WACANA praktik seni-budaya (di) Semarang nyaris selalu dibangun berdasar asumsi-asumsi dari sejumlah paradoks. Kondisi itu diperparah oleh amatan satu atau dua ‘pengamat seni’ yang, selain diragukan kompetensinya, pula memungut data-data dan dieja salah.
Biasanya dikesankan, Semarang mengandung potensi seni yang besar: seniman-budayawan yang piawai melimpah, modal kultural tak tertandingi, dan memiliki infrastruktur yang memadai. Itu semua masih ditambahi dengan jejak historis bahwa Semarang adalah tanah kelahiran seniman legendaris, seperti Raden Saleh.
Konstruksi plasebo itu, sengaja atau tidak, direproduksi terus dan akhirnya hanya berakhir pada paradoks pula: Semarang sebenarnya berpotensi namun kenyataannya tidak pernah lahir karya-karya seni (kontemporer) yang memadai. Kira-kira seperti itulah, meski tidak persis literalis, nuansa tulisan ‘pengamat seni’ (?) Asdani Kindarto, bertajuk “Ke Mana Identitas Semarang?” (Seputar Semarang, Edisi 224 Tahun V, 22-28 Januari 2008).
Orang sering keliru membandingkan praktik kesenian Semarang dengan Yogya atau Solo, misalnya. Komparasi dilakukan berdasar pemikiran yang cacat. Diangankan, kehidupan seni Semarang bisa menyamainya. Kenyataannya, tak pernah Semarang – beserta fakta historisnya – bisa menandingi kedua kota ‘pusat’ seni itu.
Alhasil, selalu muncul anggapan bahwa Semarang bukan lahan ideal menyemai kesenian, apapun bentuknya. Bahkan ada seniman lokal yang membait Semarang sebagai tempat “kuburan seni”. Saya teramat kuatir, jika stigma itu direproduksi terus-menerus, dan dalam jangka panjang, tak tertutup kemungkinan publik telanjur mempercayai olok-olok yang terbangun. Pada akhirnya, tentu, hal ini akan merugikan art-world Semarang.
Kecemasan para pecinta seni – termasuk mereka yang menyebut diri sebagai seniman, aktivis seni, pengamat seni, atau akademisi – terlalu berlebihan kiranya. Ekspektasi yang digantungkan terlalu tinggi dengan bercermin pada realitas kesenian (yang sangat produktif!) di Yogya atau Solo. Orang harus jernih melihat bahwa kedua kota itu inheren memiliki aset kultural di segala bidang. Yang terpenting, keduanya secara sadar mengkonstruksi dirinya menjadi kota budaya. Sebab, tak lain, identitas itulah yang dijajakan.
Akan halnya Semarang, tak jelas bagaimana kota pesisir ini mencitrakan dirinya. Tambahan lagi, tak ada keberpihakan pemerintah (secara politis!) terhadap tumbuh dan berkembangnya kantong-kantong seni kota. Lembaga pendidikan tinggi seni di Semarang pun tidak menyumbangkan diskursus atau praktik lapangan yang memadai. Tak jelas pula kiprah dewan kesenian tingkat kota atau provinsi.
Pada akhirnya, masyarakat pun tak terlalu peduli akan absennya bentuk dan aktivitas seni yang baik. Lengkap sudah tanda diri minor itu.
Praktik Seni Lokal
Di tengah-tengah minimnya peran negara – tepatnya pemerintah – terhadap praktik kesenian kota, sekiranya mesti diakui bahwa denyut kesenian Semarang cukup memadai. Praktik dan investasi pada kesenian kota – taruh kata pembangunan infrastruktur kesenirupaan – berasal dari golongan partikelir. Contohnya, sejumlah ruang seni rupa dibangun dan dikelola oleh kalangan swasta. Tak pernah sekalipun pemerintah menaruh perhatian terhadap ruang dan agenda kesenian yang dilansir dari ruang-ruang kreatif itu. Inilah salah satu kondisi paradoks praktik berkesenian Semarang.
Jika dicermati, telah banyak praktik berkesenian tersebar di seantero kota. Jenis keseniannya pun beragam, seperti: seni rupa, sastra, teater, musik, fotografi, juga tak ketinggalan film. Sependek catatan saya, kesenirupaan Semarang bahkan cukup dinamis lima tahun belakangan dibandingkan Solo.
Yang jadi persoalan ialah: ekspresi kesenian yang hidup dan dipraktikkan di Semarang tidak atau kurang mampu menyedot atensi khalayak luas. Persoalan ini, ujung-ujungnya, bertumpu pada sejumlah keingintahuan: apakah ekspresi seni itu kurang menarik, tidak dimediasikan secara memadai, atau barangkali para pekerja seni Semarang kurang cakap mengolah isu-isu berkesenian?
