Sunday, December 23, 2007

Fotografi dalam Eksistensialisme Sartre [sebuah elaborasi awal]

Part of "Hip-hip Hore!" Art Project at Rumah Seni Yaitu,
August 16, 2006

FOTOGRAFI adalah tengara paling transparan tentang modernitas pada era ini. Kehadiran fotografi telah mengubah secara total ontologi manusia atas realitas empirik. Manusia semakin disadarkan pada persoalan ruang-waktu yang, meskipun dimampatkan dalam citra foto, ternyata senantiasa hidup dalam ingatan pemandangnya.

Manusia pun dihadapkan pada salah satu alat pembuktian yang sahih otentisitasnya. Selama ini dipahami dan diyakini, bahwa foto adalah bukti rekaman tentang kebenaran realitas atau fenomena yang tak terbantahkan. Mimikri foto dengan begitu adalah representasi empirikal. Dalam konteks ini, tak bisa lain, foto memuat segala sesuatu yang ada dalam realitas di dunia yang mampu direkamnya secara sempurna. Bahkan bukan saja realitas empirik saja yang mampu dihadirkan, melainkan gagasan-gagasan perupaan serumit apapun direpresentasikan dengan baik.

Kemampuan merekam secara sempurna dan kemudahan mengoperasionalkan peranti kamera membuat fotografi, pada akhirnya, sangat populer. Masyarakat – tidak peduli pada stratifikasi sosialnya – mampu dan berhak memotret untuk keperluan apa saja. Pada konteks ini fotografi menunjukkan sisi demokratisnya. Kemudian, ketika perkembangan teknologi kamera semakin ekonomis, maka demokratisasi itu kian meluas juga. Di dalam fotografi setiap individu adalah karakter bebas yang setara dengan yang lainnya. Dus, memotret adalah suatu praktik sosial dan kultural yang egaliter. Namun, pada perbincangan berikutnya – secara filosofis – akan tampak bahwa aku-yang-memotret dan dia-yang-dipotret dalam situasi relasional yang tidak setara.

Secara umum, perbincangan tentang fotografi selalu mengarah pada kompleksitas peranti kamera dan perlengkapan pendukungnya, teknologi presentasi, dan teknik pemotretannya. Perkembangan dunia fotografi mutakhir hanya berkutat pada permasalahan itu saja. Industri fotografi mengarahkan sentimen pasar pada kondisi dimana ketergantungan pada kecanggihan teknologi adalah keniscayaan. Sejalan dengan ini maka muncullah berbagai varian kamera, lensa, media perekam data, sampai dengan berjenis-jenis alat cetak yang pada ujungnya hanya membicarakan kesempurnaan visualnya. Orang pun dijejali pengetahuan teknik fotografi yang juga seiring dengan perkembangan perantinya. Singkatnya, pengetahuan masyarakat tentang fotografi hanya seputaran teknik fotografisnya saja. Kedalaman intrinsiknya luput diperbincangkan. Pada fase ini, minat orang hanya diarahkan pada kepemilikan peranti kamera yang canggih tanpa menyadari kebutuhan yang semestinya. Pun tidak jarang kepemilikan peranti fotografinya melebihi kemampuan memotretnya. Inilah penetrasi dunia industri yang tak terelakkan lagi yang hanya melahirkan gurita konsumtivisme.

Fotografi, dalam konteks kajian budaya, adalah persoalan gaya hidup (life style). Kepemilikan kamera, dalam diskusi tentang gaya hidup modern, menjadi bukan bertumpu pada asas kegunaan, namun cenderung pada penampilannya. Kegandrungan pada tampilan ini, secara positif, melahirkan berbagai desain kamera yang praktis dan ergonomis. Kamera yang ringkas dan modis menjadi pilihan banyak orang. Pada umumnya, masyarakat yang tidak menggeluti fotografi secara serius menggemari kamera instan yang ringkas dan modis itu. Bagi mereka, memotret sekadar untuk bergaya dan merekam momen seadanya.

