Saturday, June 30, 2007

Mengapa Nurul?

Photo: Ferintus Karbon


PEREMPUAN itu tak bersuara. Wajahnya teperkur serius. Satu-satunya tanda, yang ditangkap oleh pemirsa, cuma geliatnya yang lembut-auratik. Teramat pelan, bahkan, nyaris tidak terdeteksi.

Nurul, sapaannya. Lengkapnya Nurul Prihartini Gansarwati. Ia terus bergerak, berputar pelan, dengan hanya bertumpu pada satu titik pijak. Kedua tangannya meraup piring dengan figur kepala di atasnya. Alumnus Seni Tari Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu sedang melakukan performans “Being Javanese” di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Jumat malam (25/5).

“Being Javanese” adalah performans karya Entang Wiharso. Perupa ini mendelegasikan karyanya pada Nurul dan empat sekawannya. Empat performer yang lain duduk takzim sambil makan nasi tumpeng. Mereka berlima tak bersuara, juga tidak saling berkomunikasi. Diam di tengah-tengah keriuhan sekelilingnya.

Nurul dan keempat rekannya tidak cuma menirukan teks performans Entang. Mereka mengelaborasi intensi sang seniman dengan cara mereka sendiri, sehingga yang muncul ialah teks performans baru. Jadilah suatu jalinan intertekstualitas yang kompleks.

Pada gestur, gerak tubuh, dan helaan napas perempuan yang menari di atas meja makan itulah “Being Javanese” mencapai puncaknya. Tubuh Nurul, performer itu, memancarkan energi yang meletup-letup, namun khas kejawaan: letupan yang mencapai kontinumnya tatkala diekspresikan secara lembut berirama. Ada taksu, selaik magma gemunung merapi, membuncah dari tubuh sintal perempuan itu.

Maka, tak syak, Nurul menjadi magnet malam itu. Kita pantas mencatat kelahiran seorang seniman performer baru dengan nilai kulminatif.

Peristiwa Seni
Pentas perdana Nurul itu mengawali suatu peristiwa seni yang melengkapi pameran “Intoxic” Entang Wiharso. Kedatangan seniman itu telah mendorong publik seni Semarang masuk pada babakan seni dan jejaring yang lebih luas. Tolok ukurnya, tidak lain, ialah prestasi dan reputasi internasional yang dimiliki seniman kelahiran Tegal itu.

Terlepas dari kesenian Entang Wiharso yang meneror publik Semarang, nilai penting pameran “Intoxic” itu juga terletak pada animo dan apresiasi seluruh audiens, termasuk para sosialita seni Indonesia, yang hadir pada malam itu. Ini pertanda ada kegairahan pada perhelatan seni visual kontemporer bertaraf nasional (atau bahkan internasional) itu.

Januari lalu, suatu siang, perupa santun yang beristrikan orang Amerika keturunan Italia itu menelepon saya. Niatnya jelas, dia hendak berpameran di depan publik Semarang. Serta-merta hasrat itu saya iya-kan. Ini pasti heboh, pikir saya. Isu kehadiran Entang Wiharso lantas santer tertiup.

Dalam beberapa kali pertemuan, di Yogyakarta dan Semarang, saya mendapat kepastian bahwa Entang Wiharso akan membawa karya-karya terbarunya. Karya-karya itu meliputi lukisan, instalasi multi media, video, dan juga performans. Tentang performans, ekspresi seni yang melibatkan tubuh sang seniman sendiri, sudah lama seniman ini tidak melakukannya. Jelas, pameran itu bakal menguarkan totalitas kesenian yang berkelas. Bukti itu terbaca dari keseriusan bapak dua putra itu mempersiapkan pamerannya.

Dalam percakapan kami, tidak jarang hingga subuh menjelang, terlihat Entang Wiharso seorang sosok seniman yang berpengetahuan luas. Juga, ia mempunyai atensi mendalam pada isu-isu sosial-politik lokal dan dunia. Tetapi, hemat saya, titik pijak semangat berkaryanya adalah empatinya pada pokok soal humanisme. Ini tidak lain persoalan manusia dan kemanusiaannya.

