Sunday, December 28, 2008

Semarang Sekarang Tidak Maju, Tidak Mundur

Artworks by Nindityo Adipurnomo showed at Rumah Seni Yaitu
in his solo exhibition "WWW dot JAVA", Dec 20-2008 to Feb 14-2009.
These pictures show the works are unpacked. (Photo: Collection of RSY)

PETA seni rupa Indonesia tahun 2008 amat hiruk-pikuk. Pokok soal terutama, dan penting, ialah isu dan praktik mendaras tentang pasar dan pemasaran produk kesenirupaan. Dalam beberapa segi, imbasnya menerpa Semarang pula.

Gebalau pemasaran karya seni rupa (khususnya lukisan), sepanjang tahun, telah mengalahkan atensi, pergulatan, bahkan meminggirkan sekadar perbincangan mengenai aspek-aspek kesenirupaan lainnya. Para pemangku kepentingan hanya tertarik pada isu-isu bagaimana produksi kesenirupaan diserap oleh mekanisme pasar secara lekas, lebih melambung, yang pada akhirnya hanya ingin mengeruk keuntungan finansial berlipat.

Seniman diburu oleh para pembutuh dan para pembutuh memburu, terutama, lukisan. Tarik-menarik di antara mereka melahirkan hasil kompromistis: gagasan menepi, visualitas gampangan diutamakan.

Fenomena kemelambungan pasar itu membuat intensitas ekshibisi dan pelelangan karya seni rupa meningkat pesat. Seolah-olah demand melebihi supply. Psikologi pasar yang semu ini mengarus pada kebutuhan mencari pelaku (bisa dibaca: senirupawan) dan lokus seni rupa “baru” demi mengenyangkan hasrat fetistik dan kemaruk finansial para pembutuh. Alhasil, beberapa senirupawan Semarang pun terkatrol. Karya-karya mereka dicari, dikonstruk (dengan “bantuan” kurator tertentu), dan diperdagangkan di “pusat” pasar seni rupa, Jakarta.

Mereka mendusin. Tua-muda bersemangat, bergiat, dan berkarya lagi. Ujung-ujungnya hanya mengarus pada upaya penggelembungan pundi-pundi. Bukan bertumpu pada pergulatan gagasan atau kreativitas.

Para senirupawan Semarang itu, sebenar-benarnya, tak lain mereka yang terbiasa pada praktik kerja melukis saja. Menyebut mereka sebagai senirupawan (atau: perupa) kurang tepat kiranya—jika senirupawan mengacu pada mereka yang bekerja dengan gagasan, medium, atau visualitas (rupa) majemuk. Jadi, sebutan ‘perupa’ menjadi ‘pelukis’ bukan cuma mengalih-ubah arti semantiknya, namun bersifat ideologis.

Akan halnya sebutan perupa pun, seturut Nirwan Dewanto (2006), terasa ambigu. Para senirupawan, kaum terhormat itu, “… sekarang memandang, atau ingin memandang, diri sebagai pembuat rupa, bukan (sekadar) pembuat seni rupa.”

Dalam konteks di atas itulah realitas terkini seni rupa Semarang terbentuk. Esai ini hendak menegaskan bahwa—sepanjang tahun 2008—tak ada gagasan, modus kesenian, praktik kreatif, atau kekaryaan senirupawan Semarang yang paradigmatik.
***
Praktik seni rupa kontemporer Indonesia sebenar-benarnya telah melenting ke segala arah. Bukan hanya sisi gagasan dan materinya, namun menyoal pula kepada para pelakunya. Kuss Indarto (Kompas, 7/12) mensinyalir bahwa seniman mudalah yang mendinamisasi praktik seni rupa kurun setahun terakhir ini. Mereka sangat melek informasi, punya parameter estetik sendiri, memanfaatkan teknologi informasi (TI) digital internet sebagai alat bantu penting dalam kekaryaan, dan memandang perlu keluasan jejaring.

Pendapat Kuss bisa salah. Sinyalemennya itu tak berlaku untuk situasi-kondisi di Semarang. Tak ada pelukis yang bergelut atau memanfaatkan TI demi kekaryaan mereka. Dunia cyber—dengan semua kecanggihan, interaktivitas, jejaring antarmuka (interface)—tak merasuk atau, paling tidak, dimanfaatkan oleh seniman lokal secara kreatif. Bukankah kultur TI adalah bagian dari keseharian bagi mereka yang mengaku sebagai anak muda kiwari?

Kita mafhum, pada setiap zamannya, kemajuan teknologi niscaya dimanfaatkan secara kreatif—dan maksimal—oleh para seniman di belahan dunia manapun. Teknologi fotografi, seluloid, video hingga citraan digital digunakan oleh senirupawan sebagai bagian inheren kreasi atau alat bantu kekaryaan mereka.

Pada ranah pemanfaatan TI inilah kelemahan paling kentara para senirupawan yang berkreasi di Semarang. Nihilnya aspek tekonologis itu, salah satunya, menjadi penyebab miskinnya visualitas karya-karya pelukis lokal. Tak ada gambaran yang menghentak. Bahkan semakin banyak saja pelukis Semarang yang meniru mentah-mentah gambaran seni rupa kontemporer China, yakni: lukisan dengan subjek sederhana dan latar datar-rata. Para epigon itu lupa, bahwa tampak depan visualitas yang ditirunya sebenarnya menyuruk jauh ke ranah ideologis.

Kemudian, hal menonjol lainnya ialah: para pelukis itu suntuk berkarya di studio masing-masing dengan semua permenungan personalnya. Praktik begini jelas-jelas menepis pergaulan atau wacana sosial dalam kekaryaannya. Pada waktu yang lama seni rupa Semarang memang abai pada aspek sosial ini. Seni menjadi berjarak dengan persoalan masyarakatnya.

Seni rupa (harus dibaca sebagai: seni lukis) Semarang yang elitis itu, agaknya, hendak dicairkan oleh beberapa performer. Praktik performans lokal sarat bermuatan sosial. Niscaya, dalam semua kesempatan dan kegiatan, performer (hanya) berbekal kembang setaman, air, dan kemenyan. Lalu mereka meruwat segala angkara murka atau ketidakadilan duniawi. Bagi mereka, seniman adalah representasi mistikus sejati dengan daya linuwih superlatif.

Selain itu, ada beberapa pelukis berpameran di suatu ruas jalan. Lukisan-lukisan digantungkan seadanya di tembok, batang pohon, atau sebarang tempat lainnya. Mereka ingin mendekati publik seluas-luasnya. Meski niat ini menarik, sayangnya tidak demikian halnya karya-karya mereka. Praktik edukasi publik itu pun terbilang buah bibir belaka.

Memindai fakta-fakta minor di atas, terbersit pertanyaan, benarkah tidak ada senirupawan lokal yang menawarkan gagasan dan eksplorasi yang menawan?

Saya mengenal beberapa nama yang punya potensi besar, sayangnya—entah mengapa—mereka lebih senang bersurai dan berajujah. Alhasil, potensi mereka memburai, karyanya pun memuai. Waktu terus berkelebat—mereka pun tumbuh terlambat.
***
Ekspresi seni rupa Semarang, apa boleh buat, terbilang ketinggalan jauh dari praktik kreatif di Yogyakarta atau Bandung, misalnya. Belum tampak tawaran diskursus atau praktik kreasi yang menggugah secara artistik maupun estetik. Semuanya involutif, tak ada lompatan progresif. Jika begini terus, saya tak yakin, seni rupa Semarang mampu mencuri atensi art scene Tanah Air, selain hanya bergangsingan di ranah pasar primer.

Akan tetapi, di tengah-tengah maraknya praktik individualitas—sebagai konsekuensi logis dari penetrasi pasar seni—ada dua kelompok anak-anak muda yang perlu dicatat di sini. Mereka adalah Byar Creative Industry dan Importal.

Penampang keduanya memang belum jelas benar. Juga, mereka mesti mengurai dependensi pada satu sosok tertentu saja. Akan tetapi, kehadiran keduanya sebagai pertanda hadirnya anak-anak muda yang bersentuhan dengan kecenderungan seni visual mutakhir: multimedia.

Bandingkan kiprah kedua kelompok itu dengan para mahasiswa Seni Rupa Unnes yang, baru-baru ini, berpameran “mak(e)” di Galeri PKJT. Para mahasiswa—usia 20-an tahun—itu contoh terbaik bagi penampang seni rupa Semarang pada umumnya: lawasan. Saya sangat bersedih atas capaian para mahasiswa seni rupa itu.

Dua tahun terakhir ini saya tidak menuliskan catatan akhir tahun. Apa lacur, kondisi sekarang tak beranjak jauh dibandingkan tahun 2005. Bahkan saya saksikan: beberapa nama seniman muda berbakat luruh, sebagian pelukis tua timbul-tenggelam, satu-dua ruang pamer rontok, dan tetap saja Seni Rupa Unnes tidak memberikan kontribusi apapun atas perkembangan seni rupa kota. Apa yang salah?

Hemat saya, arena pertaruhan kesenimanan seseorang bukan di arena pasar yang cenderung telengas itu. Di sana seseorang seniman bisa tumbang atau ditumbangkan oleh kepentingan pemodal. Justru ketangguhan seseorang seniman mesti diuji di ranah gagasan dan kreasi. Ini jauh lebih bermartabat.

Sejauh mana senirupawan Semarang kuat di tingkat diskursus yang lantas menjurus sebagai ideologi berkesenian tertentu? Mampukah mendedahkan gagasan dan atau kreasi paradigmatik? (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 28/12/2008]

Tuesday, December 23, 2008

LAKU WARSA: JEJAK, TANDA, DUNIA

The Opening of "Laku Warsa" Photo Exhibition,
Thursday, Dec. 12. (Photo: Budi Purwanto)


“... dari jaga tidurku, aku merekam apa yang ku temui,
dan berusaha membuang segala kepemihakanku”
Eddy Hasby

FOTOGRAFI, semenjak kemunculannya, tak bisa lain ialah kepanjangan mata dari para kelas menengah flâneur—pesolek, istilah Rudolf Mrazek. Melalui mata merekalah, dalam banyak budaya modern, ‘dunia’ hadir dan dipaparkan di hadapan publik.

Sebenar-benarnya, para jurnalis foto adalah bagian dari anggota masyarakat kelas menengah itu. Akan tetapi, kita mafhum, anggapan itu—yang lebih terlihat sebagai harapan—seringkali meleset.

Pun pewarta foto bukanlah kepanjangan mata publik. Perannya bahkan seringkali hanya sebagai bagian kecil dari suatu kerja tim yang rumit dalam industri media—terutama media cetak. Maka mata seseorang fotografer, niscaya, ‘terkontaminasi’ oleh sekian banyak kepentingan—ekonomi, sosio-politik, kultural dan sebagainya.

Tegasnya, seseorang wartawan foto pada intinya telah berpihak sedari dia membidikkan kameranya, memilah, mengeksekusi realitas atau peristiwa hanya dalam bingkai-bingkai tertentu. Ambil contoh Eddy Hasby—pewarta foto Kompas. Dari kumpulan fotonya mengenai Timor Timur—buku The Long and Winding Road East Timor—publik bisa menilai seberapa jauh fotografer itu telah ‘berpihak’.

Oleh karena itu, “berusaha membuang segala kepemihakan” pantas dimaknai sebagai kesadaran seseorang fotografer untuk bersikap imbang—tak berat sebelah ketika melakukan tugasnya. Ia juga mesti menepis hasrat manipulatif. Pada masa teknologi digitalis ini betapa mudahnya seseorang pewarta foto berbuat curang. Kita tentu masih ingat perilaku kotor Brian Walski yang memanipulasi fotonya di medan Perang Teluk beberapa tahun silam.

Akan tetapi, “membuang segala kepemihakan” tak berarti seseorang juru foto tak meninggalkan jejak-jejak sama sekali pada karyanya. Bukankah seseorang—siapapun dan apapun profesinya—tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kelindan sejarah masyarakatnya.

Justru publik ingin tahu, sejauh mana sikap para jurnalis itu terhadap pokok soal atau subjek beritanya. Hemat saya, seimbang tak berarti harus tidak bersikap. Jurnalis—termasuk pewarta foto—mesti memihak, terutama, kepada mereka yang lemah dan tertindas. Semua itu harus dilandasi pada prinsip kebenaran dan berteguh pada kata nurani. Inilah esensi jurnalisme emansipatoris.

