Monday, February 11, 2008

Tentang Buku “Pinter” Seni Rupa Itu

(Resensi Buku)
Judul : Membongkar Seni Rupa
Penulis : Mikke Susanto
Penerbit : Buku Baik & Jendela, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2003
Tebal : x+325 Halaman

PERLUKAH sebuah keindahan dinamai? Dimaknai? Atau digambarkan secara definitif? Lalu bagaimana pula memperbincangkan karya seni yang indah?

Sudah sejak zaman Aristoteles keindahan diberi bermacam nama dan definisi. Filsafat estetika pun berkembang dan menawarkan banyak sekali pemilahan. Tapi, sekarang ini, dalam terminologi seni rupa kontemporer, estetika bukan lagi satu-satunya hal atau tujuan yang perlu dikaji. Bahkan mungkin pula telah “lewat”

Dalam suatu diskusi berkait dengan Biennale Yogyakarta VII-2003 yang baru lalu, perupa Agung Kurniawan ‘mencela’ perupa Yogyakarta yang disebutnya sebagai budak estetik. Pernyataan yang jika diukur oleh orang awam akan menimbulkan kekagetan. Bukankah sumber kesenian ialah estetika itu sendiri? Benarkah estetika sudah demikian basi hingga tidak layak disodorkan dalam suatu karya seni? Lalu, apa parameter sebuah karya seni itu indah atau bukan?

Wacana yang terbangun sekarang ialah persoalan apakah suatu karya seni itu kontekstual. Tidak itu saja, eklektisme sudah jadi kelaziman. Perupa berkarya dengan memanfaatkan semua yang sudah tersedia dan asal comot saja. Tak ada orisinalitas. Yang tersisa ialah adagium seni bukan lagi barang mewah; orang kebanyakan pun mempunyai hak yang sama untuk berkesenian.

Seni yang dipilah menjadi seni tinggi dan seni rendah atau fine art dan applied art, dalam paham modernisme, telah dibongkar hanya sebagai seni yang populis. Seni telah keluar dari menara gading. Maka tak heran secara kasat bentuk seni rupa sekarang tidak lagi mengacu pada craftmanship. Seolah seniman tak perlu lagi mempunyai keprigelan dalam masalah teknis.

Lalu lahirlah penggayaan seni rupa yang ‘seolah-olah’ mengacuhkan teknik. Lihatlah gaya melukis S. Teddy D. yang menyodorkan ‘garis-garis yang malas’.

Cermati pula gambar/drawing Agung ‘Leak’ Kurniawan; betapa hanya garis-garislah, disamping unsur narasi, yang menguarkan emosi seniman bersangkutan. Itulah sumbangsih paham kontemporer saat ini.

Seni gambar tidak lagi dianggap sebagai proses yang belum selesai, bukan lagi hanya digagas sebagai desain atau rencana karya. Gambar berdiri sebagai karya seni rupa itu sendiri. Seni gambar ialah mother of arts, konon.

Dan membicarakan bahasa visual seni rupa kontemporer, komik pun dieskalasikan menjadi bagian dari seni rupa. Tak lagi dipinggirkan hanya sebagai gambar yang berkisah. Pola jukstaposisi tidak lagi dominan dan pembabakan komik semakin bebas saja. Komik Daging Tumbuh, digawangi oleh Eko Nugroho, misalnya, menyajikan karya komik yang tak lazim dalam konteks alur cerita, gambar dan bahkan gagasannya. Seperti inilah gaya komik yang bernilai seni mutakhir.

Wacana Kontemporer
Eksplorasi akan gaya, material, konsep, waktu-ruang, dan bahkan proses dalam seni rupa kontemporer telah menuju titik ketaksaan. Gaya bukan lagi tujuan. Material tak lagi menghambat seseorang perupa untuk berkarya. Konsep tidak lagi sekadar dalam skala yang sederhana, namun telah merambah hal ketakmungkinan dapat menjadi sesuatu yang riil. Dan konsep itu sendiri, yang digagas dalam konteks kesenirupaan, sah diklaim sebagai karya seni. Sebuah karya seni tak lagi harus berwujud kasat. Ide dan gagasan adalah seni.

Waktu dan ruang telah menyempit dari wilayah eksploitasi kreatif seniman kontemporer; bahwa waktu dan ruang bukan lagi hambatan. Ambil contoh berkarya melalui ruang internet. Maka waktu dan ruang menjadi waktu yang terentang dan sekaligus juga terkompresi seperti dalam gagasan Giddens. Karya sekarang hadir tidak lagi harus co-presence, namun sangat mungkin dan pasti juga omni-presence.