Kehadirannya di depan publik Semarang, dengan membawa karya hampir 2 kontainer, telah menjadikan kota ini bagian dari praktik kesenirupaan internasional. Alasannya, satu, karena sebagian karyanya akan dipagelarkan di Beijing Biennale, tahun depan. Usai dari Rumah Seni Yaitu karya-karya itu juga akan segera dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta. Kedua, tidak bisa dipungkiri, Entang Wiharso salah satu dari sedikit perupa Indonesia yang punya reputasi internasional. Tahun ini, mulai Agustus, dia diundang residensi enam bulan di Amherst College, Mass, Amerika Serikat dengan fasilitas Copelan Fellowship. Sebelumnya, Desember 2006, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mempresentasikan wacana “toxic art” di Universitas Harvard. Februari silam dia, bersama Heri Dono dan Eko Nugroho, diundang pameran – tajuk “Wind from the East” – di Kiasma Museum Contemporary of Art, Helsinki, Finlandia.

Boleh dikata publik seni Semarang beruntung menyaksikan kreasi-kreasi Entang Wiharso yang terbaru. Kapan lagi kita bisa menikmati suatu peristiwa seni sebesar perhelatan “Intoxic”?

Kolaborasi Mutualistis
Meski tidak ingin bersikap narsistis, sejatinya, pagelaran “Intoxic” Entang Wiharso adalah penanda baru bagi Rumah Seni Yaitu. Bahkan tidak berlebihan jika didaku pula sebagai pameran penting dalam statistika praktik seni visual kontemporer Semarang. Mengapa? Di samping bobot karya, reputasi seniman, dan kualitas pameran yang prima, “Intoxic” juga mengenalkan model kolaborasi mutualistis yang melibatkan para aktivis seni, perupa, dan mahasiswa seni rupa Semarang. Pantas dicatat, mereka anak-anak muda yang energik.

Puluhan anak-anak muda itu terlibat mulai dari pra-pameran, mempersiapkan ruang pamer, penataan karya, sampai pada berkolaborasi dengan Entang Wiharso. Upaya kebersamaan seperti ini sebelumnya jarang atau hampir tidak pernah dilakukan. Dari kerja bareng itu, hemat saya, para relawan itu mampu mengail nilai tambah bagi spirit dan kesenian mereka kelak. Fakta yang menarik ialah mereka berasal dari ruang-ruang kreasi yang berbeda, yaitu sastra, musik, film, teater, dan seni rupa.

Sebenarnya, dalam praktik produksi seni kontemporer, modus kolaborasi atau jam session sudah lazim dilakukan. Yang penting diamati bukan tampak depan bangunan kerja sama itu, namun pada niat baik dan kerelaan berbagi peran dari segenap pemangku kepentingan. Pengelolaan sumber daya – gagasan dan manusia sebagai kreator – itulah yang laik dicermati dan dielaborasi secara tepat dan bijak. Dengan demikian, ke depan, isunya bukan siapa berkawan atau berseberangan dengan siapa, namun bagaimana mereka disertakan guna merealisasikan mimpi secara bersama-sama.

Fakta lain, dari praktik kolaboratif dan keterlibatan pada produksi “Intoxic”, anak-anak muda itu tentu belajar banyak tentang manajemen pameran. Mereka pun, saya kira, juga menyerap energi yang terpancar dari etos kerja seniman sekelas Entang Wiharso. Tentu saja kesempatan seperti itu tidak datang terlalu sering. Tambahan lagi, praktik kolaborasi antarseniman berbeda generasi itu niscaya meluaskan jejaring para aktivis seni Semarang.

Anak-anak muda itu beruntung tumbuh pada lingkungan yang egaliter dan moderat. Tidak ada yang mengekang, tidak ada yang menghadang. Mereka hadir dengan semangat mendaras. Nurul cuma salah satu contohnya.

Mustahil melupakan nama Nurul dan kawan-kawannya. Mereka mustahak bagi masa depan seni rupa kontemporer Semarang. (Tubagus P Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu Semarang)***

Catatan: Artikel ini dikirimkan ke Suara Merdeka pada Minggu, 17 Juni 2007

Tuesday, June 26, 2007

Aspek Sosial Seni Rupa Semarang

Sketch: Tubagus P. Svarajati







Artikel ini dimuat di Kompas, Selasa, 26 Juni 2007


PRAKTIK produksi artistik seni rupa tidak bisa dilepaskan dari konteks dan relasi sosial antara perupa dan masyarakatnya. Seni secara intrinsik mengandung nilai-nilai moralitas dan problematika masyarakat semasa. Dus, perupa adalah penanda anak zamannya.

