Thursday, December 31, 2009

BIENIAL YOGYAKARTA UNTUK SIAPA?


SALAH satu “puncak” perhelatan seni visual kontemporer ialah bienial. Ini suatu pameran dua tahunan yang memetakan kecenderungan capaian estetik dan artistika senirupawan serta wacana kesenirupaan yang lazim berkembang di suatu “pusat” kesenirupaan. Semua itu berkelindan dengan gairah dan denyut kebudayaan masyarakatnya.

Untuk pengalaman Indonesia, yang disebut “pusat”—artinya, kota atau wilayah dengan praktik kesenirupaan yang dinamis—ialah Yogyakarta, Bandung, Jakarta, (pulau) Bali, dan belakangan termasuk Surabaya atau Jawa Timur umumnya. Pameran bienial yang penting diselenggarakan di Yogyakarta dan Jakarta. Lantas virus bienialisme menjalar ke Bali (bienial pertama, satu-satunya dan lalu mati, yakni Bali Biennale 2005 dengan tema “Space/Scape”) dan Jawa Timur (sampai tahun ini Jawa Timur Biennale baru berlangsung dua kali). Bienial Yogyakarta penting di tingkat nasional, selain karena digelar rutin pun telah berlangsung sepuluh kali.

Melihat jejak rekamnya, Bienial Yogyakarta pantas dianggap sebagai tolok ukur dan representasi dinamika gagasan seni visual kontemporer kota. Pendapat ini bertumpu pada sejumlah data bahwa Yogyakarta tempat bermukimnya ribuan seniman, medan sosial seninya dinamis yang menunjukkan gerakan kultural, gejala estetik dan visualitas beragam. Belum lagi adanya fakta bahwa karya-karya seniman Yogyakarta terbukti dicari-cari di pasar seni rupa Asia.

Karena itu, perkembangan Bienial Yogyakarta patut dicermati oleh medan sosial seni Semarang, atau Jawa Tengah umumnya, jika hendak mendinamisasi praktik kesenirupaan wilayahnya sendiri. Apalagi karena kedekatan geografisnya.

Akan tetapi, setelah sekian lama, masyarakat pendukung Bienial Yogyakarta merasa perlu berbenah di tengah-tengah pergesaran wacana, paradigma, atau kepungan art fair yang menjadi fenomena global. Ada pemikiran sudah saatnya bangunan dialektik dan kultural Bienial Yogyakarta diredefinisi sehingga bersesuai dengan semangat zamannya tanpa kehilangan jati dirinya. Sementara kita paham, dasar pemikiran suatu bienial senantiasa merujuk pada tradisi Barat.

Sebagian tokoh dan seniman berasumsi bahwa perhelatan bienial tak mesti berorientasi pada pola atau pemikiran Barat. Yogyakarta mesti punya identitasnya sendiri. Untuk itu, dengan semangat populis, Bienial Yogyakarta X-2009 (Publikasi resmi selalu menyebut “Biennale Jogja X-2009” yang jelas-jelas tidak tepat dalam gramatika bahasa Inggris!) diistilahkan sebagai arena “jamming” atau interelasi aktif antara karya seni, seniman, kalangan pendukung dan masyarakat umum sehingga didapatkan konstruk “bienial organik”.

Tematik dan tajuk Bienial Yogyakarta tahun ini ialah “Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja” (11 Desember 2009—10 Januari 2010). Tematik ini hasil pemikiran kurator Wahyudin. Proposalnya disetujui oleh suatu Tim Seleksi bentukan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai penyelenggara tetap Bienial Yogyakarta. Singkatnya, de facto dan de jure, Wahyudin adalah kurator resmi (official curator) Bienial ini. Dia membagi tematik kearsipan—atau sejarah bienial I—IX dan praktik estetik seni rupa di Yogyakarta—menjadi lima subtema, ialah Humanisme Kerakyatan, Humanisme Universal, Perlawanan terhadap Kemapanan Estetika, Pergolakan antara Budaya Lokal dan Global, dan Seni Rupa Urban.

Esoterik atau Populis?
Untuk mendukung ide Bienial Yogyakarta X-2009 sebagai “bienial organik”, Samuel Indratma (penanggung jawab agenda seni di ruang publik) menjelaskan—dalam suatu diskusi di TBY, Minggu (13/12)—bahwa bienial kali ini sebagai “bienial-nya seniman”, bukan “bienial-nya kurator” seperti di tahun-tahun lewat.

Melalui pernyataan di atas agaknya hendak dicitrakan bahwa seniman dan karyanya tampak “merakyat”. Caranya dengan menyebar sebagian karya di beberapa sudut kota. Seniman yang terlibat bisa siapa saja, termasuk masyarakat umum. Tak jelas apakah karya-karya luar ruang itu dan situsnya bersesuai dengan kerangka kuratorial yang digariskan oleh Wahyudin. Faktanya, beberapa karya ditolak oleh sebagian elemen masyarakat dan dinas terkait. Menurut hemat saya, sebagian besar karya itu melesap di tengah-tengah hutan tanda atau kode urban kota yang lain.

Memang tak mudah mendekatkan gagasan seniman kontemporer dan karyanya ke tengah-tengah masyarakat. Barangkali terdapat jurang lebar di antara keduanya. Konsep estetika yang dibangun oleh seniman bisa saja diametral dengan nilai-nilai keindahan yang diyakini publik. Kesenjangan ini tak mudah dijembatani. Ironisnya, sebagian seniman—termasuk segelintir panitia pelaksana Bienial—setengah mati meyakini: karya seni dan praktik kesenian mereka bisa menyatu dengan masyarakat umum. Asumsi itu mesti diuji lagi kiranya.

Pada dasarnya bienial di mana saja kerap menuai kontroversi. Kritik itu mulai dari praktik kuratorial, pilihan seniman, karya seni hingga politik seni yang diusungnya. Kendati begitu, bienial masih diyakini sebagai perhelatan signifikan dalam seni visual kontemporer mondial. Ia senantiasa menyita perhatian dan waktu kita.

Masalahnya, kalau bienial itu penting, sejatinya perhelatan itu tertuju untuk siapakah? Adakah bienial (di Indonesia?) tak lain praktik ekstravagansa, arena pencitraan atau politik kebudayaan negara yang punya nilai ekonomis dalam relasinya dengan industri turisme? Apakah bienial dianggap sebagai takaran estetik dan artistika seniman belaka sehingga ia ada demi menyokong kepentingan kalangannya (art world) sendiri? Ataukah bienial adalah bagian dari proses dialogal antara gagasan, kekaryaan, wacana seniman dengan masyarakat umum?

Yang jelas, eksposisi Bienial Yogyakarta X-2009 menampilkan sejumlah besar karya yang menarik dalam hal gagasan, artistika maupun presentasinya. Karya-karya itu dipamerkan di TBY, Jogja National Museum, Sangkring Art Space dan Gedung Bank Indonesia. Sedangkan yang berserak di beberapa sudut kota, sayangnya (sekali lagi!), sebagian besar sulit ditelusuri jejak dan landasan wacananya.