Pada kalangan yang lebih terbatas, yang lebih serius mendalami fotografi namun bukan sebagai suatu tuntutan profesi alias para hobiis, fetisisasi kamera-kamera produk akhir juga tak terelakkan. Bagi mereka, kamera dan lensa serta semua perlengkapannya adalah setara dengan fesyen. Selayak mode, maka keinginan pada model-model yang terbaru adalah suatu keharusan. Pada ujungnya, dengan memotret eksistensinya akan terbilang.

Subjek-Objek, Memotret-Dipotret
Jarang sekali disadari bahwa relasi subjek yang memotret dan objek yang dipotret dalam kondisi yang tidak setara. Ketidaksetaraan itu tidak serta-merta hilang dengan hanya memberikan label “subjek” terhadap tokoh atau sosok yang dipotretnya. Dunia fotografi jurnalistik menganggap sesuatu – dalam hal ini persona atau orang – yang dipotretnya dengan sebutan subjek itu. Hal itu mengandaikan bahwa sosok yang difoto sebagai nara sumber atau produsen berita. Sebutan atributif itu tidak menghilangkan fakta, bahwa sosok di hadapan seorang pemotret adalah objek pemotretan. Ketika memotret, seorang fotografer adalah subjek bebas yang memilih, memilah, dan mengeliminasi realitas di hadapannya sedemikian rupa sehingga hanya dihasilkan satu bingkai citra sesuai yang diinginkannya. Jelasnya, seseorang melakukan praktik intervensi, simulasi, dan bahkan manipulasi terhadap realitas atau kejadian di hadapannya. Dengan begitu, jelas sudah, bahwa subjek yang memotret mengobjektivikasi semua hal yang dipotretnya.

Objektivikasi itu menunjukkan ketidaksetaraan antara pemotret dan orang (model) yang dipotretnya. Dalam bidikannya, seorang fotografer menegasikan (menidakkan) model di hadapannya, karena sosok itu berada dalam pengaruh kekuasaannya. Sosok itu menjelma jadi objek hasrat sang fotografer. Dia diarahkan, diperintah, dan direpresentasikan – menjadi foto – sesuai harapan dan intensi subjek yang memotret. Hubungan relasional ‘tuan-budak’ itu tak kuasa ditolaknya, sebab objek berada dalam hierarki yang tidak seimbang. Objek hanya menuruti kehendak sang tuan, karena semua keputusan berasal dari subjek yang memotret.

Hubungan intersubjektif itu terjadi karena sebagai seorang yang sadar akan kebebasannya, maka seorang fotografer akan selalu mempertahankan kebebasannya itu dengan menegasikan sosok di hadapannya. Tindakan mempertahankan kebebasan itu diekspresikan pada saat dia membidik dan memotret objeknya. Aktivitas itu adalah pertanda suatu kesadaran yang menegasikan sosok atau kesadaran yang lain, yakni objek yang dibidiknya. Jean-Paul Sartre menyatakan, bahwa setiap kesadaran mau mempertahankan subjektivitasnya sendiri, mau menjadi pusat suatu ‘dunia’ (via K. Bertens dalam “Jean-Paul Sartre dan Eksistensialisme”, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001: 101).

Subjek yang memotret adalah aku yang sadar akan sesuatu. Kesadaran itu berarti distansi, jarak, non-identitas (ibid: 95). Bagi Sartre itu berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan. Dan kesadaran yang mampu menegasikan adalah kebebasan itu. Namun begitu, bagaimanakah relasi antarmanusia yang berkehendak sama-sama mempertahankan kebebasannya sendiri? Perjumpaan antarmanusia itu adalah hubungan dialektika antara subjek-objek yang selalu hendak mengalahkan yang lain sehingga masuk ke dalam dunianya, maka dengan demikian orang lain menjadi objek bagi saya-yang-menjadi-subjek.

Relasi intersubjektif itu muasalnya dari adanya konflik: yang lain selalu ingin mempertahankan kesadaran dan kebebasannya dengan menjadikan orang lain di depannya sebagai objeknya. Salah satu sarana konflik itu ialah adanya sorot mata (le regard). Masih menurut K. Bertens (mengutip tesis Sartre), sorot mata harus dimengerti dengan cara yang luas yang juga meliputi suara langkah-langkah yang mendekat lalu berhenti, bunyi yang didengar dari semak belukar, gorden yang terbuka sedikit, dan seterusnya. Pendek kata, sorot mata ialah Orang Lain (Autrui) yang menonton saya, mengobservasi saya, dan dengan demikian mengobjektivikasi saya (ibid: 101).