Sebanyak 19 pewarta foto baru saja berpameran—tajuk “Laku Warsa”—di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Semarang, dari Rabu hingga Selasa (10—16/12). Mereka tergabung dalam wadah Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang.

Esai ini hendak mencatat apa-apa yang tercecer dari pameran itu.
***
Pameran itu dimaksudkan sebagai jalan keluar dari rutinitas dalam bekerja, mengembalikan format foto dalam ukuran kelaziman, dan tanda persahabatan di antara sesama pewarta foto dari berbagai media.

Ternyata yang dianggap ‘ukuran foto yang sewajarnya’, seperti terlihat di ruang pamer, rata-rata berformat 12R atau 30X40 cm. Entah mengapa mereka seperti terjebak dalam tatanan konvensional itu. Format yang ‘biasa-biasa’ saja itu tak mungkin menimbulkan daya kejut atau ‘eye-catching’. Bandingkan dengan foto R. Rekotomo (Antara) yang memajang foto dengan komposisi panoramik. Foto ini satu-satunya yang tampil beda.

Mereka juga terperangkap dalam tabiat menyertakan ‘caption’ atau keterangan penyerta pada setiap fotonya. Hal ini menimbulkan tanda-tanya, tak bisakah foto-foto dalam ruang pamer itu, meski diniatkan sebagai produk jurnalisme, dianggap sebagai karya visual independen. Namun, adanya ‘caption’ itu bisa dipahami karena foto-foto yang ditampilkan kaleidoskopis, temanya beragam, bukan jajaran foto dengan tematika tunggal.

Akan halnya teks penyerta itu, yang semestinya menyandang diktum 5W+1H, terlihat tak lengkap. Hanya para fotografer Kompas, Tempo, Antara, dan Wawasan yang ketat menerapkan hukum jurnalistik itu. Selebihnya terbilang inkonsisten atau bahkan buruk.

Namun, harus diakui, beberapa foto berpotensi menjadi karya jurnalistik yang fenomenal. Setidaknya mendekati karya-karya foto kelas dunia yang telah menyejarah. Karya P. Raditya Mahendra Yasa (Kompas) “Cacat Majemuk” mengingatkan saya pada Eugene W Smith yang memotret korban keracunan merkuri parah di Minamata, Jepang. Jika serius mendalami, Mahendra bisa melahirkan foto-foto lebih berkelas—bukan mengeksploitasi, tapi berempati kepada para penyandang cacat majemuk yang terlupakan itu.

Foto Leonardo Agung BP (Suara Merdeka) “Konversi” terlihat khaostik. Pokok soalnya samar—subjeknya tersebar. Akan tetapi, foto ini menggugah ingatan saya pada satu karya klasik Henri Cartier-Bresson. Fotografer Prancis itu mengabadikan seseorang anak dengan mimik bangga, sedikit pongah, mendekap sebotol anggur besar. Di dekatnya beberapa gadis cilik mengaguminya. Subjek foto Leonardo, seseorang anak yang menerima jatah tabung gas tiga kiloan, sangat mungkin didekati dengan cara bidik fotografer yang masyhur dengan gagasan ‘decisive moment’ itu.

Dua contoh di atas saya kemukakan demi mengenalkan konsep apropriasi. Ini suatu pendekatan atau cara pandang baru dan kontekstual tentang pokok soal tertentu yang sudah ada. Model ini membuat jurnalis leluasa membaca ulang sejarah fotografi dunia secara cerdas—tidak semata-mata mengejar tampilan eye-catching. Percayalah, fotografi ‘wow’ bukan satu-satunya ukuran terbaik untuk jurnalisme foto.

Patut diingat, foto-foto jurnalistik dalam tiap masa cenderung mendekati, menyamai, atau mengulang karya-karya sebelumnya. Itu tidak lain karena pokok diskusi jurnalisme foto ialah manusia dan kompleksitasnya—yang niscaya inheren menyandang kemiripan pada tiap zamannya.
***
Jika diamati, rata-rata jurnalis foto kita kurang mendalami sesuatu tematika, subjek, atau sejarah fotografi dunia dengan intens. Akibatnya, isi foto mereka terbatas, ringan, kurang menggugah. Mereka agaknya terjerat pada rutinitas dan remeh-temeh yang tak bersangkut langsung dengan kaidah profesionalisme. Dengan begitu, sulit menemukan apa yang disebut oleh Suzanne K Langer (2006) sebagai ‘makna hayati’, yakni sesuatu yang “berkaitan dengan perasaan, pengertian, emosi, dan kesadaran yang disampaikan oleh karya seni yang baik”.

Makna hayati, secara sederhana, tak lain dunia gagasan atau pesan sesuatu karya (baca: foto) yang hendak dikomunikasikan. Hal ini terkait dengan kompetensi seseorang fotografer. Seturut Andreas Feininger (1975), juru foto yang baik ialah yang punya “kemampuan—berdasar pengetahuan, daya cerap, dan imajinasi—untuk mengetahui apa yang dicari, bagaimana mendapatkannya, menvisualisasikannya sebelum foto dibuat”. Jurnalis foto, tak bisa lain, harus menempa diri terus.

Kita yakin, dalam dunia yang beririsan ini, idealnya para pewarta foto bisa menghadirkan dunia dalam cara pandang baru dan penuh afeksi. Ini suatu tanda keberpihakan terhadap humanisme. Pada ranah inilah jurnalisme membaktikan dirinya.

—Tubagus P. Svarajati, turut mendirikan PFI Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa 16/12/2008]

Sunday, November 2, 2008

Salihara

Exhibition "Dari Penjara ke Pigura" at Komunitas Salihara,
Oct. 17 to Dec. 6, 2008. [Photo: Damar Ardi]

Seni juga perlu buat merk sebuah kelas, bendera sebuah gengsi.
Goenawan Mohamad

SAYA terkesiap, setengah tak percaya pada kenyataan di hadapan saya. Di depan saya adalah satu bangunan megah dengan karakteristik cita rasa urban perkotaan kelas menengah-atas. Itulah Komunitas Salihara.

Jumat petang (17/10), setelah seharian perjalanan Semarang—Jakarta yang melelahkan, saya sampai di pekarangan Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Situs kesenian baru itu, konon, dibangun dengan biaya tiga puluh enam milyar rupiah.

Tak syak, Komunitas Salihara adalah fasilitas kesenian lengkap—teater, galeri, kedai makan-minum, toko buku, dan wisma seniman—swasta pertama di Indonesia yang digarap serius dan sepenuh-penuhnya cinta. Tegasnya, cinta pada sesuatu yang bernama kesenian yang—mengutip Goenawan Mohamad dalam sambutannya pada peresmian Komunitas Salihara, Jumat (8/8)—“tiap kali merayakan hal yang seakan-akan buat pertama kalinya kita temui di dunia, kita pergoki tak tersangka-sangka”.

Kesenian, tentu saja, berasal dari sesuatu yang disebut kreativitas. “Kreativitas akan selamanya membutuhkan dan membuahkan kemerdekaan jiwa,” kata GM—panggilan akrab Goenawan Mohamad, “Itulah yang kita warisi sejak Agustus 1945. Untuk masa kini dan masa depan bangsa ini, itulah yang kita selalu akan pelihara dan kembangkan.”

Pada bagian lain GM menegaskan, bahwa di Komunitas Salihara itu kemerdekaan akan dijaga dan dipelihara, sehingga setiap orang akan bebas dari belenggu pemikiran dan prasangka.

Singkat kata: kesenian, kreativitas, kemerdekaan (jiwa dan raga) adalah hal-hal yang niscaya perlu dipelihara, dikembangkan terus—kendati berbiaya mahal.

Untuk menandai keberadaannya, diadakanlah Festival Salihara yang berlangsung pada 17 Oktober—6 Desember 2008. Mengapa festival? Bagi GM, festival mengandung unsur kegembiraan dan kompetisi, intermezzo dan pergelaran yang serius—dan di dasar semua itu: pertemuan.

Festival Salihara mempertemukan berbagai kegiatan: pameran seni rupa, pentas teater-musik-tari, monolog, ensambel, opera kamar, teater pantomim, dan kuliah umum oleh Adonis—penyair Arab kelahiran Suriah. Pertemuan itu, tepatnya, antara kesenian dan para apresiannya.
***
Komunitas Salihara berdiri di atas tanah seluas 3.237 m² di Jalan Salihara 16. Ada tiga unit bangunan utama, yakni Teater Salihara, Galeri Salihara, dan gedung kantor serta wisma seniman. Kompleks itu dirancang oleh tiga orang arsitek: Adi Purnomo, Isandra Matin Ahmad, dan Marco Kusumawijaya.

Di bagian depan-kiri adalah coffee shop. Ruang berkaca di sebelah kanannya, dibelah oleh jalan masuk yang tak terlalu lebar, adalah butik yang juga menjajakan buku dan cendera mata. Jalan masuk yang bertangga-naik menuju ke galeri, sedangkan yang menurun-landai ke teater.

Teater Salihara adalah gedung teater model black box pertama di Indonesia yang cukup menampung hingga 252 penonton. Ruang teater itu kedap suara—dinding beton yang dilapisi dengan batu bata yang bersusun. Tata suara dan cahayanya memukau. Tempat duduk penonton bisa diubah-ubah, menyesuaikan diri pada kebutuhan tata panggung. Sedangkan atapnya difungsikan sebagai area teater terbuka.

Saya beruntung mencecap kemewahan Teater Salihara. Malam itu saya menikmati, dari awal hingga usai, pentas musik “Just another day…” dari Folk Jazz Titi Aksan and Friends. Amboi, tiap bebunyian menghampiri gendang telinga mulus-lembut tanpa distorsi.

Sedangkan Galeri Salihara itu, dengan semua kelengkapannya yang baik, menonjol oleh karena bentuk ruangnya yang oval—yang tidak punya ujung tidak punya pangkal. Kata arsitek Marco, “… (agar) seniman dapat leluasa memajang karyanya.”

Untuk pertama kalinya, di Galeri Salihara, diadakan pameran seni rupa “Dari Penjara ke Pigura” (17 Oktober—6 Desember) yang diikuti oleh tiga puluh senirupawan. Tim kurator menyodorkan gagasan kuratorial demi melihat kembali “kemerdekaan dan kebebasan dari sudut lain yang tak terduga”. Kurator memetik teks-teks pilihan, sebagai tematika kuratorial, yang berasal dari delapan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia—R.A. Kartini, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Rohana Kuddus, Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan S.K, Trimurti.

Akan halnya senirupawan yang ikut berpameran, tim kurator tak menjelaskan alasan keterpilihan mereka—atas nama periodisasi atau genre, misalnya, atau berdasar keistimewaan superlatif lainnya. Sinyal kesamaannya hanya pada karya-karya yang nyaris seluruhnya bersifat figurasi.
***
Kita tahu, sebelumnya GM dan beberapa sastrawan, intelektual, seniman dan wartawan mendirikan Komunitas Utan Kayu (KUK), 1994. KUK berdiri tak berapa lama setelah majalah Tempo dibredel. Komunitas ini terdiri dari Institut Studi Arus Informasi, Galeri Lontar, Teater Utan Kayu, Kantor Berita Radio 68H, dan Jaringan Islam Liberal.

Secara terus-menerus KUK mengadakan pertunjukan kesenian, pameran seni rupa, ceramah dan diskusi, serta penerbitan. Oleh karena intensitas, internasionalisasi, dan bobotnya—dalam riwayat perjalanannya—tak bisa dipungkiri kemudian KUK terkesan sebagai menara gading atau lembaga hegemonik. Tak ayal, lahir gerakan atau aspirasi tandingan oleh beberapa seniman, meski serampangan, menentang KUK.

Sekarang pengelola KUK memindahkan seluruh aktivitas dan memperluasnya ke Komunitas Salihara. Di sana akan dihadirkan “... pelbagai kesenian yang menyajikan kesegaran dan kebaruan dalam bentuk dan gagasan,” kata Tony Prabowo, salah satu dari delapan kurator Komunitas Salihara. Semuanya bertumpu pada “keragaman” yang tak memisahkan antara yang kontemporer, garda depan, tradisional atau yang populer. Itu semua untuk menjawab kebutuhan dan apresiasi khalayak seni yang, konon, terus meningkat.