Penanda zaman itu terlihat juga pada jejak-jejak yang ditinggalkan oleh S. Soedjojono. Pada masanya, Bapak Seni Rupa Modern Indonesia – seperti diuarkan oleh kritikus Trisno Sumardjo – itu menggulirkan tematika nasionalisme. Lukisan-lukisannya sarat dengan isu nasionalisme yang heroik. Tematika karyanya diilhami masalah kerakyatan dan itu sesuai pula dengan pilihan politiknya. Bahkan sebagian ahli sejarah seni mensinyalir, pokok soal kesenirupaan modern Indonesia tidak lain tentang nasionalisme.

S. Soedjojono menggugat semangat estetika turistik pelukis asing (Eropa) yang hanya melihat Indonesia dari sisi eksotikanya saja. Karya lukis ekspatriat itu disebutnya bercorak Mooi Indie atau Hindia Molek. Penolakannya terhadap paham ‘kuasi-seni’ itu terlihat dalam tulisan-tulisannya yang selalu bernada keras. Singkatnya, S. Soedjojono menganggap bahwa seni yang baik tidak lepas menyuarakan aspek-aspek kemasyarakatan. Dus, seni rupa punya nilai-nilai sosial.

Agen Sosial
Seniman bekerja tidak hanya menuruti kata hatinya atau menggali nilai-nilai transendensi saja. Artinya, bukan cuma menyodorkan arus pergulatan batiniahnya saja. Sebagai makhluk sosial seniman patut mengelaborasi apa-apa yang dirasakan oleh masyarakat se-zamannya. Tidak kurang-kurangnya seniman bisa bertindak sebagai agen perubahan masyarakat, melahirkan wawasan estetika baru, sampai pada pencetus arus utama pemikiran atau diskursus. Dalam konteks ini seorang seniman berada di garis paling depan di hadapan publiknya.

Berada di garda depan, dengan gagasan-gagasan genuine, tidak berarti tercerabut dari aktualitas zamannya. Seniman justru harus bergelut dengan itu semua sambil menunjukkan empatinya yang maujud sebagai karya seninya. Ia, lantas, melahirkan kreasi seni yang ‘terlibat’. Faktor-faktor eksternal, di samping permenungan dalamnya, menjadi basis produksi artistikanya.

Kita mengenal begitu banyak seniman atau kelompok seniman yang bekerja dalam konteks komunitas. Ambil contoh kelompok ‘Taring Padi’ (Yogyakarta) atau ‘ruangrupa’ (Jakarta). Mereka bekerja di tengah-tengah dan menggali gagasan dari masyarakatnya. Taring Padi serius mengembangkan sosialisme kerakyatan, sedangkan ruangrupa membidik persoalan urbanitas.

Di luar kedua komunitas itu, seniman Moelyono bekerja dan memberikan advokasi di lingkungan pedesaan di Jawa Timur. Moelyono memberdayakan masyarakat rural dengan meminjam medium seni rupa.

Arkian, seniman atau kelompok seniman di atas melansir gerakan sosiokultural, yang mungkin bersifat politis pula, dalam konteks lingkungan terpilih. Kesenimanan mereka bukan hanya dalam hal praktik produksi artistika, melainkan juga mengusung moralitas atau ideologi yang diyakininya. Tak hanya menyorongkan kontemplasi, namun juga solusi.

Konteks Pasar Johar
Tidak tampak gerakan seniman (baca: perupa) Semarang dalam domain sosiokultural atau politik praktis. Dengan begitu tidak jelas pula apa visi-misi mereka tentang isu-isu perkotaan atau kemasyarakatan. Praktik produksi artistika mereka tidak sampai menjadi suatu aksi estetika. Hampir semua karya mereka berupa artifak – terbanyak malah hanya seni dua dimensional – hasil renungan dunia batiniah saja.

Kontroversi rencana pembongkaran Pasar Johar, yang dipaksakan oleh walikota Sukawi Sutarip, tidak memacu adrenalin seniman Semarang untuk melancarkan aksi estetika mereka. Seniman Semarang bergeming dari isu krusial itu. Meski kita tahu Pasar Johar karya seorang Belanda, Thomas Karsten, yang bisa mengingatkan kita pada isu kolonialisme, namun pasar tradisional itu telah menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Semarang.