Sartre menjelaskan maksudnya di atas melalui fenomen orang yang sedang mengintip melalui lubang kunci. Orang itu adalah subjek. Dia adalah penonton yang sedang menonton keseluruhan tontonan di hadapannya yang semuanya mengarah pada kesadaran dirinya sebagai subjek. Tontonan di balik pintu itu adalah ‘dunianya’ dan dia adalah pusatnya.

Uraian itu jelas menggambarkan hubungan antara subjek-yang-memotret dengan objek-yang-dipotret dalam dunia fotografi. Seorang fotografer menjadikan kesadaran yang lain – yakni sosok atau model – di hadapannya hanya menjadi objek baginya dan, dengan kata lain, berada dalam pusat dunianya. Kesadaran dan kebebasan individual dalam aktivitas memotret-dipotret adalah milik individu yang memotret. Sebaliknya, individu yang dipotret berada dalam dan masuk ke ‘dunia’ si pemotret.

Bagaimanakah seorang fotografer mempunyai kekuasaan menegasikan sosok di hadapannya? Itu tidak lain berasal dari konsepsi bahwa sorot mata adalah perwujudan Orang Lain. Dalam konteks perbincangan fotografi, maka sorot mata fotografer direpresentasikan sebagai kamera dan lensanya. Melalui lubang bidik (viewfinder) itu seorang fotografer telah menegasikan dan mengobjektivikasi orang atau sosok yang dipotretnya. Orang lain selalu berada dan dalam pengaruh sang fotografer.

Sampai di sini timbullah pertanyaan: benarkah satu-satunya subjek yang sadar dan bebas adalah hanya subjek-yang-memotret? Tidak bisakah objek-yang-dipotret kemudian menyadari dan meraih eksistensinya kembali dan berbalik menjadi subjek yang sadar dan bebas di hadapan fotografer (subjek-yang-memotret)? Mungkinkah subjek-yang-memotret mampu diobjektivikasi oleh objek-yang-dipotret (yang telah kembali meraih eksistensinya sebagai subjek yang sadar dan bebas) atau oleh orang lain lagi?

Pulihnya Kesadaran Objek sebagai Subjek
Pada dasarnya manusia adalah persona yang bebas dan berkehendak mempertahankan kesadarannya terus-menerus. Konflik dengan kehadiran manusia atau sosok lainnya adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Oleh karena itu, manusia atau sosok yang berada dalam pengaruh kekuasaan dan atau objektivikasi pun selalu berniat mempertahankan kebebasan dan kesadarannya sendiri. Posisi ini tidak jauh bedanya dengan objek-yang-sedang-dipotret. Sebagai objek hasrat dari fotografer dan dalam posisi selalu dipengarui oleh kekuasaan atau dunia Orang Lain, seorang model tidak mampu melepaskan dirinya. Kendati begitu, objek-yang-dipotret tetap berupaya agar eksistensinya pun diakui. Pada titik ini kesadaran aku-sebagai-subjek muncul ketika dia menyadari bahwa eksistensinya sebagai manusia yang bebas adalah untuk menjadi subjek-bagi-orang-lain dan mengobjektivikasi (kembali) sosok di hadapannya.

Sosok yang dipotret – yang semula menjadi objek dari fotografer – pada akhirnya menyadari dirinya adalah subjek atau tokoh bagi citra fotografis yang dihasilkan oleh fotografer. Kesadaran itu menuntunnya untuk kembali eksis/mengada sebagai subjek pemotretan, bukan lagi hanya sebagai objek yang diarahkan oleh fotografer. Sebagai subjek bagi dirinya sendiri, maka dia mengendalikan fotografer untuk mencermati seluruh gerak dan gayanya sehingga fotografer mendapatkan citra yang sempurna. Dengan demikian, tubuh model adalah sarana meraih kesadaran dan kebebasannya kembali, meskipun pada fase yang terdahulu tubuhnya adalah objek hasrat belaka bagi sang fotografer. Melalui tubuhnya seorang model menemukan enlightment, bahwa tubuhnya adalah modal bagi dirinya untuk menaklukkan kesadaran yang lain.