Sebagai suatu ruang pertemuan kultural, pada hemat saya, Komunitas Salihara pantas diapresiasi. Ini penanda penting dalam suatu tatanan masyarakat urban, yang kian canggih, yang membutuhkan semacam oase—tempat bersejuk diri, tetirah, atau pun kontemplasi. Juga, suatu locus tempat gagasan-gagasan saling diuarkan dan dicerap serta semangat—kreativitas dan kemerdekaan—digantungkan. Bukan suatu kemewahan bila Komunitas Salihara memenuhi kriteria itu semua.

Dengan semua kecanggihan infrastrukturnya dan kompetensi seluruh pengelolanya, kita semua tak berharap: kesenian yang hadir atau gagasan yang meruang di Komunitas Salihara adalah sesuatu yang disebut “kitsch” atau “no pain”. Meski tak terhindarkan—niscaya—kesenian yang dihadirkan di ruang-ruang berpendingin itu sesuatu yang telah “terkemas”.

Akan halnya kesenian “kitsch” itu, tak lain, jenis yang “sering diberi tepuk tangan” dan “tanpa kepedihan merenung dan bertanya lagi”. Petikan-petikan ini dari satu esai Catatan Pinggir “Kitsch” yang ditulis oleh GM pada tarikh 1985.

Saya akhiri esai semenjana ini dengan ajakan untuk merenungkan apa yang pernah diresahkan oleh GM, tiga windu lampau, 1984. “Seni juga perlu buat merk sebuah kelas, bendera sebuah gengsi”—Pertanyaannya: kelas yang mana dan gengsi untuk apa. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 2/11/2008]

Wednesday, October 15, 2008

Kuasa Pasar atau Nilai

Detail of "Lullaby" by Sitok Srengenge

PRAKTIK produksi, distribusi, dan konsumsi seni rupa kontemporer bukan perkara sederhana, tetap, atau ajeg. Dalam konteks Indonesia, oleh karena sejarahnya yang masih muda dan lowongnya infrastruktur, seni rupa kontemporer tumbuh dengan standar nilai dan etika yang rapuh.

Produksi artistika seni rupa kontemporer, entah berasal dari seniman individual atau kolektif, niscaya dipengaruhi dan terpengaruh oleh perkembangan seni kontemporer global. Kehadiran teknologi internet semakin mengikis batas teritorial yang, pada skala tertentu, bisa menghilangkan ciri-ciri indigenous atau kearifan lokal. Sebaliknya, lahirlah bentuk-bentuk seni individualistik yang unik dan menawan. Ironis, globalisasi yang merayakan kesetaraan, toh, tetap melahirkan keberbedaan.

Modus distribusi seni pun melebar dan tak terkawal jelas. Tegasnya, suatu karya seni lokal sangat mungkin disebarkan, dalam tempo singkat atau bersamaan, di sudut dunia lain. Contoh yang jelas ialah para seniman seni media baru yang memanfaatkan teknologi dan jaringan internet dalam menayangkan atau mendistribusikan karya-karyanya. Modus semacam itu memungkinkan seni dimediasi secara omni-present.

Gelagat globalisasi dalam distribusi seni kontemporer ini, pada akhirnya, juga mempengaruhi pola konsumsi dan kepemilikannya. Dalam hal seni media baru, cara meresepsinya terbilang demokratis dan egaliter—tak perlu ada kepemilikan yang posesif. Buka YouTube dan tontonlah video Importal, misalnya. Gratis pula.

Cara resepsi seni media baru terbilang paling “maju” dibandingkan dengan pola penikmatan pada, misalnya, seni lukis. Meski begitu, dalam era internet dan citraan serba digitalis, orang (terasa) tak perlu menikmati lukisan secara langsung. Para pembutuh lukisan, di Indonesia maupun di dunia, cukup melihat image di komputer dan transaksi pun terjadilah.

Seturut kertas kerja Diana Crane (2008)—akademisi dari University of Pennsylvania—praktik pembelian karya seni dengan basis citraan digital menunjukkan bahwa nilai suatu karya seni sekarang (lebih) tergantung pada wacana mengenai karya itu (di media massa) ketimbang karakteristik visual atau kualitasnya. Agaknya Crane hendak mengatakan bahwa suatu karya seni tidak tergantung pada nilai-nilai intrinsiknya belaka, melainkan juga dipengaruhi oleh kuasa eksternal.

Komoditas Seni
Kiranya nilai-nilai simbolik, yang diagungkan dalam modernisme, bukan hal utama dan penting dalam diskursus seni kontemporer. Pertukaran “nilai” itu, pada tataran tertentu, mengarus pada perilaku produksi-konsumsi dalam fenomena budaya popular.

Dalam konteks budaya popular itu, mengapresiasi seni termasuk kategori life style. Sebagai gaya hidup, perhatian pada seni cuma ditujukan pada nilai permukaan materialnya. Jadi, mengapresiasi lukisan (atau seni visual pada umumnya) tereduksi sebagai cara mengkonsumsi saja.

Perilaku yang sekadar memuja aspek materialitas itu membuktikan adanya pergeseran ukuran nilai. Berbagai “penjaga nilai” tradisional—seperti lembaga museum, kurator, atau kritikus—semakin terpinggirkan. Dunia nilai, lantas, ditentukan oleh kuasa kapital. Termasuk dalam jaringan kuasa kapital itu ialah: pialang, galeri, spekulan, atau—terutama—para kolektor kelas kakap.

Crane memastikan bahwa pasar seni rupa kontemporer global dipicu oleh selera orang-orang super kaya yang digdaya dalam perekonomian global. Mereka adalah konsumer barang mewah. Singkatnya, karya seni juga dianggap barang konsumtif seperti perhiasan, kapal mewah, pesawat jet, mobil canggih, atau pakaian haute couture. Para jetsetter itu mewakili 80% “mega-kolektor” pembeli seni rupa kontemporer global. Konsekuensinya, selera para anggota kelas “atas” itu mempengaruhi karakteristik objek dan pasar seni tempat karya-karya kontemporer itu dipasarkan.

Padahal, seturut J.J. Charlesworth (Artreview, May 2008), seni kontemporer itu “(…) berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun paham—seperti sekumpulan makhluk asing”.

Jika banyak orang tak paham “bahasa” seni kontemporer, bagaimana menjelaskan praktik konsumtif itu?

Praktik konsumsi seni—untuk kesenangan hedonistik atau fetistik—bukanlah satu-satunya perilaku yang menonjol dalam konstelasi pasar seni global. Juga, karya seni tidak cuma dihargai dari nilai simbolik atau transendentalnya, melainkan lebih pada apresiasi nilai tukarnya. Dus, karya seni dianggap sebagai barang dagangan saja. Sebagai suatu komoditas, karya seni mesti menghasilkan keuntungan. Inilah yang diburu oleh kebanyakan “kolektor”—dalam konteks Indonesia adalah “kolekdol”—atau spekulan.

Keuntungan berlipat dari perdagangan karya seni itulah daya tarik utama pada wacana seni kontemporer setakat ini di belahan dunia manapun. Tak penting apakah seseorang paham pada “bahasa”-nya. Tujuan utamanya: uang, uang, dan uang.

Sejarah Terpental
Berbagai cara ditempuh agar nilai tukar suatu karya seni berlipat. Disusunlah berbagai isu dan diskursus seputar seniman atau karya seni tertentu. Bekerja sama dengan kurator dibuatlah pameran-pameran pendukung. Praktik pelelangan insider—seperti terjadi di China—pun dijalankan (Barbara Pollack, ARTnews, September 2008). Media massa pun dimanfaatkan sebagai ajang promosi. Strategi-strategi pencitraan tersebut lazim pula dipraktikkan dalam artworld kita.

Lalu, di manakah posisi seniman dalam konstelasi pasar yang hegemonik itu? Seniman kontemporer—dalam hal ini adalah living artists—yang berhasil, tak bisa lain, mesti piawai melansir beragam isu, gaya atau pokok soal kekaryaannya. Kira-kira modus itulah yang dikerjakan oleh seniman kontemporer kelas dunia seperti Jeff Koon, Damien Hirst, atau Takashi Murakami. Di Indonesia, Agus Suwage ialah contoh seniman yang terbilang piawai memainkan isu-isu keseniannya.

Strategi pencitraan dan isu-isu di atas, ditambah dengan unsur spekulasi, pada akhirnya membuat karya seni kontemporer bisa bernilai ekonomi sangat tinggi. Secara sosiologis, karya seni tergantung pada lingkungan di mana ia dikonstruksi. Rosenberg (2008), kritikus, bahkan menegaskan: “In the art world, geography is destiny.”

Kenyataannya, praktik atau strategi pengkoleksian karya seni kontemporer lebih bertumpu pada paradigma nilai tukarnya. Akan tetapi, pada hemat saya, hanya mengunggulkan nilai-nilai ekonomisnya saja dan melupakan ide-ide bernas atau nilai-nilai transendentalnya adalah langkah keliru.

Pasar seni global—khususnya seni kontemporer China—akhir-akhir ini menampakkan gelagat melemah. Harga-harga yang fantastis mulai terkoreksi. Situasi itu juga mempengaruhi pasar seni Indonesia. Para pembutuh seni (termasuk spekulan) kian dewasa dan kritis. Tak semua karya ditelan mentah-mentah; yang buruk niscaya dimuntahkan.

Barangkali seniman yang menghamba pada kelancungan pasar gampang terpental dari panggung sejarah. Dalam bahasa Arahmaiani (“Studio Megah atau Ide”, Suara Merdeka, Minggu, 14/9), mereka adalah seniman-seniman yang hanya “berdimensi tunggal” dan “tak memiliki ide”. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu, 19/09/2008]

Wednesday, October 1, 2008

Histeria Gegarisan

Artwork by Ibnu Thalhah showed in "Space:Sign" at
Rumah Seni Yaitu, August 2005.

APA yang menarik dari gambar ilustrasi yang mengiringi cerpen-cerpen yang dimuat di koran Suara Merdeka tiap hari Minggu? Adalah Ibnu Thalhah—sang ilustrator.

Suatu malam saya diajak membincangkan topik itu bersama sastrawan Triyanto Triwikromo. Ini seperti suatu kecelakaan kecil. Alasannya: saya tak siap dan, oleh karenanya, tidak menyiapkan kertas kerja apapun. Diskusi malam itu, Sabtu (20/9), bertajuk “Kata yang Merupa, Rupa yang Berkata”. Tajuk ini saya ketahui setelah tiba di lokasi.

Diskusi diadakan di suatu rumah kontrakan, Jalan Stonen, yang menjadi pusat kegiatan Komunitas Hysteria. Tak jelas, siapa saja yang tergabung dalam gerombolan itu. Yang menonjol memang hanya satu sosok anak muda yang biasa dipanggil Adin. Nama lengkapnya adalah Khairudin—kelahiran Rembang.

Hysteria awalnya adalah suatu penerbitan indie, zine, underground—atau apalah istilah yang pantas untuk menyebutnya—mengenai kesusastraan. Pada awalnya, setidaknya seperti yang saya lihat untuk pertama kalinya, berupa “buku” fotokopian setengah folio. Kini sampulnya sedikit berwarna. Isinya sendiri tak pernah serius menarik minat bacaku. Sesekali, sambil lalu, saya baca beberapa esai di sana. Kesan saya, seperti penerbitan sejenis yang mengatasnamakan hal independensi, tulisan-tulisan di sana acakadut. Bahasanya, alamak (!), tak terurus.

Meski sebagai buku tidak menarik, toh Hysteria terus dijajakan oleh Adin. Kepada siapa saja yang ditemuinya untuk pertama kalinya, ia berikan buku itu. Ia ulurkan buku itu dengan mimik tak berdosa. Ia seolah tak menyadari bahwa seringkali, seperti beberapa kali saya saksikan, fotokopian itu di tangan beberapa orang cuma dijadikan mainan: dibolak-balik dan digulung-gulung. Tak terlihat ada yang tekun menyimaknya.

Akan tetapi, saya terperangah juga oleh kegigihan anak muda kerempeng itu. Hysteria terbit terus sampai sekarang; entah jilid yang ke berapa. Agak bandel, memang.

Juga, Hysteria itu—ya, buku fotokopian itu—ternyata bisa di-“jual”. Hivos, suatu NGO dari negeri Belanda, bermurah hati memberikan donasinya. Entah seberapa besar, tak jelas. Sebagai penerima hibah, tentu saja, Adin dan komunitasnya hanya harus melapor kepada sang tuan pendonor. Niscaya mereka tak perlu berterus-terang kepada publik Semarang.

