Tuesday, September 28, 2010

WACANA SENI PEMBEBASAN

[Karya Antonius Danang Bramasti, SJ]

ISTILAH teologi—dalam wacana teologi pembebasan Amerika Latin—berarti “iman dalam tantangan sejarah perjuangan untuk pembebasan”. Sedangkan pembebasan diartikan sebagai “bebas dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik, atau alienasi kultural, atau kemiskinan dan ketidakadilan” (Francis Wahono Nitiprawiro, 2008).

Tegasnya, teologi pembebasan bukan cuma praksis religiositas eskatologis, melainkan upaya nyata memerangi penindasan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat miskin. Lantas, apa yang dimaksud dengan “seni (sebagai sarana) pembebasan”?

Adalah seorang imam jesuit—Antonius Danang Bramasti, kepala paroki Girisonta, Ungaran—yang mencetuskan istilah atau pemahaman (baru) tersebut. Romo Danang adalah gembala Tuhan yang gemar menggambar. Secara personal, dalam tempo tertentu, praktik meditasi dilakukannya melalui dan dengan cara menggambar. Dalam hal ini dia melakukannya dengan tangan kiri meski dia bukan seorang kidal. Wujud nyata meditasinya adalah karya gambar (drawing) atau lukisan.

Seiring arus waktu, sejalan dengan keimanan Kristiani, romo Danang berniat mengaplikasikan kesenirupaan sebagai karya pastoralnya. Hasratnya tersambungkan oleh realitas, di wilayah kerjanya, sejumlah besar pabrik terbengkelai dan lingkungannya pun terdegradasi.

Romo Danang melukiskan realitas memilukan itu—reruntuhan pabrik dan lingkungannya—ke atas kanvas. Pertama-tama realitas empirik itu dipotretnya dan lantas dilukisnya. Jadi, lukisannya tak lain visualisasi impresinya atas citraan fotografis. Secara kasat semua karya lukisnya terkesan impresif: paduan warna-warni primer, ikonisitas yang samar, dan non-figuratif. Pada ujungnya, lukisan-lukisan itu dipamerkan untuk publik (misal: pameran “Asa di Tengah Kehancuran” di Unika Soegijapranata Semarang, 23—28/8).

Mangkraknya banyak pabrik, yang menyebabkan rusaknya topografi tanah agraria setempat, adalah bukti gagalnya industrialisasi di desa Harjosari, Bawen, Ungaran. Utopia kemakmuran—via kerajaan industri garmen, tekstil, dan sebagainya—sirna berbareng dengan ambruknya perekonomian Indonesia yang diterjang krisis moneter, 1998. Semenjak itu—puncaknya setahun belakangan—ribuan buruh kehilangan pekerjaannya dan serentak mereka jatuh miskin.

Seni Pembebasan: Apa dan Siapa
Sejarah kebudayaan modern Indonesia—dalam hal ini kesenilukisan—mencatat wacana “realisme sosialis”. Adalah pelukis S Sudjojono—pada 1930-an—yang getol melansir isu “kesenian ialah jiwa ketok”. Baginya, seni lukis “harus keluar dari dalam hidup kita sehari-hari”.

Kesenian S Sudjojono—dan termasuk pelukis Hendra Gunawan, Affandi, Harijadi, Suromo, Basuki Resobowo—berpijak pada gelora nasionalisme dan kerakyatan. Bisa dipahami mengingat mereka terlibat pada bara revolusi Indonesia. Dalam bahasan kritikus Jim Supangkat (pengantar dalam S Sudjojono, 2000), kekuatan lokal yang tercermin pada realisme Sudjojono merupakan estetik yang moralistik.

Pada 1950, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI)—berdiri dan mengawal jargon seni realisme sosialis pula. Pedoman geraknya disebut Satu Lima Satu (1-5-1). Satu yang pertama “politik sebagai panglima” dan satu yang terakhir “cara kerja turun ke bawah”. Oleh Hersri Setiawan (dalam Antariksa, 2005) pelaksanaan Turba (turun ke bawah) itu dijabarkan dengan “Tiga Sama” yaitu: bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. Artinya, seniman harus merasakan jiwa dan perasaan terdalam rakyat kebanyakan sehingga bisa diungkapkan secara tepat.

Maka, paham realisme sosialis niscaya menaruh perhatian—dan berpihak—pada problematika kerakyatan. Kesenian yang dihasilkan mestilah menyuarakan dunia dalam kaum pekerja, rakyat jelata: buruh, petani, atau mereka yang termarginalkan.