Bandingkan situasi batin seniman Yogyakarta yang peduli pada kotanya. Suatu ketika mereka menggelar aksi seni publik ‘melawan’ permisivitas Pemerintah yang membangun mall – sebagai bentuk ancaman terhadap eksistensi pasar tradisional – di seantero kota. Mereka, antara lain, mengusung teks “Di Sini Akan Dibangun Mall” dan dipertunjukkan di beberapa areal publik. Meski penolakan itu tidak bisa dikuantifikasi efektivitasnya, toh setidaknya mereka telah bersikap dan peduli pada isu-isu di lingkungan mereka tinggal.

Memang tidak semua seniman, dengan beragam minat dan historisitasnya, punya atensi pada isu-isu kontekstual. Juga, modus dan ideologi seni mereka pun beragam. Akan tetapi, fakta empirik di atas menyodorkan teka-teki, bagaimana menerangkan posisi mereka sebagai makhluk sosial bagian dari masyarakat dan lingkungan tempat mereka tinggal. Juga, sebagai pemikir garda depan, mengapa mereka tidak hendak bersaksi.

Barangkali musti diingatkan (lagi), bahwa seniman dan karyanya akan sangat berjarak dengan publiknya andaikata mereka menepis aspirasi-aspirasi rakyat. Jika terjadi demikian, maka tak usah berkeluh-kesah bahwa kesenian (kontemporer) tidak diminati masyarakat.***

TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

Monday, June 25, 2007

Mister No Linggis

Photo: Ferintus Karbon


ORANG ini cuma dikenal sebagai pematung biasa. Dia sering mudah ditemui pada berbagai acara pembukaan pameran seni rupa di Yogyakarta. Kita mengenalnya sebagai Ali Umar. Ya, Ali Umar yang berkumis itu.

Ali Umar menjadi bahan pembicaraan penting, setidaknya dalam suatu kesempatan presentasi di Antena Projects, belum lama ini. Antena Projects adalah lembaga yang didirikan oleh seniman Entang Wiharso dan istrinya, Christine Cocca. Lokasinya dekat Candi Prambanan; tepatnya di desa Carikan, RT3/RW2, Taman Martani, Kalasan, Sleman, Indonesia.

Sore itu, Senin (18/6), Ali Umar memaparkan pengalamannya saat residensi di Korea Selatan. Dia ditemani oleh Samuel Indratma dan Jopram. Kita mengenal Samuel sebagai salah satu pendiri Apotik Komik, yakni kelompok seniman yang bekerja dalam seni publik, tepatnya seni mural. Sedangkan Jopram adalah seniman muda asal Surabaya.

Samuel dan Jopram juga menceritakan kesan dan pengalaman mereka saat residensi. Samuel baru saja pulang dari Melbourne. Dia tinggal selama dua bulan dan difasilitasi oleh Yayasan Kelola dalam konteks memperdalam manajemen budaya. Sedangkan Jopram mengisahkan manfaat residensi yang dilaluinya di Antena Projects beberapa bulan silam.

Yang menarik dari kisah Ali Umar ialah: bahasa Inggris, sebagai bahasa komunikasi universal, bukan kendala besar baginya. Ini bukan berarti dia mahir bercakap dalam bahasa Anglo Saxon itu, namun sebaliknya, bahasa Inggrisnya grotal-gratul. Akan tetapi, uniknya, nasib baik tetap berpihak padanya dan dia diundang sebagai artist-in-residence di Korsel selama dua bulan.

Awalnya Ali Umar minta tolong kawannya, seorang petugas warnet, agar dicarikan informasi lowongan residensi di luar negeri. Google dibuka dan dicarilah informasi yang diperlukan. Singkat kata, ketemulah peluang residensi itu dan semua data dikirimkan, dalam bahasa Inggris, kepada host bersangkutan. Dua hari kemudian datang jawaban: Ali Umar diterima residensi di Korsel. Alamak! Bagaimana ke sana sedangkan kantong tak berisi....

Atas jasa baik seorang kawannya, orang Korea, Ali Umar dibelikan tiket dan invoice dikirimkan ke host di Korsel. Tak lama kemudian datanglah sejumlah uang pengganti sekaligus sebagai tanda bukti bahwa dia hakulyakin ke Korsel. Terbanglah Ali Umar ke Negeri Ginseng itu.

