, keberangkatannya itu atas kebaikan seseorang kawan. Ia tidak mengeluarkan biaya sedikit pun.
Ya Allah, berkatMU.
Setelah perjalanan panjang semobil itu kami tidak sering berjumpa. Kemudian saya mendengar dia telah menyandang gelar haji. Bukti ia ke Tanah Suci ditunjukkannya dengan merilis beberapa fotonya –di Suara Merdeka– ketika dia di sana. Ada satu foto yang mengesankan saya: seseorang sedang menulis di batu cadas. Foto itu seperti sumpah seseorang setelah menemukan Tuhannya.
Intensitas berkeseniannya –sastra– kian meningkat. Ia mendapat apresiasi yang baik dari kalangan sastra Indonesia. Saya kira, TT sastrawan Semarang yang paling berhasil dalam merebut kepercayaan persastraan Tanah Air. Puncak pergaulannya di dunia sastra ialah: ia diundang ke sekian negara lain.
Pergaulannya di ranah kesenian lain, seperti seni rupa, pun tampak menarik. Ia cukup dikenal oleh perupa-perupa Yogya. Pada akhirnya ia pun punya atensi khusus pada dunia seni rupa itu. Fakta itulah, antara lain, yang membuat saya yakin ia pantas menjadi salah satu kurator pada pameran Pra Bali Biennale 2005. Dia dan saya mengkurasi pameran itu yang merupakan bagian dari Bali Biennale (“Space and Scape”) yang pertama. Pameran itu bertajuk “Ruang:Tanda” dan menandai kelahiran Rumah Seni Yaitu, Jumat, 19 Agustus 2005.
Dan TT yang saya kenal, yang pernah numpang di mobilku, kian cemerlang saja nasibnya. Sudah barang tentu karena kerja kerasnya. Ia terbang meninggalkan –jauh, jauh dan tinggi sekali– sastrawan Semarang lainnya.
Saya ingin membagi penggal e-mailnya yang lain untuk kalian. Saya kira, pikirannya layak kita simak bersama. Pastikan mencermati dengan kepala dingin. Siapa tahu ia bermanfaat.
TT: “Saya bayangkan jika semua seniman semarang setiap hari mau memamerkan karya --mungkin dua sampai lima-- di RSY, aduh setiap saat juga orang bisa "memeriksa", "menyapa", "membaca" tubuh seni orang Semarang. Mengapa tak tumbuh kesadaran semacam itu ya?”***
TT –begitu ia akrab disapa– seakan-akan sedang bercanda, meski terasa mengiris. Dan ia tak hanya berhenti di situ, sastrawan ‘sayap malaikat’ itu melanjutkan, seperti mengeluh: “Sayang tidak setiap saat galeri itu dimanfaatkan oleh siapa pun.”
Saya mengenal TT kira-kira delapan atau sembilan tahun lalu. Ketika itu kami meliput suatu acara di kaki gunung Merapi, Magelang. Oya, saat itu saya koresponden majalah fotografi FOTOmedia. Saya berangkat ke sana, dari Semarang, bersama Chandra Adi Nugroho, fotografer Kompas. Usai acara, Chandra bertolak ke Yogya. Saya pun berniat pulang sendiri. Mengetahui saya langsung ke Semarang, TT lantas ikut semobil. TT mengejar tenggat.
Di tengah jalan, mungkin sekitar dusun Jambu, terjadi kemacetan luar biasa. Mobil kami terjepit di antara kendaraan lainnya. Kami memutuskan berbelok arah dan mengikuti satu mobil omprengan mencari jalan alternatif. Kami melewati jalanan tanah merah di tengah kerindangan kebun kopi. Cukup jauh kami menerabas kebun kopi itu. Akhirnya kami sampai dekat rumah makan “Kopi Eva”. Malang benar, deretan mobil mengular juga di sana. TT mengambil inisiatif: ia turun dari mobilku dan –berlagak seperti kernet– ia hentikan mobil-mobil dari dua arah. Mobil kami pun meluncur mulus dari kebun kopi dan riang melenggang pulang. Jika ingat kejadian itu saya merasa TT memang punya bakat khusus.
Di mobil kami bercakap ngalor-ngidul. Yang masih teringat, ia sungguh mensyukuri hidupnya. Sebentar lagi ia mendapat kemuliaan ke Tanah Suci, katanya. Hebatnya, keberangkatannya itu atas kebaikan seseorang kawan. Ia tidak mengeluarkan biaya sedikit pun.
Ya Allah, berkatMU.
Setelah perjalanan panjang semobil itu kami tidak sering berjumpa. Kemudian saya mendengar dia telah menyandang gelar haji. Bukti ia ke Tanah Suci ditunjukkannya dengan merilis beberapa fotonya –di Suara Merdeka– ketika dia di sana. Ada satu foto yang mengesankan saya: seseorang sedang menulis di batu cadas. Foto itu seperti sumpah seseorang setelah menemukan Tuhannya.
Intensitas berkeseniannya –sastra– kian meningkat. Ia mendapat apresiasi yang baik dari kalangan sastra Indonesia. Saya kira, TT sastrawan Semarang yang paling berhasil dalam merebut kepercayaan persastraan Tanah Air. Puncak pergaulannya di dunia sastra ialah: ia diundang ke sekian negara lain.
Pergaulannya di ranah kesenian lain, seperti seni rupa, pun tampak menarik. Ia cukup dikenal oleh perupa-perupa Yogya. Pada akhirnya ia pun punya atensi khusus pada dunia seni rupa itu. Fakta itulah, antara lain, yang membuat saya yakin ia pantas menjadi salah satu kurator pada pameran Pra Bali Biennale 2005. Dia dan saya mengkurasi pameran itu yang merupakan bagian dari Bali Biennale (“Space and Scape”) yang pertama. Pameran itu bertajuk “Ruang:Tanda” dan menandai kelahiran Rumah Seni Yaitu, Jumat, 19 Agustus 2005.
Dan TT yang saya kenal, yang pernah numpang di mobilku, kian cemerlang saja nasibnya. Sudah barang tentu karena kerja kerasnya. Ia terbang meninggalkan –jauh, jauh dan tinggi sekali– sastrawan Semarang lainnya.
Saya ingin membagi penggal e-mailnya yang lain untuk kalian. Saya kira, pikirannya layak kita simak bersama. Pastikan mencermati dengan kepala dingin. Siapa tahu ia bermanfaat.
TT: “Saya bayangkan jika semua seniman semarang setiap hari mau memamerkan karya --mungkin dua sampai lima-- di RSY, aduh setiap saat juga orang bisa "memeriksa", "menyapa", "membaca" tubuh seni orang Semarang. Mengapa tak tumbuh kesadaran semacam itu ya?”***
2 comments:
Beberapa perupa Smrg sih sdh keihatan memanen kerja kerasnya ya. Yang lain tak tahulah. Mungkin sudah puas memilih jadi jagoan kandang. Tak apalah. Kadang, hidup itu (tak ada) pilihan (lain)... :-))
Lha gimana bisa memilih?!
Post a Comment