Adin inilah yang mengundang saya untuk berbual-bual perihal gambar ilustrasi Ibnu Thalhah. Permintaan turut berdiskusi itu diajukan Adin sambil lalu, seakan obrolan tak penting, suatu kali. Sehari menjelang diskusi, Adin memberi tahu bahwa acara dilaksanakan esok malamnya. Saya datang melenggang tanpa persiapan apapun.

Entah format diskusi yang tak mencerminkan keseriusan, atau tersebab adat komunitas itu, peserta diskusi cuma segelintir orang. Saya tercekat: inikah profil suatu kelompok anak muda yang gegap-gempita melansir Semarang Art Fest, Agustus silam?

Seperti apa Festival Seni Semarang itu, tak jelas benar. Ironisnya, kendati jumpa pers dilakukan di suatu hotel bintang lima, media massa tak memberikan perhatian yang sebanding.

Pantas dikaji ulang, apa relevansinya kegiatan (yang terkesan ala kadarnya) itu diuar-uarkan di tempat mewah—yang tak semua orang mampu menyewanya? Barangkali Adin ingin show off. Barangkali mumpung uang melimpah.
***
Mari kita bicarakan pokok soal diskusi itu. Sebagai suatu gambar ilustrasi, karya Ibnu Thalhah (IT) terbilang lebih dari memadai. Afirmasi ini saya ajukan dari sisi teknik dan cara presentasinya. Justru pada faktor itulah ilustrasi IT terbilang istimewa. Publik pun secara luas menghargai keunggulan teknikalitas drawing anak muda lulusan IAIN Walisongo itu.

Ditilik dari segi gagasan, tentu saja, suatu ilustrasi cerpen tak lain bertumpu pada gagasan karya sastra itu sendiri. Meskipun kita paham, seorang pembaca—atau penafsir teks cerpen—punya keleluasaan resepsi dan bebas menyimpulkan isi cerpen termaksud. Pernyataan senada juga dinyatakan oleh IT: “Saya menjadikan cerpen itu sebagai arena bebas tafsir.”

Jelas, gagasan ilustrasi IT berasal dari teks cerpen. Oleh karena itu, hal terpokok yang pantas dikaji—selain perkara teknik drawing—ialah bagaimana gagasan itu divisualisasikan. Namun, kita tak perlu memeriksa bagaimana ide dijumput dari teks cerpen dan, lantas, divisualisasikan oleh IT. Cermati saja drawing-nya itu.

Yang paling menarik dari visualitas gambar ilustrasi IT ialah: pokok gambarnya berciri surealistik. Tepatnya, cara bertuturnya surealistik, sedangkan teknik gambarnya tak lain ialah realis-naturalistik.

Subjek—orang, hewan, benda—pada hakikatnya digambar secara rinci dengan ciri utama arsiran pena. Arsirannya berurutan dan sebagian bertumpuk, melengkung, meliuk mengikuti anatomi objeknya. Struktur gegarisannya lembut berirama dan nyaris tidak bertekanan—atau seragam. Dengan cara ini objek gambarnya berkesan volumetrik. Kesan dimensional, selain terbentuk oleh teknik arsiran itu, juga ditopang oleh teknik pencahayaan chiaroscuro.

Dalam bahasa Italia chiaroscuro berarti “gelap-terang”. Teknik pencahayaan ini mengeksplorasi efek cahaya terang dan bayangan dalam suatu karya seni. Potensi teknik semacam ini dikenalkan pertama kalinya oleh Leonardo da Vinci, namun biasanya lebih diasosiasikan dengan para seniman abad tujuh belas—Caravaggio dan Rembrandt—yang menggunakan teknik ini dengan efek yang mengagumkan (Merriam-Webster’s Collegiate Encyclopedia, Springfield, MA, 2000).

Kita paham, lukisan-lukisan Rembrandt yang dahsyat itu selalu menggunakan teknik pencahayaan “gelap-terang” itu. Teknik ini nyaris, hampir tidak bisa lain, mengatur cahaya selalu searah. Intensitas cahayanya tak terlalu penting, melainkan arahnya yang diutamakan. Arah datang cahaya dari samping itu biasanya didapatkan dari lubang jendela—di dekat jendela itulah objek berada atau diposisikan. Efeknya dramatis—objek terkesan sangat berisi.

Rembrandt memang tersohor dengan teknik “gelap-terang” ini. Oleh karenanya, teknik chiaroscuro lazim disebut pula sebagai “Rembrandt Light”. Dalam konteks fotografi teknik ini dikenal sebagai “window lighting”.

Gambar ilustrasi IT yang menggunakan arsiran pena selalu—dan tak bisa lain—dibuat dengan teknik Rembrandt Light itu. Nyaris tak ada kesalahan berarti yang dilakukan oleh IT. Namun, perhatikan secara cermat, IT gagap dalam penggarapan objek yang berstruktur gelombang seperti kain. Draperi-nya tak elok—kaku dan tak logis.

Kelemahan lain IT yang telak, yang selalu terulang, ialah ketakmampuannya menggambarkan anatomi dan proporsi tubuh manusia dengan benar. IT melukiskan anatomi tubuh manusia—lelaki ataupun perempuan—secara ganjil oleh karena, terutama, proporsinya yang tak imbang. Meskipun visualitasnya dipresentasikan secara surealistik, terpiuh (distortif), dekonstruktif, tak bisa lain anatomi atau bagian-bagaian tubuh manusia itu tetap harus proporsional. Singkatnya, gambarannya harus enak dipandang. Pada titik inilah—visualisasi dan presentasi tubuh manusia secara luwes, proposional, dan anatomis—IT tampak jelas tidak terampil.

Pada hemat saya, IT mesti meningkatkan kompetensinya pada aspek ketubuhan itu. Penguasaan pada aras ini akan memudahkan dia tatkala merepresentasikan gagasan atau isi cerpen yang dibacanya. Bukankah sebagian cerpen itu selalu berkisah tentang manusia dan aspek-aspek kemanusiaan yang, niscaya, hanya patut pula dituangkan dalam gambaran yang tak jauh dari kedua topik itu. Salah satu solusinya, IT harus memanfaatkan kamera foto. Potretlah sosok dengan pose yang dikehendaki dan lalu salin imaji fotografis itu. Gampang.

Selain masalah ketubuhan yang tak dikuasai secara baik, IT menggambarkan dunia binatang atau sosok-sosok fatamorgana dengan menarik sekali. Lihatlah gambaran celeng raksasa yang terduduk, dijerat temali, diikat dan dipaku itu. Amboi, amat imajinatif.

Kiranya hal paling menarik dari gambar-gambar ilustrasi IT ialah ketika bagian-bagian ilustrasi itu dipresentasikan menyebar; tidak hanya dalam satu bidang gambar kotak atau persegi panjang. Sebagai perbandingan, lihatlah gambar ilustrasi yang menyertai cerpen di harian Kompas yang selalu persegi panjang. Dalam hal ini IT lebih menawan. Barangkali capaian presentasi semacam itu berasal dari kerja kolaboratif antara IT, redakturnya, dan tim artistik koran Suara Merdeka (SM).

Ruang dan aspek spasialitas dalam gambar ilustrasinya tak jelas benar—atau tak digarap secara matang. Kebanyakan gambar ilustrasinya tidak bercitra keruangan. Sosok gambarnya berada di tengah-tengah teks cerpen, berdiri entah dalam konteks apa, serta tak terkait dengan kemewaktuan. Pada beberapa hal, presentasi semacam ini—dipandang dari sisi visual—sangat atraktif, eye-catching. Sebaliknya, pada beberapa gambar ilustrasi yang divisualisasikan dalam suatu ruang lengkap dengan aspek spasialitasnya, terkesan formalistik dan menelikung imajinasi.

Sebenarnya IT tak cuma menggunakan teknik arsir pena semata. Dia pun, meski hanya sesekali, memakai pensil bahkan cat air. Jelas sekali, kedua teknik terakhir tampak tak dikuasainya secara piawai.

Gambar ilustrasinya yang menggunakan pensil terasa tidak berkarakter dan tarikan garisnya ambigu, kehilangan greget. Pada gambarnya yang berbahan cat air, setali tiga uang dengan gambar pensilnya, kurang menarik. Bahkan seringkali tidak inspiratif. Pada hemat saya, kegagalannya itu barangkali, antara lain, tersebab masalah di dapur percetakan yang tak mampu menampilkan nuansa pensil dan cat air itu.

Selama ini, sependek ingatan saya, gambar ilustrasi IT yang diterbitkan mengiringi teks-teks cerpen itu, tak berwarna. Andai berwarna, tidak hitam-putih saja, mungkin gambar-gambar ilustrasinya kian menohok. Publik ingin tahu: sejauh mana IT mampu menunjukkan kualifikasinya sebagai ilustrator secara purna.

Akan tetapi, sejauh ini IT telah menunjukkan diri sebagai ilustrator ulung. Beberapa orang beranggapan, visualitas atau gaya ilustrasinya di koran SM telah menjadi suatu ikon. Karya ilustrasinya terasa memperkaya teks-teks cerpen itu meskipun, barangkali, sebaliknya tak tertutup kemungkinan gayanya yang surealistik itu bisa mereduksi gagasan atau isi cerpen bersangkutan.

Saya cuma ingin tahu saja: apakah IT cukup puas sebagai ilustrator—apakah dia tak ingin menjajal kemampuannya di ranah seni rupa kontemporer.
***
Demikianlah, esai semenjana ini saya tuliskan di hari pertama Lebaran, Rabu (1/10). Anggap saja esai ini sebagai imbal balik dari honor sebagai pembicara diskusi malam itu. Semoga ada berguna, kendati secuil.

Oya, sebagai pembicara, saya diganjar cepekceng. Saya pun turut mencecap doewit Londo. (Tubagus P. Svarajati)

Monday, September 1, 2008

Perlukah Galeri Kampus

"Outside the Words" by Acep Zamzam Noor and Sitok Srengenge
will be showed at Rumah Seni Yaitu, September 5-15, 2008.

PERLUKAH galeri seni khusus di suatu kampus yang memiliki Jurusan Seni Rupa? Apa saja landasan ideal pendirian wahana eksposisi itu? Bagaimana dan apa kendala pengelolaan lembaga itu?

Beberapa masalah di atas mengemuka dalam suatu seminar yang diadakan oleh UPT Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Desember silam. Seminar nasional itu bertajuk “Peran Galeri Kampus dan Tantangan di Masa Depan”. Para pemakalah ialah Aminudin TH Siregar (direktur Galeri Soemardja-ITB, Bandung), Rifky Effendy (kurator Galeri Cemara 6, Jakarta), dan Agung Hujatnikajennong (kurator Selasar Sunaryo Art Space, Bandung).

Ketiganya, dalam bahasa berbeda-beda, mengakui tak gampang mengelola suatu galeri kampus. Hal terpokok ialah minimnya dana pengelolaan. Galeri kampus tidak atau belum dianggap penting bagi olah eksperimentasi, diseminasi hipotesa, ajang pembelajaran termasuk praktik pengabdian kepada masyarakat seperti tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Padahal eksistensi galeri kampus bisa mendukung pertumbuhan itu semua.

Kendala lain, sudah menjadi rahasia umum, ialah kosongnya sumber daya manusia yang kompeten. Kualifikasi para pengajar di lembaga pendidikan tinggi Seni Rupa kerap tak sesuai dengan ekspektasi publik.

Ciri Galeri Kampus
Galeri kampus, dalam medan sosial seni Indonesia, kurang dihargai. Salah satu alasannya, jumlah dan aktivitas galeri kampus tidak sebanding dengan akselerasi pertumbuhan dan kreasi galeri swasta. Dari media massa publik hanya mengenal nama Galeri Soemardja di lingkungan Seni Rupa ITB. Sedangkan Galeri Katamsi milik Seni Murni ISI Yogyakarta jarang ada aktivitasnya.

Meski lokasinya kurang strategis, terkesan eksklusif, atau bersifat sangat teoretik, seyogianya galeri kampus dikuatkan program-program dan anggarannya. Tujuannya agar lembaga galeri kampus itu punya peran—ke dalam untuk menampung kreativitas mahasiswa dan ke luar sebagai lembaga acuan pemikiran atau praktik estetik “baru”.

