Friday, April 16, 2010

KOK POO DAN DULLAHISME

["Miss Sasih" by Dullah - Collection of Neka Art Museum.]

MENARASIKAN sejarah adalah upaya memelihara ingatan kolektif agar fenomen—peristiwa dan pelaku—dihargai sepadan sesuai peran atau kontribusinya. Sejarah adalah bangunan memori kolektif yang ditegakkan atas nama kepentingan atau konstruk sosial-politis tertentu. Dalam konteks esai ini catatan sejarah berguna bagi dunia kreatif—khususnya seni visual—Semarang terkait dengan politik kesenian-kebudayaannya.

Penulisan sejarah seni lokal berguna pula sebagai kerangka belajar dan pemandu agar praktik kreatif seni visual kota terhindar dari cermin buruk rupa. Dari sini orang bisa berupaya membangun infrastruktur yang lebih mapan. Dan kesadaran menyejarah itu mesti dimulai dari para pemangku kepentingan.

Karenanya, catatan kreatif sekecil apa pun—individual mau pun kolegial—elok bila dituliskan. Jika tidak, peran dan kontribusi penting niscaya mudah tergelincir dari ingatan masyarakat. Faktanya, sebagai kota urban kosmopolit, sejak era kolonial, Semarang tidak punya catatan kesenian yang memadai—setidaknya lima dasawarsa terakhir. Satu dua nota tersisa, antara lain, ialah Pelukis Rakyat (di dalamnya ada Hendra Gunawan, Affandi, dan Trubus) berpameran di Semarang dalam rangka Kongres Perdamaian, 1955. Affandi sekeluarga—bersama Maryati (istri) dan Kartika (anak)—unjuk gigi pada tahun 1970-an.

Sanggar Raden Saleh yang berjaya pada tahun 1970-an, bahkan nyaris identik dengan kesenilukisan Semarang saat itu, samar-samar terlacak notasinya. Publik pun lupa pada fenomena Pawiyatan Sanggar Raden Saleh (1978) sebagai kelompok belajar seni lukis—pada masanya mendidik 100 siswa lebih di Balai Desa Karangkidul, Semarang Tengah—yang sempat melahirkan seniman berkelas AS Kurnia.

Fenomena “melupa-diri” itu merugikan praktik dan strategi kesenian-kebudayaan kota. Nyaris kita tak punya sosok senirupawan kebanggaan kota selain cuma sepotong kenangan kabur pada figur Raden Saleh.

Demi membangun ingatan kolektif yang adil adalah bijak kita kenali dan hargai pelukis Kok Poo. Dia adalah seniman dengan kontribusi jelas bagi banyak pelukis Semarang. Perannya pantas diperluas dan diremunerasi sebagai salah satu seniman penting kota ini.

Dullahisme
Kok Poo adalah anak didik Dullah, pelukis istana pada era Presiden Soekarno. Selama sepuluh tahun (1972—1982) dia nyantrik kepada Dullah di Sanggar Pejeng, Bali. Sanggar ini mengambil nama suatu desa sepi-tenteram nan sejuk di antara Ubud-Tampaksiring. Selain Kok Poo, pelukis Tan Hok Lay dan Inanta Hadipranoto (keduanya asal Semarang) juga berguru kepada Dullah.

Boleh dikata pesona Dullah mencengkeram kuat di benak dan kreasi anak didiknya. Mereka, karenanya, seakan-akan “meniru” persis tiap jengkal gerak tangan, sapuan kuas, pilihan objek, hingga alam pikiran atau ideologi kesenian Dullah. Walhasil, Dullah dan anak didiknya melahirkan semacam “dullahisme”.

Ciri-ciri utama genre dullahisme: lukisan realistik dengan latar lelehan cat transparan, warna gelap-kusam, pulasan cat tipis, dan pilihan objek keseharian. Pokok soalnya (subject matter) hanya berkisar pada model (anak-anak, gadis molek, kakek-nenek renta), bebungaan, bebuahan, alam benda, hewan-hewan peliharaan, sudut-sudut desa dan lanskap seputar Bali. Tematik itu divisualisasikan berdasar pakem komposisi konvensional (biasanya memusat) dan teknik pencahayaan chiaroscuro (umumnya sudut pencahayaan samping atau dikenal sebagai Rembrandt Light). Singkatnya, ini genre mimikri realitas.