Teknologi digital membuka peluang lebar bagi perupa kontemporer. Karya hadir dalam bentuk maya dan di ruang maya pula. Karya bisa menyublim menjadi wacana yang berkembang saja. Isu dalam medan sosial seni rupa sekalipun, bisa jadi, digagas sebagai sebentuk seni tersendiri.

Suatu kali para seniman Slilit Gabah, andaikan saja, merekam keseharian Pasar Beringharjo Yogya dan menyiarkannya live via satelit dan ditayangkan di salah satu ruang MOMA, New York, Amerika Serikat. Maka seni video ini juga sah sebagai karya seni rupa. Bukan sebagai sajian reportase kru televisi.

Kemudian, proses berkarya juga absah sebagai karya seni itu sendiri. Dari sini lahirlah berbagai seni proses, contoh performance art yang melibatkan tidak saja tubuh seniman dan konsep tentang ketubuhannya, tapi juga mengadopsi bentuk karya seni dan hasil budaya manusia lainnya.

Contoh seni pertunjukan mutakhir berlangsung di Hotel Dibia Puri Semarang (“Semarang Koeroeng Boeka”), Oktober silam. Tiga orang performer, di tengah-tengah pertunjukannya, kencing bersama-sama. Ritual kencing bersama itu ditasbihkan sebagai karya seni. Edankah?

Ambiguitas dan keseolahan seni meruah di sekeliling kita. Respons atas lingkungan, material apa adanya, menyikapi problematika kontekstual, dan berbagai pencanggihan konsep dan gagasan melahirkan seni instalasi.

Seni instalasi seni visual yang menggabungkan tidak saja konsep dan gagasan, tapi juga prinsip-prinsip keruangan, arsitektur, musik, tari, teater, video, dan berbagai bentukan lainnya. Maka disebut juga seni multi media. Perupa tidak lagi berkarya dalam seni dua dimensi saja. Karya telah meruang menjadi tiga dimensi, bahkan mungkin dalam dimensi lain. Siapa tahu, dunia paranormal, suatu kali, juga diklaim sebagai bagian dari seni konsep atau seni maya.

Dan bentukan baru dalam seni rupa kontemporer ialah fotografi. Anak tiri ini, karena “kekurangannya” yang berbentuk masinal itu, telah terangkat dan bersanding sebagai seni kontemporer yang sahih.

Lantas, apalagi yang bisa disahkan sebagai keluarga besar seni rupa kontemporer di masa depan?

Buku Baik
Seni rupa modern telah mampus. Benarkah?

Kita tak lagi melihat seni lukis jiwa ketok ala S. Sudjojono, Widayat, Affandi, Dullah, atau Basuki Abdullah sekarang ini. Mereka telah menjadi masa silam, menjadi artefak sejarah, yang disimpan dalam ruang-ruang pribadi kolektor atau museum seni.

Tak ada lagi seni melingkar-meliuk dalam tatahan wayang kulit Jawa atau ornamen tongkonan di Toraja. Seni kontemporer bukan itu lagi.

Seni rupa masa kini ialah sebuah bangunan knock-down dan disebut sebagai Fabriek Galery ala Asmudjo Jono Irianto (dalam proyek Under Construction), tatanan dinding terbuat dari plat baja karya S. Teddy D, dan gulungan kayu bakar karya Anusapati di ruang Societet Militer (keduanya dalam Biennale Yogyakarta VII-2003).

Bingung? Tunggu dulu!

Jika Anda perupa, mahasiswa atau peminat seni rupa, atau awam sekalipun dan ingin mengetahui wacana seni rupa kontemporer, maka bacalah buku Mikke Susanto ini. Mikke seorang penulis seni rupa yang fasih mengutip berbagai teori dan sumber kesenirupaan Barat.

Kumpulan tulisannya, berasal dari berbagai pengantar kuliah untuk mahasiswanya, gamblang memaparkan seluk-beluk seni rupa. Bahasanya renyah, kendati ada kesalahan kecil di sana-sini.

Sungguh, ini buku baik dari Penerbit Buku Baik. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu (7/3/2004)]

2 comments:

Indarto Agung Sukmono said...

ijin copas artikel ini pak Tubagus, terima kasih sebelumnya...

Tubagus P. Svarajati said...

Silakan, mas Indarto. Terima kasih atensinya.