Pada akhirnya, gagasan mendasar apakah yang disodorkan oleh Bienial tersebut? Bienial Yogyakarta X-2009 ini meletakkan tapak historiografi seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagai titik pijak kuratorial. Wacana ini penting dielaborasi demi terang sejarah kesenirupaan nasional.

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 27/12/2009.]

Friday, December 18, 2009

SENI VISUAL KONTEMPORER SEMARANG


DALAM pentas global, seni-budaya berperan sebagai pembeda sekaligus identitas. Seni-budaya tradisi ialah ekspresi kehidupan, nilai-nilai dan adat kebiasaan yang dilakoni dan dipraktikkan terus-menerus oleh kolektif manusia. Di sanalah kearifan lokal dan roh bangsa bersemayam.

Ekspresi seni-budaya, antara lain, berupa kekayaan seni arsitektural, tari, gambar, sastra, filsafat, nilai-nilai atau pranata adat. Pada artefak-artefak budaya inilah bangsa Indonesia bisa menimba dan memperkuat (lagi) karakternya. Indonesia punya khasanah seni-budaya tradisi beragam. Jumlahnya pun banyak dan tersebar di seantero daerah. Seni-budaya tradisi ini tak lekang digali dan direkreasi agar selaras dengan konteks zamannya.

Ambil contoh susastra klasik Sulawesi, I La Galigo. Sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson, menata ulang dan memberi sentuhan artistik khusus pada I La Galigo sesuai kebutuhan estetik masyarakat global (baca: Barat). Di tangannya kisahan itu mewujud sebagai teater visual kontemporer kelas dunia.

Wilson menunjukkan, dekonstruksi seni-budaya tradisi wajib dilakukan jika hendak diluaskan signifikasi dan konstituennya. Pembacaan ulang bukan penyelewengan, melainkan pengayaan terhadap sastra kanonik tersebut. I La Galigo kian bersinar, kearifannya makin diserap oleh masyarakat luas. Di tempat kelahirannya, karya sastrawi itu bisa saja dihidupkan sesuai atau direinterpretasi ke tradisi muasalnya.

Pada galibnya seni-budaya tradisi terbuka dibaca ulang. Budaya bukan artefak statis melainkan hasil olah rasa-karsa manusia yang dinamis. Dengan adaptasi seperlunya, raut budaya lokal bakal berkembang sehingga sesuai harapan masyarakat modern. Singkatnya, dibutuhkan cara pandang baru mengapresiasi seni-budaya tradisi. Pada seni tradisi pun ada kreativitas meski dalam kadar dan intensitas berbeda di setiap zaman atau kolektif manusia.

Namun, sebagian seni-budaya tradisi seyogianya tetap diperlakukan sebagai perekat komunitas, yakni seni-budaya yang sarat dengan energi spiritualitas dan atau nilai-nilai moral pendukungnya. Tradisi demikian tak seharusnya direkayasa demi tujuan praktis atau profan saja.

Andai kreativitas jelas ada dalam berbagai seni tradisi, kendati tekanannya beragam, seni kontemporer justru merayakannya terang-terangan. Memungut, membentuk ulang, menjiplak atau mencuri kode-kode terdahulu menjadi bentukan baru adalah bagian dari "kreativitas". Konsep daur ulang (apropriasi) ini salah satu ciri posmodernisme yang, antara lain, menafikan paradigma universal dan tatanan monolitik. Ia pun tak bersemangat melahirkan ide, bentuk, atau ekspresi seni avant-garde seperti disyaratkan oleh Modernisme.

Reinterpretasi Budaya
Bagaimana kondisi praktik produksi artistik atau wacana seni visual di Semarang? Pada praksis seni rupa kontemporer, ranah yang saya cermati, senirupawan seperti lalai atau menafikan potensi tradisi dan historisitas kotanya. Jika pun ada yang mengangkat isu sejarah kota, itu cuma sebatas kulit luar.

Sebenarnya kota pesisir ini sarat dengan sejarah atau nilai-nilai yang bisa dijadikan sumber kreativitas, gagasan atau pun produksi artistik. Kultur Semarang terbentuk dari bastarisasi budaya lokal, China, Arab, dan Eropa. Hingga kini kultur hibrid itu terlihat jelas pada artefak arsitektural, kuliner, bahasa, sampai dengan pola permukimannya. Tegasnya, paduan budaya yang masih hidup dan diakrabi sehari-hari oleh masyarakat pendukungnya.

Dengan menengok pada seni-budaya tradisi artinya seniman diharapkan mengolah gagasan, wacana atau estetika kontekstual (Masih ingat pada diskursus Sastra Kontekstual yang ramai pada 1970-an?). Seniman ditantang, sebagai misal, untuk mengolah problematik sosiokultural atau pun politik lingkungan.

Jika seniman hanya menggunakan bahasa ungkap biasa atau tipikal, seperti yang dipraktikkan oleh kalangan luas pada umumnya, praksis seni rupa kota ini barangkali tak segera meraih atensi maksimal. Sebab, pertarungan wacana dan politik kebudayaan global (baca: Barat) senantiasa meminggirkan wilayah-wilayah yang dianggap tak punya sejarah seni modern. Boleh dibilang Semarang, atau sebagian besar kota-kota lain di Indonesia, dalam konteks sejarah seni mondial selaik "wilayah bertabir" (unseen zone).

Juga, ada ketersendatan arus alih informasi dari "Selatan" ke "Utara". Sebaliknya, modernisasi (baca: internasionalisasi) merasuk dari negara-negara industri modern, terutama Eropa dan Amerika, ke kawasan "Selatan". Akibatnya, seni-budaya kontemporer Indonesia (termasuk Semarang) tak diakrabi oleh masyarakat Barat.

Sebagai wacana tanding, unsur lokalitas atau seni-budaya tradisi baik diangkat dan dijadikan sumber kreasi. Ia menjadi pembeda sekaligus identitas diri dan, secara komparatif, mudah meraih momentum serta atensi di tengah-tengah paham posmodernisme yang menghargai pluralitas. Karena itu, penting menimbang kembali kaidah, norma, atau nilai seni-budaya tradisi untuk diolah dan diekspresikan sebagai karya seni atau wacana kontemporer.

Masalahnya, bagaimana merekreasi anasir seni-budaya tradisi sehingga relevan pada ruang-waktu berbeda dan tetap punya daya pukau. Berfokus pada bentuk, isi, atau gabungan keduanya? Atau sekadar mementingkan cara ungkap alias kemasan?

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Kamis 10/12/2009.]

Friday, December 4, 2009

Esai Foto Jurnalistik Santir Realitas Subyektif


KEHADIRAN foto di media massa cetak sudah jamak. Sejarah media mencatat, eksistensi foto mulai dominan ketika pecah Perang Dunia II. Kekejian perang menelusup di ruang keluarga dan, ironisnya, menjadi hiburan pula.