Di galeri kampus wacana akademik digodok, diteliti, lantas diwujudkan dalam bentuk karya seni atau teori. Bila fasilitasnya memadai dan dengan sistem kerja mandiri mahasiswa tentu betah bereksperimentasi. Bukan tidak mungkin dari sana akan lahir karya-karya studi yang menarik dan ide-ide yang segar atau “nakal”.

Para mahasiswa bisa mengoptimalkan kemampuannya, antara lain berdiskusi, menulis kritik, mengkurasi dan merancang pameran, mendesain strategi komunikasi atau belajar mengelola audiens di galeri kampus. Dengan begitu mereka terbekali dengan banyak aspek kognitif dan afektif yang dibutuhkan sebelum terjun di masyarakat. Idealnya, banyak seniman, teoretikus, kritikus, ahli sejarah seni, pedagog, atau adiministrator ulung lahir dari sana. Ibaratnya, galeri kampus adalah kawah candradimuka bagi seluruh sivitas akademika.

Secara politis dan ideologis galeri kampus berlandaskan misi edukatif. Oleh karena itu, galeri kampus mesti membuka diri sebagai ruang mediasi bagi gagasan-gagasan dan atau karya-karya edukatif. Pada sisi inilah kiranya galeri kampus punya “daya saing” dengan galeri-galeri partikelir.

Meski visi-misi galeri kampus berbeda dengan galeri publik, tata cara pengelolaannya patut dibuat profesional. Tentang ini mesti disinggung struktur lembaga, strategi manajemen, pranata, program serta termasuk siapa saja para pengelolanya. Akan sangat menarik jika mahasiswa diberi kepercayaan turut terlibat di tingkat kebijakan sampai pelaksanaannya. Jika semua aspek tersebut dikerjakan secara baik maka lembaga ini akan sangat mudah bekerja sama dengan lembaga donor. Jadi, dana bukan alasan penghambat.

Desain gedung dan ruang galeri tak perlu yang aneh-aneh. Fasilitasnya pun tak harus super canggih. Yang penting cukup untuk beraktivitas dan melakukan praktik eksperimentasi para mahasiswa-pengajar. Idealnya, galeri kampus itu mesti didesain agar sesuai dengan praksis dan mampu mengakomodasi perkembangan atau perubahan seni visual dunia.

Perlukah Galeri Kampus
Dalam konteks praktik edukasi seni rupa di Semarang atau Surakarta, misalnya, sudah saatnya perguruan tinggi yang memiliki Jurusan Seni Rupa merancang dan memberdayakan galeri kampus. Selama ini, jika saya tidak silap, kegiatan seni rupa di kampus-kampus itu diadakan sekenanya di ruang-ruang yang tidak didesain khusus. Padahal eksistensi galeri kampus kiranya sangat bermanfaat dan penting.

Praktik seni eksperimentasi atau gagasan yang ranum, misalnya, akan lebih baik dieksekusi di galeri atau lingkungan kampus. Praktik produksi artistika yang semenjana atau lancung, jika dipertontonkan untuk umum, ibarat menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri. Gejala seperti ini sering ditemui dalam praktik eksposisi seni rupa mahasiswa, ambil contoh, di Semarang.

Pertanyaannya: Apakah ada kebutuhan internal mendirikan galeri kampus yang berwibawa di perguruan tinggi yang punya Jurusan Seni Rupa? Bagaimana menjawab tantangan akselerasi praktik seni visual di luar teritorinya?

Jelaslah, gagasan dan pertanyaan dalam esai ini ditujukan kepada segenap sivitas akademika Seni Rupa Unnes. (Tubagus P. Svarajati)

Friday, August 15, 2008

Mengenal Tuhan dari Tulisan

Artwork by Eko Nugroho showed in "The Past The Forgotten Time"
at Rumah Seni Yaitu, September 2007.

ORANG mengira bersekolah itu membahagiakan—niscaya membuat pintar orang. Faktanya, bersekolah menyebabkan sebagian orang senewen. Sekolah seakan-akan momok: hantu yang meringkus akal sehat.

Tak hanya sebagai hantu, ada orang mengibaratkan sekolah sebagai candu pula—sesuatu yang membius-adiktif. Juga, sekolah telah menjadi sesuatu yang hegemonik—memproduksi takhyulisme: lembaga monolitik tempat pengetahuan—kognitif dan afektif—diajarkan dan membebaskan manusia dari isolasi ketidaktahuan. Akibatnya, kita mafhum, orang tak bersekolah (tinggi) dianggap tak punya kualifikasi adiwidia. Kegagalan bersekolah dituding sebagai kurang intelegensia dan atau tertinggal kereta modernitas.

Sekolah, kata orang, tak lain lembaga yang menawarkan kebaikan plasebo kepada kaum marjinal. Ivan Illich, pemikir pendidikan Marxis, mengecam model pendidikan itu yang disebutnya, secara sarkastik, sebagai “agama dunia yang dianut (para) proletar modern”. Menurutnya, sekolah (hanya) memberikan janji-janji hampa akan keselamatan kepada kaum miskin (di) zaman teknologi ini.

Celakanya, seolah tak kuasa menampik nubuat, kita semua terjerat di dalam “agama dunia” tersebut. Samsul Arifin (29), perupa, pun mengalami alienasi dalam astaka sekolah itu. Dalam bahasanya, ia “tersesat di garis lurus”. Dan “garis lurus” itu bisa jadi model sekolah yang dikenal selama ini, yang membosankan itu.

Situasi hati dan gagasan Samsul, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta, itu terpampang dalam pameran tunggalnya, yang pertama, di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting No. 5—6, Semarang, 26 Juli—9 Agustus 2008. Pameran yang dikurasi oleh Farah Wardani itu bertajuk “Goni’s Journey: Episode 1”.
***
Pada pamerannya ini Samsul menampilkan suatu tokoh utama objek-karakter, yakni boneka berbahan karung goni dengan mata membelalak. Oleh kurator dan sang seniman, karakter itu disebut Goni. Alkisah, Goni diniatkan sebagai sebuah simbol dari orang yang lugu, sederhana dan ‘bodoh’ seperti tergambar dari bentuknya yang minimalis—mata membelalak polos seperti selalu tercengang dan ingin tahu dengan dunia di luarnya.

Boneka kecil itu, menurut kurator, tak lain subject matter yang mendedahkan suatu simbolisme atau manifestasi alter-ego si seniman. Atau tokoh rekaan yang merefleksikan pembacaan Samsul terhadap diri dan hidupnya serta pengamatan akan apa yang terjadi di sekelilingnya.

Sebelumnya karya-karyanya berbentuk lain, yakni timbunan karakter—boneka berbahan kain putih, berisi kapas—yang berhumbalang, melekat sesamanya. Sosok-sosok dramatik—seturut Chris Darmawan, pemilik Galeri Semarang—itu tak lain ibarat manusia-manusia sosial, yang berjumpalitan dan berdesak-desak saling menempel, yang menghasilkan imaji yang meledak dan mengejutkan pemirsanya. Untuk pandangan tersebut, saya bersepakat dengan Chris—sang juragan itu.

Pada lukisan-lukisan Samsul kala itu—pensil warna di atas kertas—kita temukan sosok-sosok dramatik berwarna merah tumpah-ruah dari buah semangka yang terbelah, misalnya. Atau sebuah mobil ambulans terajut dari figur-figur merah, terkulai, saling melekat. Betapa visualitas yang meneror benak—majas yang menggetarkan kalbu.

Sekarang sosok-sosok dramatik itu bermetamorfosis menjadi si Goni yang lugu, jika tidak terbilang pandir. Samsul memasang si Goni untuk menarasikan gagasannya tentang dunia pendidikan. Perkara ini, andai hanya pengalaman personalnya, tak kurang-kurangnya mengetengahkan problematika, terutama, para murid di dalam kelas-kelas sekolah kita.

Lihat saja ‘kelas’ versi si seniman—“Suara si Goni #2”. Di sana ada dua belas murid—ya, karakter-karakter si Goni itu—seperti laiknya tingkah para murid di kelas: ada yang bersemangat mengacungkan telunjuk—seakan sedang merespons guru. Akan tetapi, dinamika itu tertindas oleh aksi atau gerak-gerik sebagian besar murid yang abai, bermalas-malasan, melamun, santai, tak konsens—pokoknya tak serius, terkesan berleha-leha. Situasi khaostik. Halai-balai itu diperkuat dengan coretan gambar dan teks—aforisme atau metafor—di sekujur dinding dan lantai ruang.

Di lantai kelas, di depan pintu masuk, terpampang teks “Welcome to pseudo asian contemporary”. Di tengah-tengah ruang berserak teks-teks yang menyuarakan kekalutannya saat bersekolah, seperti “mata itu terbelalak tak tahu apa-apa”. Akan tetapi, toh, di sana pula ia “belajar mengenal dunia dari huruf2 dan angka2”. Dalam hal religiositas, Samsul mengaku, “Aku mengenal Tuhan dari tulisan”.

Aforisme atau majas di atas adalah agregat yang berfungsi melepaskan beban memori personal Samsul menjadi praksis katarsis. Model pembacaan ini merujuk pada praktik psikoanalisis Freud—seseorang yang diterapi hipnosa akan melepaskan beban psike yang terepresi sehingga lahir kondisi kejiwaan yang lebih stabil. Praktik katarsis model Samsul di atas, hemat saya, berimbas lain: turut membuka borok dunia pendidikan.

Selain mural (“Suara si Goni #1”) dan setting kelas itu, Samsul juga menghadirkan tiga objek kriya: batang pensil terbuat dari kayu. Hitam-Putih ialah seraut pensil pendek—kedua ujungnya menyembulkan batang karbon hitam dan putih. Ada lagi sepenggal ujung-atas pensil yang dari lobang tengahnya menumpahkan banyak sekali abjad—judul Bercucuran Kata-kata. Di ujungnya tertulis IQ, EQ, dan SQ—hal mengenai tingkat kecerdasan otak, emosi, dan sosial. Satu lagi batang pensil yang terbuka tengahnya—menampakkan isinya (Jembatan Pengetahuan). Tiga karya dengan karakter visual kuat yang menyembulkan sensasi artistika sublim—digarap nyaris sempurna.

Samsul juga memamerkan sepuluh lukisan—berbahan akrilik di atas kanvas. Ukurannya antara 150 sampai 300 cm. Secara umum, objek dilukiskan dengan latar dan warna datar monokromatik—nirbarik.

Lukisan Gagal dalam Belajar (200X150 cm, 2008) terasa paling menarik dan imajinatif. Tergambar sosok Goni menggamit potongan pensil kecil, leher tertutup karton Boxy, mata menyembul penuh tanya. Dinding kelas sarat coretan. Di lantai tergeletak patahan kecil isi pensil. Bukankah ini refleksi dunia pendidikan kita?

Terapung di Laut Asia (150X300 cm, 2008) memperlihatkan teknik chiarascuro superlatif. Goni yang menumpang tube cat itu terlihat gamang mengarungi kegelapan samudra. Suatu tematika yang membekas dalam.
***
Samsul Arifin seorang seniman dengan potensi gagasan dan estetika yang sangat baik. Gampangnya, (hampir) seluruh karya dalam pameran ini menyiratkan kualifikasi artistika prima. Akan tetapi, ekspresi mural dan sabur-limbur teks itu terkesan mengekor pada jejak-jejak kepioniran Eko Nugroho.

Pada segenap lukisannya, terasa kesegarannya meluruh. Samsul seperti terjebak pada pesan atau pembobotan eksesif. Seluruh sosok Goni di kanvas tereduksi dari aura bermain yang muncul kuat dari karakter objeknya. Untungnya pelukisan pensil-pensil itu sekuat objek kriyanya. Visualitas lukisannya kini, dibandingkan dengan ‘sosok dramatik’ pada karya-karya sebelumnya, terkesan kompromistis dengan selera pasar masa kiwari.

Terlepas dari cacat-celanya, pameran “Goni’s Journey: Episode 1” ini sungguh menyegarkan. Barangkali ini pameran terbaik di Galeri Semarang dalam kurun setahun terakhir. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat 31/07/2008]

Thursday, July 17, 2008

Seni Mode Dipo Andy

Kind of Batik Lasem.

PRAKTIK produksi dan konsumsi seni visual setakat ini —Indonesia— bisa diterangkan dalam konteks kajian budaya massa. Karya seni —termasuk metoda produksi artistikanya— tak penting lagi dinilai sebagai karya kultural. Seniman pun cuma sebagai penjaja gagasan medioker dan komoditas kuasi-seni.