Pada titik inilah sosok yang semula diobjektivikasi – sebagai objek pemotretan – mampu mendudukkan dirinya sebagai subjek yang kemudian berganti menegasi orang lain di hadapannya, yakni fotografer.

Akan halnya fotografer itu terbalik posisinya dan lantas menjadi objek hasrat bagi sosok yang dipotretnya. Fotografer tidak kuasa menolak kehadiran dan eksistensi subjek di depannya, karena sosok itu telah kembali menemukan eksistensinya (melalui penguasaan tubuhnya) dan menunjukkan kehadirannya yang signifikan dalam sebuah sesi pemotretan. Fotografer lantas hanya mampu menuruti kehendak dan kuasa subjek di hadapannya, karena jika tidak maka dia akan kehilangan citra fotografis yang diinginkannya. Seorang fotografer dengan sederet kedigdayaannya di hadapan objek yang dipotretnya, ternyata bisa juga posisinya terbalik menjadi hanya sebagai objek. Dengan begitu fotografer diobjektivikasi oleh model yang dipotretnya sendiri.

Eksistensi seorang fotografer tak hanya bisa runtuh di hadapan sosok yang telah menyadari kebebasan dan pulih kesadarannya sebagai subjek fotografi. Penegasian yang lain bisa terjadi dalam situasi ketika dia sebagai fotografer yang sedang memotret tiba-tiba menyadari kehadiran orang lain yang memperhatikannya. Orang lain itu menonton dan mengobservasi saya berikut semua aktivitas saya. Orang lain itu bisa sebagai orang yang sebenarnya yang sedang mengawasinya atau hanya berupa desir angin, langkah-langkah yang mendekat, atau cuma perasaannya saja yang seolah-olah aktivitasnya sedang dicermati oleh sosok lain. Sorot mata orang lain itu membuat dia kikuk dan seolah dia terperangkap berada dalam hierarki atau pengaruh orang lain itu.

Pengalaman yang sebenarnya tentang orang lain itu dirasakan sebagai: atau saya merupakan objek-bagi-dia-sebagai-subjek atau orang lain itu menjadi objek-bagi-saya-sebagai-subjek. Sartre menyatakan tidak ada kemungkinan lain dalam relasi-relasi intersubjektif itu. Semua relasi itu muasalnya adalah hubungan konflikal antarmanusia.

Dan hubungan antara fotografer (sebagai subjek-yang-memotret) dan modelnya (sebagai objek-yang-dipotret) selalu dalam tegangan dan terbuka probabilitas pula bagi sang model untuk mengobjektivikasi fotografer. Kehadiran orang ketiga atau orang lain itu juga mengintervensi fotografer dan modelnya. Model itu sebagai objek bagi orang lain yang memandang dan begitu pula kedudukan fotografer di hadapan orang lain, yaitu fotografer sebagai objek bagi orang lain. Relasi itu menegaskan posisi orang lain sebagai subjek yang mengobjektivikasi keduanya.

Perasaan tidak nyaman atau cemas muncul ketika saya sedang dibidik atau dipotret seseorang. Untuk situasional seperti itu, maka tepatlah aforisma Jean-Paul Sartre yang terkenal itu: “Neraka adalah orang lain.” (Tubagus P Svarajati, mendirikan Mata Semarang Photography Club, 1998)

[CATATAN: Esei ini diterbitkan di Buletin Seni Rupa GRACIA No. 8, Januari-April 2007]

Thursday, December 13, 2007

Fotografi dan Seni Auratik

Detail "Sodom and Gomorah" by Entang Wiharso exhibited
at Rumah Seni Yaitu

PADA mulanya seni didedikasikan, tak terpisah dan inheren, sebagai benda pemujaan. Ia merupakan bagian dari praktik ritual purba, bernilai magis, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi artifak religi. Namun, hal itu tak hanya terjadi dulu, manusia modern sekarang pun masih mempraktikkan pemberhalaan benda-benda seni seperti itu.