Di Semarang, di tengah-tengah kebekuan praktik seni rupa kota antara tahun 1990—2000-an, Kok Poo tekun membina sejumlah anak muda dan pelukis paro waktu. Dalam mendidik mereka Kok Poo tidak menyediakan waktu atau ruang khusus. Muridnya datang silih berganti menunjukkan karyanya. Dia akan mengomentari, mengritik, dan kerap memperlihatkan cara atau teknik melukisnya. Dengan metode itu Kok Poo menurunkan ilmunya dan seketika murid-muridnya mendapat bekal melukis secara praktis.

Kok Poo sangat menekankan upaya melukis secara langsung, on the spot. Baginya, cara itu memudahkan belajar sekaligus mampu menangkap esensi dan raut objek yang dilukisnya. Praktik amatan langsung itu mengharuskan seseorang menguasai aspek nirmana, anatomi dan proporsi bentuk, serta kondisi emotif sesaat. Secara berolok-olok, seni lukis dullahisme yang dikenalkan oleh Kok Poo itu diberi label “Mangga-Pisang-Jambu”. Akibatnya, seni lukis Semarang dikenal kuat berciri realis-naturalistik.

Tak jelas berapa banyak pelukis Semarang yang tetap setia pada ajaran Kok Poo. Yang terang, berkat didikannya, berpuluh-puluh orang benar-benar mampu hidup dari hasil kerja melukisnya. Kok Poo tak cuma menularkan tradisi dullahisme, melainkan juga membukakan jalan penghidupan bagi pengikutnya. Inilah kontribusi terbesar Kok Poo—sosok Guru seni lukis yang kukuh—pada praktik kreatif seni visual Semarang.

Kini Kok Poo (72) nyaris tak melukis lagi. Kondisinya melemah karena beberapa kali terserang stroke. Namun, semangat dan keyakinan seninya tetap sekuat dulu. Medan seni Semarang pantas mengenangnya sebagai seniman yang tangguh dan ulet. Ia pantas didukung mewujudkan pameran retrospektif lengkap. Semoga sekalian muridnya terketuk bersoja takzim kepada sang Guru. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa: 12/01/2010.]

Thursday, April 8, 2010

SETELAH DUCHAMP, BUAT APA CHONGYANG

[Photo: Courtesy of Semarang Contemporary Art Gallery.]

The artist is the origin of the work. The work is the origin of the artist.
—Heidegger

MARCEL DUCHAMP—pada tarikh 1917—mengirimkan kloset-kencing ke pameran besar The Society of Independent Artists di New York. Barang-jadi (ready-made) itu cuma dibubuhi dengan “R. Mutt, 1917”. Sejak itu paradigma dan sejarah seni rupa modern pun berubah.

Kita paham, seni rupa modern, antara lain, menegaskan keluhuran pakem (order) dan memuliakan ketrampilan (skill). Justru di situlah paradoksnya: Kloscing (kloset-kencing) atawa torpis—akronim sentor pipis (pissoir) seturut Goenawan Mohamad—Duchamp adalah barang pabrikan yang didongkrak derajadnya sebagai benda seni yang diistilahkan sebagai found-art. Dunia gaduh: Serentak ruh seni rupa modern meluruh—mungkinkah benda-temuan (found-object) itu dihargai setara-sebangun dengan seni adiluhung. Ingatlah, keriuhan itu terjadi saat Barat bersiteguh dalam paham Modernisme.

Pada kuartal pertama abad 20 itu, guna menyuarakan kemuakan pada paham borjuis dan keputusasaan masyarakat yang berkembang selama Perang Dunia I, Duchamp—bersama Hans Arp, Man Ray dan Francis Picabia—menggelorakan Dadaisme. Ini gerakan budaya anti-perang yang menentang standar seni universal. Raut anti-seni itu diwujudkan melalui beragam teknik, antara lain, kolase, montase foto, asembling, dan merekayasa barang-jadi sebagai ekspresi seni. Dalam bahasa sederhana, Dada menghalalkan segala ekspresivitas atas nama seni (rupa).

