Saturday, February 23, 2008

Menengok ke Belakang

[Resensi Buku]

Judul:
Seni Rupa Modern Indonesia
Esai-esai Pilihan
Penyunting:
Aminudin TH Siregar
Enin Supriyanto
Penerbit:
Nalar, Jakarta
Cetakan:
Pertama, November 2006
Tebal:
xxii+336 halaman


KAPAN seni rupa modern Indonesia layak ditengara? Ada dua jawaban berbeda. Trisno Sumardjo (dan Rivai Apin) menyatakan, bahwa seni rupa modern Indonesia dimulai dari S. Sudjojono melalui pendirian Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), 1938. Sebaliknya, Dan Suwaryono, meyakini titik itu berawal dari Raden Saleh.

Bagi Sumardjo, S. Sudjojono adalah orang Indonesia pertama yang dengan sadar memahami hakikat seni, tepatnya seni lukis, dengan teknik dan langgam baru serta visi sesuai dengan semangat zaman. S.S. 101, demikianlah ia menyebut dirinya, membuka halaman baru dalam sejarah seni lukis Indonesia, lanjut Sumardjo.

Pendapat Dan Suwaryono lain lagi. Kritikus ini menyakini, sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia ialah Raden Saleh. Ia pelukis Indonesia pertama yang mengekspresikan gagasan dan pemikirannya dengan cara Barat; melukis secara realistis dalam corak renaisans dengan mengambil teknik dan gaya baru. Adanya ‘unsur antarhubungan dan antarpengaruh sebagai kenyataan historis dalam sejarah seni lukis Indonesia kontemporer’ membuktikan bahwa ‘seni lukis Indonesia modern berpangkal tolak dari Raden Saleh dan bukan dari S. Sudjojono’.

Penyair Rivai Apin, dalam suatu kesaksiannya, menyatakan bahwa S. Sudjojono yang membalikkan iklim kepenyairan pada kedudukannya semula, yakni ‘bahwa suatu lukisan adalah juga suatu pengertian’. Seni rupa modern adalah suatu pengertian, tandas Rivai Apin.

Yang dimaksud dengan ‘pengertian’ adalah sebuah kesadaran (individu) memahami sang ‘aku’. Sebelumnya, kesadaran itu belum ada dan masih terpengaruh kolektivisme ragam tradisi. Kolektivisme itu ternyata telah mematikan cita-cita serta bakat perseorangan, karena memaksanya menganut sistem tata-tertib, tata susila dan pendidikan yang diperlukan oleh minoriteit yang berkuasa. Inilah latar pemikiran Apin yang menandai adanya kesadaran ke’aku’an sebagai penanda lahirnya seni lukis (atau rupa) modern Indonesia.

Perbincangan tentang titik berangkat seni rupa modern Indonesia, sedikit-banyak, tercermin dari polemik pemikiran di atas. Diskursus itu termasuk yang tergabung dalam satu buku kumpulan tulisan, dari berbagai sumber, bertajuk “Seni Rupa Modern Indonesia” yang disunting oleh Aminudin TH Siregar dan Enin Supriyanto.

Dalam keyakinan Aminudin TH Siregar, sangat mungkin perkembangan seni rupa modern kita bisa dilacak dari esai-esai yang bertebaran di koran atau majalah lama kita. Inilah keunikan sejarah seni rupa modern kita.

***

Suatu kali, seseorang berkebangsaan Belanda, J. Hopman, menulis artikel berjudul ‘Toekomst van der Beeldende Kunst in Indonesie’ (Masa Depan Seni Rupa di Indonesia) di majalah berbahasa Belanda Uitzicht, edisi Januari 1947. Setelah melihat sebuah pameran di Batavia Kunstkring (pameran Persagi kedua, menurut kritikus Sudarmadji), Hopman menuliskan pendapatnya, “Seni lukis itu belum ada dan untuk sementara waktu dia juga tidak ada…. Belum dapat dikatakan bahwa seni lukis Indonesia sudah ada.”

Sontak saja sangkalan itu disergap oleh S. Sudjojono. Dalam artikel “Kami Tahu Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa” (Majalah Revolusioner No. 4 dan 5), juru bicara Persagi itu meradang “… tentang bagaimana seni lukis Indonesia yang akan datang kita bangsa Indonesia cukup cakap untuk mengaturnya sendiri…. Dan kalau sekarang bangsa Belanda yang di Uitzicht mau utik-utik tentang hal itu, kita tidak butuh campur tangan mereka. Mereka tidak pernah dalam tempo kurang lebih 350 tahun membuktikan, bahwa mereka cakap juga di dalam soal ini.”

