FOTOGRAFI adalah tengara paling transparan tentang modernitas pada era ini. Kehadiran fotografi telah mengubah secara total ontologi manusia atas realitas empirik. Manusia semakin disadarkan pada persoalan ruang-waktu yang, meskipun dimampatkan dalam citra foto, ternyata senantiasa hidup dalam ingatan pemandangnya.
Manusia pun dihadapkan pada salah satu alat pembuktian yang sahih otentisitasnya. Selama ini dipahami dan diyakini, bahwa foto adalah bukti rekaman tentang kebenaran realitas atau fenomena yang tak terbantahkan. Mimikri foto dengan begitu adalah representasi empirikal. Dalam konteks ini, tak bisa lain, foto memuat segala sesuatu yang ada dalam realitas di dunia yang mampu direkamnya secara sempurna. Bahkan bukan saja realitas empirik saja yang mampu dihadirkan, melainkan gagasan-gagasan perupaan serumit apapun direpresentasikan dengan baik.
Kemampuan merekam secara sempurna dan kemudahan mengoperasionalkan peranti kamera membuat fotografi, pada akhirnya, sangat populer. Masyarakat – tidak peduli pada stratifikasi sosialnya – mampu dan berhak memotret untuk keperluan apa saja. Pada konteks ini fotografi menunjukkan sisi demokratisnya. Kemudian, ketika perkembangan teknologi kamera semakin ekonomis, maka demokratisasi itu kian meluas juga. Di dalam fotografi setiap individu adalah karakter bebas yang setara dengan yang lainnya. Dus, memotret adalah suatu praktik sosial dan kultural yang egaliter. Namun, pada perbincangan berikutnya – secara filosofis – akan tampak bahwa aku-yang-memotret dan dia-yang-dipotret dalam situasi relasional yang tidak setara.
Secara umum, perbincangan tentang fotografi selalu mengarah pada kompleksitas peranti kamera dan perlengkapan pendukungnya, teknologi presentasi, dan teknik pemotretannya. Perkembangan dunia fotografi mutakhir hanya berkutat pada permasalahan itu saja. Industri fotografi mengarahkan sentimen pasar pada kondisi dimana ketergantungan pada kecanggihan teknologi adalah keniscayaan. Sejalan dengan ini maka muncullah berbagai varian kamera, lensa, media perekam data, sampai dengan berjenis-jenis alat cetak yang pada ujungnya hanya membicarakan kesempurnaan visualnya. Orang pun dijejali pengetahuan teknik fotografi yang juga seiring dengan perkembangan perantinya. Singkatnya, pengetahuan masyarakat tentang fotografi hanya seputaran teknik fotografisnya saja. Kedalaman intrinsiknya luput diperbincangkan. Pada fase ini, minat orang hanya diarahkan pada kepemilikan peranti kamera yang canggih tanpa menyadari kebutuhan yang semestinya. Pun tidak jarang kepemilikan peranti fotografinya melebihi kemampuan memotretnya. Inilah penetrasi dunia industri yang tak terelakkan lagi yang hanya melahirkan gurita konsumtivisme.
Fotografi, dalam konteks kajian budaya, adalah persoalan gaya hidup (life style). Kepemilikan kamera, dalam diskusi tentang gaya hidup modern, menjadi bukan bertumpu pada asas kegunaan, namun cenderung pada penampilannya. Kegandrungan pada tampilan ini, secara positif, melahirkan berbagai desain kamera yang praktis dan ergonomis. Kamera yang ringkas dan modis menjadi pilihan banyak orang. Pada umumnya, masyarakat yang tidak menggeluti fotografi secara serius menggemari kamera instan yang ringkas dan modis itu. Bagi mereka, memotret sekadar untuk bergaya dan merekam momen seadanya.