Apa yang diproduksi seniman serentak dikonsumsi oleh publik melalui berbagai cara. Akan tetapi, publik itu —dalam kajian budaya— tak jelas benar identiasnya. Kelimun bukan kesatuan utuh dengan nilai-nilai kulminatif yang diperjuangkan bersama. Juga, massa itu sekadar atom-atom yang tidak bersinergi. Dalam konstruk demikian, massa mudah diceraikan dan dipola melalui dan dalam ideologi konsumerisme dan hedonisme.

Nafsu meraup kesenangan sesaat diafirmasi oleh media massa dengan semua kecanggihannya. Sedangkan media massa itu, kita mafhum, senantiasa bekerja secara kapitalistik. Di sinilah esensinya: semua hal yang berelasi dengan budaya massa tak lain ialah produk budaya kapitalisme. Lantas, di manakah posisi seni itu?

Kesenian (populer) pun menempati ruang yang semakin melebar. Seni tidak lagi esoterik, berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, akan tetapi ia memasuki ruang kesadaran massa sebagai bagian dari life style. Sebagai gaya hidup, tak penting benar apakah produk seni yang dikonsumsinya itu ber-‘nilai’ atau imitatif. Perilaku mengkonsumsi ini pun, lantas, menjadi absah di tengah-tengah masyarakat yang memuja kultur permukaan—budaya selintas.

Maka, berkacalah pada pameran lukisan Dipo Andy —bertajuk Passion Fashion, di Galeri Semarang, Jalan Srigunting 5—6, Semarang, (14—24 Juni)— untuk mendapatkan kejelasan akan pengertian apa itu budaya massa. Termasuk di dalamnya ialah industri fashion yang dirayakan sepenuh hati dan gaya dalam dunia life style.

Pameran tersebut diniatkan sebagai soft launching galeri itu —menempati gedung heritage dua lantai (1000 meter persegi) yang dibangun pada tahun 1895— di area Kota Lama Semarang.
***
Rifky Effendy —kurator pameran— mengatakan, bahwa dunia fashion merupakan gabungan antara dunia seni, industri dan gaya hidup modern. Selanjutnya, industri fashion itu sanggup mengubah gaya hidup dan cara pandang suatu masyarakat. Akan tetapi, (paradoksnya) di tengah kondisi semakin menganganya jurang si kaya-miskin, fashion mempertemukan mereka dalam suatu pusaran mode yang berlapis-lapis.

Glamoritas dunia mode, dengan begitu, terasa egaliter: melampaui batas kelas sosial. Ironisnya, tatkala si miskin tak kuasa membeli tas Louis Vuitton, misalnya, lantas mereka rela menenteng yang tiruan —yang palsu— dan, niscaya, murahan.

Bagaimana industri mode melancarkan serangannya? Antara lain, melalui media massa, berupa iklan. Advertensi itu membius massa—melalui logo-teknik (istilah Roland Barthes) tertentu. Massa yang terbius (pastikan dalam pengertian ini: tidak sadar) tak kuasa menimbang-menilai apa-apa di hadapannya. Maka, sebagian besar massa yang silap (atau miskin edukasi-informasi yang ‘baik’) memilih mengimitasi semua yang tampak yang dikerjakan ‘kalangan atas’. Jadilah mereka epigon yang tuna referensial.

Gelagat kompleksitas industri mode itu tampak pula pada ‘industri’ seni rupa —khususnya seni lukis— Tanah Air. Para pembutuh seni meng-‘konsumsi’ lukisan setara dengan tingkah massa yang terbius dan terperangkap dalam dunia ilusif mode. Mereka terbius sehingga tidak melihat signifikansinya strategi pengkoleksian karya seni—cuma sekadar melihat potensi nilai tambah ekonomisnya. Gelagat ini setara dengan asumsi industri budaya massa: permukaan, seragam, lekas usang, punya nilai ekonomi.

Masyarakat linglung-diskursus-seni, umumnya, terjerumus di dalam pusaran komodifikasi ‘seni’ medioker—atau seni lancung. Celakanya, mereka adalah bagian terbesar dari art-scene yang kita miliki. Apakah pengetahuan kognitif mereka tidak berkembang?

Kondisi kelancungan seni itu turut dikeruhkan oleh praktik produksi artistika yang semena-mena. Sebagian (besar) pelukis cuma melahirkan karya-karya dengan spektrum yang menyenangkan mata-okuler—nirmakna, non-esensial.
***
Sebelas lukisan Dipo Andy itu jelas-jelas seragam: produksi tahun 2008, ukuran 200X200 cm, lis stainless-steel, pokok soal fashion, komposisional pusat, techne, dan nuansanya. Cara kerjanya —katakanlah inspirasinya— pun jelas-jelas seragam: meremas selembar kertas majalah mode, mereproduksi secara digitalis, mencetak citraan pada kanvas, menempelkannya lagi di kanvas baru, melabur dengan cat tipis-tipis (kuasi-barik), menyablon teks-dialogal di beberapa sudut kanvas, dan leleran cat tipis. Hanya judulnya antara sama-tak sama: bertajuk Passion Fashion—diimbuhi nama-nama perancang Balenciaga, Salvatore Ferragama, Prada, Burberry, Yves Saint Laurent, Fendi, Louis Vuitton, Donna Karan, Moschino, Chloe, dan Calvin Klein.

Melalui tematika, cara kerja, visualitas sedemikian rupa Dipo Andy merayakan dunia mode itu dalam standar industri budaya massa. Selebihnya: karya-karya seharga 250 jutaan itu dimamah tuntas oleh konsumer.

Terima kasih, Dipo Andy. Sampeyan mengingatkan saya hal perilaku ‘pecinta’ seni Tanah Air hari-hari ini. (Tubagus P. Svarajati, tukang kritik, tinggal di Semarang)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Visual Arts, Minggu 13/07/2008]

Tuesday, July 1, 2008

Etalase Pemikat Bernama Katalog

Various kind of exhibition catalogues.
(Photo: RSY)

LAZIM dalam suatu pameran seni rupa diterbitkan pula katalog pameran. Bentuk katalog pameran itu beragam. Dari yang sederhana —cukup fotokopian— sampai yang mewah berbentuk buku full color.

Katalog—seturut Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ketiga—ialah carik kartu, daftar, atau buku yang memuat nama benda atau informasi tertentu yang ingin disampaikan, disusun secara berurutan, teratur, dan alfabetis. Di samping itu —dalam ranah manajemen, masih menurut KUBI— katalog berarti daftar barang yang dilengkapi dengan nama, harga, mutu, dan cara pemesanannya. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia —susunan Eko Endarmoko— katalog berpadanan dengan daftar buku, daftar, lis, brosur, direktori, dan prospektus.

Deskripsi di atas —setidak-tidaknya— mendedahkan katalog sebagai brosur atau prospektus berisi daftar barang yang disusun secara teratur yang dilengkapi dengan nama, harga, mutu, dan cara pemesanannya. Kira-kira seperti itu pula arti katalog untuk kegiatan pameran seni rupa—biasanya meliputi lukisan, patung, dan seni grafis. Tentu saja dalam pengertian ini adalah katalog yang berbentuk buku—bukan katalog sederhana berbentuk selembar kertas fotokopian atau poster yang difungsikan sebagai prospektus.

Katalog seni rupa yang berbentuk buku —sedikit-dikitnya— ada tertulis pengantar galeri atau panita pameran, teks kuratorial atau esai mengenai seni yang dipamerkan—bahkan seringkali ada sambutan dari pejabat atau seniman senior yang dianggap layak menuangkan pendapatnya. Katalog juga memuat riwayat hidup seniman dan —mesti tidak harus— disertakan pula pasfoto yang bersangkutan. Dan yang terpenting, katalog memuat gambaran (images) atau reproduksi karya-karya yang dipamerkan.

Dalam hal yang terakhir —jelaslah— gambaran reproduksi karya menjadi hal utama yang dijajakan. Acapkali gambaran itu —untuk setiap karya— menempati satu halaman penuh katalog. Ada juga sisipan khusus —sepanjang tiga halaman katalog, misalnya— yang hanya berisi satu gambaran karya. Reproduksi karya-karya itu didampingi dengan data-data yang diperlukan, seperti: judul, tahun pembuatan, ukuran, dan bahan karya. Detail-detail karya ini biasanya berkelindan dengan nilai jual karya termaksud. Ambil contoh lukisan—ukuran kanvas yang lebih luas lebih mahal ketimbang yang berukuran lebih kecil. Logika linear ini lazim dipraktikkan di kalangan galeri dan seniman kita. Padahal —jika kita hendak membincangkan seni— patokan ukuran luas tak menjamin mutu atau kualifikasi suatu karya. Ada anekdot: seorang kolektor membeli lukisan berdasar ukuran per cm—makin luas, makin mahal.

Katalog Mewah—Karya Mahal
Selain hal-hal di atas, katalog juga memuat susunan tim produksi pameran. Keterangan itu lazimnya ditempatkan di halaman terakhir katalog—di halaman colophon. Antara lain yang disebutkan: nama kurator, nama desainer katalog, nama dan alamat penerbit (biasanya galeri bersangkutan), jumlah ekslemplar, nama percetakan, tahun pembuatan, copyright atau hak cipta, nama fotografer, dan nama penterjemah (jika ditulis pula dalam bahasa Inggris, misalnya). Biasanya pada halaman yang sama juga disebutkan nama-nama orang atau lembaga yang turut membantu terlaksananya pameran.

Tidak jarang ada katalog yang memuat nama orang, perusahaan, atau lembaga donasi yang mendukung pameran itu. Nama dan atau logo perusahaan dicetak di halaman tersendiri—umumnya diletakkan di halaman belakang katalog. Akan tetapi, ada juga yang hanya dituliskan nama-nama itu tanpa menyertakan iklannya.

Ukuran dan ketebalan katalog pameran seni rupa sekarang beragam. Ada yang menyerupai buku pelajaran SD (21x29 cm). Ini tren sekarang yang paling digemari banyak galeri di Indonesia. Jumlah halamannya pun tidak tentu—ada yang cuma tiga puluh dua halaman, namun ada pula yang berjumlah ratusan halaman. Semakin besar, tebal, dan mewah suatu katalog, maka terkesan semakin prestisius sesuatu pameran dan semakin mahal pula karya yang dipamerkan.

Pada umumnya katalog mewah diproduksi oleh galeri-galeri komersial. Tujuannya jelas: katalog diniatkan sebagai etalase-pemikat. Katalog-katalog semacam ini, meski sangat baik kualitas visualnya, terasa benar kehilangan fungsi epistemologis dan edukatifnya. Di sana sekadar ada teks atau esai pelengkap—pemanis lebih tepatnya. Teks atau esai itu —secara umumnya— sering tidak mampu memberikan gambaran utuh perihal karya-karya yang disigi. Tidak jarang teks atau esai itu melantur jauh dari tema pameran. Terbilang satu atau dua kurator pameran—yang saya amati—menerapkan model penulisan sosiologis. Konsep ini terasa semakin menjauhkan perbincangan intrinsik-estetik dari ruang pameran. Jika demikian, bisakah cita-rasa estetik publik terbangun dengan baik?

Katalog Lelang—Mono Acuan
Menurut definisinya, katalog memang ditujukan sebagai wahana menjajakan barang-barang. Katalog yang kentara dalam wilayah ini ialah katalog yang diterbitkan oleh balai lelang. Katalog-katalog itu tebal, berat, seukuran kuarto. Secara umum, kualitas kertas dan cetakannya sangat baik. Di dalamnya ada beberapa halaman ketentuan lelang dan images yang disertai dengan nama seniman, judul karya, ukuran, bahan, dan estimasi harga lelang.

Pada beberapa karya —dalam katalog balai lelang itu— diuraikan secara agak panjang kelebihannya. Karya-karya yang diulas ini biasanya adalah yang dianggap menonjol dan diprakirakan mampu meraih hammer-price tinggi—diperebutkan di arena lelang.

Hampir semua balai lelang seni rupa memang mengeluarkan katalog yang mewah. Namun begitu, ada juga balai lelang yang menerbitkan katalog sederhana. Balai lelang ini memang mengkhususkan diri pada pelelangan karya yang berkelas lebih rendah. Untuk karya-karya seperti itu dikilahkan sebagai affordable-art.