Dalam peperangan tak cuma jenderal atau serdadu yang berperan, wartawan pun punya posisi penting. Peter Arnett mencuat pamornya berkat laporan pandangan matanya dari arena Perang Teluk (1991). Pada 1938, Robert Capa dielu-elukan sebagai “the Greatest War-Photographer in the World”. Tak cukup hanya dipuji, bahkan disebutkan “nyaris tercium bau mesiu” dari foto-fotonya yang dianggap terbaik dari medan perang.

Capa, salah satu pendiri sindikasi Magnum Photos, tersohor dengan aforismenya, “If your pictures aren’t not good enough, you aren’t close enough”. Pernyataan ini gabungan antara keberanian dan rasa cinta, yakni seseorang yang rela bersabung nyawa di garis depan laga seraya berempati kepada mereka yang berada di depan lensa kameranya. Capa pun melegenda.

Contoh di atas menunjukkan pentingnya foto dan peran wartawan foto—tak hanya di medan perang, juga di saat damai. Foto jurnalistik pada akhirnya dipahami sebagai bahasa komunikasi visual. Ia diterima sebagai media universal dengan muatan pesan gamblang, kritis, namun tetap berpijak pada humanisme.

Lazimnya, foto-foto jurnalistik merekam dinamika kehidupan manusia di segala aspek. Melalui sudut bidik dan narasinya, para juru foto menunjukkan empatinya pada subyek-terpotret. Kuasa pemotret atau ekses obyektivikasi menepi demi konstruk humanisme yang diwacanakan. Artinya, meskipun subyek-terpotret terkategori liyan, pewarta foto tak menampik subyek beritanya.

Obyektivitas
Setakat ini publik percaya, foto ialah salinan faktual suatu peristiwa. Analogon sempurna itu berasal dari rangkaian kejadian yang disentakkan dan aliran waktu yang dibekukan. Semuanya berkat kerja mekanis kamera. Akhirnya selembar foto menjadi dokumen yang sahih dalam historisitas manusia modern.

Di situlah barangkali sumbangan terbesar fotografi: pengakuan tentang apa yang disebut “obyektivitas”. Gambar atau citraan foto adalah representasi realitas empirik, bukan berasal dari imajinasi fotografer belaka.

Dalam jurnalisme—termasuk fotografi jurnalistik—aspek obyektivitas mendapat porsi utama. Diniscayakan, wartawan mengabadikan kejadian faktual tanpa rekayasa. Pembaca media melihat dan memahami kejadian via mata juru foto yang diberinya mandat sebagai pelapor on the spot.

Kendati begitu, Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya (1993) mengatakan bahwa berita ialah “sebuah presentasi yang datang dengan kerangka dan kemasan yang ditentukan dari luar kita.” Artinya, jurnalis juga punya cara pandang atau keyakinan tertentu yang bisa mempengaruhi reportasenya. Subyektivitas menyelimuti jurnalisme fotografi kendati juru foto senantiasa menjaga jarak kedekatannya dengan subyek-terpotret. Dengan demikian, kenyataan yang terekam adalah realitas subyektif.

Pada hemat saya, jurnalis—dengan semua konsekuensi dan tanggung jawabnya pada diktum kebenaran jurnalistik—adalah subyek-bebas. Maka, seseorang pewarta foto punya kesempatan pula menjadi author, mencipta karya personal. Salah satu kemungkinan kreatifnya bisa diwujudkan dalam bentuk esai foto, yakni kumpulan foto tematik-naratif, antara 5—10 citraan atau lebih, dilengkapi dengan teks penjelas. Struktur atau bentuk presentasinya bisa sekuensial atau pun acak. Dalam esai foto bahasa visualnya lebih dominan daripada teks abjadiahnya.

Sebagai perbandingan, buku “The Long and Winding Road” (2001) karya jurnalis Kompas Eddy Hasby tentang Timor Timur pantas pula didaku sebagai esai foto jurnalistik panjang. Begitu pula buku “Samudra Air Mata” (2005) yang merekam ganasnya tsunami di Aceh.

Serenada Kehidupan
Seperti bahasa, foto bisa diungkapkan dengan berbagai cara. Foto disebut pula sebagai teks visual. Dikatakan sebagai bahasa visual, karena itu, foto pun punya tatanan “gramatik”. Namun, gramatika fotografi tidaklah sama-sebangun dengan teks linguistik. Fotografi banyak menyodorkan metafor atau simbolisme. Bangunan metaforitas itu tampak jelas dalam rangkaian esai foto.

Dan esai, seturut Ignas Kleden (2004), adalah “kisah suka-duka perjumpaan seorang subyek dan sebuah obyek”. Pertemuan itu tentang pengalaman interaksi penuh canda di antara keduanya. Tentang obyek, masih sesuai pikiran Kleden, bukan berarti seorang esais berjarak, dengan dingin meneliti dan mancatat ciri-cirinya, tetapi justru berjumpa dengan, terlibat di dalam, dan mengajak obyeknya berkata-kata sekaligus memberikan respons atas apa yang dikatakan oleh lawan-bicaranya. Singkatnya, Kleden mengartikan suatu esai ialah dialog intensif antara subyek-obyek.

Mengacu pada Kleden, esai foto jurnalistik ialah dialog humanitas antara subyek-pemotret dan obyek-terpotret. Ini bukan praktik menidakkan (negasi), melainkan saling memuliakan. Maka, pameran esai foto “Serenada Kehidupan” oleh delapan anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang, Jumat—Sabtu (20—28/11), di Rumah Seni Yaitu Semarang, layak dipandang dari sisi ini pula.

“Serenada Kehidupan”, sependek ingatan saya, adalah pameran esai foto pertama (dan serius!) di Semarang. Eksposisi ini penting, selain menunjukkan kompetensi, eksistensi dan martabat para jurnalisnya, pun mampu mengartikulasikan selera estetik personalnya. Foto-foto mereka adalah santir realitas subyektif semasa.

TUBAGUS P SVARAJATI
Salah satu pendiri PFI Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Jumat 27/11/2009.]

Thursday, November 26, 2009

Dicari: Penulis Seni

WWW dot JAVA by Nindityo Adipurnomo

DITENGARAI, kini liputan jurnalistik seni-budaya di koran dan televisi terpinggirkan alias minim sekali. Salah satu alasannya, media tak punya wartawan khusus seni-budaya. Karena itu media lebih mengutamakan berita olahraga, politik dan ekonomi.

Fakta tersebut muncul dari Pelatihan Liputan Seni dan Budaya oleh Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng di Gedung Pers Jateng, Semarang, belum lama ini. Mengapa liputan seni-budaya seperti terkucilkan? Setidaknya ada tiga sebab, yaitu liputan seni-budaya dianggap sulit, dipandang kering dan tidak prospektif, serta dipersepsi sebagai liputan tidak penting.

Kenyataannya, sebagai ibukota provinsi, Semarang sering menggelar agenda seni-budaya berskala nasional atau internasional. Ada yang menyarankan, agar tulisan menarik wartawan harus lebih aktif menggali informasi melalui wawancara kepada pelaku seni atau penyelenggaranya.