Di Korsel yang berlaku ialah "bahasa Tarsan". Tentu saja itu cuma pengalaman Ali Umar. Dengan hanya menghafalkan sedikit kosa kata Inggris, toh dia sukses di sana. Host senang sekali dan pergaulannya dengan penduduk setempat juga lancar. Akhir kata, Ali pulang ke Yogyakarta membawa segudang pengalaman asyik-asyik.

Tanah Korsel meninggalkan jejak kecerdasan kepadanya. Di Yogya, dengan sepenuh semangat, Ali mengumpulkan sejumlah seniman dengan satu tujuan saja: bagaimana agar bisa berpameran dan praktik residensi di luar negeri. Pengalamannya mengajarkan bahwa peluang terbuka luas di mancanegara. Gemunung informasi tersedia di internet. Persoalannya, apakah kita semua rajin mengaksesnya, menghubungi lembaga bersangkutan, dan tentu saja, minimal mengerti bahasa Inggris.

Kisah Ali Umar cukup jelas: ibarat bermodal dengkul, sangu rempeyek kayu dan batok kelapa, toh, ke luar negeri semudah mata mengerling.

Siapa menyusul?***

Tuesday, June 19, 2007

Membuka Peluang Pinggiran

Artikel ini diterbitkan di Seputar Indonesia,
Minggu - 17 Juni 2007


Art work by M Salafi H aka Ridho
in his solo exhibition "The Wedding Conspiracy" at Rumah Seni Yaitu:


ORANG boleh membantah, tidak ada lagi dikotomi ‘pusat-daerah’ dalam wacana atau proses produksi artistik seni visual Indonesia. Akan tetapi, deretan fakta membuktikan sebaliknya. Episentrum-periferi adalah tinta merah di depan mata.

Penegasan seperti itu tertulis di buku “Folders” terbitan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), baru-baru ini. IVAA dulu bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC), yakni lembaga riset, dokumentasi, dan perpustakaan seni visual kontemporer yang bermarkas di Yogyakarta. Folders adalah laporan berdirinya YSC selama 10 tahun, terhitung selama 1995—2005.

Laporan yang termaktub dalam Folders adalah hasil riset yang dilakukan oleh Nuraini Juliastuti dan Yuli Andari Merdikaningtyas. Keduanya dikenal sebagai aktivis Kunci Cultural Studies, yakni sebuah lembaga kajian budaya di Yogyakarta. Riset mereka berdua, jika disimak teliti, tidak terlalu komprehensif. Mereka sekadar sepintas memetakan material dokumentasi yang dikoleksi oleh YSC. Pada beberapa kasus, yang dikira menarik, barulah mereka mengelaborasi agak detail.

Maka, jadilah Folders sebuah laporan penelitian dengan highlight di sana-sini. Yang menarik, dalam salah satu laporan singkatnya, mereka mencoba memetakan locus peristiwa seni visual, di beberapa daerah, melalui sejumlah katalogus yang dikoleksi oleh YSC dalam kurun 10 tahun itu. Tentu saja modus pembacaan seperti itu mengundang sejumlah risiko, antara lain, materi katalogus bukan representasi utuh apa yang terjadi sehingga mungkin ada banyak hal yang luput dan tidak bisa dipetakan. Juga, jumlah katalogus yang dikoleksi YSC pantas diragukan mewakili semua daerah dalam kurun yang diharapkan.

Namun begitu, berdasar katalogus di atas, ditemukan data adanya ‘pergeseran’ lokasi peristiwa seni berlangsung. Istilah pergeseran, seakan-akan, mengasumsikan bahwa selama ini ada dominasi ‘pusat’ dan ‘pinggiran’ dalam praktik seni rupa di Indonesia. Meskipun, kata Juliastuti, memang demikianlah kenyataannya. Atau lebih tepat dikatakan ada ruang-ruang lain dari kota-kota yang biasanya dianggap sebagai poros utama kegiatan seni rupa Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Pinggiran, bukan Pusat
Katalogus yang dikoleksi YSC mendeskripsikan tiga kota tersebut di atas sebagai pusat aktivitas seni visual yang melebihi daerah lain. Peringkat pertama Jakarta (291 katalogus). Kemudian disusul Yogyakarta (278) dan Bandung (68). Di luar tiga kota di pulau Jawa itu, kegiatan seni rupa di Denpasar dan Bali cukup menonjol pula (97).

