Sunday, November 28, 2010

MARI MENONTON VIDEO

"Video Spa" by Krisna Murti (Photo courtesy by Semarang Gallery)

MARI MENONTON VIDEO

Menyongsong Mediatopia di Galeri Semarang

SEPENDEK yang bisa saya catat, baru kali inilah seorang seniman berpameran retrospektif di Semarang. Ini bukan agenda sembarangan, melainkan program serius yang berkehendak mengenalkan, kurang-lebihnya, capaian gagasan dan kreasi seniman yang dianggap penting dalam kurun tertentu ritus kreatifnya. Dia Krisna Murti.

Medan seni Indonesia—dan hingga ke mancanegara—mengenalnya sebagai seniman video terkemuka. Dia lebih dari 10 kali berpameran tunggal di Indonesia. Pameran kelompoknya di dalam dan luar negeri melampaui 50 kali. Sebagian pameran tersohor yang diikutinya, yakni Venesia Bienalle, Gwangju Bienalle, dan Trienalle Art Fukuoka. Dia sebagai pembicara di beberapa perhelatan seni penting tingkat dunia seperti Havana Bienalle, 2001. Karyanya dikoleksi oleh lembaga-lembaga terhormat, antara lain, Fukuoka Asian Art Museum, Singapore Art Museum, dan Galeri Nasional Indonesia.

Pada Maret 2008, di tengah-tengah booming pasar seni rupa Indonesia, Krisna Murti menggelar pameran tunggal “Forbidden Zone” di Rumah Seni Yaitu, Semarang. Dia memajang sejumlah lukisan lanskap ala “Mooi Indie” di samping videonya yang berjudul “Airplane”. Publik seni—barangkali termasuk Dr Oei Hong Djien yang membuka pameran—ingin tahu, apakah seniman video ini sedang memanfaatkan momen kaostik pasar seni itu.

Sebenarnya seniman ini konsisten menggeluti seni media baru (new media art) tatkala belum banyak orang bersinggungan dengan seni yang memanfaatkan kecanggihan teknologi media itu. Barangkali dia masyhur bukan semata kepeloporannya, melainkan karya-karyanya terbilang menarik, memunculkan aspek kebaruan, dan mendasar dalam konteks diskursus atau pemikiran.

Dalam hal pemikiran, Krisna Murti sering menulis esai-esai timbangan perjalanan seni video Tanah Air di berbagai media. Tulisannya informatif, bernada elaboratif dan menguarkan semangat moderat pada perkembangan kultur media baru itu. Oleh karena pengaruh globalisasi, dipermaklumi jika beberapa aspek pemikirannya seraut dengan gagasan yang berseliweran di berbagai belahan dunia lain.

Kita mafhum, perkembangan seni media baru seiring dengan kemajuan teknologi medianya. Di zaman digital-internet sekarang, tatkala ruang-waktu teringkus kurang dari satu helaan napas, seni media baru ini mengalami kemajuan tak terkira dari sisi modus penciptaan, cara menikmati atau aksesibilitas, dan media tayangnya. Lebih jauh, terkesan siapa pun mudah memproduksinya melalui perangkat (gadget) sederhana dan murah. Semua itu tidak tergantung pada ruang-waktu spesifik. Demokratisasi seni media baru ini, lantas, melahirkan kultur yang egaliter: publik sebagai apresian sekaligus bisa sebagai produsen (atau “seniman”) seni.

Di tengah kondisi itulah Krisna Murti memamerkan pergulatan kreatifnya, kurun 1993—2010, dalam suatu pameran retrospektif “Mediatopia”. Total ada 21 karya video yang dibagi menjadi dua segmen dokumentasi, empat instalasi video, lima video tayang-langsung (video screening) dan satu instalasi suara interaktif. Dipamerkan juga 29 karya cetak digital di kertas, karton dan kanvas serta dua karya boks lampu.

Pameran ini dikurasi oleh Rifky Effendy, berlangsung di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang, selama 3—23 Desember 2010. Pada malam pembukaan, Jumat (3/12), direncanakan ada aksi performance.
***
Kebanyakan publik menganggap seni video bersifat naratif dengan urutan waktu linear dan gagasan transparan. Asumsi ini kerap meleset. Seperti halnya ekspresi seni kontemporer lain, seni video (video art)—sebagian kalangan menyebutnya sebagai video saja—menajakan ide dan cara ungkap artistik sarat perlambang. Maka, struktur seni bukan lagi sesuatu yang dipahami secara linear, berurutan, namun sangat mungkin terpecah atau fragmentatif. Juga, apresian berhak punya pengalaman atau tafsir atas serpihan imaji dan membangun narasi, membentuk persepsi atau daya cerap sendiri.