Sampai di sini, kita dapatkan beberapa pertanyaan. Apakah “seni pembebasan” sama sebangun dengan realisme sosialis dalam konteks praksis kebudayaan sosialistik ala Lekra? Apakah “seni pembebasan” menawarkan cara, metode, atau matriks terukur demi tujuan “pembebasan”? Apakah “pembebasan” itu bersifat individual atau kolektif-komunal dan bebas dari apa?

Barangkali gagasan “seni pembebasan” tersebut masih perlu dielaborasi. Mesti dicari benang merah antara gagasan, teoretik, dan praktik dengan anasir-anasir dan komunitas yang hendak dilayani. Ini mengandaikan ide “seni pembebasan” bukan untuk pencerahan personal belaka, melainkan demi kolektif-komunal (wujud “turun ke bawah”).

Pada hemat saya, jika gagasan “seni pembebasan” dianggap sebagai praksis pembebasan teologis—sebagai konsekuensi logis dari praksis teologi pembebasan yang hendak menghalau penindasan dan ketidakadilan—maka sudah semestinya locus theologicus-nya ialah masyarakat atau komunitas yang termarginalkan. Benarkah ini yang dimaksud?

Sudah banyak contoh bagaimana seni rupa digunakan sebagai wahana pencerahan (enlightenment) atau penyembuhan (healing). Bila “seni pembebasan” seperti ini, tentu saja, bukan wacana baru.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa
Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Selasa: 28/09/2010.]

Sunday, September 5, 2010

PUASA SENI RUPA

[Photography: Tommas Titus Kurniawan]

BERPUASA bagi kaum Muslim bukan cuma berpantang makan-minum sebulan penuh. Berpuasa juga bukan semacam ritualitas yang berulang belaka. Berpuasa adalah praksis transenden: suatu upaya mendekatkan manusia, yang profan, kepada Sang Pencipta Agung.

Ramadan adalah bulan saat umat Muslim berpasrah diri dan menangis haru-girang atas segenap karunia-Nya. Karena itu, bulan berpuasa yang suci ini disyukuri oleh kaum Muslim dengan melakukan hal-hal berguna nan positif.

Akan tetapi, bukan tidak menyukuri rida-Nya bila tiga seni rupawan muda—tergabung dalam komunitas Beanstalk—melansir wacana kritis atas situasi “puasa hari ini”. Tommas Titus Kurniawan, Nasay Saputra, dan Aris Yaitu berpameran di Widya Mitra, Jalan Singosari II/12, Semarang, pada 28 Agustus—6 September 2010. Pameran bertajuk “Sa-ti-re 2” itu dibuka pada Sabtu (28/8) malam.

Pameran kelompok ini lanjutan dari “Sa-ti-re”—diadakan di Galeri Bu Atie, Maret lalu. Saat itu Beanstalk terdiri dari Tommas, Nasay, dan Wisnu Baskoro. Di tengah jalan Aris bergabung. Belakangan jejak kreatif Wisnu tak jelas dan dia, lantas, undur diri dari praksis kesenirupaan.

Refleksi Kritis
Tiga sekawan itu mengkritisi kebebasan, kemerdekaan dan isu-isu terkini sesuai minat dan cara masing-masing. Tulis mereka dalam selebaran pameran, “Tentu 'Puasa Hari Ini” tidaklah mudah untuk dijalani di tengah maraknya kepentingan-kepentingan tersembunyi yang membuat masyarakat semakin terbungkam dalam ketidakadilan.”

Bagi mereka, kekritisan itu diperlukan sebagai refleksi di bulan Agustus tatkala bangsa Indonesia memperingati kemerdekaannya. Namun mereka sadar bahwa “masyarakat sulit bersuara lantang karena (di) bulan puasa mengharuskan umat-Nya mengendalikan segala emosi.”

Walhasil, menyimak pernyataan mereka, ada tiga pokok soal (subject matter) sentral yang disoroti, yakni isu-isu kemasyarakatan terkini, dialektika kemerdekaan bangsa Indonesia, dan diskursus religiositas. Ketiga topik itu diekspresikan dalam karya foto, komik, instalasi, video, dan gambar (drawing).

Nasay—alumnus Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang—menciptakan superhero “Kompor mBledhak”. Tokoh itu bertubuh tambun dan berkepala tangki gas 3-kiloan keluaran Pertamina. Tampangnya sangar: alis hitam melengkung, mata mendelik, mulut menyeringai. Ironinya, sang “pahlawan” justru menebar teror: membakar banyak rumah, mencelakakan rakyat kebanyakan. Kisah getir ini ditampilkan dalam serial komik.

Selain serial komik, Nasay menggambar panel-panel mandiri yang menyoroti isu-isu hangat. Malaysia digambarkan sebagai “raja perompak”: sosok kartun buatan Malaysia “Upin” dan “Ipin” sedang naik perahu. Ada juga citraan raja-ratu lombok sebagai perumpamaan harganya yang melambung tak terkendali baru-baru ini.