Di Indonesia ada beberapa balai lelang seni rupa yang rutin menggelar pelelangan. Fenomena ini kian menggelembungkan pasar seni dalam negeri. Oleh karena sangat seringnya ada pelelangan —disamping nihilnya standar dan lembaga penilaian seni— maka balai lelang dijadikan acuan sebagai lembaga aesthetic-value. ‘Standar-nilai’ suatu karya yang baik, antara lain, jika karya itu sudah termasuk slot pelelangan. Tentu saja pandangan ini adalah suatu kecerobohan intelektual—jika tak hendak dibilang sebagai sikap kebodohan para ‘pecinta-seni’ itu.

Agaknya mesti diuar-uarkan terus bahwa masuknya suatu karya seni —lukisan, untuk jelasnya— dalam pelelangan tak berbanding linear dengan nilai-estetiknya. Dalam pelelangan karya seni —terutama dalam praktik di Indonesia dengan segala kemusykilannya— yang bertuan ialah praktik komodifikasi atau pembendaan karya seni. Karya seni —pada akhirnya— bukan dinilai dari seberapa dalam nilai-nilai transendennya, namun lebih ditekankan pada capaian nilai nominalnya.

Halai-balai pasar seni rupa Indonesia —terutama pasar lukisan— disebabkan, antara lain, oleh hasrat kemaruk-harta. Dan katalog menjadi rujukan satu-satunya bagi mereka—para penggila dan pemain ‘komoditas-lukisan’ itu. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 29/6/2008.]

Thursday, June 26, 2008

Galeri (di) Semarang

"Berkoper-koper Cerita" of Hardiman Radjab exhibited at
Rumah Seni Yaitu: August 3-20, 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

KEPINDAHAN Galeri Semarang, dari lokasi awal di jalan Dr Cipto ke kawasan Kota Lama Semarang, membawa sinyal optimisme. Diharapkan, kawasan dengan fasad keeropaan itu akan berwajah kultural baru. Sejatinya kawasan itu layak digagas menjadi ruang kreasi seni-budaya internasional.

Meski digambarkan sebagai kawasan yang sangat potensial, dalam skala industri turisme, Kota Lama selama ini terlelap terus. Tak ada kegiatan kultural yang memadai. Yang tampak hanya irama monoton kehidupan harian. Lingkungan tidak terpelihara dan terkesan kumuh.

Pameran foto “Blank Spot” di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe Semarang, Desember lalu, jelas-jelas menggambarkan kawasan itu sebagai wilayah yang tak terurus, bermasalah, dan di ambang kehancuran. Pada malam hari daerah itu terasa sangat mencekam: sepi, suram, dan nyaris tidak ada denyut kehidupan yang berarti. Dan emperan menjadi istana peraduan bagi mereka yang tidak berumah.

Sudah lama pemerintah tak mampu mengolah kawasan itu menjadi lebih hidup, meskipun tak sedikit dana telah dikucurkan di sana. Beberapa program sudah dibuat, namun kenyataannya wilayah itu tetap saja tidak terurus. Kenyataannya, jejak-jejak sejarah kolonial di sana meninggalkan aneka bangunan dan lingkungan yang menawan. Wilayah ini, jika digarap secara integral, laik menyerupai kawasan Dashanzi atau areal ‘798’, yakni pusat seni rupa kontemporer kelas dunia di Beijing. Bedanya, di sana kawasan itu adalah bekas tangsi-tangsi militer China.

Kehadiran satu galeri seni rupa di Kawasan Kota Lama sangat mungkin menjadi impetus pertumbuhan budaya baru di kawasan itu. Harapannya adalah agar seluruh programnya juga memberikan kontribusi positif bagi kotanya.

Agen Budaya
Sudah saatnya para pemangku kepentingan kota memandang pertumbuhan budaya dalam perspektif kreatif-industrial. Banyak contoh keberhasilan yang bisa dikisahkan. Parade fesyen jalanan di Rio de Jainero adalah contoh industri budaya yang fenomenal. Bienial seni rupa di beberapa negara —semisal Venice, Havana, Gwangju, dan Beijing— termasuk industri budaya-kreatif dengan perputaran kapital yang menggiurkan. Di Indonesia, bisa jadi, ‘pusat’ produksi artistika seni rupa adalah Yogyakarta. Sedangkan Jember, kota kecil di belahan timur pulau Jawa, mulai menunjukkan diri sebagai buah-bibir budaya fesyen kontemporer Indonesia.

Penting ditumbuhkan kesadaran bahwa industri budaya-kreatif tidak saja mampu mendatangkan devisa, namun pula memberikan harkat mulia bagi suatu bangsa. Pada titik ini, galeri sebagai salah satu komponen dalam ‘industri’ seni rupa terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan.

Menimbang peran seni dalam investasi kultural suatu bangsa, jelaslah, inisiasi suatu ruang mediasinya menjadi penting dihargai. Apalagi negara atau pemerintah tidak pernah memberikan atensinya sedikitpun. Perhatian juga tidak muncul dari dewan-dewan seni apapun.

Galeri seni rupa punya peran ganda, yakni sebagai ruang mediasi karya seni dan agen budaya. Galeri—dalam kalimat Brian O’Doherty (“The Gallery as a Gesture”, 1981): “… leads in two directions. It comments on the ‘art’ within, to which it is contextual. And it comments on the wider context —street, city, money, business— that contains it.”

Kebanyakan galeri membidik sisi komersialnya saja. Rutinitas pameran hanya diniatkan sebagai ajang jual-beli karya—terutama lukisan. Memang tidak bisa disangkal bahwa galeri (komersial) mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar pada karya seni yang dimediasikan. Kesejahteraan seniman, pada akhirnya, meningkat pula.

Sebaliknya, galeri bisa mengenalkan karya seni sebagai media apresiasi dan sarana edukasi. Singkatnya, galeri berfungsi sebagai ruang produksi signifikasi. Seniman dan audiens dipertautkan dengan karya seni di ruang galeri. Dari sini lahirlah, idealnya, pemahaman bersama tentang nilai-nilai (values) estetika karya seni itu. Juga, nilai guna seni (dalam perspektif sosio-politis, misalnya) bisa dikembangkan menjadi media penyadaran publik; seni sebagai pembentukan nilai-nilai etika kemasyarakatan.

Galeri pantas menjadikan dirinya sebagai katalisator atau impetus praktik seni dan kultur kota. Program-program yang dijalankan diharapkan mampu memberikan nilai tambah kultural: bagi masyarakat seni dan pendukungnya, juga publik secara keseluruhan. Singkatnya, galeri sebagai sarana transformasi kultural.

Sebagai salah satu agen budaya, pusat diskursus dan praktik produksi seni mutakhir di dalam medan sosial seni yang ‘sehat’, galeri pantas memainkan peran sebagai ‘pengawal’ etika komunitas. Akan tetapi, galeri mesti menepis praktik wacana hegemonik dan menghindar dari kepongahan sebagai satu-satunya penentu selera maupun nilai. Tegasnya, demokratisasi gagasan conditio sine qua non bagi lahirnya pemikiran dan karya seni superlatif-komparatif.

Pendeknya, lembaga galeri jangan hanya dikonstruksi sebagai mesin cetak uang dari praktik komodifikasi karya seni. Galeri, ibaratnya, adalah plasa atau ruang pertemuan kultural; penanda zaman.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Selasa, 17/06/2008.]

Friday, June 20, 2008

Selain Representasi, pun Interpretasi

Advy Photo Expo "C4C" at Rumah Seni Yaitu, June 10-28, 2008.
[Photo: Importal's collection]

NIRWAN Ahmad Arsuka—dalam suatu risalahnya—mengandaikan bahwa seni rupa adalah sastra, dan lukisan adalah puisi, maka fotografi adalah bahasa[1]. Tampak jelas—dalam pandangan ini—fotografi adalah suatu ‘bahasa’ dan bersamanya dunia dialami dan dipahami.

[1] Nirwan Ahmad Arsuka, “Sontag, Citra, Waktu” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam nomor 23-2007, edisi online.

Tatkala sastra—tentu di dalamnya termasuk semua genre penulisan, tak terkecuali yang hanya bersifat sastrawi—dituliskan dalam dan melalui bahasa dan puisi pun demikian, maka bahasa mendapat peran sentral. Peran penting bahasa itulah, dan dikaitkan dengan fotografi, yang ditonjolkan oleh Arsuka. Menurut pemikirannya pula, fotografi tak lain termasuk dalam domain seni rupa; atau seni visual. Pernyataan ini niscaya menghalau inferioritas, yang di dalamnya para juru foto dalam tempo panjang senantiasa gundah: adakah fotografi di bawah strata seni rupa atau—singkatnya—lukisan.

Dengan menggamit fotografi ke dalam keluarga seni rupa—dan sebagai konsekuensinya—jelaslah kita mesti melacak jejaknya dalam ‘episteme’ kesenirupaan pula. Perkara ini meneguhkan kita, meski dengan sejumlah pertanyaan yang memerlukan kajian lanjutan, bahwa tindak-tanduk teknologi fotografi adalah semacam kelebihannya dibandingkan dengan seni rupa konvensional yang mengandalkan kepiawaian tangan belaka. Kita bisa membuka lembaran sejarah, tatkala daguerrotype ditemukan pertama kalinya pada tarikh 1837, sontak para pelukis semasa gentar oleh kekuatan reproduksinya. Mereka kalut: jangan-jangan teknologi baru itu menindas kedigdayaan seniman.

Akan tetapi, kita paham, di kemudian hari fotografi dipandang sebagai mampu melancarkan ekspresi seni yang demokratis. Hal itu—sekali lagi—menyoal asas-asas reproduksi yang bisa dilakukan oleh praktik fotografi itu. Dan pada tiga dekade pertama abad dua puluh, kita catat dengan takzim, ada sosok Walter Benjamin, kepada siapa kita berhutang pemikiran: aura seni elitis itu—seperti seni lukis—telah sirna oleh lahirnya fotografi[2]. Otentisitas meredup, digantikan praktik reproduktif. Dan oleh karena itu seni, lantas, mampu dikonsumsi oleh siapa saja. Inilah, antara lain, yang menghilangkan praktik pembedaan antara seni tinggi atau seni rendah. Meski perdebatan mengenai keduanya masih berlanjut hingga sekarang—publik pun, dalam praktiknya, tak kuasa benar menyamakan keduanya setara[3].

[2] Walter Benjamin, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations (London: Pimlico, 1999.).

[3] Baca telaah Budi Darma, “Ironi si Kembar Siam Tentang Posmo dan Kajian Budaya” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam nomor 18-2001.

Praktik reproduksi dalam dunia fotografi, sebenarnya, tak lain menggandakan imaji sedemikian rupa sama persisnya. Fotografi niscaya berhutang pada teknologi kamera, film (dan kini digantikan oleh piksel digital), dan mesin cetak foto. Meski demikian, ada hal lain yang mesti—dan tak bisa lain—disebutkan dalam perbincangan tentang aspek penggandaan itu. Jelas, yang digandakan—atau direproduksi dan bisa dalam jumlah tak terbatas—ialah citraan atau images. Pada fotografi, citraanlah yang selama ini digeluti.

Citraan dalam selembar foto tak lain ialah representasi[4] dari sesuatu. Jika selembar foto menyuguhkan suatu pemandangan, maka ia bukanlah pemandangan itu sendiri, melainkan representasi dari suatu pemandangan yang riil, yang ada benar. Meski begitu, pemandangan yang kita lihat—dalam dunia kenyataan—sebenarnya tak lebih dari suatu pengalaman di dalam bahasa. Dengan begitu, bahasa mendahului pengalaman eksistensial—pengalaman diwujudkan dalam bentuk bahasa metafor[5]. Menimbang hal itu, bisa jadi analogi ini berujung pada pertanyaan fenomenologis: apakah citraan fotografis itu suatu metafor?

[4] Budi Darma menamai hal representasi itu dengan sebutan ‘versi’, ibid.

[5] Metafor adalah suatu sistem bahasa yang bersifat analogi-simbolik, tidak mededahkan kenyataan sebenarnya, melainkan suatu pelukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Untuk pengantar bahasan mengenai filsafat bahasa, khususnya metafor, lihat I. Bambang Sugiharto, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003, Cet. 6.).