Halai-balai berlanjut. Joseph Beuys hadir melebarkan definisi seni: Every human being is an artist. Adagium Beuys terkait dengan keyakinannya, bahwa hanya seni yang bisa membongkar efek represif dari sistem sosial yang menyakitkan. Singkatnya, karya seni sebagai organisme sosial. Ia yakin, seni adalah satu-satunya kekuatan evolusioner-revolusioner.

Beuys dan Duchamp tampaknya dipertegas oleh Martin Heidegger, filsuf yang berjuluk “sang penyihir dari Messkirch”, yang berpikir dan menulis di suatu pondok kecil di pedesaan Todtnauberg, dekat Freiburg. Dengan menyebut “Sang seniman adalah muasal karyanya. Karyanya adalah muasal sang seniman.” seolah-olah ia hendak mengatakan: Seniman dan karyanya ibarat sekeping mata uang, kedua sisinya tak terpisahkan. Apakah Heidegger hendak menegaskan bahwa ekspresi seniman, bagaimana pun atau apa pun, adalah karya seni dan begitu pula sebaliknya?

Akan tetapi, kita patut memeriksa perihal “Seniman” dan “Karya Seni”. Siapakah dan bilamana seseorang ditahbiskan sebagai “Seniman” dan bagaimana sesuatu benda—ya, karya seni tak lain adalah “benda” lengkap dengan sifat kebendaannya (masih gagasan Heidegger)—dianggap sebagai “Karya Seni”.
***
Tatkala Duchamp menyodorkan kloscing, kita mafhum, terjadilah perdebatan sengit: Apakah barang-jadi fungsional itu terkategori “Seni”. Andaikan sosok itu bukan Duchamp—seniman pencipta lukisan “Nude Descending a Staircase, No. 2” yang kondang itu—apakah kloscing “R. Mutt, 1917” tetap meraih atribusi sebesar itu? Barangkali kisahnya akan lain.

Di inilah pangkal perdebatannya: Ada perbedaan antara nama dan “Nama”. Ia terkait dengan “the economy of recognation”, begitu tulis Goenawan Mohamad (risalah Sebuah Torpis, sederet “nama”, 2005). Di dalamnya terkandung pengertian “fetisisme komoditas” Marx, yakni mistifikasi sesuatu—barang atau nama—dengan derajat nilai ekonomis lebih ketimbang nilai guna atau reputasinya. Perlu dikutipkan lagi di sini sepenggal paragraf dari risalah GM—sapaan ringkas Goenawan Mohamad, jurnalis cum sastrawan Indonesia kenamaan—di atas: “Nama” itu beroleh nilai tukarnya sendiri, yang kemudian disebut “harga”, sebuah penilaian yang terlepas dari kegairahan atau pun jerih-payah sang seniman ketika ia melahirkan sebuah karya.

Namun, justru karena kegairahan tepermanai dan jerih-payah yang berdarah-darah melahirkan karya seni itulah seseorang, akhirnya, pantas dihargai sebagai seniman. Ini, tentu saja, keyakinan saya mengenai “Seniman” dan “Karya Seni”. Tegasnya, reifikasi mustahil semulus jalan tol.

Sementara itu, terbentang jarak bermil-mil dan nyaris seabad setelah kloscing Duchamp ramai digunjingkan, seseorang membawa tabung-tekan-kucur (dispenser) berisi chongyang—arak industrial khas lokal Semarang, berwarna merah marun, berbau sengak-menyengat—ke dalam galeri. Tabung dan seisinya itu diniatkan sebagai benda seni. Seseorang itu dibilang sebagai seniman pula. Seketika kita sadar, bukankah terasa ada perbedaan antara benda dengan “Karya Seni” dan seniman dengan “Seniman”.

Esai pendek ini ialah upaya mendiskusikan pameran “Ecce Homo” di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang (1—10/3). Perlu dipertegas, risalah ini hanya menyoroti salah satu karya terpajang, yakni tabung-tekan-kucur yang berisi chongyang itu.
***
Puluhan tahun terbilang, zaman beralih-rupa, dan seni rupa berevolusi “dari olah rupa, olah bentuk, olah media, olah konsep, olah peristiwa, olah tubuh, hingga ke olah realitas sosio-kultural sehari-hari” (Bambang Sugiharto, Kompas, Minggu, 27/6/2008). Artinya, dunia seni rupa telah pontang-panting berusaha mendefinisikan dirinya sendiri.