***

Dinamika seni rupa Indonesia tercermin jelas dalam kumpulan esai ini. Menurut penyunting, tulisan-tulisan berasal dari sejumlah majalah dan koran yang terbit tahun 1930an dan kurun 1940-1970an. Esai tertua bertarikh 1041 dan termuda 1976. Namun ada beberapa yang tidak bertahun.

Esai-esai itu tidak diurutkan berdasarkan rentang sejarahnya (urutan waktu), namun dititikberatkan pada sebuah pemahaman. Dengan begitu, kilah penyunting, buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, namun (hanyalah) bahan pengantar bagi perbincangan seni rupa modern Indonesia.

Ada 40 artikel dengan isu beragam dalam buku ini. Boleh dikata semuanya masih punya relevansi gagasan, penetrasi politik, dan dampak sosial pada isu-isu kreativitas atau produksi estetik para seniman kita. Ini buku sangat baik untuk menyegarkan ingatan siapa saja yang terlibat dalam medan sosial seni Indonesia.

Akan lebih lengkap jika buku ini diimbuhi indeks dan bahan bacaan lanjutan untuk memudahkan dan meluaskan pemahaman atau kajian. Riwayat para penulis perlu diketengahkan guna menunjukkan ketokohannya.

Kedua penyunting dikenal sebagai kurator seni rupa andal. Selain itu, Aminudin TH Siregar adalah pengajar di FSRD-ITB Bandung dan Enin Supriyanto adalah redaktur majalah C-Arts. (Tubagus P. Svarajati)

Sunday, February 17, 2008

Menjadi Kritikus ala Diane Loving

Photography: William Kwan


“TAK seorang pun ingin terlihat tidak berpendidikan, khususnya ketika menghadapi pokok bahasan yang elegan ini, yakni seni rupa,” kata Diane Loving. Kita, di sini: Semarang, tak pernah mendengar nama Diane Loving dibincangkan.

Akan tetapi, meski tidak kita kenal, dan entah seberapa terkenal Loving di belahan bumi lainnya, barangkali baik kita simak pendapatnya tentang bagaimana menjadi seorang kritikus seni (rupa). Siapa tahu kita menjadi ahlinya di bidang kesenirupaan. Dan Loving menyambung lagi kalimatnya, “Mungkin itulah mengapa percakapan di galeri atau di museum seni dilakukan dengan nada pelan.”

Diane Loving seorang seniman, kritikus seni, dan pengajar studi umum di Kolese Brown Mackie, Tucson. Loving juga seorang ilustrator yang telah menerbitkan lima buku ilustrasi dan animasinya sendiri. Dia yakin, setiap orang bisa menjadi kritikus seni yang dihargai dengan sedikit bantuan dari empat-langkah yang akan ditunjukkannya. Langkah-langkah itu akan “Mengubah ‘kritikus seni amatir’ yang biasa-biasa saja menjadi seorang ahli seni yang penuh percaya diri,” imbuhnya.

“Semua seniman harus membekali diri dengan keahlian kritik seni. Meski sederhana, empat langkah itu menggulirkan banyak gagasan tentang satu karya seni, menghasilkan pemikiran yang baik secara deduktif mengenainya. Proses itu niscaya digunakan saat mengkritisi karya-karya Anda sendiri atau karya orang lain,” tegas penyandang Master in Teaching dan B.A. dalam Sejarah Seni itu.

Langkah 1: Katakan Apa yang Anda Lihat
Kuncinya ialah menjelaskan (secara rinci) suatu karya seni itu. Untuk melakukan hal itu, Anda harus benar-benar menelisik karya itu, dan catat sebanyak mungkin detil-detilnya sehingga Anda bisa menguraikannya. Ingat, proses itu bukan satu balapan! Tenang dan dekati secara intim karya seni itu. Makin banyak detil yang Anda ambil, akan makin mudah Anda mengatakan apa yang dilihat.