Pada kalangan yang lebih terbatas, yang lebih serius mendalami fotografi namun bukan sebagai suatu tuntutan profesi alias para hobiis, fetisisasi kamera-kamera produk akhir juga tak terelakkan. Bagi mereka, kamera dan lensa serta semua perlengkapannya adalah setara dengan fesyen. Selayak mode, maka keinginan pada model-model yang terbaru adalah suatu keharusan. Pada ujungnya, dengan memotret eksistensinya akan terbilang.
Subjek-Objek, Memotret-Dipotret
Jarang sekali disadari bahwa relasi subjek yang memotret dan objek yang dipotret dalam kondisi yang tidak setara. Ketidaksetaraan itu tidak serta-merta hilang dengan hanya memberikan label “subjek” terhadap tokoh atau sosok yang dipotretnya. Dunia fotografi jurnalistik menganggap sesuatu – dalam hal ini persona atau orang – yang dipotretnya dengan sebutan subjek itu. Hal itu mengandaikan bahwa sosok yang difoto sebagai nara sumber atau produsen berita. Sebutan atributif itu tidak menghilangkan fakta, bahwa sosok di hadapan seorang pemotret adalah objek pemotretan. Ketika memotret, seorang fotografer adalah subjek bebas yang memilih, memilah, dan mengeliminasi realitas di hadapannya sedemikian rupa sehingga hanya dihasilkan satu bingkai citra sesuai yang diinginkannya. Jelasnya, seseorang melakukan praktik intervensi, simulasi, dan bahkan manipulasi terhadap realitas atau kejadian di hadapannya. Dengan begitu, jelas sudah, bahwa subjek yang memotret mengobjektivikasi semua hal yang dipotretnya.
Objektivikasi itu menunjukkan ketidaksetaraan antara pemotret dan orang (model) yang dipotretnya. Dalam bidikannya, seorang fotografer menegasikan (menidakkan) model di hadapannya, karena sosok itu berada dalam pengaruh kekuasaannya. Sosok itu menjelma jadi objek hasrat sang fotografer. Dia diarahkan, diperintah, dan direpresentasikan – menjadi foto – sesuai harapan dan intensi subjek yang memotret. Hubungan relasional ‘tuan-budak’ itu tak kuasa ditolaknya, sebab objek berada dalam hierarki yang tidak seimbang. Objek hanya menuruti kehendak sang tuan, karena semua keputusan berasal dari subjek yang memotret.
Hubungan intersubjektif itu terjadi karena sebagai seorang yang sadar akan kebebasannya, maka seorang fotografer akan selalu mempertahankan kebebasannya itu dengan menegasikan sosok di hadapannya. Tindakan mempertahankan kebebasan itu diekspresikan pada saat dia membidik dan memotret objeknya. Aktivitas itu adalah pertanda suatu kesadaran yang menegasikan sosok atau kesadaran yang lain, yakni objek yang dibidiknya. Jean-Paul Sartre menyatakan, bahwa setiap kesadaran mau mempertahankan subjektivitasnya sendiri, mau menjadi pusat suatu ‘dunia’ (via K. Bertens dalam “Jean-Paul Sartre dan Eksistensialisme”, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001: 101).
Subjek yang memotret adalah aku yang sadar akan sesuatu. Kesadaran itu berarti distansi, jarak, non-identitas (ibid: 95). Bagi Sartre itu berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan. Dan kesadaran yang mampu menegasikan adalah kebebasan itu. Namun begitu, bagaimanakah relasi antarmanusia yang berkehendak sama-sama mempertahankan kebebasannya sendiri? Perjumpaan antarmanusia itu adalah hubungan dialektika antara subjek-objek yang selalu hendak mengalahkan yang lain sehingga masuk ke dalam dunianya, maka dengan demikian orang lain menjadi objek bagi saya-yang-menjadi-subjek.