Titik-titik lokasi peristiwa seni rupa yang bisa dijumpai di Jawa – selain Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta – adalah Surabaya (20), Semarang (8), Malang (9), Madiun (2), Kudus (2), dan Magelang (8). Di luar Jawa tercatat pula di Madura (2), Padang (6), Banjarmasin (2), Jambi (1), Manado (1), Makassar, dan Mataram (1).

Data-data itu menunjukkan persebaran peristiwa seni visual yang tidak merata di Indonesia, meskipun mustahil mendaku koleksi katalog YSC itu mewakili seluruh peristiwa seni rupa yang pernah ada dalam kurun 1995—2005. Bisa jadi ada banyak kegiatan seni visual – dengan atau tanpa penerbitan katalogus – yang tidak tercatat di lembaga itu dengan berbagai alasannya. Namun patut dipercayai temuan fakta, kota-kota – yang selama ini ‘didaku’ sebagai ‘pusat’ peristiwa seni rupa – yang menyalip kota lainnya. Apalagi jika ini bukan suatu pembenaran tentang adagium ‘pusat-pinggiran’ itu?

Pertanyaannya, mengapa kota-kota tertentu lebih menonjol ketimbang yang lain? Dugaan saya, di samping kelengkapan infrastrukturnya, kota-kota yang aktif itu telah menganggap seni visual sebagai bagian dari gaya hidup masyarakatnyac . Khusus Jakarta mesti ditambahkan alasan sebagai pusat putaran uang yang mampu mengadakan banyak peristiwa seni. Alasan lain, tidak semua peristiwa seni hanya diapresiasi nilai-nilai transendensinya, melainkan juga dikomodifikasikan. Di Jakarta keduanya bersimbiosis secara mulus.

Kemudian, salah satu masalah besar yang selalu mengganggu ialah siapa atau lembaga apa yang berhak memberikan legitimasi sesuatu peristiwa seni visual itu bernilai? Meski pertanyaan ini terasa naif, seringkali sebaik apapun suatu peristiwa seni dilangsungkan di daerah, maka kegiatan itu tidak mendapat pengakuan sepantasnya. Apresiasi tidak datang dari kritikus atau media massa nasional. Jadilah peristiwa seni daerah – di luar kota-kota yang diasosiasikan sebagai ‘pusat’ seni – selalu dalam posisi marjinal, tetap bersifat kedaerahan.

Pokok soal pusat-daerah menjadi soal yang selalu ambigu. Pada satu sisi, intensi meraih afirmasi ‘pusat’ seolah-olah menjerumuskan diri pada pusaran kekuasaan yang hegemonik. Sedangkan sisi lainnya, perolehan pengakuan dari ‘pusat’ mendeskripsikan etos atau capaian penaklukan suatu dominasi, bisa politis atau kreatif.

Peluang dan Jejaring
Pemerataan kesempatan meraih afirmasi pantas diupayakan terus oleh para pemangku kepentingan di daerah. Jarak geografis semestinya bukan halangan dalam era global ini. Termasuk melansir isu-isu hiperbolis juga bukan lagi perkara sulit.

Lantas apa yang tetap kurang dari praktik kesenirupaan di wilayah-wilayah terpencil?

Hemat saya, seniman daerah harus ‘merebut’ kekuasaan afirmatif yang dipunyai ‘pusat-pusat’ kesenian itu. Caranya, tidak lain, harus bekerja lebih keras dan mempertontonkan praktik produksi seni yang melampaui skala sebelumnya. Kiat lain, ialah dengan selalu mengundang mereka yang di pusat kekuasaan wacana, termasuk media massa nasional, untuk datang melihat. Bisa saja ketidaktahuan, karena faktor kesempatan dan kendala jarak geografis, yang membuat praktik seni daerah tidak dilirik sebelah mata. Singkat kata, mungkin cuma perkara sekat-sekat komunikasi.

Selanjutnya, kegandrungan pada ‘legitimasi’ jangan dianggap sebagai ekspresi inferioritas. Sikap ini pantas dilihat sebagai praktik demokratisasi meraih peluang dan kesempatan memamah putaran kapital (selain faktor-faktor lainnya) yang hanya menggunung di tempat-tempat tertentu.