Langkah 2: Analisa dan Sintesa
Kajilah menyeluruh dan sistematis detil-detil yang tersebar itu, yang menyerupai papan teka-teki, dan perhatikan elemen-elemen yang mendukung suatu karya. Adakah warna-warna yang menyenangkan? Garis-gemaris yang yang menarik? Perhatikan permainan bentuk atau polanya. Apakah bentuk dan pola itu seimbang? Apakah pusat perhatiannya? Saat Anda menganalisa detil-detilnya, gabungkan (detil-detil secara bersama) dan cermati bagaimana elemen-elemen individual itu mempengaruhi keseluruhan komposisi.

Langkah 3: Keberanian suatu Interpretasi
Apa yang Anda pikirkan tentang suatu lukisan? Apakah Anda pikir si seniman sedang berbicara dengan Anda secara pribadi? Ingat, Anda tidak salah jika menggunakan pernyataan-pernyataan “aku”, seperti “Aku terhasut oleh penggunaan yang berlebihan warna-warna cerah itu,” atau “Pemandangan ini mengingatkan aku pada danau tempat bermainku ketika aku kecil di Maine.” Danau itu mungkin ada di Timbuktu, namun fakta-fakta adalah hal yang mengecoh di dalam seni. Interpretasi Anda absah jika diekspresikan secara personal dan didukung oleh langkah satu dan dua di atas.

Langkah 4: Anda adalah sang Hakim
Bagian yang menyenangkan! Jawablah secara sederhana; apakah Anda suka pada karya seni itu? Gunakan tiga langkah pertama untuk mendukung penilaian Anda, dan Anda tidak akan salah. Pendapat-pendapat dari para kritikus seni “profesional” tidak lagi lebih penting ketimbang pendapat Anda sendiri. Tak pernah ada satu pun karya seni, secara universal, yang dicinta atau dibenci. Jadi, apapun pendapat Anda, Anda adalah bagian dari kalangan kritikus baik lainnya, di suatu tempat.

Pokok-pokok pikiran Diane Loving itu bisa disimak di situs http://painting.suite101.com/article.cfm/how_to_be_an_art_critic. Empat jurusnya tidak lain bisa diperas menjadi, seperti ini: deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi. Dan banyak sekali buku tentang kritik seni yang mendedahkan pokok-pokok bahasan yang mirip Loving.

Seturut Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Parahyangan Bandung, orang kini cenderung berhenti pada hanya unsur ‘interpretasi’, pada tahap ‘evaluasi’ orang menjadi sangat ragu-ragu. Itu tidak lain dikarenakan ketidakjelasan parameter dan paradigma kritik seni. Agaknya dia hendak mengatakan bahwa ‘kritik seni’ kita sekarang melempem.

Dan kita tahu, apa yang disebut ‘kritik’ itu adalah sampar bagi sebagian seniman yang, barangkali, tidak pernah hendak paham bahwa hakikat kritik adalah karib-kreatif baginya. Kritik, sebetapapun pedasnya, pantas disimak dan disikapi secara rileks.

Sungguh aneh, bagaimana suatu kritik bisa membuat yang tertuju seakan mati langkah, daya, dan pikir. Barangkali orang-orang ini, yang tak tahan kritik, melupakan satu hal: kritik adalah petuah gratis.

Mengherankan pula, bagaimana mungkin orang-orang yang mendaulat dirinya sebagai kritikus, ahli seni, atau kurator – jelas saya sedang bicara tentang kondisi di sini, di Semarang – nyaris nihil menuliskan dan mempublikasikan pandangannya, bahkan tak pernah. Lantas, bagaimana publik mampu membaca: tentang suatu harkat, nilai, atau kompetensi?

Kiranya para kritikus, ahli seni, atau kurator seni rupa – di Semarang! – tak cuma gemar mengumbar kata, namun piawai pula mempublikasikan opininya. Bagaimana, bisa?***

Monday, February 11, 2008

Tentang Buku “Pinter” Seni Rupa Itu

(Resensi Buku)
Judul : Membongkar Seni Rupa
Penulis : Mikke Susanto
Penerbit : Buku Baik & Jendela, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2003
Tebal : x+325 Halaman

PERLUKAH sebuah keindahan dinamai? Dimaknai? Atau digambarkan secara definitif? Lalu bagaimana pula memperbincangkan karya seni yang indah?