Dalam liturgi keagamaan modern, tak kurang-kurangnya masih diperlukan peranti pelengkap guna menggenapi keabsahan sebuah ritual dan kepercayaan tauhidnya. Tidak itu saja, dalam kehidupan sekuler, pengkultusan benda (yang diniscayakan sebagai artifak seni) juga terjadi dengan irama dan intensi yang tak kalah serunya. Lihat saja pada fenomena atau praktik mengkoleksi artifak seni rupa. Orang masih saja mengapresiasi artifak seni dengan cara yang sangat fetistik, yakni menghadirkan benda seni hanya untuk proses penikmatan dan kenikmatan pribadi. Artifak seni itu, akhirnya, cuma menjadi sarana pemuasan ambisi semata.

Tetapi, mengapa ritus pemujaan atas benda-benda seni masih berlangsung dengan segenap variannya? Apa latar sebuah artifak seni layak dijadikan objek hasrat atau benda fetistik?

Walter Benjamin (dalam risalah The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction) menandaskan, bahwa kehadiran eksistensial benda seni, dalam ruang dan waktu tertentu, yang menjadikannya unik dan berharga. Ia menjadi semakin bernilai ketika tanda eksistensial itu dikaitkan dengan kesejarahan pada saat artifak seni itu mengada atau dimunculkan. Lebih jauh, asas orisinalitas juga melekat pada artifak seni itu, sehingga pada gilirannya akan menghadirkan nilai-nilai otentisitas. Tak cukup dengan uraian itu, dan untuk semakin menegaskan, Benjamin mengatakan bahwa benda seni itu lantas punya otoritas.

Maka, lengkap sudah prasyarat praktik fetisisasi artifak seni: hadir pada ruang-waktu historis, spesifik dan satu-satunya, orisinal, serta otentik. Dan secara politis, tak bisa disangkal, artifak seni itu bersifat otoritatif.

Bukankah prasyarat itu juga melekat inheren pada proses dan praktik produksi artifak seni (rupa) pada era sekarang? Tidak bisa disangkal, salah satu alasan utama bagi praktik apresiasi (baca: mengkoleksi artifak seni) adalah benda seni dimaksud tunggal, unik, dan bernilai.

Namun, dalam risalah yang mashyur itu, Benjamin justru menyodorkan fenomena reproduksi mekanis pada praktik produksi artifak seni. Ini, tidak lain, pada akhirnya, Benjamin hendak mengatakan sirnanya ‘aura’ seni seturut gejala itu. Implikasinya ialah: apakah praktik pemberhalaan benda seni tetap berlangsung jika ia cuma hasil tiruan massal melalui mesin dan nirauratik pula?

Era Reproduksi: Fotografi
Pada dekade ketika fotografi dilahirkan serempak kegemparan menyeruak di mana-mana. Inilah masa ketika pemahaman orang akan realitas, ruang dan waktu dibenturkan pada persoalan representasi. Realitas-ruang-waktu yang fragmentatif dalam foto menghadirkan efek dan imajinasi ilusif. Meskipun, tidak bisa disangkal, eksistensialitas di sana menghadirkan persepsi dan resepsi yang penuh warna.

Kelahiran ruang – spasial dan signifikasi – tidak punya batasan yang jelas lagi. Muncullah ruang-ruang urban, domisili orang-orang semasa, yang berbaur-kelindan dengan sekaligus ruang modernitas. Di dalam fotografilah mereka bersemanyam.

Secara teknis, penemuan itu juga mengubah persepsi orang tentang asas ketunggalan dalam praktik produksi artifak seni. Oleh karena kemampuan merekam dan reproduksinya yang sempurna, fotografi juga melahirkan kejutan budaya yang luar biasa. Yang dicatat oleh fotografi bukan lagi sebatas membekukan satuan waktu-peristiwa, namun melampaui urutan waktu-peristiwa itu sendiri. Ia lahir sebagai dan dalam ranah modernitas. Karen Strassler (University of Michigan: 2003; disertasi belum diterbitkan) mendedahkan anggapan yang sama tentang modernitas dalam perspektif antropologis manusia Indonesia. Menurutnya, praktik kultural dokumentatif fotografi menjadi pintu masuk bagi manusia Indonesia untuk menjadi ‘modern’.