Pada dasarnya wartawan bertugas melaporkan suatu peristiwa. Ia menuliskan berita tentang kejadian apa pun berpedoman pada asas jurnalisme dasar, yakni 5W+1H. Informasi tambahan bisa didapat dari wawancara, amatan, dan studi kepustakaan. Dengan prinsip ini, seyogianya tak ada hambatan berarti bagi wartawan meliput dan menuliskan peristiwa seni-budaya.

Masalahnya jadi lain jika penulisan berita akan diwujudkan sebagai laporan mendalam (depth reporting). Untuk itu wartawan harus berbekal, antara lain, pengetahuan khusus, dasar teori dan sarat literatur.

Fakta Dasar
Risalah di media menggunakan ragam bahasa jurnalistik. Prinsip pokoknya, hemat dan jelas. Bahasa mesti digunakan secara mangkus-sangkil. Sependek amatan saya, masih ada penulis atau wartawan melayas pedoman itu. Tulisan tidak fokus, abai pada asas gramatika, dan di sana-sini terdapat kekeliruan ejaan. Yang lebih memasygulkan, kerap artikel menjauhi logika perbahasaan.

Apa sebab penguasaan kebahasaan kita tumpul? Sekolah-sekolah di Indonesia hanya mengajarkan ilmu linguistik, bukan kemahiran berbahasa (tulis dan wicara). Banyak orang kerepotan merangkai pokok-pokok pikiran dalam susunan kalimat runtun-logis dengan diksi yang tepat. Kekurangan itu terbawa terus hingga bermasyarakat. Menulis menjadi aktivitas eksklusif, padahal menulis nyata-nyata suatu ketrampilan berbahasa.

Agaknya hambatan terbesar (calon) penulis ada pada penguasaan teknis kebahasaan. Sering bentuk atau struktur karangan mereka tak jelas. Memilih judul atau menyusun kalimat pembuka (lead) pun masih terkendala.

Tulisan hasil liputan seni apa pun—termasuk esai kritik seni—niscaya terdiri dari unsur deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan evaluasi (Mamannoor, 2002). Jadi, penulis menerangkan artifak atau peristiwa seni yang diamatinya, mengkaji aspek-aspek formalnya, menuliskan tafsirnya, dan terakhir memberikan pendapat, kritik, serta saran. Anasir-anasir itu tak harus urut.

Pada kritik seni, aspek analisis dan evaluasi diberi tekanan lebih besar. Kritikus yang “baik” niscaya mendedahkan analisis dan evaluasinya secara tajam dan mendasar. Liputan jurnalistik bisa meniadakan anasir penilaian.

Tantangan Penulis Seni
Mesti dicatat, wartawan bukanlah kritikus (seni). Bila tak cakap, wartawan seni-budaya jangan memaksa diri memberikan justifikasi. Kritik yang tanggung merugikan pembaca, menampar paras sendiri dan media yang memuatnya. Lebih dari dua dekade silam penyair Sutardji Calzoum Bachri (dalam “Isyarat”, 2007) telah mewanti-wanti hal seperti itu.

Jika wartawan hendak menjadi kritikus—secara kualitatif seperti termaksud dalam istilah itu—maka ia wajib melengkapi dirinya dengan pengetahuan dan keilmuan sesuai ragam seni yang ditelisiknya. Kritikus seni rupa, contohnya, sedikit banyak paham historiografi seni rupa nasional dan mondial, teori estetika, proses penciptaan atau kreasi seni, psikologi, sosiologi atau antropologi budaya, sampai pada sejarah kebudayaan secara umum.

Salah satu peranti analitik yang wajib dikuasai kritikus ialah semiotik dan hermeneutik. Semiotik—suatu teori linguistik (strukturalis)—digunakan sebagai alat bantu analisis karya seni yang diperlakukan sebagai teks. Sedangkan hermeneutik adalah disiplin ilmu yang berelasi dengan praktik atau metode penafsiran “konteks sosio-historis”. (Baca “Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya” oleh Benny H Hoed, Penerbit FIB UI Depok, 2008.)

Selain menguasai berbagai teori, penulis seni sebaiknya mendalami pokok studi, jenis atau genre seni sesuai dengan minatnya saja. Idealnya, ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah komunitasnya sehingga cakap menarasikan semangat zamannya (zeitgeist). Dalam konteks inilah mesti didorong lahirnya banyak penulis seni di Semarang.

Sayangnya, sejauh ini Semarang belum pernah melahirkan penulis atau teoretikus seni berwibawa, terutama di bidang seni rupa. Para akademikus pun jarang menerbitkan kajiannya. Akibatnya, dunia kreatif Semarang kurang dikenal dan nyaris tanpa penghargaan.

Bila tak kunjung ada penulis atau kritikus seni di Semarang, sebaiknya wartawan yang serius mendalami kajian seni bersedia mengisi lowongan posisi itu. Wartawan pasti bisa.

TUBAGUS P SVARAJATI
Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Senin 5/10/2009.]

Tuesday, November 10, 2009

Tentang Shu Fa dan Generasi yang Menjauh


Karya Teguh Santoso

Dalam literatur seni dan budaya China, kaligrafi adalah “seni tinggi” yang dipercayai ada sejak empat ribu tahun silam. Tiga seni utama lainnya ialah lukisan (hua), musik berdawai (qin) dan sejenis permainan catur kuno (qi). Seni “tulis-menulis” atau shu fa sudah dikenal luas sebagai ekspresi seni pada masa raja Qin Shi Huang, Putra Langit yang menyatukan daratan China pada 221 SM.

Kaligrafi berkembang pesat sebagai seni utama pada dinasti Han (206-200 M). Pamornya sebagai seni tinggi sampai pada dinasti Jin, Tang, dan sedikit menurun pada dinasti Ming. Kenyataannya, sampai sekarang kaligrafi tetap sebagai bagian dari budaya visual China yang penting.

Kaligrafi gaya China, dengan berbagai variannya, berkembang sampai ke Jepang, Korea, dan Vietnam. Hingga kini shu fa diajarkan dan dipraktikkan secara luas di Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Pada abad 20 kaligrafi berkembang pesat dan tidak lagi dianggap sebagai seni elitis, tapi dipraktikkan oleh banyak kalangan sebagai ekspresi seni modern. Bagi sebagian seniman, kaligrafi bukan tradisi yang mengungkung, tapi malah menantang kreasi.

Sebenarnya apa yang dituliskan atau diungkapkan oleh para kaligrafer? Secara umum adalah keindahan filsafati daoisme (baca: taoisme), konfusianisme, dan buddhisme yang mendasari praktik penulisan kaligrafi. Dengan kata lain, penghargaan terhadap pikiran-pikiran cerlang, kebijaksanaan, dan pemujaan pada keindahan alam mayapada. Tak jarang syair atau mutiara kata para arif bijaksana diungkapkan pula. Puisi atau ujaran Mao Tse Dong, salah satu despot besar abad 20, acap pula dikutip dan dituliskan. Praktik ini menunjukkan bahwa seni kaligrafi, antara lain, didasari oleh nilai-nilai budaya bangsa China yang hierarkis-paternalistik (Ingat paham konfusianisme yang menjunjung adat tetua?).