Karena itu, masih pantaskah konsepsi benda-temuan dikira sebagai karya seni di masa sekarang? Bagaimana memposisikan ketrampilan teknis atau artistik seniman (craftmanship)? Juga, adakah perbedaan antara “Nama” dan nama: antara Duchamp dan seseorang lain yang disebut-sebut sebagai seniman muda itu?

Bilamana chongyang—di galeri—berubah fungsi dan nilai sebagai karya seni, apakah serentak arak merah marun di toko-toko disebut sebagai arak-seni pula. Kita paham, meski karya seni tergolong “benda”—seturut Heidegger—ia tak semata-mata benda an sich, melainkan membicarakan sesuatu yang lain, allo agoreuei. Artinya, karya seni bersifat alegoris sekaligus simbolis. Lantas, chongyang mewakili dan merepresentasikan apa gerangan? Ataukah ia sebenarnya memang benda belaka? Jika begitu, masih perlukah mengusung dan menganggapnya sebagai karya seni di galeri?

Beberapa orang gelisah dan bertanya-tanya: Bagaimana dan seberapa jauh galeri mampu menabalkan sesuatu benda menjadi karya seni? Kelak, tatkala ide telah menguap dan hasrat sensasional menjulang-melangit, barangkali satu sofa putih di ruang pamer bisa tersebut sebagai karya seni pula. Saat itu para connoisseurs mungkin berseru: Alamak! Barangkali sudah waktunya publik memaklumi, dalam politik kesenian, seniman tak bebas nilai dan “seni rupa” adalah suatu kategori hasil kontestasi dan negosiasi berbagai wacana, kepentingan, dan otoritas. Dan kurator, tentu saja, terlibat dalam konstruksi anggitan itu.

Sekali lagi, sebagai pengantar diskusi, masih pentingkah peran craftmanship dalam proses penciptaan karya seni sehingga tak serta-merta siapa pun bisa gampang mendaku barang-jadi sebagai sebuah karya seni? Atau, perlukah diferensiasi “Nama” dan nama atau “Seniman” dan seniman?

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 04/04/2010.]

Friday, April 2, 2010

CITRA BANAL FOTOGRAFI PILKADA SEMARANG

[Photo: Tommas Titus Kurniawan]

DALAM kampanye pemilu atau pilkada, termasuk kampanye pilkada Semarang, fotografi punya peran signifikan. Para kontestan—mereka yang sedang “menjual diri” untuk meraih jabatan publik tertentu—tampil sebagai sosok ideal melalui citra dirinya. Maka, foto diri adalah alat sekaligus representasi personal dan pesan atau gagasan.


Sebagai alat, foto digunakan untuk menampilkan diri sebagai figur dalam beragam kemungkinan: eksekutif, pengusaha, pemuka agama, juru penerang, pendidik, petugas medis, tukang sapu, kernet mikrolet hingga tokoh berkostum kecina-cinaan. Maksudnya jelas, mengusung dinamika pluralisme dan profesionalisme.


Ikonografi itu mengandung sugesti: Yang bersangkutan tak lain citra cermin yang tepat dan terbaik bagi sekalian calon pemilih (atau mereka yang terperangkap). Imperatifnya, pilihlah saya, calon walikota dan wakil walikota yang representatif.


Tampak luar kostum dan penggayaannya, tercermin dalam tanda-tanda fotografis yang telanjang, mengarah pada satu kemungkinan: Foto adalah media yang diperalat demi konstruk politis tertentu. Dalam hal ini kehendak menjual citra natural dengan segenap positivitas sosio-moral, ambisi, dan pengabdian sang kontestan.


Celakanya justru citraan masif dan variatif itulah yang menerbitkan kecurigaan pemandang. Tanda-tanda ideal itu pun kerap tak menelorkan hasil akhir sepadan sesuai ide awalnya. Produksi makna dan pesannya, sehubungan dengan koherensi imperatifnya, tak berjalan linear. Publik bisa saja mengartikan lain. Barangkali yang tertangkap di permukaan ialah: Citra sosok nan kikuk notabene a-fotogenik.