Kurang lengkapnya infrastrusktur daerah jangan pula dijadikan apologi. Justru disparitas pusat-daerah itu mesti disiasati. Lokalitas adalah wacana yang ‘seksis’ dan ‘eksotis’ di mata publik mondial. Maka, sebuah penolakan dari pusat negeri sendiri bukan berarti sebuah rapor buruk. Penting diingat, para stakeholders di tingkat lokal mesti berupaya agar praktik keseniannya selalu pada ranah yang kompetitif. Pada ujungnya, fisiognomi kesenian di tingkat lokal sangat tergantung dari kreativitas estetik dan diskursus yang dilansir para pelaku dan aktivis seninya.

Di luar itu perlu diluaskan jejaring antarseniman, antaraktivis seni, dan maksimalisasi infrastruktur yang ada dalam tataran lokal, kewilayahan, bahkan di tingkat global. Orang seringkali memandang remeh efektivitas jejaring seni. Meski butuh kiat-kiat khusus bagaimana jejaring harus dirajut, ini tidak menghilangkan fakta positif pada perluasan praktik kesenian yang ada. Bahkan melalui alur jejaring yang tepat, suatu aktivitas seni akan meraih atribusi kulminatifnya. Pada titik ini, sejatinya, pengakuan bisa berasal dari mana saja.

Daerah harus disikapi sebagai bijana kearifan yang pantas disejajarkan dengan pusat manapun. Maka, dikotomi pusat-pinggiran tidak signifikan dan kontraproduktif bagi praktik kreatif seni visual kita. Pinggiran pun bisa berarti pusat.***

Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

Thursday, June 14, 2007

Pameran Kisah tanpa Narasi

Artikel ini dimuat di Media Indonesia, Minggu, 10 Juni 2007
Judul asli:
Pameran "Kisah tanpa Narasi"
Titarubi Melawan Amnesia


Photo by Ferintus Karbon

ORANG-ORANG itu tergantung atau digantung. Sebagian tanpa kaki atau remuk pahanya. Ekspresi wajah mereka seperti menyimpan derita bertubi-tubi. Itulah sosok-sosok manusia (keramik) life-sized karya Titarubi.

Ruang pamer Rumah Seni Cemeti terasa mencekam ketika saya melangkah masuk, suatu siang. Tak ada pengunjung lain, suasana sepi. Kelimun manusia yang bergelantungan, diam-membisu, itu menguarkan atmosfir tragik-melankolik. Ada horor di seantero ruang.

Titarubi membawa selajur tikungan rel kereta api – lengkap dengan kayu-kayu bantalannya – dan tiga lori yang biasa untuk mengangkut onggokan tebu. Satu lori dibentuk seperti bak, berkerangka besi, dan berisi serakan remukan tubuh atau kaki-kaki manusia. Dua lori lainnya kosong, cuma kerangkanya saja. Di antara dua lori kosong itulah puluhan manusia berjejal bergantungan mengambang, di sudut ruang.

Sosok-sosok manusia terakota itu hasil dari teknik pembakaran sederhana dan dikesankan tak sempurna, kotor serta bebercak di sekujur tubuhnya. Manusia
Titarubi itu tidak berkelamin. Namun ciri-ciri tubuh dan wajahnya mencitrakan sebagai gender maskulin. Dan mereka manusia-manusia yang teraniaya.

Menurut kurator pameran, Alia Swastika, karya Titarubi ini seri ketiga dari “Kisah tanpa Narasi”. Versi pertama ditampilkan di Summit Bali Biennale, Desember 2005, berupa satu lori di atas selajur relnya dan tumpukan manusia terbakar yang diletakkan di alam terbuka. Di hamparan berumput hijau, di areal Museum Arma, Ubud, ketika itu karya Titarubi menguarkan sensasi imajiner yang menohok kedalaman relung kalbu kita. Adakah mereka, sosok-sosok manusia terbakar itu, adalah korban destruksi suatu rezim ataukah mereka adalah orang-orang yang kalah melawan kekuasaan entah?

Seri kedua karya Titarubi digelar di Singapore Biennale 2006, berkolaborasi dengan Agus Suwage, suaminya. Kini “Kisah tanpa Narasi” (versi ketiga) dielaborasikan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, 8 Mei—3Juni 2007.