Pertanyaannya, apa relevansi dan sumbangan praktik seni kaligrafi dalam konteks kebudayaan modern? Pada hemat saya, seperti halnya nilai-nilai kebudayaan apa pun, kebijaksanaan atau kebajikan filsafati yang memancar dari tradisi shu fa niscaya berarti pula bagi tatanan dunia dan tuntunan kehidupan manusia.

Lantas, bagaimana publik yang tak paham huruf kanji bisa memahami tampilan seni kaligrafi? Gampang saja. Abaikan apa itu yang dinamai “kepala cacing sutera” atau “ekor angsa liar", misalnya. Nikmati saja tampilan ekspresinya sebagai seni modern, seni abstrak. Jangan tanya maknanya.

Seni Waktu Senggang
Di Semarang ada perkumpulan bagi orang yang hendak belajar atau mengembangkan kegemaran pada seni kaligrafi China tersebut. Lembaga itu bernama Perhimpunan Kaligrafi dan Seni Lukis Semarang (selanjutnya disebut Perhimpunan). Kegiatannya berlangsung hanya tiap hari Minggu di Gedung Pertemuan Marga Po, Jalan Gang Besen 80—82, Pecinan Semarang.

Memasuki ruangan itu, tampak beberapa orang berkerumun di satu meja panjang. Di atasnya berserak lembaran-lembaran kertas, tinta tulis hitam (Mandarin: bak), beberapa batang kuas (maopit), dan satu-dua contoh huruf kanji. Orang-orang itu, rata-rata setengah umur, khusyuk menggerak-gerakkan kuas, menuliskan beberapa huruf kanji. Agaknya mereka sedang berlatih menorehkan gegarisan membentuk huruf kanji berirama. Ya, mereka tengah mempraktikkan seni shu fa.

Memandang usia dan latar mereka, kita mafhum, seni shu fa terkesan hanya diminati oleh sebagian kecil kalangan Tionghoa Semarang. Tak bisa dipungkiri, belajar bahasa Mandarin dan menulis huruf kanji terbilang sulit, apalagi menuangkannya dalam kaidah shu fa. Karena itu kalangan muda usia enggan mendalami seni tersebut. Kenyataan ini dikeluhkan oleh sebagian penggemarnya, seakan-akan generasi muda Tionghoa menjauh, bahkan menepis "kebudayaannya sendiri". Walhasil, para penggiat dan penggemar shu fa, terutama di Semarang, hanya mereka yang telah berumur, mapan secara ekonomis, dan relatif punya waktu luang cukup.

Jika dikembangkan lebih serius, tentu saja dengan segenap upaya alih informasi yang komunikatif, shu fa bisa menjangkau publik lebih luas. Barangkali langgam seni tersebut bisa menjadi media pemahaman multikulturalisme yang tepat. Harapan tinggallah harapan belaka jika para penggiatnya abai pada karya-karya mereka sendiri, memperlakukannya semena-mena, dan shu fa sekadar dianggap sebagai ekspresi seni waktu senggang.

Narsisisme atau Glorifikasi
Pada kuartal pertama tahun ini Perhimpunan mengadakan “Pameran Kaligrafi dan Lukisan China 4 Negara” di Semarang. Eksposisi ini, antara lain, diniatkan sebagai ajang pengenalan apa itu seni kaligrafi, lukisan China dan eksistensi Perhimpunan kepada masyarakat umum. Karya-karya berasal dari Indonesia (Semarang, Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan), China, Singapura, dan Taiwan.

Sayangnya, tak ada informasi secuil pun, dalam bahasa Indonesia, yang menerangkan karya-karya terpajang. Hal itu mengurangi bahkan mengaburkan tujuan pameran. Jangan-jangan kegiatan itu bukan diniatkan sebagai ajang pertukaran budaya, melainkan cuma sebagai cermin narsistik atau glorifikasi kalangan terbatas.

Tentu saja eksposisi bukan perkara cincai. Dan shu fa sejatinya seni visual kontemplatif yang mengagungkan harmoni mikro-makro kosmos.

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Rabu 22/10/2009.]

Wednesday, October 14, 2009

Migrasi Ruang Seni Rupa Kota

Artwork: Murakami

GALERI adalah ruang untuk memajang karya seni rupa. Beberapa museum (khusus seni rupa) pun punya fungsi sama. Singkat kata, keduanya bagian dari infrastruktur seni rupa modern. Seiring dengan perkembangan diskursus dan praktik seni rupa kontemporer peran galeri atau museum mendapatkan tandingannya.

Sekarang wacana atau praktik seni visual tak harus berlangsung di galeri atau museum seni rupa. Kecenderungan ini bahkan telah lama dipraktikkan di negara-negara Barat. Di sana, sejak 1960-an, sebagian seniman memanfaatkan gudang atau bangunan bekas pabrik untuk menggelar ekshibisi. Indonesia belakangan meniru hal tersebut. Jogja National Museum menempati bangunan bekas Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di Gampingan, Yogyakarta.

Akhir-akhir ini di Semarang terlihat gelagat sebagian seniman (muda) atau kelompok senirupawan (baru) mengadakan pameran di sebarang tempat. Mereka unjuk kebolehan di lobi hotel, mal, kedai minum (cafĂ©), balai pertemuan, rumah kos, atau situs-situs informal lain. Sekali ada seniman yang menggunakan jalanan sebagai arena pamernya. Seniman grafiti atau mural (siapakah mereka dan berapa jumlahnya?) terang-terangan memanfaatkan areal kosong kota, terutama tembok-tembok bangunan yang “terbengkelai”, untuk berekspresi.

Gelagat lain, mulai tumbuh simbiose atau kolaborasi antarkesenian. Seni visual disandingkan dalam satu situs bersama dengan musik underground, misalnya. Praktik intertekstualitas tersebut, jika diseriusi, barangkali akan memberikan atmosfer segar pada praktik seni urban di Semarang pada masa depan.

Kecenderungan “baru” demikian dipicu oleh banyak hal. Alasan terutama, praktik itu dianggap sebagai sikap penolakan atas rezim, sistem atau infrastruktur yang ada. Selain itu, demi pendidikan kepada publik, diseminasi gagasan lebih luas, atau melebarkan cakupan pasar karya seninya adalah alasan berikutnya. Tentang berpameran di lobi hotel atau mal, contohnya, jelas-jelas didasari asumsi komersial.

Singkatnya, migrasi lokasi pameran tersebut didaulat sebagai perluasan kreatif para seniman. Sebaliknya, jarang ada seniman mau mengaku bahwa mereka tertolak di situs pamer “mapan” lantaran tersandung pertimbangan kualitatifnya. Ini memang argumentasi yang berisiko.