Relasi intersubjektif itu muasalnya dari adanya konflik: yang lain selalu ingin mempertahankan kesadaran dan kebebasannya dengan menjadikan orang lain di depannya sebagai objeknya. Salah satu sarana konflik itu ialah adanya sorot mata (le regard). Masih menurut K. Bertens (mengutip tesis Sartre), sorot mata harus dimengerti dengan cara yang luas yang juga meliputi suara langkah-langkah yang mendekat lalu berhenti, bunyi yang didengar dari semak belukar, gorden yang terbuka sedikit, dan seterusnya. Pendek kata, sorot mata ialah Orang Lain (Autrui) yang menonton saya, mengobservasi saya, dan dengan demikian mengobjektivikasi saya (ibid: 101).
Sartre menjelaskan maksudnya di atas melalui fenomen orang yang sedang mengintip melalui lubang kunci. Orang itu adalah subjek. Dia adalah penonton yang sedang menonton keseluruhan tontonan di hadapannya yang semuanya mengarah pada kesadaran dirinya sebagai subjek. Tontonan di balik pintu itu adalah ‘dunianya’ dan dia adalah pusatnya.
Uraian itu jelas menggambarkan hubungan antara subjek-yang-memotret dengan objek-yang-dipotret dalam dunia fotografi. Seorang fotografer menjadikan kesadaran yang lain – yakni sosok atau model – di hadapannya hanya menjadi objek baginya dan, dengan kata lain, berada dalam pusat dunianya. Kesadaran dan kebebasan individual dalam aktivitas memotret-dipotret adalah milik individu yang memotret. Sebaliknya, individu yang dipotret berada dalam dan masuk ke ‘dunia’ si pemotret.
Bagaimanakah seorang fotografer mempunyai kekuasaan menegasikan sosok di hadapannya? Itu tidak lain berasal dari konsepsi bahwa sorot mata adalah perwujudan Orang Lain. Dalam konteks perbincangan fotografi, maka sorot mata fotografer direpresentasikan sebagai kamera dan lensanya. Melalui lubang bidik (viewfinder) itu seorang fotografer telah menegasikan dan mengobjektivikasi orang atau sosok yang dipotretnya. Orang lain selalu berada dan dalam pengaruh sang fotografer.
Sampai di sini timbullah pertanyaan: benarkah satu-satunya subjek yang sadar dan bebas adalah hanya subjek-yang-memotret? Tidak bisakah objek-yang-dipotret kemudian menyadari dan meraih eksistensinya kembali dan berbalik menjadi subjek yang sadar dan bebas di hadapan fotografer (subjek-yang-memotret)? Mungkinkah subjek-yang-memotret mampu diobjektivikasi oleh objek-yang-dipotret (yang telah kembali meraih eksistensinya sebagai subjek yang sadar dan bebas) atau oleh orang lain lagi?
Pulihnya Kesadaran Objek sebagai Subjek
Pada dasarnya manusia adalah persona yang bebas dan berkehendak mempertahankan kesadarannya terus-menerus. Konflik dengan kehadiran manusia atau sosok lainnya adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Oleh karena itu, manusia atau sosok yang berada dalam pengaruh kekuasaan dan atau objektivikasi pun selalu berniat mempertahankan kebebasan dan kesadarannya sendiri. Posisi ini tidak jauh bedanya dengan objek-yang-sedang-dipotret. Sebagai objek hasrat dari fotografer dan dalam posisi selalu dipengarui oleh kekuasaan atau dunia Orang Lain, seorang model tidak mampu melepaskan dirinya. Kendati begitu, objek-yang-dipotret tetap berupaya agar eksistensinya pun diakui. Pada titik ini kesadaran aku-sebagai-subjek muncul ketika dia menyadari bahwa eksistensinya sebagai manusia yang bebas adalah untuk menjadi subjek-bagi-orang-lain dan mengobjektivikasi (kembali) sosok di hadapannya.