Sudah sejak zaman Aristoteles keindahan diberi bermacam nama dan definisi. Filsafat estetika pun berkembang dan menawarkan banyak sekali pemilahan. Tapi, sekarang ini, dalam terminologi seni rupa kontemporer, estetika bukan lagi satu-satunya hal atau tujuan yang perlu dikaji. Bahkan mungkin pula telah “lewat”

Dalam suatu diskusi berkait dengan Biennale Yogyakarta VII-2003 yang baru lalu, perupa Agung Kurniawan ‘mencela’ perupa Yogyakarta yang disebutnya sebagai budak estetik. Pernyataan yang jika diukur oleh orang awam akan menimbulkan kekagetan. Bukankah sumber kesenian ialah estetika itu sendiri? Benarkah estetika sudah demikian basi hingga tidak layak disodorkan dalam suatu karya seni? Lalu, apa parameter sebuah karya seni itu indah atau bukan?

Wacana yang terbangun sekarang ialah persoalan apakah suatu karya seni itu kontekstual. Tidak itu saja, eklektisme sudah jadi kelaziman. Perupa berkarya dengan memanfaatkan semua yang sudah tersedia dan asal comot saja. Tak ada orisinalitas. Yang tersisa ialah adagium seni bukan lagi barang mewah; orang kebanyakan pun mempunyai hak yang sama untuk berkesenian.

Seni yang dipilah menjadi seni tinggi dan seni rendah atau fine art dan applied art, dalam paham modernisme, telah dibongkar hanya sebagai seni yang populis. Seni telah keluar dari menara gading. Maka tak heran secara kasat bentuk seni rupa sekarang tidak lagi mengacu pada craftmanship. Seolah seniman tak perlu lagi mempunyai keprigelan dalam masalah teknis.

Lalu lahirlah penggayaan seni rupa yang ‘seolah-olah’ mengacuhkan teknik. Lihatlah gaya melukis S. Teddy D. yang menyodorkan ‘garis-garis yang malas’.

Cermati pula gambar/drawing Agung ‘Leak’ Kurniawan; betapa hanya garis-garislah, disamping unsur narasi, yang menguarkan emosi seniman bersangkutan. Itulah sumbangsih paham kontemporer saat ini.

Seni gambar tidak lagi dianggap sebagai proses yang belum selesai, bukan lagi hanya digagas sebagai desain atau rencana karya. Gambar berdiri sebagai karya seni rupa itu sendiri. Seni gambar ialah mother of arts, konon.

Dan membicarakan bahasa visual seni rupa kontemporer, komik pun dieskalasikan menjadi bagian dari seni rupa. Tak lagi dipinggirkan hanya sebagai gambar yang berkisah. Pola jukstaposisi tidak lagi dominan dan pembabakan komik semakin bebas saja. Komik Daging Tumbuh, digawangi oleh Eko Nugroho, misalnya, menyajikan karya komik yang tak lazim dalam konteks alur cerita, gambar dan bahkan gagasannya. Seperti inilah gaya komik yang bernilai seni mutakhir.

Wacana Kontemporer
Eksplorasi akan gaya, material, konsep, waktu-ruang, dan bahkan proses dalam seni rupa kontemporer telah menuju titik ketaksaan. Gaya bukan lagi tujuan. Material tak lagi menghambat seseorang perupa untuk berkarya. Konsep tidak lagi sekadar dalam skala yang sederhana, namun telah merambah hal ketakmungkinan dapat menjadi sesuatu yang riil. Dan konsep itu sendiri, yang digagas dalam konteks kesenirupaan, sah diklaim sebagai karya seni. Sebuah karya seni tak lagi harus berwujud kasat. Ide dan gagasan adalah seni.

Waktu dan ruang telah menyempit dari wilayah eksploitasi kreatif seniman kontemporer; bahwa waktu dan ruang bukan lagi hambatan. Ambil contoh berkarya melalui ruang internet. Maka waktu dan ruang menjadi waktu yang terentang dan sekaligus juga terkompresi seperti dalam gagasan Giddens. Karya sekarang hadir tidak lagi harus co-presence, namun sangat mungkin dan pasti juga omni-presence.

Teknologi digital membuka peluang lebar bagi perupa kontemporer. Karya hadir dalam bentuk maya dan di ruang maya pula. Karya bisa menyublim menjadi wacana yang berkembang saja. Isu dalam medan sosial seni rupa sekalipun, bisa jadi, digagas sebagai sebentuk seni tersendiri.

Suatu kali para seniman Slilit Gabah, andaikan saja, merekam keseharian Pasar Beringharjo Yogya dan menyiarkannya live via satelit dan ditayangkan di salah satu ruang MOMA, New York, Amerika Serikat. Maka seni video ini juga sah sebagai karya seni rupa. Bukan sebagai sajian reportase kru televisi.