Melawan Kekalahan
“Kisah tanpa Narasi” ini diniatkan sebagai penolakan atas kekalahan manusia melawan sistem kekuasaan. Lori-lori – yang biasa memuat onggokan tebu yang akan diproses menjadi gula di pabrik-pabrik buatan Belanda – adalah saksi penindasan terhadap manusia dalam hubungan industrial kapitalistik pada era kolonial. Kita tahu, datangnya kereta api di Tanah Air (dulu Hindia Belanda) adalah juga sebagai tanda datangnya era modernitas.

Lori, hingga 1980an, masih digunakan sebagai pengangkut tebu dari kebun-kebun menuju pabrik. Industri gula adalah andalan Hindia Belanda dan memainkan peranan penting pada abad 17 dan 18. Dalam satu catatan, mengutip Lombard, industri gula itu bahkan sebagai tulang punggung Batavia dari proses keruntuhannya.

Berdasarkan fakta-fakta itulah, Titarubi membentangkan bagaimana kolonialisme bekerja dalam proyek bernama modernisasi. Industri gula dibangun dari derita ribuan manusia. Eksploitasi itu tidak berhenti setelah zaman kolonial berakhir. Penindasan masih juga berlangsung sampai sekarang. Manusia (marjinal) tetap menjadi korban dan dikorbankan dalam setiap langkah pembangunan. Dan “Kisah tanpa Narasi” (versi ketiga) bukanlah catatan tentang sebuah kekalahan, namun adalah bentuk perlawanan atas penindasan.

Titarubi menyadari bahwa tidak semua narasi marjinal di dunia ketiga adalah kisah kekalahan belaka. Manusia tidak selamanya menjadi korban. Justru ada peluang bagi manusia untuk terlibat aktif dalam pertarungan melawan segala bentuk penindasan.

Maka, manusia-manusia Titarubi tetap berdiri, kendati dalam kondisi serba rapuh, tidak sempurna, atau kaki-kaki yang terlepas. Itu semua sebagai simbol luka-luka dari masa lalu. Meskipun mereka adalah para korban, Titarubi menolak frasa korban jika hanya menunjuk pada pengalaman yang eksploitatif saja. Bangkit dari situasi sebagai penyintas (survivor) itulah yang terpenting. Harapan diletakkan di pundak bersama guna menyuarakan kepentingan mereka sendiri.

Melawan Amnesia
Semestinya, upaya apapun untuk melawan amnesia sejarah lebih ditujukan pada menepis penetrasi learned memory (ingatan yang diajarkan) oleh penguasa. Sedangkan lived memory (ingatan yang hidup) dalam masyarakat dijadikan memori kolektif untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan diri secara bersama-sama.

Setelah melewati suatu masa yang panjang, bisa jadi, praktik pabrikasi gula di banyak daerah di Jawa melahirkan sistem kultur dominan yang menjadi memori kolektif masyarakatnya. Perayaan panen tebu – dengan wayangan atau lenggeran, misalnya – adalah bentuk kolektivitas kultural itu.

Maka, impor gula dengan dalih efisiensi adalah tindakan sistematis negara melumpuhkan kultur petani gula kita. Meski peninggalan kolonial, pabrik-pabrik gula itu telah menjadi bagian nafas petani kita. Matinya pabrik gula, tidak lain, adalah matinya sebagian memori kolektif bangsa ini.

Karya Titarubi – Kisah tanpa Narasi – bisa diasosiasikan sebagai santir petani tebu yang terjungkal dan terpenggal dari sejarahnya sendiri.

Tubagus P Svarajati,
Penikmat seni visual, tinggal di Semarang

Apa kabar?

Photography: Tubagus P. Svarajati


INILAH pertama kalinya aku menulis di blog milikku. Meski terlambat berkenalan dengan fenomena bloging, toh, itu tidak mengurangi nilai kebaikan yang mungkin aku dapatkan dari ruang yang ada ini. Aku usahakan untuk selalu hadir dan memperbarui halaman rumahku ini.

Semoga ruang ini juga memberikan manfaat dan kegembiraan kepada Anda sekalian. Jika Anda sempat mampir dan melihat-lihat barang sejenak seluruh isi ruang ini, yang aku usahakan agar tidak menjemukan, maka tinggalkanlah pesan Anda. Siapa tahu pesan-pesan Anda pun punyai nilai untuk orang lain.

Mari bertegur sapa dalam kesantunan.

Terima kasih.