Sunday, November 20, 2011

LOWBRO YANG TERSESAT

[Karya Uji 'Hahan' Handoko -- Foto: Courtesy of Semarang Gallery.]

PAMERAN “Finding Me” (Semarang Gallery, 12—26/11) digagas sebagai penampang umum praktik seni rupa kontemporer Indonesia dalam ranah estetik lowbrow. Alih-alih, kurator Rifky Effendy luput mewujudkan suatu eksposisi organis nan ciamik: kelindan gagasan, tematika, dan artifak seni subkultur itu.

Dalam tulisan kuratorial didedahkan perkembangan dan pengaruh lowbrow, terutama Amerika, terhadap praktik produksi seni sebagian seni rupawan kita. Lowbrow dikenal pula sebagai pop-surealism. Istilah Lowbrow Art muncul dalam gerakan seni bawah tanah, berbareng dengan komik underground dan musik punk, di Los Angeles, 1970-an, sebagai ekspresi perlawanan terhadap kultur yang mapan dan cara pandang hegemonik. Ciri-cirinya: santai, hibrid, satir, acap dengan rasa humor kelam dan komentar-komentar banal. Itulah mengapa ia disebut ’seni rendah’.

Menurut kurator, sebagian seni rupawan itu—dalam hal ini mereka yang tergabung dalam ”Finding Me”—terpengaruh oleh gerakan Pop Art (1960-an), street art (seni jalanan) dengan ikonnya Jean-Michel Basquiat (1960—1988), juga neo-pop ala Takashi Murakami dan Yoshitomo Nara yang mengusung citraan Manga dan Anime (animasi Jepang).

Bila dirunut, gerakan Dada di Eropa, 1920-an, memberikan kontribusi signifikan pada pemikiran seni (visual) generasi berikutnya. Dari sini terbuka semua kemungkinan gagasan dan visualitas seni rupa kontemporer mondial. Di dalam negeri, tentu, pengaruh itu berasal dari Gerakan Seni Rupa Baru, medio 1970-an.

Simbiosis animasi, komik dan computer game, pada akhirnya, bertemu sebagai Animamix Art. Ada ahli yang berpendapat, jenis seni ini menandai seni visual abad 21. Ia tumbuh subur dalam ranah industri kreatif. Keluaran genre seni ini melimpah di sekeliling kita sebagai computer game, film, desain grafis, industri mainan sampai dengan dunia fashion—produk-produk massal budaya pop. Setakat ini, gelagatnya seni visual tak memisah atau memilah diri sebagai ekspresi personal (dan bernilai transendental) belaka, namun bergusel dengan dunia industri membentuk citra dan komoditas fetistik.

Menengok Tanah Air, sudah terang, titik berangkat kebanyakan seni rupawan Indonesia dimulai dari aspek visualitas, bukan berasal dari pemikiran, diskursus atau ideologi estetik khusus. Dus, mereka suka-suka memungut visualitas yang berserak—milik seniman ikonik tertentu, muntahan imaji-imaji digitalis di internet, atau media lain—dan dijadikan strategi berkaryanya. Referen yang populer di kalangan seni rupawan muda Yogya (juga di Bandung?) adalah majalah Juxtapoz. Seniman Agung ’Leak’ Kurniawan secara berkelakar menamai model itu sebagai juxtapozism. Sebagian seni rupawan termaksud bisa ditemui dalam ”Finding Me”.

Pada hemat saya, strategi berkarya dengan cara memungut itu lebih sebagai mode, bukan ideologis. Ada yang menilai, itu laku selingkuh—dengan keterlibatan berbagai aktor di art world—untuk meladeni nafsu kapitalisasi benda seni. Metode memungut—untuk berkelit dari istilah plagiarisme!—dalam perbincangan paham posmodernisme disebut pastiche. Bandingkan dengan kelahiran ideologi Punk yang mengusung ”gaya sebagai bentuk Penolakan” dan, dengan begitu, bernilai subversif (Dick Hebdige, 1999).

Yang Tersesat, Yang Terdepan

Meski saya paham, genre lowbrow ala Indonesia adalah ramuan hambar, toh, saya masih berharap menemu kenikmatan estetis tatkala menyimak “Finding Me”. Saya bayangkan, ini suatu pameran terkonsep—dengan riset yang memadai—dan menarik tersebab berlangsung di salah satu ruang seni terbaik di Indonesia dan diampu oleh kurator bermartabat internasional. Sayang sekali, asa pupus, pula ekstase terhapus saat saya beranjangsana ke Semarang Gallery, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang, Senin (14/11) tengah hari.

Setelah tersentak suara dari pintu masuk galeri, saya langsung ke ruang pamer utama. Di tengah ruang saya termangu: ibarat tersesat dalam palung suwung. Inikah pameran seni visual yang disebut-sebut lowbrow itu. Istilah itu dan segenap konsepsi estetiknya—bagi saya—membentuk semacam kesan awal yang terpahami sebagai: keriuhan atau nuansa hiruk-pikuk lengkap dengan estetika banal—sebutlah grotesque—selaik aura seni jalanan.

Kenyataannya, di seluruh dinding galeri dipenuhi lukisan dengan berbagai varian ukuran dan material. Untunglah masih ada mural karya Eko Nugroho—itu pun residu pameran tunggalnya yang lalu, ”Multicrisis is Delicious”, 2008—dan Uji ’Hahan’ Handoko. Saya pun tak paham, apa alasan persandingan karya-karya di ruang pamer—atau berdasar kesamaan visualitas, atau klasifikasi lain. Kondisi ’manasuka’ itu diperburuk oleh nihilnya keterangan tambahan selain pelabelan biasa (judul, material, tahun pembuatan).

Jelas, materi pameran dan tatanannya tak berbeda dengan pameran-pameran lampau di tempat yang sama. Saya berkesan, karya-karya terpajang adalah wujud domestifikasi seni lowbrow. Ke mana? Terang saja ke ceruk-ceruk pasar antah-berantah. Sedangkan teks kuratorial, dengan eksplanasi kategoris-historis umum yang bersumber dari Internet, kiranya tak bertenaga menyunggi sekalian karya terpajang.

Alangkah menariknya bila di ”Finding Me” tersebut pula Nano Warsono, S Teddy D, Bob Sick, Indieguerillas dan Tromarama. Sedangkan Terra Bajraghosa dan Eko Nugroho menampilkan animasinya. Tentang keterlibatan Heri Dono, saya kira, malah mengeksklusi seniman ini dari tema besarnya, kebudayaan Jawa. Ia terasa dikerdilkan bila cuma didekati dari sisi konsepsi lowbrow. Satu-satunya seniman yang terbukti ’ideologis’ di dalam pameran tersebut adalah EddiE ’Om Legend’ haRA. Sedangkan lukisan etsa Rocka Radipa (Regenerative, 2011) menarik oleh karena visualitas, teknik dan anasir gotik yang dihadirkannya.

Sebagai suatu peristiwa seni—praktik produksi-konsumsi estetik yang melibatkan khalayak—pameran seni visual harus dikemas baik, juga cerdas, sehingga enak ditonton. Dan memberikan nilai edukatif, bukan gimmick. (Tubagus P Svarajati, kritikus seni rupa, tinggal di Semarang)

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 20 November 2011.]