Fotografi pun turut mengubah tatanan moralitas masyarakat pada zamannya itu, yakni lahirnya pornografi secara masif. Orang semasa berlindung di balik adagium, bahwa citraan ketelanjangan – khususnya tubuh telanjang perempuan – adalah juga ekspresi seni.

Sebenarnya, yang lebih hakiki, yang lebih meninggalkan jejak pemikiran, ialah telaah tentang asas reproduksi mekanis di balik kelahiran fotografi itu. Dipandang dari sisi ini, maka praktik produksi dan mekanisme apresiasi artifak seni berubah total. Timbul kegamangan, adakah artifak hasil reproduksi mekanis adalah juga artifak seni dengan nilai-nilai intrinsik setara dengan konsepsi sebelumnya.

Kendati menimbulkan perdebatan panjang dan jauh, yang jelas, yang tidak mungkin diabaikan, ialah munculnya kesan desakralisasi auratik atas supremasi artifak seni. Justru dengan penggandaan itu, secara sosial, artifak seni mampu menerobos sisi penikmatan yang lebih jauh dari masyarakat penikmatnya. Reproduksi artifak seni itu lantas punya asas ekualitas dengan produk kebudayaan lainnya. Inilah sumbangan yang berharga dari fenomena reproduksi mekanis artifak seni: mengubah resepsi manusia atas seni yang terkesan sangat elitis.

Juga, dengan model penggandaan itu, maka lahirlah artifak-artifak seni dengan keunikan eksistensialnya masing-masing. Ia sekaligus diaktifkan dan dihadirkan lebih dekat kepada penikmatnya, meskipun seandainya artifak seni itu tercerabut dari domain tradisinya, yakni aura otoritatifnya. Fotografi, contohnya, dengan beragam tekniknya tidak saja mampu melahirkan ribuan karya reproduksi yang prima, namun juga bahkan sangat mungkin melebihi karya aslinya. Maka, ngotot pada cetakan yang otentik menjadi ‘make no sense’, tambah Benjamin.

Jauh sebelumnya, kelahiran metode grafika cukil kayu (woodcut), yang kemudian melahirkan asas penggandaan, juga menggedor konsep otentisitas artifak seni. Apalagi kemudian diikuti dengan kelahiran etsa dan litografi. Pada pentas produksi sastra, sudah lazim, penggandaan mekanistik malah semakin memarakkan seni hurufiah itu pada tataran yang populis. Namun, sejatinya, huru-hara baru benar-benar terjadi semenjak kelahiran teknik fotografi. Sebab, melalui fotografi inilah peran tangan seniman dieliminasi semudah mata orang mengerling.

Fotografi: Ambiguitas Peran
Bagaimanapun juga kemampuan fotografi merekam objek – realitas atau peristiwa – secara presisi menunjuk pada satu hal: ia sahih sebagai media rekam. Fakta eksistensial di sana hadir dengan kesepenuhan dan berbagai dimensionalitasnya. Otentisitas itu mengantarkan pemandang pada kasunyataan empirikal. Tetapi ia sekaligus juga melontarkan pemandang pada situasi teralienasi oleh karena citraan atau fragmen fotografis itu merujuk pada ruang-waktu yang berbeda. Ia ada, namun sudah berlalu. Ia ilusif sekaligus riil. Ia hanya mengada, hadir sekarang, dan di sini seiring dengan aliran kesadaran (stream of consciousness) pemandang.

Memori pemandanglah yang mengalirkan kemewaktuan dalam sebuah foto. Dan, memang, waktu adalah dimensi yang utama dalam fotografi (David Finn: 1994). Namun, elemen ruang-waktu eksistensial yang menyertai kelahiran artifak seni auratik, yang kemudian diberhalakan, itu tidak menjadi tolok ukur utama pada karya fotografi. Fotografi berjalan jauh menawarkan pergulatan filosofis atas pengetahuan kognitif manusia terhadap fenomena realitas-ruang-waktu. Praktik fotografi, dengan demikian, mendesakralisasi apa yang disebut sebagai artifak seni yang otoritatif itu.