Ruang-Liyan Teatrikal
Berpindahnya ekspresi atau praktik seni ke ruang baru terbilang menarik. Bisa jadi dominasi atau otoritas ruang seni “konvensional” mulai berkurang. Agaknya seniman mencoba berkelit dari jerat ideologis ruang-ruang lama tersebut dan, sebaliknya, menciptakan ruang “teatrikal” bagi diri dan karyanya. Ruang dan keruangan menjadi panggung eksistensial sekaligus domain signifikasi “baru”.

Kalau diandaikan ruang konvensional bersifat maskulin, maka ruang-ruang di luarnya—sebutlah sebagai “ruang-liyan”—menunjukkan aura feminin. Amsal “feminitas” tersebut barangkali akan melahirkan sikap atau praktik seni yang lebih akrab terhadap publik umum.

Akan halnya tempat-tempat pamer kecil (adakah “ruang besar” itu?) di Semarang, niscaya perlu menegaskan sikap dan tata kelolanya. Tak mungkin lagi, dalam diskursus dan praktik seni visual kontemporer yang melesat-pesat, ruang pamer cuma dikelola seadanya. Paling banter, sebagai suatu remunerasi, kehadiran sebarang ruang itu cukup dianggap sebagai dinamika kehidupan seni visual kota.

Sementara itu, kita mafhum, spasialitas bukan hanya merujuk pada ruang fisik atau konkret, melainkan mengarah pula pada wacana keruangan yang abstrak. Ruang spasial bukan bangunan gedung belaka, tetapi termasuk ruang cyber yang hadir-serempak (omnipresent). Harus diakui, tak terdengar ada senirupawan Semarang bergelut di ranah seni-maya (cyber-art).

Migrasi Estetik dan Wacana
Tempat (place) dan ruang (space) berbeda konsepsinya. Yang pertama menyaran pada adanya perjumpaan langsung, sedangkan yang kedua mengarah pada relasi mereka yang tidak hadir (absent others). Singkatnya, tempat pameran (baru) layak dipandang sebagai ruang signifikasi resiprokal di antara seniman, karya, dan apresian.

Dinyatakan oleh Greenberg, Ferguson dan Nairne (1999), bahwa “Pameran ialah situs utama pertukaran dalam politik kesenian, tempat pemaknaan dikonstruksi, dilanggengkan atau terkadang didekonstruksi pula.” Pada ranah ini seniman mesti mampu mendekati, menata, dan mengkonstatasi “ruang-liyan” itu sebagai ruang bersalut kreativitas atau wacana yang selaras dengan praktik keseniannya. Yang kerap terjadi, praktik artikulasi seni di sana sekadar migrasi ruang tanpa arti. Tegasnya, tak terlihat tata laksana atau konstruk keruangan “baru”.

Mesti diingat, pameran seni (visual) bukan sekadar etalase, tetapi pertemuan tanda-tanda simbolik dengan semua kompleksitas signifikasinya. Jadi, ruang pamer adalah tempat praktik produksi-konsumsi dan pertukaran aktif pemaknaan. Proses dialektik lebih penting ketimbang menggapai finalitas konklusi.

Seharusnya migrasi ruang pamer seni visual di Semarang serempak menyuguhkan arus besar praktik seni berikut latar produksinya. Bermigrasi bukan karena inferioritas, namun sebagai pertaruhan gagasan, estetik, dan wacana. Bisakah?

TUBAGUS P SVARAJATI,
Penulis seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Senin, 12 Oktober 2009.]

Thursday, October 1, 2009

Membidik Pasfoto Teroris

"Wild Boar as Terrorist"

MEMBIDIK PASFOTO TERORIS
MELALUI pasfoto orang memperkenalkan sekaligus membedakan dirinya dengan yang lain. Ia adalah citra diri, representasi, atau pembeda identitas. Artinya, pasfoto adalah tanda pengenal diri yang “sahih”. Meski begitu, pasfoto tak seluruhnya milik privat, personal. Di dalamnya beroperasi kekuasaan negara, antara lain, dalam hal dokumentasi dan administrasi kependudukan. Di ranah ini negara melakukan pengawasan dan kodefikasi terhadap rakyatnya.

Pada zaman sekarang sulit membayangkan negara bisa mengidentifikasi rakyatnya tanpa bantuan foto diri itu. Lebih jauh, pasfoto bukan situs identitas netral. Ia punya relevansi sosial, politik dan kultural. Negara mewajibkan rakyatnya untuk berpose dengan aturan tertentu. Sosok dalam pasfoto senantiasa frontal, memperlihatkan secara jelas ciri-ciri wajahnya. Di negara dan budaya tertentu, memakai kerudung (baca: burqa) dalam pasfoto terlarang.

Hak atas identitas rakyatnya, seakan-akan in natura, menyebabkan negara dengan gampang menyebarkannya ke ranah publik untuk tujuan tertentu. Atas nama kepentingan negara dan masyarakat, misalnya, negara mempublikasikan sejumlah pasfoto dari sosok-sosok tertentu dan meneranya sebagai teroris. Media lekas menyebarkannya sehingga serempak menjadi wacana publik. Apa tujuan Kepolisian RI mengedarkan identitas (melalui pasfoto) mereka yang dituduh sebagai teroris?

Semiosis Pasfoto
Dalam ranah semiotika, terutama tentang ikonisitas triadik Peircean, pasfoto adalah representamen. Ia adalah representasi citraan dari objek kognitif tertentu, yakni seseorang. Keduanya dihubungkan oleh prinsip similaritas atau keserupaan yang konvensional. Kaitan representamen dan objek senantiasa melibatkan suatu proses penafsiran yang, oleh Charles Sanders Peirce (1839—1914), disebut interpretan. Jadi, interpretan adalah tafsir (atau “makna”) atas hubungan tanda dan objeknya.

Oleh Umberto Eco (via Kris Budiman, 2005), relasi keduanya—representamen dan objek—dikenali dan bersifat kultural. Artinya, seseorang dapat mengenali dua hal sebagai mirip satu sama lain karena ia memilih unsur-unsur tertentu yang relevan dan mengabaikan unsur-unsur yang lain. Karena pasfoto sebagai tanda adalah satuan budaya, maka tafsir atasnya berlaku dalam kultur yang sama dengan para pemakai tanda itu.

Bagaimana seseorang (objek) yang terwakili oleh pasfoto (representamen) bisa ditafsirkan sebagai teroris (interpretan)?

Sosok-sosok dalam pasfoto yang dipublikasikan oleh Kepolisian RI sebenarnya tak berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Tak ada ciri-ciri khusus—fisikalitas maupun atribut—yang menjelaskan sosok teroris itu seperti apa. Artinya, otoritas negara—melalui Kepolisian RI—yang memaknai mereka sebagai teroris. Seperti tak ada pilihan lain, agaknya masyarakat Indonesia meyakini tafsir tunggal itu. Hal ini mudah terjadi di suatu negara dengan kultur paternalistik yang kuat.