Hemat saya, seniman berada dalam titik picu praktik berkesenian suatu kota. Seniman (dan karya seninya) seyogianya mampu memberikan perspektif atau alternatif cara pandang baru, menawarkan kegembiraan, hingga meningkatkan kognisi dan apresiasi publik terhadap kesenian. Jika dimensi-dimensi ontologis seni dijalankan secara memadai niscaya publik akan makin diperkaya kehidupan psikisnya.
Selain itu fungsi sosial seni perlu ditonjolkan. Sepantasnya seniman sebagai bagian dari masyarakatnya berdiri pada barisan depan dan menjadi cermin reflektif mereka. Karya seni yang berhasil, dalam tataran tertentu, ditunjukkan oleh relevansi dan kontribusinya pada praktik kultural komunitas tempat seni itu dilansir. Pada titik inilah kiranya kita perlu mengkritisi: adakah praktik kesenian di Semarang telah mencerahkan publiknya?
Akan tetapi, pada dasarnya, tidak bisa lain seniman mesti memiliki etos kerja kulminatif. Berkesenian tak ubahnya sebentuk pekerjaan yang menuntut sederetan konsekuensi yang harus dipenuhi. Kerja keras, pada ujungnya, menyoal kontinuitas praktik seni yang bertumpu pada elan kreativitas. Seniman diuji untuk menghasilkan karya-karya seni yang menarik. Bukan leha-leha dan menunggu wangsit belaka.
Triyanto Triwikromo setengah menyindir berujar: “Kita – moga-moga saya dan Anda tidak – tidak berada dalam budaya "kerja". Pagi bangun ngrokok-ngrokok. Siang jalan-jalan. Malam tura-turu. Ah, kapan kerjanya?” Sastrawan “sayap malaikat” itu mengirimkan surat elektronik dari Sydney, belum lama ini.
Dukungan Pemerintah Kota
Membangun kesenian kota tak semudah kita membalikkan telapak tangan. Meski seniman berada pada barisan terdepan, tak bisa dipungkiri perlunya publik menyamakan persepsi: kesenian adalah lentera kehidupan. Pada titik inilah diperlukan ketegasan dan keberpihakan pemerintah terhadap hajat hidup kesenian kota. Tegasnya, dukungan politis.
Juga, pemerintah mesti menyediakan kemudahan produksi kesenian, meluaskan akses publik dan seniman terhadap iptek dan aliran informasi, mengenalkan praktik manajemen seni yang baik, serta – bersama semua pemangku kepentingan seni kota – turut mendesain kebijakan dan arah seni kota. Tidak bisa lain, peran dewan kesenian kota mesti ditingkatkan.
Jika perhatian pemerintah memadai, maka giliran senimanlah untuk meluaskan jejaring, memasarkan gagasan dan produk seninya, hingga mendesain isu-isu kesenian yang berdampak kuat dan positif. Iklim berkesenian yang ideal harus terus diperjuangkan dan ditumbuhkan. Kondisi kesenian tidak tumbuh alamiah, taken for granted, namun harus diciptakan. Dan lingkungan serta iklim berkesenian yang baik adalah conditio sine qua non lahirnya medan sosial seni yang apresiatif.
Sebenarnya, potensi seni setiap kota Indonesia satu dengan lainnya tak terlalu berbeda. Yang terjadi ialah ketidaktahuan pemangku kepentingan untuk mengurai keruwetan yang ada dan membangun struktur kesenian yang representatif. Pemerintah kota, tak terkecuali Semarang, tak tahu arah bagaimana membangun masyarakat madani yang bertamadun. Alhasil, yang terlihat ialah sejumlah paradoks yang mengganggu.
Contoh jelas paradoks seni kota ialah tentang eksistensi Wayang Orang Ngesti Pandowo. Disandingkan bersama satu taman bermain yang riuh, seni tradisi itu seolah secara sistematis dilenyapkan perlahan-lahan. Lantas, di manakah argumentasi tentang menguri-uri seni-budaya tradisi yang, konon, adiluhung itu? Inilah praktik banalitas kebudayaan pada awal alaf baru, di sini.
Esai ini pun sebuah paradoks. Ia menolak anggapan Semarang sepi dari praktik kesenian kota, namun ia pun memaparkan sederet kendala yang menindas praktik kultural itu. Agar tidak lupa, segenap pekerja seni pantas diingatkan terus tentang: untuk apa dan siapa produk kesenian itu.