Testamen era reproduksi mekanis yang melikuidasi seni auratik itu, pada sisi lain, sepenuhnya tidak mampu mengecoh kelimun (masses) untuk bertolak dari hasrat mengobjektivikasi artifak seni. Masih saja banyak berserak praktik fetistik semacam itu. Isunya kian melebar, antara lain, tidak hanya pada kebendaan an sich, namun juga mengarah pada mitosisasi citraan. Contoh, kelimun yang bertekuk-lutut di hadapan merek global. Di sini peran fotografi sangat signifikan dalam proses produksi citraan itu.

Kemunculan fotografi memang, pada awalnya, sukses mendesakralisasi konsepsi artifak seni. Namun, sungguh ironik, melalui semua kemampuan mekanisasi dan kedigdayaan teknologisnya, fotografi justru mempraktikkan fetisisasi; tak hanya benda, bahkan citraan.

TUBAGUS P. SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esei ini diterbitkan di Seputar Indonesia, Minggu (31/12/2006)]

Monday, December 3, 2007

Mural: Turisme dan Strategi Kebudayaan

unknown work from unknown artist found from the net

[PENGANTAR: Saya pernah mengajukan Proposal tentang muralisasi di Pecinan Semarang kepada pengurus Yayasan Cengho danKopi Semawis, menemui Kepala Dinas Pariwisata Kodia Semarang, memberikan data kepada beberapa kolega. Secara umum sambutannya baik. Namun, hingga hari ini tidak ada realisasinya. Orang hanya bilang baik tanpa mau berbuat, meski cuma sesuatu.]

SENI LUKIS luar ruang, yang umumnya menggambari tembok-tembok kosong, itu disebut mural. Ini ekspresi seni yang populis, mudah dicerna, dan ‘cara mudah-murah’ meng-estetisasi ruang-ruang publik yang mangkrak. Mengapa tidak dipraktikkan di Pecinan Semarang sebagai strategi kultural pengembangan wilayah dalam perspektif turisme?

Tak bisa disangkal, bahwa Pecinan Semarang adalah sebuah kawasan eksklusif. Kekhususan itu akan punya nilai tambah jika seluruh masyarakat penyanggahnya, dengan sadar dan terus-menerus, mengenalkan kesadaran kebermasyarakatan yang cair. Salah satu jalan yang sudah ditempuh ialah dibukanya kawasan itu sebagai daerah tujuan wisata.

Meski dampaknya tak selalu positif dan bisa melebar di luar perencanaan, turisme mampu menaikkan kesadaran menenggang (tepa salira) di antara warga kota, menghargai pluralisme, dan terbuka atas fenomena multikulturalisme. Gejala ini perlu diluaskan pada apresiasi atas ekspresi seni mural yang digarap secara serius, terencana, dan terkoordinasi.

Arti penting mural bukan saja sebagai sebuah karya seni atau modus seniman mengenalkan konsepsi berkeseniannya kepada publik, namun ia perlu disikapi sebagai bagian dari strategi tawar-menawar – secara politis dan kultural – akan hak dan partisipasi satu komunitas atas pengelolaan tata ruangnya sendiri. Artinya, para stake-holders mengambil peran aktif di hadapan penguasa kota (sebagai pengatur kebijakan).

Siapa para pemangku kepentingan kawasan Pecinan itu? Tidak lain adalah penduduk setempat dan siapa saja yang selama ini bermukim dan beraktivitas secara sosial, ekonomi, dan kultural di sana. Jika dilebarkan, maka masyarakat penyanggah itu termasuk birokrat, cerdik-cendekia, dan keseluruhan masyarakat Semarang secara umum.

Strategi Kebudayaan
Dengan gagasan yang jernih, tujuan yang jelas, dan target yang realistis, muralisasi di Pecinan akan mampu mendatangkan hasil yang terukur. Partisipasi komunitas ini bagian dari community-based tourism.