Tujuan penyebaran pasfoto teroris bukan sebatas pengenalan saja. Masyarakat diharapkan sadar bahwa tabiat para pelaku teror itu—termasuk terorisme—adalah telengas, tak beradab, dan terkutuk. Pada gilirannya, keyakinan bersama itu akan mengkristal menjadi suatu kesadaran kolektif bahwa: pelaku teror dan terorisme dalam segala bentuknya harus diganyang. Skenario seperti inilah yang dibayangkan oleh negara. Di dalam masyarakat gradasi ontologis ini berjalan “alamiah”. Roland Barthes mengembangkan teori signifikasi yang selaras dengan fenomena ini.

Menurut Barthes, dalam suatu kebudayaan apa-apa yang dianggap suatu kewajaran oleh masyarakatnya adalah sebagai hasil dari suatu proses konotasi (atau penafsiran). Bila konotasi menjadi tetap, ia menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia menjadi ideologi (via Benny H Hoed, 2008). Masih seturut Barthes, dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat.

Mengikuti jalan pikiran Barthes, terorisme adalah ekspresi “penyalahgunaan ideologi” itu. Terorisme adalah ideologi yang destruktif, yang membinasakan kehidupan, apa pun kebenaran moral yang melatarinya. Menyadari hal itu, sembari mendapatkan dukungan dari otoritas negara, rakyat pun serempak melakukan aksi “pembalasan”. Di suatu daerah, salah satu pasfoto yang telah lama terpublikasikan secara luas dijadikan sasaran menombak dalam seni tradisi. Di daerah lain, dalam perayaan tujuhbelasan, ada masyarakat yang tampil berkostum Densus 88—lengkap dengan tutup muka dan senjata serbunya.

Wacana Musuh Kolektif
Setakat ini di Indonesia sosok yang paling populer sekaligus enigmatik, ditakuti seraya dipuja, dan diharapkan diketemukan segera adalah Noordin M Top. Turut dicari-cari bersamanya adalah mereka yang dituduh terlibat dalam jaringannya. Bagi sebagian besar masyarakat sosok-sosok mereka hanya dikenal melalui pasfotonya. Dengan begitu pasfoto mendapatkan peran penting dalam wacana terorisme di Indonesia.

Signifikasi pasfoto para teroris itu seakan-akan membantah asersi Walter Benjamin bahwa foto sebagai citraan (seni) reproduktif adalah produk mekanis yang tidak punya aura. Kenyataannya, di zaman ketika gambar atau imaji berseliweran tak henti, ternyata toh ada juga citraan yang mencuri perhatian kita.

Imagologi pasfoto teroris berujung pada kehendak (bermuasal dari lembaga otoritatif) menjustifikasi orang-orang tertentu adalah musuh kolektif masyarakat. Imperatifnya: teroris(me) mesti dibasmi. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas untuk rubrik Teroka, Senin 31/08/2009.]

Sunday, September 27, 2009

Atlas Seni Rupa Kota


Artwork by Ipong Purnama Sidhi
ATLAS SENI RUPA KOTA

ATLAS SENI RUPA KOTA

ATLAS seni suatu kota bukan sekadar formalitas data, angka, atau peristiwa seni, namun ia suatu teks terbuka untuk dimaknai secara kontekstual. Catatan itu berguna sebagai sediaan riset, ancangan kreativitas, atau data historik medan sosial seni (art world) suatu kawasan. Masalahnya, siapa yang mesti bertanggung jawab atas penyusunan senarai seni rupa kota Semarang.

Yang dimaksud dengan atlas seni rupa kota ialah catatan hasil dari pemetaan atas kelembagaan atau praktik seni rupa (visual) di suatu wilayah. Tersebut sebagai lembaga adalah galeri (atau ruang pamer yang sejenis), ruang-kreatif seniman (artists’ initiatives), komunitas senirupawan, museum, perguruan tinggi seni, atau institusi lain yang menyelenggarakan kegiatan kesenirupaan. Sedangkan aktivitasnya meliputi semua kegiatan yang patut dicacah sebagai peristiwa kesenirupaan.

Sebagian besar ruang pamer, meski dikelola sebagai unit dagang profesional, tak urung kerap tutup dan kemudian tumbuh yang baru lagi dengan berbagai alasannya. Apalagi situs-situs pamer independen, seperti ruang-kreatif seniman atau ruang yang memang dikonstruksi secara nirlaba, tentu tak luput dari gejala buka-tutup itu. Hal ini tabiat umum dalam praksis seni atau dinamika dunia kreatif mondial. Kenyataannya, kehidupan kesenian di Indonesia jauh lebih buruk ketimbang di negara-negara maju. Salah satu penyebabnya, atensi negara nyaris nihil mengakselarasi dunia kreatif.

Dokumentasi praksis seni visual di Indonesia, khususnya di Semarang, penting dilakukan tak hanya demi klaim kesejarahan, namun juga demi pergulatan eksistensial (terutama) para pekerja seni. Tegasnya, konstruk historik yang “benar” berdampak positif terhadap dunia kreatif suatu wilayah.

Sekilas gagasan tentang pemetaan ini tampak ambisius. Apakah mungkin mendokumentasikan seluruh kegiatan seni rupa yang berlangsung di Semarang dalam kurun tertentu (spasio-temporal)?

Mencatat Data Primer
Tak ada yang tak mungkin jika memang berniat. Mulailah dengan model dokumentasi sederhana. Langkah paling mudah ialah mencatat semua kegiatan seni visual secara kronologis berdasar urutan waktunya. Praktik pencatatan bisa dilaksanakan secara individual, kelembagaan, atau gabungan keduanya.

Sekurang-kurangnya pencatatan itu terdiri dari keterangan waktu (tanggal dan lama kegiatan), lokasi, tajuk, peserta (nama dan jumlah), jenis, dan dalam konteks apa kegiatan seni itu dilangsungkan. Paling gampang gunakan prinsip jurnalistik 5W+1H. Secara elementer pola ini sudah memadai. Kelak data primer ini bisa dikembangkan sesuai kebutuhan.

Material yang disimpan dan dicatat bisa berupa bahan cetakan (hard copy) atau data digital (soft copy). Dianjurkan agar data audio-visual dalam bentuk digital sehingga mudah disimpan. Data audio-visual, antara lain, berupa foto-video atau rekaman diskusi. Sedangkan material cetakan yang patut disimpan ialah rilis media, undangan, poster, katalog, buku, atau kliping media.

Tiap-tiap dokumentasi mesti diberi keterangan dasar yang jelas. Sebutkan pula nara sumber atau siapa dokumentatornya. Hal-hal tersebut berhubungan dengan nilai-nilai otensitas atau hak cipta intelektual.

Perhatian lebih saksama ditujukan kepada senirupawan setempat. Profil dan aktivitasnya mesti dicatat lebih detail daripada seniman luar daerah. Ini tak lain demi kepentingan studi dan historisitas seni visual Semarang. Kerap orang luar daerah tak paham peta kesenirupaan kota ini lantaran tak tersedianya data yang memadai.