Kemandirian apresian bukan harga mati. Sebagian seniman malah berupaya melibatkan audiens menjadi bagian dari gagasan atau skema karya seninya. Ini dimungkinkan oleh majunya perangkat lunak video, peranti atau rancang bangun karya itu sendiri. Maka, pada situasi tertentu, partisipasi aktif audiens pada interaktivitas video bahkan menjadi tujuan utamanya. Audiens, dengan begitu, dirangsang berperan aktif dalam dinamika sosial-budaya yang digagas seniman. Aspek lain yang dielaborasi ialah emosi pemirsa.

Dari sisi kekaryaan, seni video acap bukan karya tunggal, soliter atau cuma ditayangkan di layar kaca atau monitor. Tidak juga hanya berkanal tunggal (single channel video), namun bisa multi kanal pula. Tampilannya bisa sangat kompleks dan instalatif. Video bisa bersisian atau bergabung dengan peranti teknologi lain, seperti perangkat audio, pemindai, kamera (termasuk CCTV), berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi, atau benda-benda lain.

Cara produksi video pun beragam. Sering seniman mencuplik penggalan-penggalan (footages) imaji, termasuk suara-suara (sounds), yang berasal dari televisi atau sumber lain. Artinya, seniman tidak memproduksi materi citraan—imaji bergerak mau pun still, seperti foto—atau suara sendiri. Setakat ini, dalam wacana seni kontemporer, praktik mencuplik, meniru, menggandakan (copy), menyebarluaskan karya seniman lain, namun diakui sebagai bagian dari kreasinya sendiri adalah langkah “sah”.

Satu hal yang pasti, perkembangan dan kemajuan teknologi media mendorong demokratisasi aksesibilitas dan cara menonton video. Maka lahirlah kultur menonton baru: budaya visual itu hadir tanpa terikat ruang-waktu dan serempak (omnipresent). Lihat, dengan gampang orang menonton video, gambar bergerak, di layar komputer atau bahkan di genggaman tangannya (Terima kasih, Internet!). Gambar, citraan atau suara bisa mudah diunggah-diunduh. Barangkali “sakralitas” karya seni—termasuk video—dalam tradisi modernisme, mulai tergerogoti.

Pertanyaannya, masih relevankah seniman mengusung seni video di ruang galeri dan mengharapkan audiens datang menyimak langsung?

Bagi Krisna Murti masalahnya mungkin tidak sederhana itu. Seniman ini sadar akan kekuatan video untuk “memerangkap” penonton dalam skenario teatrikal yang digagas seniman. Belum lagi kekuatannya mempermainkan emosi audiens. Lebih jauh, dia sadar akan paradigma filosofis yang terkandung dalam video. Wacana video, antara lain, mengaburkan batas-batas representasi-representasional, realitas-tontonan, memori-imajinasi, waktu artistik-waktu riil yang semuanya bisa disandingkan ulang-alik. Bagi dia, video bisa disejajarkan dengan wacana bayang-bayang dalam konsep wayang kulit.

Menelisik tematika karya-karyanya, bisa disimpulkan, Krisna Murti figur seniman yang kritis pada peristiwa politik-sosial-budaya. Tampilan dan gagasannya kontemplatif. Dia serius mengangkat isu waktu dan realitas filosofis. Pada hemat saya, dua hal ini sedikit dielaborasi oleh kurator atau kritikus pada umumnya.

Mengakhiri pengantar ini, saya ingin katakan, “Mediatopia” layak dijadikan tujuan berseni-seni di penghujung minggu ini. Sila Puan-Tuan ke Galeri Semarang. Mari menonton video.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai tersunting diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 28/11/2010.]

Tuesday, November 16, 2010

Melampaui Mooi Indie dan Jiwa Ketok


Resensi Buku

Judul:
Sang Ahli Gambar
Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono
Penulis:
Aminudin TH Siregar
Penerbit:
S Sudjojono Center dan Galeri Canna
Cetakan:
Pertama, Oktober 2010
Tebal:
410 halaman

HAMPIR bisa dipastikan, sejarah pemikiran seni rupa modern Indonesia berawal dari gagasan dan polemik yang diuarkan oleh S. Sudjojono. Dia dikenal sebagai figur di balik kebesaran—bahkan nyaris identik dengan—organisasi Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1930-an.

Buku “Sang Ahli Gambar Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono” ini mendudukkan Pak Djon—sapaan akrab—sebagai tokoh sentral dalam pergolakan pemikiran seni di Indonesia. Medan seni Indonesia mengenalnya, di luar kepala, sebagai pencetus istilah “Mooi Indie” dan kesenian sebagai “jiwa ketok”. Menurut Aminudin TH Siregar—penulis buku yang dosen ITB, kritikus dan kurator—“jiwa ketok” ini adalah kredo seni yang paling popular.