Sosok yang dipotret – yang semula menjadi objek dari fotografer – pada akhirnya menyadari dirinya adalah subjek atau tokoh bagi citra fotografis yang dihasilkan oleh fotografer. Kesadaran itu menuntunnya untuk kembali eksis/mengada sebagai subjek pemotretan, bukan lagi hanya sebagai objek yang diarahkan oleh fotografer. Sebagai subjek bagi dirinya sendiri, maka dia mengendalikan fotografer untuk mencermati seluruh gerak dan gayanya sehingga fotografer mendapatkan citra yang sempurna. Dengan demikian, tubuh model adalah sarana meraih kesadaran dan kebebasannya kembali, meskipun pada fase yang terdahulu tubuhnya adalah objek hasrat belaka bagi sang fotografer. Melalui tubuhnya seorang model menemukan enlightment, bahwa tubuhnya adalah modal bagi dirinya untuk menaklukkan kesadaran yang lain.
Pada titik inilah sosok yang semula diobjektivikasi – sebagai objek pemotretan – mampu mendudukkan dirinya sebagai subjek yang kemudian berganti menegasi orang lain di hadapannya, yakni fotografer.
Akan halnya fotografer itu terbalik posisinya dan lantas menjadi objek hasrat bagi sosok yang dipotretnya. Fotografer tidak kuasa menolak kehadiran dan eksistensi subjek di depannya, karena sosok itu telah kembali menemukan eksistensinya (melalui penguasaan tubuhnya) dan menunjukkan kehadirannya yang signifikan dalam sebuah sesi pemotretan. Fotografer lantas hanya mampu menuruti kehendak dan kuasa subjek di hadapannya, karena jika tidak maka dia akan kehilangan citra fotografis yang diinginkannya. Seorang fotografer dengan sederet kedigdayaannya di hadapan objek yang dipotretnya, ternyata bisa juga posisinya terbalik menjadi hanya sebagai objek. Dengan begitu fotografer diobjektivikasi oleh model yang dipotretnya sendiri.
Eksistensi seorang fotografer tak hanya bisa runtuh di hadapan sosok yang telah menyadari kebebasan dan pulih kesadarannya sebagai subjek fotografi. Penegasian yang lain bisa terjadi dalam situasi ketika dia sebagai fotografer yang sedang memotret tiba-tiba menyadari kehadiran orang lain yang memperhatikannya. Orang lain itu menonton dan mengobservasi saya berikut semua aktivitas saya. Orang lain itu bisa sebagai orang yang sebenarnya yang sedang mengawasinya atau hanya berupa desir angin, langkah-langkah yang mendekat, atau cuma perasaannya saja yang seolah-olah aktivitasnya sedang dicermati oleh sosok lain. Sorot mata orang lain itu membuat dia kikuk dan seolah dia terperangkap berada dalam hierarki atau pengaruh orang lain itu.
Pengalaman yang sebenarnya tentang orang lain itu dirasakan sebagai: atau saya merupakan objek-bagi-dia-sebagai-subjek atau orang lain itu menjadi objek-bagi-saya-sebagai-subjek. Sartre menyatakan tidak ada kemungkinan lain dalam relasi-relasi intersubjektif itu. Semua relasi itu muasalnya adalah hubungan konflikal antarmanusia.
Dan hubungan antara fotografer (sebagai subjek-yang-memotret) dan modelnya (sebagai objek-yang-dipotret) selalu dalam tegangan dan terbuka probabilitas pula bagi sang model untuk mengobjektivikasi fotografer. Kehadiran orang ketiga atau orang lain itu juga mengintervensi fotografer dan modelnya. Model itu sebagai objek bagi orang lain yang memandang dan begitu pula kedudukan fotografer di hadapan orang lain, yaitu fotografer sebagai objek bagi orang lain. Relasi itu menegaskan posisi orang lain sebagai subjek yang mengobjektivikasi keduanya.
Perasaan tidak nyaman atau cemas muncul ketika saya sedang dibidik atau dipotret seseorang. Untuk situasional seperti itu, maka tepatlah aforisma Jean-Paul Sartre yang terkenal itu: “Neraka adalah orang lain.” (Tubagus P Svarajati, mendirikan Mata Semarang Photography Club, 1998)
[CATATAN: Esei ini diterbitkan di Buletin Seni Rupa GRACIA No. 8, Januari-April 2007]