Kemudian, proses berkarya juga absah sebagai karya seni itu sendiri. Dari sini lahirlah berbagai seni proses, contoh performance art yang melibatkan tidak saja tubuh seniman dan konsep tentang ketubuhannya, tapi juga mengadopsi bentuk karya seni dan hasil budaya manusia lainnya.

Contoh seni pertunjukan mutakhir berlangsung di Hotel Dibia Puri Semarang (“Semarang Koeroeng Boeka”), Oktober silam. Tiga orang performer, di tengah-tengah pertunjukannya, kencing bersama-sama. Ritual kencing bersama itu ditasbihkan sebagai karya seni. Edankah?

Ambiguitas dan keseolahan seni meruah di sekeliling kita. Respons atas lingkungan, material apa adanya, menyikapi problematika kontekstual, dan berbagai pencanggihan konsep dan gagasan melahirkan seni instalasi.

Seni instalasi seni visual yang menggabungkan tidak saja konsep dan gagasan, tapi juga prinsip-prinsip keruangan, arsitektur, musik, tari, teater, video, dan berbagai bentukan lainnya. Maka disebut juga seni multi media. Perupa tidak lagi berkarya dalam seni dua dimensi saja. Karya telah meruang menjadi tiga dimensi, bahkan mungkin dalam dimensi lain. Siapa tahu, dunia paranormal, suatu kali, juga diklaim sebagai bagian dari seni konsep atau seni maya.

Dan bentukan baru dalam seni rupa kontemporer ialah fotografi. Anak tiri ini, karena “kekurangannya” yang berbentuk masinal itu, telah terangkat dan bersanding sebagai seni kontemporer yang sahih.

Lantas, apalagi yang bisa disahkan sebagai keluarga besar seni rupa kontemporer di masa depan?

Buku Baik
Seni rupa modern telah mampus. Benarkah?

Kita tak lagi melihat seni lukis jiwa ketok ala S. Sudjojono, Widayat, Affandi, Dullah, atau Basuki Abdullah sekarang ini. Mereka telah menjadi masa silam, menjadi artefak sejarah, yang disimpan dalam ruang-ruang pribadi kolektor atau museum seni.

Tak ada lagi seni melingkar-meliuk dalam tatahan wayang kulit Jawa atau ornamen tongkonan di Toraja. Seni kontemporer bukan itu lagi.

Seni rupa masa kini ialah sebuah bangunan knock-down dan disebut sebagai Fabriek Galery ala Asmudjo Jono Irianto (dalam proyek Under Construction), tatanan dinding terbuat dari plat baja karya S. Teddy D, dan gulungan kayu bakar karya Anusapati di ruang Societet Militer (keduanya dalam Biennale Yogyakarta VII-2003).

Bingung? Tunggu dulu!

Jika Anda perupa, mahasiswa atau peminat seni rupa, atau awam sekalipun dan ingin mengetahui wacana seni rupa kontemporer, maka bacalah buku Mikke Susanto ini. Mikke seorang penulis seni rupa yang fasih mengutip berbagai teori dan sumber kesenirupaan Barat.

Kumpulan tulisannya, berasal dari berbagai pengantar kuliah untuk mahasiswanya, gamblang memaparkan seluk-beluk seni rupa. Bahasanya renyah, kendati ada kesalahan kecil di sana-sini.

Sungguh, ini buku baik dari Penerbit Buku Baik. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu (7/3/2004)]

Wednesday, February 6, 2008

Paradoks (Seni) Semarang

WACANA praktik seni-budaya (di) Semarang nyaris selalu dibangun berdasar asumsi-asumsi dari sejumlah paradoks. Kondisi itu diperparah oleh amatan satu atau dua ‘pengamat seni’ yang, selain diragukan kompetensinya, pula memungut data-data dan dieja salah.

Biasanya dikesankan, Semarang mengandung potensi seni yang besar: seniman-budayawan yang piawai melimpah, modal kultural tak tertandingi, dan memiliki infrastruktur yang memadai. Itu semua masih ditambahi dengan jejak historis bahwa Semarang adalah tanah kelahiran seniman legendaris, seperti Raden Saleh.