“Mooi Indie” adalah ekspresi sinisme S Sudjojono terhadap lukisan—utamanya karya pelukis kolonial Belanda atau Eropa—yang melulu menggambarkan keindahan optis. Baginya, lukisan semacam ini tidak mengungkapkan alam dan jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya. Yang digambarkan itu “bukanlah Timur”, melainkan “representasi tentang Timur” (h. 46). Para pelukis “orientalis” itu selalu menggambarkan alam Indonesia yang bertumpu pada trinitas “suci” pohon kelapa-gunung-sawah. Pada titik ini, pemikiran S Sudjojono melampaui Edward Said yang mewacanakan orientalisme dalam buku Orientalism, 1978.

Sedangkan “jiwa ketok” sebenarnya cara S Sudjojono mengingatkan seniman agar bekerja dengan “kebenaran”, bukan dengan “kebagusan” saja. Dia mewaspadai kelahiran pelukis-pelukis medioker yang menganggap “keterampilan teknis” tidak diperlukan. Pelukis semacam ini biasanya berlindung di balik retorika, kalau bukan teori atau filsafat. Para avonturir diingatkannya tentang craftmanship. Katanya, “Kalau teknik sudah dikuasai, dia mau melantur, terserah.” (h. 107).

S Sudjojono—kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, perkiraan 1913—ialah pemikir kesenian yang menonjol pada masanya. Pemikirannya, setidaknya, terbagi dalam dua pokok: “identitas” dan “modernitas” (h. 35).

Tanda-tanda kemodernan S Sudjojono, dalam konsepsi Foucault, bisa didekati melalui perspektif khusus, yaitu “cara bertanya terhadap suatu fenomena” dan “cara bertanya individu terhadap dirinya sendiri (self)”. Dalam bahasa lain, keduanya tentang “kesadaran sosiologis-historis” dan “kesadaran filosofis-etis” (h. 56).

Kesadaran filosofis-etis S Sudjojono dalam menyikapi modernitas bukan semata hal periodisasi atau kronologi sejarah, melainkan hendaknya dipahami sebagai “tugas”, suatu “etos”, suatu aktivitas individu untuk membedah atau mendiagnosis situasi terkini ((h. 57). Artinya, manusia modern harus berani bersikap terhadap kekinian yang ditunjukkan dengan hadirnya keterputusan atau discontinuity (h. 61). Kemodernan adalah kesadaran akan diskontinuitas waktu: jeda dengan tradisi dan munculnya rasa kebaruan (h. 64).

Dengan menelisik sisi identitas dan modernitas figur S Sudjojono, kita paham, penulis buku ini memberikan porsi besar pada kesadaran aku-seniman S Sudjojono dalam historisitas seni rupa modern Indonesia. Dia memang sosok yang gigih menolak “kolonialisme seni” dengan cara menghajar seni lukis “Mooi Indie”. Dalam istilah terakhir itu implisit terkandung paham nasionalisme. Secara hiperbolis penulis buku ini menganggap gambaran alam dalam lukisan-lukisan S Sudjojono mengarah ke “patriotisme” (?) sebagai refleksi kuatnya kesadaran nasionalisme sang Ahli Gambar itu (h. 378).

Dalam aspek diskontinuitas ruang-waktu historis S Sudjojono antusias “menuliskan” sejarah dan jatidiri seni lukis Indonesia. Tentang ini, terang belaka, tertulis dalam salah satu judul karangannya, yaitu “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa”.

Kritikus Trisno Sumardjo menjuluki S Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru dan seni lukisnya sebagai “Realisme S Sudjojono”. Penulis buku ini meyakini, “Realisme S Sudjojono” pada dasarnya adalah temuan, atau mungkin juga konsepsi seni yang khas, yang terikat oleh ruang-waktu spesifik, yang hanya bisa—dan pernah—lahir di ranah persoalan Indonesia (h. 380). Bagi S Sudjojono, “realisme” itu bukan mengarah ke “estetik”, melainkan menyasar ke soal “sosiologis” sebab diarahkan ke soal “kedudukan seni dan seniman” dalam lingkungan masyarakat (h. 380).

Buku ini sangat penting sebagai upaya menyusun historisitas seni rupa modern Indonesia yang berwibawa, khususnya terkait peran S Sudjojono. Tercetak pula lebih dari 250 gambar/sketsa yang sebagian besar belum pernah dipublikasikan. Oya, asal tahu, Pak Djon inilah yang mencipta kata “pelukis” dan “seniman” dalam khazanah bahasa Indonesia. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Ringkasan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 14/11/2010.]