Terakhir, adakah peran pemerintah yang signifikan pada kehidupan budaya masyarakatnya? Biarkan pertanyaan ini menggantung terus.
Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Seputar Semarang, Kamis (24/01/2008)]
Biasanya dikesankan, Semarang mengandung potensi seni yang besar: seniman-budayawan yang piawai melimpah, modal kultural tak tertandingi, dan memiliki infrastruktur yang memadai. Itu semua masih ditambahi dengan jejak historis bahwa Semarang adalah tanah kelahiran seniman legendaris, seperti Raden Saleh.
Konstruksi plasebo itu, sengaja atau tidak, direproduksi terus dan akhirnya hanya berakhir pada paradoks pula: Semarang sebenarnya berpotensi namun kenyataannya tidak pernah lahir karya-karya seni (kontemporer) yang memadai. Kira-kira seperti itulah, meski tidak persis literalis, nuansa tulisan ‘pengamat seni’ (?) Asdani Kindarto, bertajuk “Ke Mana Identitas Semarang?” (Seputar Semarang, Edisi 224 Tahun V, 22-28 Januari 2008).
Orang sering keliru membandingkan praktik kesenian Semarang dengan Yogya atau Solo, misalnya. Komparasi dilakukan berdasar pemikiran yang cacat. Diangankan, kehidupan seni Semarang bisa menyamainya. Kenyataannya, tak pernah Semarang – beserta fakta historisnya – bisa menandingi kedua kota ‘pusat’ seni itu.
Alhasil, selalu muncul anggapan bahwa Semarang bukan lahan ideal menyemai kesenian, apapun bentuknya. Bahkan ada seniman lokal yang membait Semarang sebagai tempat “kuburan seni”. Saya teramat kuatir, jika stigma itu direproduksi terus-menerus, dan dalam jangka panjang, tak tertutup kemungkinan publik telanjur mempercayai olok-olok yang terbangun. Pada akhirnya, tentu, hal ini akan merugikan art-world Semarang.
Kecemasan para pecinta seni – termasuk mereka yang menyebut diri sebagai seniman, aktivis seni, pengamat seni, atau akademisi – terlalu berlebihan kiranya. Ekspektasi yang digantungkan terlalu tinggi dengan bercermin pada realitas kesenian (yang sangat produktif!) di Yogya atau Solo. Orang harus jernih melihat bahwa kedua kota itu inheren memiliki aset kultural di segala bidang. Yang terpenting, keduanya secara sadar mengkonstruksi dirinya menjadi kota budaya. Sebab, tak lain, identitas itulah yang dijajakan.
Akan halnya Semarang, tak jelas bagaimana kota pesisir ini mencitrakan dirinya. Tambahan lagi, tak ada keberpihakan pemerintah (secara politis!) terhadap tumbuh dan berkembangnya kantong-kantong seni kota. Lembaga pendidikan tinggi seni di Semarang pun tidak menyumbangkan diskursus atau praktik lapangan yang memadai. Tak jelas pula kiprah dewan kesenian tingkat kota atau provinsi.
Pada akhirnya, masyarakat pun tak terlalu peduli akan absennya bentuk dan aktivitas seni yang baik. Lengkap sudah tanda diri minor itu.
Praktik Seni Lokal
Di tengah-tengah minimnya peran negara – tepatnya pemerintah – terhadap praktik kesenian kota, sekiranya mesti diakui bahwa denyut kesenian Semarang cukup memadai. Praktik dan investasi pada kesenian kota – taruh kata pembangunan infrastruktur kesenirupaan – berasal dari golongan partikelir. Contohnya, sejumlah ruang seni rupa dibangun dan dikelola oleh kalangan swasta. Tak pernah sekalipun pemerintah menaruh perhatian terhadap ruang dan agenda kesenian yang dilansir dari ruang-ruang kreatif itu. Inilah salah satu kondisi paradoks praktik berkesenian Semarang.
Jika dicermati, telah banyak praktik berkesenian tersebar di seantero kota. Jenis keseniannya pun beragam, seperti: seni rupa, sastra, teater, musik, fotografi, juga tak ketinggalan film. Sependek catatan saya, kesenirupaan Semarang bahkan cukup dinamis lima tahun belakangan dibandingkan Solo.
Yang jadi persoalan ialah: ekspresi kesenian yang hidup dan dipraktikkan di Semarang tidak atau kurang mampu menyedot atensi khalayak luas. Persoalan ini, ujung-ujungnya, bertumpu pada sejumlah keingintahuan: apakah ekspresi seni itu kurang menarik, tidak dimediasikan secara memadai, atau barangkali para pekerja seni Semarang kurang cakap mengolah isu-isu berkesenian?