Konstruksi plasebo itu, sengaja atau tidak, direproduksi terus dan akhirnya hanya berakhir pada paradoks pula: Semarang sebenarnya berpotensi namun kenyataannya tidak pernah lahir karya-karya seni (kontemporer) yang memadai. Kira-kira seperti itulah, meski tidak persis literalis, nuansa tulisan ‘pengamat seni’ (?) Asdani Kindarto, bertajuk “Ke Mana Identitas Semarang?” (Seputar Semarang, Edisi 224 Tahun V, 22-28 Januari 2008).

Orang sering keliru membandingkan praktik kesenian Semarang dengan Yogya atau Solo, misalnya. Komparasi dilakukan berdasar pemikiran yang cacat. Diangankan, kehidupan seni Semarang bisa menyamainya. Kenyataannya, tak pernah Semarang – beserta fakta historisnya – bisa menandingi kedua kota ‘pusat’ seni itu.

Alhasil, selalu muncul anggapan bahwa Semarang bukan lahan ideal menyemai kesenian, apapun bentuknya. Bahkan ada seniman lokal yang membait Semarang sebagai tempat “kuburan seni”. Saya teramat kuatir, jika stigma itu direproduksi terus-menerus, dan dalam jangka panjang, tak tertutup kemungkinan publik telanjur mempercayai olok-olok yang terbangun. Pada akhirnya, tentu, hal ini akan merugikan art-world Semarang.

Kecemasan para pecinta seni – termasuk mereka yang menyebut diri sebagai seniman, aktivis seni, pengamat seni, atau akademisi – terlalu berlebihan kiranya. Ekspektasi yang digantungkan terlalu tinggi dengan bercermin pada realitas kesenian (yang sangat produktif!) di Yogya atau Solo. Orang harus jernih melihat bahwa kedua kota itu inheren memiliki aset kultural di segala bidang. Yang terpenting, keduanya secara sadar mengkonstruksi dirinya menjadi kota budaya. Sebab, tak lain, identitas itulah yang dijajakan.

Akan halnya Semarang, tak jelas bagaimana kota pesisir ini mencitrakan dirinya. Tambahan lagi, tak ada keberpihakan pemerintah (secara politis!) terhadap tumbuh dan berkembangnya kantong-kantong seni kota. Lembaga pendidikan tinggi seni di Semarang pun tidak menyumbangkan diskursus atau praktik lapangan yang memadai. Tak jelas pula kiprah dewan kesenian tingkat kota atau provinsi.

Pada akhirnya, masyarakat pun tak terlalu peduli akan absennya bentuk dan aktivitas seni yang baik. Lengkap sudah tanda diri minor itu.

Praktik Seni Lokal
Di tengah-tengah minimnya peran negara – tepatnya pemerintah – terhadap praktik kesenian kota, sekiranya mesti diakui bahwa denyut kesenian Semarang cukup memadai. Praktik dan investasi pada kesenian kota – taruh kata pembangunan infrastruktur kesenirupaan – berasal dari golongan partikelir. Contohnya, sejumlah ruang seni rupa dibangun dan dikelola oleh kalangan swasta. Tak pernah sekalipun pemerintah menaruh perhatian terhadap ruang dan agenda kesenian yang dilansir dari ruang-ruang kreatif itu. Inilah salah satu kondisi paradoks praktik berkesenian Semarang.

Jika dicermati, telah banyak praktik berkesenian tersebar di seantero kota. Jenis keseniannya pun beragam, seperti: seni rupa, sastra, teater, musik, fotografi, juga tak ketinggalan film. Sependek catatan saya, kesenirupaan Semarang bahkan cukup dinamis lima tahun belakangan dibandingkan Solo.

Yang jadi persoalan ialah: ekspresi kesenian yang hidup dan dipraktikkan di Semarang tidak atau kurang mampu menyedot atensi khalayak luas. Persoalan ini, ujung-ujungnya, bertumpu pada sejumlah keingintahuan: apakah ekspresi seni itu kurang menarik, tidak dimediasikan secara memadai, atau barangkali para pekerja seni Semarang kurang cakap mengolah isu-isu berkesenian?

Hemat saya, seniman berada dalam titik picu praktik berkesenian suatu kota. Seniman (dan karya seninya) seyogianya mampu memberikan perspektif atau alternatif cara pandang baru, menawarkan kegembiraan, hingga meningkatkan kognisi dan apresiasi publik terhadap kesenian. Jika dimensi-dimensi ontologis seni dijalankan secara memadai niscaya publik akan makin diperkaya kehidupan psikisnya.