Sekarang kita paham—dalam dunia yang berhumbalang dan beririsan ini—kita tak kuasa melepaskan diri dari jerat visualitas; kita dikepung oleh suatu dunia yang penuh dengan ledakan gambar. Visualitas itu hampir selalu mempertontonkan imaji-imaji yang terbarui, terkadang ganjil, dan seringkali meneror benak. Ledakan gambar itu, niscaya, representasional. Meski pengertian ini tak selalu berarti: imaji-imaji yang terepresentasi berasal dari realitas empirik atau dunia bahasa yang kita kenal. Patut dikatakan: dunia yang sarat ledakan gambar ini juga merepresentasikan segala ihwal angan-angan. Alhasil, imaji-imaji yang tersajikan terkadang tak kita kenal fenomenanya.

Jika suatu citraan dalam foto adalah hanya suatu representasi, apakah kita masih meyakini bahwa foto itu menyatakan suatu kebenaran? Dalam hal apa yang direpresentasikan, bisakah dikatakan bahwa citraan itu tak lebih perkara kita berbahasa? Sejauh manakah pengalaman berbahasa kita diperlukan dan mampu mengurai linguistikalitas fotografi? Dengan kata lain, esai ini hendak menekankan gelagat fotografi sebagai bahasa, sebagai teks.

Dengan mengandaikan imaji fotografis adalah sebuah teks—bahasa, untuk gampangnya—maka senyatanya diperlukan pengetahuan berbahasa agar orang mampu ‘berkomunikasi’ dengannya. Tata bahasa atau seluk-beluk gambar, tentu saja, tak sama dengan abjad (Latin) yang kita kenal selama ini. Dialog akan produktif jika kita, sebagai misal, membekali diri dengan semiotika. Bagian dari kajian bahasa ini memfokuskan diri pada relasi penanda-petanda dan juga analisis bahasa gambar. Akan tetapi, kita jangan berhenti pada ranah ini saja, sebab ada banyak peranti—misal: hermeneutika, sejarah, antropologi—yang bisa dipakai sebagai alat bantu analisa.

Berbagai cara ‘membaca’ foto itu sebenarnya merujuk pada keyakinan: bahwa praktik interpretasi—atau tafsir bebas, jika hendak disederhanakan—pantas dirayakan. Suatu laku pengkajian terhadap foto, tidak lain, ialah praktik interpretasi terhadap sesuatu teks di dalam konteksnya[6]. Jelas sudah, fotografi—seperti mesti dan hampir selalu—didekati dari sudut interpretatif, personal dan subyektif.

[6] Bagi E.D.Hirsch Jr, “… konteks adalah sesuatu yang sudah ditentukan—pertama oleh pengarang dan kemudian, melalui rekaan, oleh penafsir. Konteks bukanlah sesuatu yang sudah ada begitu saja tanpa ada orang yang membuat batasan-batasannya.” Lihat E.D. Hirsch Jr, “Keabsahan sebuah Interpretasi” dalam Hidup Matinya Sang Pengarang (Toeti Heraty, ed., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.).

Setakat ini fotografi Indonesia abai pada ihwal ekstrinsik—dunia luar, kata lainnya—relasi foto dengan dunia luar itu dan bagaimana serta dengan cara apa fotografi layak didekati; tak hanya menyoal teknologinya[7].

[7] Tentang teknologi fotografi, ketika lensa dan film belum setajam sekarang, Rudolf Mrazek menulis “Orang-orang pribumi yang biasa bergerak terlalu cepat, akan dibuat diam”. Lihat Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.).

Semarang, 20 Juni 2008

[CATATAN: Esai ini dibawakan dalam diskusi di Rumah Seni Yaitu, Jumat, 20 Juni 2008, jam 19:00 WIB—mengiringi ADVY Photo Expo “C4C” tanggal 11—28 Juni 2008.]

Sunday, June 15, 2008

Gebalau Seni, Sirnanya Aura Itu

"Kisah:Kesaksian" Exhibition at Rumah Seni Yaitu:
Oct 26-Nov 5, 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

DI PELATARAN Sangkring Art Space, tiga penyanyi dangdut membetot animo audiens, meski timbre mereka pas-pasan saja. Kelebihannya: liukan tubuh mereka bak magnet membetot sukma penonton lelaki.

Malam itu, Sabtu (31/5), desa Nitiprayan-Yogyakarta bergeletar. Tak saja dentam organ tunggal—dimainkan oleh pelukis Hadi Susanto—pula rentak gendang memeriahkan desa itu. Tak syak, keriuhan dipicu oleh hadirnya tiga penyanyi belia nan molek. Pinggul-pinggul mereka tak henti-henti mengentak kencang. Tubuh-tubuh itu cuma dibalut busana minimalis—tank-top dan celana pendek ketat. Pada salah satu penyanyi itu, saya pastikan, bibir celananya sejengkal di bawah pusar—ajaib, potongan kain itu tak melorot.

Musik terus berdentam—tubuh-tubuh segar itu tak henti meliuk-menggeliat. Langit malam—di atas Nitiprayan—sontak memanas. Pemuda kampung blingsatan. Sebagian perupa lelaki pun tak kuasa menahan diri—mereka menghambur di dekat dan di atas panggung: berjoget canggung, bergelejotan. Tampak Samuel Indratma, tokoh mural Yogya berambut gimbal, bergoyang lucu—ia mengingatkan kita pada gerak koreografi topeng monyet jalanan. Ada bule-kurus—seolah tak terurus—terus bergoyang; aneh dan menggelikan. Arahmaiani, perempuan perupa kontemporer, turut berjoget—pinggulnya bergerak-gerak seperti putaran baling-baling helikopter.

Tak perlu suara merdu untuk memanaskan suasana—yang penting goyangan penyanyinya; begitulah teriakan beberapa orang. Yuswantoro Adi, perupa tambun itu, sesekali berteriak menenangkan massa. Di sudut panggung, mendekati tiga penyanyi itu, dia tampak duduk tak nyaman. Ia terlihat bergelora seolah menahan sesuatu hasrat. Seakan-akan hendak menunjukkan kecakapannya pula, Putu Sutawijaya—si empunya Sangkring—turut berjoget. Perut buncitnya terantuk-antuk naik-turun—kucirnya bergoyang ke kiri-kanan. Sang istri mengabadikan segala tingkah polanya. Klop: lucu.

Nitiprayan, kita tahu, tempat mukim beberapa perupa kontemporer Indonesia yang menjadi buah bibir belakangan ini. Di sana, untuk menyebut sebagian saja, ada Putu Sutawijaya dan Nyoman Masriadi. Keduanya tercatat sebagai lokomotif yang menghela gebalau pasar seni rupa Tanah Air. Di balai lelang Sotheby’s Singapura muasalnya—April 2007—satu karya Putu Sutawijaya meraih hammer-price mendekati US$ 60,000. Sebulan kemudian karya Nyoman Masriadi melambung di Christie’s Hong Kong. Semenjak itu pasar seni rupa Indonesia melesat liar tak terkendali. Koran New York Times edisi Rabu (2/4) menyebut kejadian itu sebagai “Insiden Mei 2007”. Bukan salah kedua perupa Bali itu, tentu.

Dengan mengeja Nitiprayan, niscaya kita mesti menyebut pula Sangkring Art Space. Sudah setahun ini Nitiprayan diramaikan oleh kehadiran ruang pamer itu. Tak jelas bagaimana secara persis menyebut bentuk bangunan atau arsitekturnya. Gedung tiga lantai itu menjulang tinggi—menjadi tetenger baru, meski dengan fasad yang tak lazim; tepatnya aneh.

Pada malam itu sebenarnya ada pembukaan pameran lukisan Kisah Dua Kota di Sangkring. Pameran yang dikurasi oleh Wahyudin itu menampilkan sepuluh seniman Bali dan Yogyakarta. Keriuhan di luar ruang pamer sepertinya menepis animo penikmat seni untuk berlama-lama menatap karya-karya yang tergantung. Para seniman yang terlibat pameran pun bereaksi tak acuh. Ini gelagat yang aneh—seakan-akan mereka tak hirau pada karya-karyanya sendiri. Atau mungkin mereka terlalu percaya diri bahwasanya karya-karya itu akan menemukan pembutuhnya masing-masing?

***

Perilaku pasar seni rupa Tanah Air memang aneh—tak mudah dikalkulasi dan seringkali bersifat anomali. Meski begitu, antinomi pasar juga menyodorkan stimulus kapital yang tak tanggung-tanggung. Celakanya, banyak seniman muda (dan tak terhitung seniman tuanya)—dengan akar kreatif yang belum mendarah-daging—turut tersedot dalam pusaran artistika imitatif. Mereka meladeni nafsu pasar—mereka cuma memproduksi karya medioker. Bahkan tak jarang cuma bisa meniru gelagat seni lukis kontemporer China: lukisan representasional dengan latar datar sederhana. Tak ada evokasi—tak jelas pula makrifatnya. Mereka mempraktikkan “estetika China kontemporer” itu dengan “tanpa sensor dan rasa malu sedikit pun” (Aminudin TH Siregar, Kompas, Minggu, 1/6).

Akan halnya pasar yang tanpa acuan—tuna wacana—memang menguntungkan para spekulan. Orang-orang inilah yang kerap mengeruhkan tatanan dan meringkus dialektika yang terbangun dalam dunia gagasan seni. Sisi positifnya, maraknya komodifikasi lukisan seperti sekarang ini juga berjasa melahirkan sekian banyak pembutuh benda seni itu. Sebaliknya, saya teramat khawatir, akan ada sekelompok orang—para calon kolektor seni yang serius—yang dirugikan akibat turbulensi pasar yang sangat membodohi itu.

Situasi yang penuh keganjilan itu—di satu pihak kesejahteraan seniman lukis meningkat, di lain pihak terjadi pemiskinan diskursus seni—semestinya memaksa para pemangku kepentingan mengurai labirin dunianya. Kenyataannya sungguh jauh dari harapan. Lihatlah, para penulis atau kritikus seni malah berhumbalang menjadi kurator. Meski kita paham, tugas kurator tak bisa dianggap ringan. Akan tetapi, pada praktiknya, acap terlihat hasil kuratorial yang tak lebih sebagai pemanis suatu pameran. Fungsi kurator yang mampu memediasi seniman dan karyanya dengan publik terkotori oleh praktik kuratorial yang menyenangkan pemodal (baca: pemilik galeri) saja.

Determinisme pasar seni rupa pada akhirnya hanya melahirkan sekian banyak pameran etalatif bergaya art shop. Praktik yang memalukan itu melibatkan dan dikawal pula oleh sekian kurator yang kita punyai—juga menempati sekian ruang pamer yang (kelihatannya) terhormat. Simak pameran-pameran bertajuk “Survey”, “Manifesto”, dan “Freedom”.

Sebenarnya, fenomena apa atau siapa di balik kegaduhan pasar seni itu? Beberapa sinyalemen menyebutkan, boom pasar seni rupa kita diakibatkan oleh luberan dari perdagangan seni kontemporer China di tingkat dunia. Karena harganya semakin meninggi, maka para pembutuh seni kita tak mampu lagi membeli karya seni dari China daratan itu. Imbasnya, tak syak, situasi pasar kita menjadi tak terkendali. Akan tetapi, siapa di balik semua eforia itu? Tak jelas memang—selain kita hanya bisa mensinyalir, bahwa sabur-limbur itu diberi impetus pula oleh sebagian (besar) para pemilik galeri yang cuma melansir praktik komodifikasi lukisan.

***

Kapan gebalau pasar seni kita akan berakhir? Siapa yang dirugikan dan akan menjadi korban? Apakah seniman kita mampu lepas dari jerat kontingensi pasar?

Esai ini tak hendak menjawab atau mengurai buhul persoalan itu. Saya pun tidak berpretensi ingin menjelaskan ihwal pameran di Sangkring atau yang di Taman Budaya Yogyakarta. Oleh sebab pasar seni dan kelimun telah menjadi esoterik pada dirinya sendiri, maka tak perlu ada eksplanasi mengapa—sekarang dan di sini—perupa cuma melahirkan lukisan-lukisan dangkal.

Tak perlu dijelaskan mengapa Mona Lisa dan Frida Kahlo ditampilkan secara kasar terpiuh dan tanpa kedalaman. Untuk meraih yang auratik, tak cukup hanya tampilkan ihwal ikonik. Apalagi jika teknis pun tidak memadai. (Tubagus P. Svarajati, penikmat seni rupa)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu, 15/6/2008.]