Hemat saya, seniman berada dalam titik picu praktik berkesenian suatu kota. Seniman (dan karya seninya) seyogianya mampu memberikan perspektif atau alternatif cara pandang baru, menawarkan kegembiraan, hingga meningkatkan kognisi dan apresiasi publik terhadap kesenian. Jika dimensi-dimensi ontologis seni dijalankan secara memadai niscaya publik akan makin diperkaya kehidupan psikisnya.
Selain itu fungsi sosial seni perlu ditonjolkan. Sepantasnya seniman sebagai bagian dari masyarakatnya berdiri pada barisan depan dan menjadi cermin reflektif mereka. Karya seni yang berhasil, dalam tataran tertentu, ditunjukkan oleh relevansi dan kontribusinya pada praktik kultural komunitas tempat seni itu dilansir. Pada titik inilah kiranya kita perlu mengkritisi: adakah praktik kesenian di Semarang telah mencerahkan publiknya?
Akan tetapi, pada dasarnya, tidak bisa lain seniman mesti memiliki etos kerja kulminatif. Berkesenian tak ubahnya sebentuk pekerjaan yang menuntut sederetan konsekuensi yang harus dipenuhi. Kerja keras, pada ujungnya, menyoal kontinuitas praktik seni yang bertumpu pada elan kreativitas. Seniman diuji untuk menghasilkan karya-karya seni yang menarik. Bukan leha-leha dan menunggu wangsit belaka.
Triyanto Triwikromo setengah menyindir berujar: “Kita – moga-moga saya dan Anda tidak – tidak berada dalam budaya "kerja". Pagi bangun ngrokok-ngrokok. Siang jalan-jalan. Malam tura-turu. Ah, kapan kerjanya?” Sastrawan “sayap malaikat” itu mengirimkan surat elektronik dari Sydney, belum lama ini.
Dukungan Pemerintah Kota
Membangun kesenian kota tak semudah kita membalikkan telapak tangan. Meski seniman berada pada barisan terdepan, tak bisa dipungkiri perlunya publik menyamakan persepsi: kesenian adalah lentera kehidupan. Pada titik inilah diperlukan ketegasan dan keberpihakan pemerintah terhadap hajat hidup kesenian kota. Tegasnya, dukungan politis.
Juga, pemerintah mesti menyediakan kemudahan produksi kesenian, meluaskan akses publik dan seniman terhadap iptek dan aliran informasi, mengenalkan praktik manajemen seni yang baik, serta – bersama semua pemangku kepentingan seni kota – turut mendesain kebijakan dan arah seni kota. Tidak bisa lain, peran dewan kesenian kota mesti ditingkatkan.
Jika perhatian pemerintah memadai, maka giliran senimanlah untuk meluaskan jejaring, memasarkan gagasan dan produk seninya, hingga mendesain isu-isu kesenian yang berdampak kuat dan positif. Iklim berkesenian yang ideal harus terus diperjuangkan dan ditumbuhkan. Kondisi kesenian tidak tumbuh alamiah, taken for granted, namun harus diciptakan. Dan lingkungan serta iklim berkesenian yang baik adalah conditio sine qua non lahirnya medan sosial seni yang apresiatif.
Sebenarnya, potensi seni setiap kota Indonesia satu dengan lainnya tak terlalu berbeda. Yang terjadi ialah ketidaktahuan pemangku kepentingan untuk mengurai keruwetan yang ada dan membangun struktur kesenian yang representatif. Pemerintah kota, tak terkecuali Semarang, tak tahu arah bagaimana membangun masyarakat madani yang bertamadun. Alhasil, yang terlihat ialah sejumlah paradoks yang mengganggu.
Contoh jelas paradoks seni kota ialah tentang eksistensi Wayang Orang Ngesti Pandowo. Disandingkan bersama satu taman bermain yang riuh, seni tradisi itu seolah secara sistematis dilenyapkan perlahan-lahan. Lantas, di manakah argumentasi tentang menguri-uri seni-budaya tradisi yang, konon, adiluhung itu? Inilah praktik banalitas kebudayaan pada awal alaf baru, di sini.
Esai ini pun sebuah paradoks. Ia menolak anggapan Semarang sepi dari praktik kesenian kota, namun ia pun memaparkan sederet kendala yang menindas praktik kultural itu. Agar tidak lupa, segenap pekerja seni pantas diingatkan terus tentang: untuk apa dan siapa produk kesenian itu.
Terakhir, adakah peran pemerintah yang signifikan pada kehidupan budaya masyarakatnya? Biarkan pertanyaan ini menggantung terus.
Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Seputar Semarang, Kamis (24/01/2008)]
No comments:
Post a Comment