Untuk pengalaman Indonesia, yang disebut “pusat”—artinya, kota atau wilayah dengan praktik kesenirupaan yang dinamis—ialah Yogyakarta, Bandung, Jakarta, (pulau) Bali, dan belakangan termasuk Surabaya atau Jawa Timur umumnya. Pameran bienial yang penting diselenggarakan di Yogyakarta dan Jakarta. Lantas virus bienialisme menjalar ke Bali (bienial pertama, satu-satunya dan lalu mati, yakni Bali Biennale 2005 dengan tema “Space/Scape”) dan Jawa Timur (sampai tahun ini Jawa Timur Biennale baru berlangsung dua kali). Bienial Yogyakarta penting di tingkat nasional, selain karena digelar rutin pun telah berlangsung sepuluh kali.
Melihat jejak rekamnya, Bienial Yogyakarta pantas dianggap sebagai tolok ukur dan representasi dinamika gagasan seni visual kontemporer kota. Pendapat ini bertumpu pada sejumlah data bahwa Yogyakarta tempat bermukimnya ribuan seniman, medan sosial seninya dinamis yang menunjukkan gerakan kultural, gejala estetik dan visualitas beragam. Belum lagi adanya fakta bahwa karya-karya seniman Yogyakarta terbukti dicari-cari di pasar seni rupa Asia.
Karena itu, perkembangan Bienial Yogyakarta patut dicermati oleh medan sosial seni Semarang, atau Jawa Tengah umumnya, jika hendak mendinamisasi praktik kesenirupaan wilayahnya sendiri. Apalagi karena kedekatan geografisnya.
Akan tetapi, setelah sekian lama, masyarakat pendukung Bienial Yogyakarta merasa perlu berbenah di tengah-tengah pergesaran wacana, paradigma, atau kepungan art fair yang menjadi fenomena global. Ada pemikiran sudah saatnya bangunan dialektik dan kultural Bienial Yogyakarta diredefinisi sehingga bersesuai dengan semangat zamannya tanpa kehilangan jati dirinya. Sementara kita paham, dasar pemikiran suatu bienial senantiasa merujuk pada tradisi Barat.
Sebagian tokoh dan seniman berasumsi bahwa perhelatan bienial tak mesti berorientasi pada pola atau pemikiran Barat. Yogyakarta mesti punya identitasnya sendiri. Untuk itu, dengan semangat populis, Bienial Yogyakarta X-2009 (Publikasi resmi selalu menyebut “Biennale Jogja X-2009” yang jelas-jelas tidak tepat dalam gramatika bahasa Inggris!) diistilahkan sebagai arena “jamming” atau interelasi aktif antara karya seni, seniman, kalangan pendukung dan masyarakat umum sehingga didapatkan konstruk “bienial organik”.
Tematik dan tajuk Bienial Yogyakarta tahun ini ialah “Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja” (11 Desember 2009—10 Januari 2010). Tematik ini hasil pemikiran kurator Wahyudin. Proposalnya disetujui oleh suatu Tim Seleksi bentukan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai penyelenggara tetap Bienial Yogyakarta. Singkatnya, de facto dan de jure, Wahyudin adalah kurator resmi (official curator) Bienial ini. Dia membagi tematik kearsipan—atau sejarah bienial I—IX dan praktik estetik seni rupa di Yogyakarta—menjadi lima subtema, ialah Humanisme Kerakyatan, Humanisme Universal, Perlawanan terhadap Kemapanan Estetika, Pergolakan antara Budaya Lokal dan Global, dan Seni Rupa Urban.
Esoterik atau Populis?
Untuk mendukung ide Bienial Yogyakarta X-2009 sebagai “bienial organik”, Samuel Indratma (penanggung jawab agenda seni di ruang publik) menjelaskan—dalam suatu diskusi di TBY, Minggu (13/12)—bahwa bienial kali ini sebagai “bienial-nya seniman”, bukan “bienial-nya kurator” seperti di tahun-tahun lewat.
Melalui pernyataan di atas agaknya hendak dicitrakan bahwa seniman dan karyanya tampak “merakyat”. Caranya dengan menyebar sebagian karya di beberapa sudut kota. Seniman yang terlibat bisa siapa saja, termasuk masyarakat umum. Tak jelas apakah karya-karya luar ruang itu dan situsnya bersesuai dengan kerangka kuratorial yang digariskan oleh Wahyudin. Faktanya, beberapa karya ditolak oleh sebagian elemen masyarakat dan dinas terkait. Menurut hemat saya, sebagian besar karya itu melesap di tengah-tengah hutan tanda atau kode urban kota yang lain.
Memang tak mudah mendekatkan gagasan seniman kontemporer dan karyanya ke tengah-tengah masyarakat. Barangkali terdapat jurang lebar di antara keduanya. Konsep estetika yang dibangun oleh seniman bisa saja diametral dengan nilai-nilai keindahan yang diyakini publik. Kesenjangan ini tak mudah dijembatani. Ironisnya, sebagian seniman—termasuk segelintir panitia pelaksana Bienial—setengah mati meyakini: karya seni dan praktik kesenian mereka bisa menyatu dengan masyarakat umum. Asumsi itu mesti diuji lagi kiranya.
Pada dasarnya bienial di mana saja kerap menuai kontroversi. Kritik itu mulai dari praktik kuratorial, pilihan seniman, karya seni hingga politik seni yang diusungnya. Kendati begitu, bienial masih diyakini sebagai perhelatan signifikan dalam seni visual kontemporer mondial. Ia senantiasa menyita perhatian dan waktu kita.
Masalahnya, kalau bienial itu penting, sejatinya perhelatan itu tertuju untuk siapakah? Adakah bienial (di Indonesia?) tak lain praktik ekstravagansa, arena pencitraan atau politik kebudayaan negara yang punya nilai ekonomis dalam relasinya dengan industri turisme? Apakah bienial dianggap sebagai takaran estetik dan artistika seniman belaka sehingga ia ada demi menyokong kepentingan kalangannya (art world) sendiri? Ataukah bienial adalah bagian dari proses dialogal antara gagasan, kekaryaan, wacana seniman dengan masyarakat umum?
Yang jelas, eksposisi Bienial Yogyakarta X-2009 menampilkan sejumlah besar karya yang menarik dalam hal gagasan, artistika maupun presentasinya. Karya-karya itu dipamerkan di TBY, Jogja National Museum, Sangkring Art Space dan Gedung Bank Indonesia. Sedangkan yang berserak di beberapa sudut kota, sayangnya (sekali lagi!), sebagian besar sulit ditelusuri jejak dan landasan wacananya.
Pada akhirnya, gagasan mendasar apakah yang disodorkan oleh Bienial tersebut? Bienial Yogyakarta X-2009 ini meletakkan tapak historiografi seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagai titik pijak kuratorial. Wacana ini penting dielaborasi demi terang sejarah kesenirupaan nasional.
TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 27/12/2009.]