Selain itu fungsi sosial seni perlu ditonjolkan. Sepantasnya seniman sebagai bagian dari masyarakatnya berdiri pada barisan depan dan menjadi cermin reflektif mereka. Karya seni yang berhasil, dalam tataran tertentu, ditunjukkan oleh relevansi dan kontribusinya pada praktik kultural komunitas tempat seni itu dilansir. Pada titik inilah kiranya kita perlu mengkritisi: adakah praktik kesenian di Semarang telah mencerahkan publiknya?

Akan tetapi, pada dasarnya, tidak bisa lain seniman mesti memiliki etos kerja kulminatif. Berkesenian tak ubahnya sebentuk pekerjaan yang menuntut sederetan konsekuensi yang harus dipenuhi. Kerja keras, pada ujungnya, menyoal kontinuitas praktik seni yang bertumpu pada elan kreativitas. Seniman diuji untuk menghasilkan karya-karya seni yang menarik. Bukan leha-leha dan menunggu wangsit belaka.

Triyanto Triwikromo setengah menyindir berujar: “Kita – moga-moga saya dan Anda tidak – tidak berada dalam budaya "kerja". Pagi bangun ngrokok-ngrokok. Siang jalan-jalan. Malam tura-turu. Ah, kapan kerjanya?” Sastrawan “sayap malaikat” itu mengirimkan surat elektronik dari Sydney, belum lama ini.

Dukungan Pemerintah Kota
Membangun kesenian kota tak semudah kita membalikkan telapak tangan. Meski seniman berada pada barisan terdepan, tak bisa dipungkiri perlunya publik menyamakan persepsi: kesenian adalah lentera kehidupan. Pada titik inilah diperlukan ketegasan dan keberpihakan pemerintah terhadap hajat hidup kesenian kota. Tegasnya, dukungan politis.

Juga, pemerintah mesti menyediakan kemudahan produksi kesenian, meluaskan akses publik dan seniman terhadap iptek dan aliran informasi, mengenalkan praktik manajemen seni yang baik, serta – bersama semua pemangku kepentingan seni kota – turut mendesain kebijakan dan arah seni kota. Tidak bisa lain, peran dewan kesenian kota mesti ditingkatkan.

Jika perhatian pemerintah memadai, maka giliran senimanlah untuk meluaskan jejaring, memasarkan gagasan dan produk seninya, hingga mendesain isu-isu kesenian yang berdampak kuat dan positif. Iklim berkesenian yang ideal harus terus diperjuangkan dan ditumbuhkan. Kondisi kesenian tidak tumbuh alamiah, taken for granted, namun harus diciptakan. Dan lingkungan serta iklim berkesenian yang baik adalah conditio sine qua non lahirnya medan sosial seni yang apresiatif.

Sebenarnya, potensi seni setiap kota Indonesia satu dengan lainnya tak terlalu berbeda. Yang terjadi ialah ketidaktahuan pemangku kepentingan untuk mengurai keruwetan yang ada dan membangun struktur kesenian yang representatif. Pemerintah kota, tak terkecuali Semarang, tak tahu arah bagaimana membangun masyarakat madani yang bertamadun. Alhasil, yang terlihat ialah sejumlah paradoks yang mengganggu.

Contoh jelas paradoks seni kota ialah tentang eksistensi Wayang Orang Ngesti Pandowo. Disandingkan bersama satu taman bermain yang riuh, seni tradisi itu seolah secara sistematis dilenyapkan perlahan-lahan. Lantas, di manakah argumentasi tentang menguri-uri seni-budaya tradisi yang, konon, adiluhung itu? Inilah praktik banalitas kebudayaan pada awal alaf baru, di sini.

Esai ini pun sebuah paradoks. Ia menolak anggapan Semarang sepi dari praktik kesenian kota, namun ia pun memaparkan sederet kendala yang menindas praktik kultural itu. Agar tidak lupa, segenap pekerja seni pantas diingatkan terus tentang: untuk apa dan siapa produk kesenian itu.

Terakhir, adakah peran pemerintah yang signifikan pada kehidupan budaya masyarakatnya? Biarkan pertanyaan ini menggantung terus.

Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Seputar Semarang, Kamis (24/01/2008)]

Friday, February 1, 2008

Tubuh Seni Semarang

DARI Sydney, Triyanto Triwikromo berkirim e-mail: “Setelah melihat beberapa aktivitas kesenian di beberapa negara, saya kian melihat galeri Anda terlalu mewah ha ha ha…”

TT –begitu ia akrab disapa– seakan-akan sedang bercanda, meski terasa mengiris. Dan ia tak hanya berhenti di situ, sastrawan ‘sayap malaikat’ itu melanjutkan, seperti mengeluh: “Sayang tidak setiap saat galeri itu dimanfaatkan oleh siapa pun.”

Saya mengenal TT kira-kira delapan atau sembilan tahun lalu. Ketika itu kami meliput suatu acara di kaki gunung Merapi, Magelang. Oya, saat itu saya koresponden majalah fotografi FOTOmedia. Saya berangkat ke sana, dari Semarang, bersama Chandra Adi Nugroho, fotografer Kompas. Usai acara, Chandra bertolak ke Yogya. Saya pun berniat pulang sendiri. Mengetahui saya langsung ke Semarang, TT lantas ikut semobil. TT mengejar tenggat.

Di tengah jalan, mungkin sekitar dusun Jambu, terjadi kemacetan luar biasa. Mobil kami terjepit di antara kendaraan lainnya. Kami memutuskan berbelok arah dan mengikuti satu mobil omprengan mencari jalan alternatif. Kami melewati jalanan tanah merah di tengah kerindangan kebun kopi. Cukup jauh kami menerabas kebun kopi itu. Akhirnya kami sampai dekat rumah makan “Kopi Eva”. Malang benar, deretan mobil mengular juga di sana. TT mengambil inisiatif: ia turun dari mobilku dan –berlagak seperti kernet– ia hentikan mobil-mobil dari dua arah. Mobil kami pun meluncur mulus dari kebun kopi dan riang melenggang pulang. Jika ingat kejadian itu saya merasa TT memang punya bakat khusus.

Di mobil kami bercakap ngalor-ngidul. Yang masih teringat, ia sungguh mensyukuri hidupnya. Sebentar lagi ia mendapat kemuliaan ke Tanah Suci, katanya. Hebatnya, keberangkatannya itu atas kebaikan seseorang kawan. Ia tidak mengeluarkan biaya sedikit pun.

Ya Allah, berkatMU.

Setelah perjalanan panjang semobil itu kami tidak sering berjumpa. Kemudian saya mendengar dia telah menyandang gelar haji. Bukti ia ke Tanah Suci ditunjukkannya dengan merilis beberapa fotonya –di Suara Merdeka– ketika dia di sana. Ada satu foto yang mengesankan saya: seseorang sedang menulis di batu cadas. Foto itu seperti sumpah seseorang setelah menemukan Tuhannya.

Intensitas berkeseniannya –sastra– kian meningkat. Ia mendapat apresiasi yang baik dari kalangan sastra Indonesia. Saya kira, TT sastrawan Semarang yang paling berhasil dalam merebut kepercayaan persastraan Tanah Air. Puncak pergaulannya di dunia sastra ialah: ia diundang ke sekian negara lain.

Pergaulannya di ranah kesenian lain, seperti seni rupa, pun tampak menarik. Ia cukup dikenal oleh perupa-perupa Yogya. Pada akhirnya ia pun punya atensi khusus pada dunia seni rupa itu. Fakta itulah, antara lain, yang membuat saya yakin ia pantas menjadi salah satu kurator pada pameran Pra Bali Biennale 2005. Dia dan saya mengkurasi pameran itu yang merupakan bagian dari Bali Biennale (“Space and Scape”) yang pertama. Pameran itu bertajuk “Ruang:Tanda” dan menandai kelahiran Rumah Seni Yaitu, Jumat, 19 Agustus 2005.

Dan TT yang saya kenal, yang pernah numpang di mobilku, kian cemerlang saja nasibnya. Sudah barang tentu karena kerja kerasnya. Ia terbang meninggalkan –jauh, jauh dan tinggi sekali– sastrawan Semarang lainnya.

Saya ingin membagi penggal e-mailnya yang lain untuk kalian. Saya kira, pikirannya layak kita simak bersama. Pastikan mencermati dengan kepala dingin. Siapa tahu ia bermanfaat.

TT: “Saya bayangkan jika semua seniman semarang setiap hari mau memamerkan karya --mungkin dua sampai lima-- di RSY, aduh setiap saat juga orang bisa "memeriksa", "menyapa", "membaca" tubuh seni orang Semarang. Mengapa tak tumbuh kesadaran semacam itu ya?”***