Monday, August 27, 2007

Raden Saleh

SEORANG tokoh yang telah mangkat hendak dihidupkan lagi. “Mari, kita ‘salute’ kepada Raden Saleh!” seru seseorang. Wacana itu menggelinding, akhirnya.

Maka sekonyong-konyong, belakangan ini, dunia seni rupa Semarang serempak koor takzim pada nama besar itu. Padahal, dalam kurun yang panjang, sosok itu cuma berkait dengan satu taman (budaya!) yang merana nasibnya. Dan selama itu pula khalayak tidak menaruh peduli.

Tidak jelas apa signifikansi dan kontribusi Rd. Saleh pada sejarah kreatif kota ini. Pun sebaliknya, tidak pernah ada kreasi seniman lokal yang tumbuh dari gagasan atau karya-karya gigantik Rd. Saleh. Priyayi itu cuma lahir di sini dan kemudian tenar di Eropa. Ini fakta historis.

Lantas, gerangan apakah yang melatari pencatutan namanya? Membaca kiprah atau melihat karyanya pun barangkali belum kelakon. Relevankah hendak membuat acara ini-itu atau merancang piala ini-itu yang diotak-atik agar pas dengan sosok pesohor itu?

Sepertinya banyak orang yang berharap bahwa kebesaran masa lampau mampu meneteskan kemuliaan di sini, kini. Duhai!

Acapkali kita cuma pintar menggagas – apa saja! – tanpa kuasa merealisasikannya. Sudah banyak ide perhelatan (seni rupa) besar lahir dan menguap begitu saja. Pernah ada hasrat menggelorakan seni rupa di seantero kota secara besar-besaran. Ada pula digulirkan kompetisi mural di suatu kawasan. Keduanya, kita tahu, tidak terlaksana. Tentu para pencetusnya punya segudang alasan mengapa ide-ide itu luruh. Kita maklumi saja.

Lebih afdal sekiranya kita menyemai ide-ide yang kecil-sederhana, namun elegan, dan dengan begitu mudah diterapkan. Sebab, kita mafhum benar, infrastruktur seni (rupa) kota ini belum berotot. Penggiat seninya juga kurang militan. Semangat filantropi pun belum tumbuh benar. Apalagi jika menyinggung masalah ketercukupan dana. Jadi, small is reasonable.

Barangkali tidak ada yang salah mengenai mimpi-mimpi yang menjulang. Siapa tahu, kemasyhuran bersedia mampir dan duplikat Rd. Saleh pun muncul. Namun, tentu saja, kita tidak perlu menjiplak perilaku snob sang flamboyan itu.

Ketika itu Rd. Saleh, yang bergaul di kalangan bangsawan, hidup berfoya-foya. Dia seolah hendak menyamai derajat para jetset Eropa. Lantas, seperti bisa diduga, dia bangkrut.

Rd. Saleh dimakamkan di Bogor. Entahlah di mana persisnya. Barangkali ada di antara kita pernah menziarahinya. Saya tidak. Maaf.

[Catatan: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Rabu (21/3/07). Hingga sekarang tidak terlihat kegiatan seni rupa mengatasnamakan Rd Saleh di Semarang. Sang patron keburu wafat dan aktivisnya berserak entah ke mana.]

Monday, August 20, 2007

Mata Asing

Photography:
Prasetyo Budi Utomo




[Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Kamis, 1 Maret 2007]

Saya senang mengutip pendapat Susan McCartney. Katanya, fotografer harus mempunyai foreigner’s eyes. Tentu saja ini cuma ungkapan, bukan makna semantik. Artinya, juru foto mesti bersikap bak orang asing yang memiliki kuriositas tinggi.

Sudah jamak orang asing selalu menanapi sekelilingnya. Baginya, hampir semua hal menawan dan menarik perhatian. Selalu saja ada tempat atau peristiwa yang belum (atau tidak) pernah dilihat sebelumnya. Itu semua menimbulkan rasa kagum dan hormat yang dalam.

Bukankah amsal ‘mata orang asing’ itu tak berlebihan dan harus pula dimiliki oleh para juru foto kita?

Juru foto – profesional atau amatir – pantas menyemai postulat itu. Bahkan para jurnalis pun tak terkecuali. Dengan kuriositas yang tinggi, rasa hormat, dan pikiran terbuka, maka bisa jadi dunia terbentang luas untuk bisa diapresiasi lebih baik.

Acapkali mata para juru foto tersilap oleh perkara rutinitas. Yang kecil-mungil, remeh-temeh, atau yang terselip tak kunjung memikat mata mereka. Tidak jarang pula mata juru foto hanya tersilau oleh peristiwa spektakuler. Atau biasanya tergetar oleh yang kasat dan di depan mata saja. Naga-naganya memang beginilah perkara kita: kilauan mentari lebih mencabar nurani ketimbang sinaran rembulan.

Padahal, dengan beringsut, mengendap, atau menengadah sekejap barangkali ada momen berkilat-kilat bakal terekam.

Tetapi, berbekal mata-okuler saja tak cukup. Syahdan, juru foto perlu melengkapi diri dengan mata-batin pula. Ini tentang indra yang tak maujud, pun kisahan yang tak mudah dijabarkan.

Dengan mata-batin, seorang juru foto niscaya mampu menggali apa-apa di sebalik realita. Ia tak mudah terkecoh oleh pesona empirikal belaka, namun selalu menelisik dan membidik jantung berita. Lihat, seorang juru foto tak terpukau oleh drama pemakaman Kennedy. Dia mengabadikan serdadu peniup terompet yang berleleran air mata. Potret simbolik itu mencekam oleh karena satu hal penting: prajurit itu berkulit hitam. Kita tahu, saat itu Amerika tak begitu ramah pada kaum kulit berwarna.

Eddy Hasby, salah satu jurnalis foto kampiun Indonesia, pun memotret dengan mata-batin. Ia merekam Timor Timur, suatu ketika. Duka lara bumi Loro Sae itu tercermin pada potret seorang ibu, berkerudung, menggenggam serangkai bunga, dan air mata merebak di pelupuknya.

Tidak lain inilah pamungkasnya: milikilah mata (orang) asing dan memotretlah dengan mata-batin. (Tubagus P. Svarajati)***