Faktanya, kini orang Indonesia gemar bergaya (lengkap dengan cacat-celanya). Foto-foto kampanye pilkada—di seluruh Indonesia—menggarisbawahi asa narsistik itu. Publik mafhum, apa pun mesti dilakukan oleh mereka yang sedang berebut kursi birokrasi yang, konon, “basah-basah empuk” itu.


Padahal, dalam ingatan orangtua Frances Gouda, “orang Indonesia cenderung tidak memperlihatkan diri” melainkan “lebih sering menjadi latar panggung hiruk-pikuk kehidupan dan kerja komunitas kolonial Belanda”. Profesor sejarah dan jender di Universitas Amsterdam itu menuliskan catatannya dalam buku Dutch Culture Overseas (Penerbit Serambi, 2007). Namun, itu dulu tatkala Indonesia masih dinamai Hindia Belanda dan bumiputera disebut inlander oleh kolonialis Belanda.


Memeriksa dan Memutuskan

Dalam masa kampanye pilkada Semarang, contohnya, publik jarang mendengar atau membaca apa saja program atau ideologi para kandidat. Yang lebih sering masyarakat hanya disuguhi morfologi foto diri (alat peraga) dan slogan-slogan sebagai manifestasi tindak bertutur serampangan. Nyaris tak ada guliran wacana atau pernyataan politik yang mencerdaskan. Bahkan kerap foto diri dan slogan itu terkesan main-main, tidak serius, dan terbilang sebagai lawakan. Contohnya, teliti peraga salah satu kandidat sebagai “sopir-kernet mikrolet” dan slogan “Jaran Kepang Makan Brownies, Jadikan Semarang Kota Yang Manis”. Apa yang bisa disarikan dari gestur dan slogan canggung itu?


Lantas, bagaimana menanggapi citra diri kebapakan, berkumis tipis, dengan sorot mata lembut dan disertai senyum dikulum? Atau imaji lelaki bersorot mata tajam, berpeci, dengan tampilan dingin dan sangar itu? Barangkali gestur dan pose klise keduanya—dalam nuansa “resmi” ala Orde Baru—menguarkan mitos kewibawaan. Melalui fotografi para kandidat “menjual” dirinya agar “terbeli”. Dalam konteks “jual-beli” itu, kampanye, tak lain, adalah proses semiosis budaya massa.


Roland Barthes, ahli semiologi strukturalis, melakukan kritik ideologi atas bahasa sebagai budaya massa dan mengulas cara kerjanya secara semiotik. Esai-esainya terkumpul dalam buku Mitologi (Penerbit Kreasi Wacana, 2004). Dalam salah satu esainya—Fotografi dan Daya Tarik Pemilu—Barthes menyatakan, “yang dialirkan melalui foto calon bukanlah rencananya, namun motifnya yang terdalam”. Agaknya ia hendak menegaskan bahwa kampanye adalah praktik komunikasi kompleks sarat agenda. Bisa disimpulkan, fotografi dalam ranah politik diperdaya sebagai bahasa yang, bisa jadi, “anti-intelektual”.


Sejatinya fotografi terkait erat dengan wacana ruang-waktu semasa. Dalam kampanye, kedua elemen itu direkayasa. Kandidat hadir di sembarang tempat dan terus-menerus. Infinitas itu bukan lambang eksistensialitas atau personalitasnya, tetapi praktik persuasif: Kapan saja dan di mana saja kandidat akan selalu bersama masyarakatnya. Jurus ini mangkus membius konstituen umumnya, tetapi belum tentu mempan mengakali mereka yang berpikir panjang.


Karena tak banyak program kerja terkomunikasikan, maka esai ini hanya menyoroti yang tampak, yakni citra fotografis para kontestan. Berpegang pada analisis sederhana di atas, risalah ini mengarah pada sikap: Bagaimana pemilih kritis menyimak dan menentukan putusannya. Apa boleh buat, pilihan tak mesti dibuat mengingat banalitas citraan itu.


TUBAGUS P SVARAJATI

Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang


(CATATAN: Versi tersunting dari esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa: 06/04/2010.]