Isu kebebasan-kemerdekaan digarap dengan taktis oleh Aris. Dia memvisualisasikan “presiden lebay” itu sebagai sosok berjubah-bersorban sedang mengangkat kedua tangannya. Adakah gambar ini metafor menyerahnya supremasi negara pada kekerasan simbolik atas nama keagamaan tertentu?

Satu-satunya instalasi—gubahan Aris—ialah “Tiga Jajaka”: tiga sisi kardus bekas pembungkus kulkas dilobangi serupa sosok tiga lelaki. Kardus dibaluri cat putih. Lampu kecil merah menggantung di sebaliknya. Dimensinya, lebar dan tinggi berkisar 120—180 cm. Ini karya apropriasi atas fenomena patung “Tiga Mojang”—kreasi I Nyoman Nuarta—yang dibongkar paksa di suatu kompleks perumahan di Bekasi. Bahan dan tematik “Tiga Jajaka” santir rapuhnya karya seni oleh arogansi dan banalitas tafsir sekelompok penganut kepercayaan garis keras.

Aris juga menyoroti nasionalisme Indonesia. Ada gambar burung garuda—kedua sayapnya tak mengepak—terlihat gontai-lunglai tanpa semangat. Secara umum karya-karya gambar Aris—dia lama bekerja di Rumah Seni Yaitu Semarang—berupa metafor bertingkat: visualitasnya senantiasa berdaya-ungkap mejemuk dan tak linear.

Dan ruang pamer itu—garasi yang beralih fungsi (sic!)—dimeriahkan oleh karya foto Tommas. Anak muda ini—sedang kuliah hukum di FH Universitas Diponegoro Semarang—konsisten dan kian matang dengan pilihan media ungkap fotografi.

Empat dari lima fotonya hasil pemindaian (scanning) objek kaleng bir dan mainan anak (toys). Ini semacam pemetaan sikap pro-kontra publik atas suatu realitas yang disigi berdasar syariat tertentu. Teknik tersebut dinamai scannography dan dikenalkan oleh Angki Purbandono—pentolan komunitas Ruang Mes56 Yogyakarta. Proses pemindaian itu direkam dan ditayangkan juga di ruang pamer.

Beanstalk dan Yang Lain
Hanya dalam tempo lima bulan Beanstalk menggelar dua pameran. Fakta ini pantas dihargai di saat lesunya praktik produksi atau eksposisi seni visual di Semarang belakangan ini. Padahal, beberapa tahun silam, pernah serentak dalam semalam di kota ini ada tiga perhelatan seni visual.

Sampai Agustus ini memang ada saja tercatat pameran foto, poster, zine, lukisan, di beberapa tempat, seperti di Galeri Bu Atie, Galeri Semarang, GrobagArt, Toko Buku Togamas, Taman Budaya Raden Saleh, Museum Ronggowarsito dan di mal atau kafe. Kegiatan itu, antara lain, diinisiasi oleh komunitas Hysteria, Outsiders, dan beberapa seni rupawan individual atau kelompok dadakan.

Menariknya, satu dua kelompok anak muda Semarang meraih atribusi “nasional” atas perannya selama ini—mereka: Hysteria (lebih dikenal sebagai komunitas sastra) dan Byar Creative Industry. Beberapa seni rupawan pun mulai mendapat cukup atensi dari pasar seni rupa Tanah Air, terutama pasar seni primer. Sebaliknya, tak kurang-kurangnya komunitas atau (calon) seniman berbakat tumbuh dan lalu bertumbangan.

Dahulu performa kelompok Importal cukup menjanjikan, namun kini bercerai-berai. Akan halnya Outisiders—anggotanya terutama dari kalangan pemusik cadas dan indie—menyimpan potensi besar. Tentu saja kepercayaan diri mesti dilecut lagi dan gagasan, strategi, serta pengetahuan estetik pantas ditinggikan pula.

Barangkali segenap pemangku kepentingan kreatif kota mesti menata ulang strategi dan pertumbuhan kesenirupaan Semarang. Untuk itu, jika benar, adanya agenda seni besar dalam waktu dekat patut disyukuri. Harus diwaspadai, sesuai pengalaman, iklim panas kota pesisir ini mudah memanggang relasi horisontal para pekerja seninya.

Jika ada pilihan, sebaiknya menggerakkan nadi kesenian secara laten dan dalam skala-format terukur ketimbang menginisiasi kegiatan besar cuma sekali lalu terkubur sudah. Hindarkan seni visual Semarang berpuasa lama.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 05/09/2010.]