Sejatinya, seni mural adalah seni publik yang mudah meraih partisipasi luas. Artinya, proyek mural benar-benar mampu melibatkan publik awam dalam praktik dan realisasinya. Yang tak kalah penting, publik secara sadar dan terarah menandai lingkungannya dengan gagasan dan karyanya sendiri secara riil. Kondisi ini tidak lain adalah suatu kesadaran mengkonstruksi arah kebudayaan suatu kawasan oleh para pemangku kepentingannya.

Visualitas dan tematika mural sangat bervariasi. Keduanya juga bisa dieksekusi dengan bermacam-macam teknik. Pilihan tematika dan visualitasnya bisa digagas oleh para pakar kesenirupaan, seniman, dan masyarakat penyanggah Pecinan itu sendiri sepanjang tidak keluar dari koridor tata ruang perkotaan Semarang secara umum.

Dari segi bentuk dan ukurannya yang gigantik, mural jelas mudah mengundang apresiasi dan atensi publik yang besar. Sudah tentu kehadiran kelimun (masses) itu akan melahirkan kebanggaan bagi entitas penghuninya serta mendatangkan keuntungan finansial tidak sedikit. Dan ini suatu tolok ukur yang cukup berharga dalam industri turisme.

Pecinan Semarang dengan homogenitas dan karakteristik khususnya memungkinkan praktik muralisasi bisa berlangsung sukses dan terkontrol. Lorong-lorong yang panjang dengan tembok-tembok yang meninggi bagaikan kanvas bagi angan-angan masyarakat Pecinan tak terkecuali. Jangan biarkan bidang-bidang itu dikotori oleh praktik coreng-moreng vandalisme saja.

Dengan persiapan yang matang dan terarah tak sulit memetakan dan menyalurkan kebutuhan psikologis dan hasrat estetik para penyanggah kawasan itu. Sebab, nilai keindahan visual mural itu mampu menjadi kanal pelepas tegangan psikologis penduduknya. Dalam skala lebih luas, lingkungan Pecinan akan semakin tertata, bersih, dan nyaman.

Muralisasi ini niscaya berhasil jika para pihak mau bekerja sinergis dan mengkompromikan berbagai kepentingan yang ada. Apalagi jika didukung oleh data riset, meski hanya dalam skala kecil.

Hindarkan kesemena-menaan gagasan hendak melakukan praktik muralisasi di seluruh kawasan Pecinan – bahkan di ruang-ruang publik di sepenjuru kota – tanpa dilandasi pemikiran yang serius. Acapkali gagasan itu juga tidak punya kedalaman tentang apa itu mural – plus semua konsekuensinya – secara memadai.

Tantangan Bersama
Mengenalkan seni mural di Pecinan Semarang layak pula dipandang sebagai suatu tantangan kreatif nan positif – utamanya – bagi seniman lokal. Mampukah para seniman turun gunung mengenalkan konsepsi berkeseniannya yang berbasis komunitas. Publik tentu ingin melihat kreativitas mereka tidak terbatas hanya memproduksi karya-karya elitis yang cuma bersemayam di ruang-ruang privat.

Melalui proyek muralisasi ini seniman turut andil menentukan arah perkembangan kotanya sendiri. Sudah saatnya para perupa Semarang hadir dengan gagasan dan praktik berkeseniannya yang orisinal, sehingga layak mencitrakan diri sebagai seniman garda depan.

Pakar-pakar ketatakotaan digugah untuk merancang kawasan Pecinan sebagai sumbu pertemuan masyarakat madani yang merdeka dan kreatif. Dalam konteks gagasan muralisasi itu, dituntut suatu pilihan tematika dan visualitas yang pantas diaplikasikan di kawasan termaksud.

Jangan sampai muralisasi itu menyasar tidak pada tujuannya, sebab bagaimanapun seni mural itu memerlukan perlakuan tertentu agar mampu memberikan kontribusi estetik pada lingkungan, kenyamanan psikologis, dan bisa dinikmati dalam jangka lama. Siapa tahu, seni mural di sana menjadi monumen ingatan kolektif warganya.

Yang tak kalah penting, bisakah (sebagian besar) para penghuni Pecinan, yang telanjur menyandang citraan minor sebagai homo economicus, mengubah diri sebagai homo esteticus pula. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Esei ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis (16/11/2006)]