Atlas Bebas Terbuka
Masing-masing individu pekerja seni atau lembaga yang bergelut di kesenirupaan Semarang, secara terpisah atau bersama-sama, mesti melakukan pendataan semampunya. Tak mengapa bila dokumentasi tersebut berbeda versi. Diversitas penulisan baik demi asas pluralitas.

Agar data dokumentasi mudah diakses, sebaiknya dipublikasikan melalui media internet. Tak sulit dan relatif murah merancang laman internet. Bahkan tersedia beragam hosting yang tak berbayar. Atlas seni rupa yang terbuka bebas ini niscaya mudah diakses oleh komunitas luar daerah, atau luar negeri, sehingga membuka peluang jejaring lebih luas.

Sayangnya atensi pada praktik dokumentasi tersebut jelas-jelas tidak tercermin dari, ambil contoh, situs resmi Dewan Kesenian Semarang (Dekase). Lembaga ini tidak maksimal memuat data seniman, lembaga seni berikut aktivitasnya di Semarang. Situs ini pun tidak menyediakan tautan (link) ke laman atau situs di luarnya. Sepertinya Dekase menafikan dinamika peristiwa seni yang berlangsung di luar agendanya sendiri. Ada apa?

Bagaimana pula dengan Dewan Kesenian Jawa Tengah? Tak ada situsnya. Profilnya yang lawas, dengan nama-nama Prof Eko Budihardjo dan Djawahir Muhamad, masih tertera di suatu situs yayasan yang bergerak di ranah seni-budaya. Karena informasi nihil, maka publik hanya bisa menduga-duga apa yang dikerjakan oleh lembaga ini. Ironi di era globalisasi.

Kondisi sengkarut ini harus diperbaiki. Seyogianya pertama-tama yang bertanggung jawab atas dokumentasi adalah pemerintah (melalui Depbudbar) dan lembaga-lembaga “resmi” yang didanai oleh negara. Urutan selanjutnya adalah perguruan tinggi seni yang, idealnya, memiliki pusat kajian kesenian lengkap (Jurusan Seni Rupa Unnes Semarang?). Yang terakhir, yang perlu melakukan pencatatan barulah para pekerja seni (seniman, networker, galeris, kritikus dan kurator), lembaga seni independen, atau ruang-kreatif seniman.

Dugaan saya, justru mereka yang di luar kelembagaan “plat merah” atau institusi pendidikan tinggi itulah yang aktif melakukan praktik dokumentasi. Kelompok ini paham bahwa kelengkapan dokumentasi adalah hal mendasar (baca: bahan riset) bagi kelangsungan aktivitas dan kreativitas seniman. Naif bila seniman berkarya cuma mengandalkan intuisi atau wangsit.

Penting mencatat lembaga seni dan seluruh agendanya, yang kontinu maupun kondisional, menjadi suatu atlas seni rupa kota yang representatif. Syukur-syukur semua itu dibukukan secara periodik (Ini proyek bagus toh?). Dengan berbagai cara, dinamika seni rupa kota wajib diartikulasikan. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Kamis, 24/09/2009.]

Saturday, September 5, 2009

Kota, Petani, Jerami

"Lubang Tubuh" karya Jopram

SAYA bayangkan, dalam masa repolusi, kota membuncah oleh tanda yang hiruk-pikuk—bukan oleh riuh suka-cita, melainkan gemuruh oleh kepalan tangan (“tangan-tangan baja yang keras menghentam”), parang, atau bambu runcing.

Pada masa yang tak jauh-jauh, Surabaya adalah kota “pasti kepada harapan” yang “gembira kepada kerja” dengan “malamnya malam bercinta”. Akan tetapi, di kota itu ada catatan: “mogok pertama buruh kereta api zeven provincien”. Di sana pula banyak petani tersungkur: “merekalah petani yang dirampas tanahnya”.

Agam Wispi, penyair dengan semburan kata-kata repolusi yang bertenaga, tak terlena oleh romantisme revolusioner picisan. Ia bertanya terus, “sudahkah tanah bagi petani?” Ia mengingat terus, “depan kantor tuan bupati tersungkur seorang petani karena tanah, karena tanah”.

Dan seorang pelukis menggambarkan petani dengan amsal onggokan jerami kering, yang rapuh, yang mudah dimusnahkan, terbakar, dan menjadi abu. Kita mafhum, pelukis itu—adalah Joko Pramono yang dikenal sebagai Jopram—lahir dari rahim petani. Hingga sekarang bapak-ibunya adalah tetap petani—tipikal “petani-petani yang dirampok panennya”. Artinya, mereka ialah petani yang dibayang-bayangi oleh kegagalan panen, dihantui rasa was-was karena setiap saat padi yang siap dipanen pun serentak siap digusur: di atasnya berdiri tanda-tanda menyerupai suatu kota satelit.

Tragika petani cerminan mitologi Sisyphus—meski acapkali panen gagal, tak beroleh hasil, didera rasa lapar toh asa tak turut lunglai: cangkul, cangkul terus. Ibarat bertani adalah percumbuan abadi dengan sang nasib. Kelaparan atau kesakitan cuma tanda di sekujur badan, di sudut-sudut kota, yang rumpang-rumpang.

Onggokan jerami adalah tubuh yang merana oleh kuasa tak berhingga. Anak petani Surabaya itu menggambarkan kesaksiannya.

:repolusi belum kelar, bung!


—Tubagus P. Svarajati

[CATATAN: Saya diundang menulis untuk pameran seni rupa “Perang, Kata dan Rupa” dalam rangkaian Festival Salihara, Jakarta, 16 Juli—15 Agustus 2009. Pameran diikuti oleh 13 senirupawan. Saya menulis untuk seniman Jopram yang memamerkan lukisan “Sudut Kota” dan “Lubang Tubuh”.]

Saturday, August 29, 2009

The Dynamic of Line: Social-Emotional World


Ipong Purnama Sidhi (born 1955) is a scholar artist with overflowing energy. He studied painting at Fine Art School (ASRI) in Yogyakarta, from 1975—1981. He took printmaking studies in Konsthogskolan (or Royal University College of Fine Art) in Stockholm, Sweden in 1966.

His academic background strongly influences the visuality of his works. His works are characterized with psychedelic primary colors and vibrant dark linings. Handwritten texts are often added at some works too.

Ipong draws lines at his liberty, unruly and wildly swaying. Linings are also made of paint splashes thus they have textures. On the other side, the texts that he put can be viewed as a play of lines too. Interestingly, the texts are readable as meaningful sentences. In brief, lines and texts solidify the visual as well as the messages he aims to convey.

The dynamics of line gets more meaning because of the vibrant colors that he uses. Facial expressions and costumes of figures he draws are indeed radiant. The color contrast goes beyond a mere composition strategy instead it serves as his ‘artistry spirit’. As a result, to him, canvas becomes his emotional and ideological fields.

Suffice to say that Ipong’s works thoroughly touch upon people’s problems or humanity itself. Frontally Ipong take different view in drawing his human characters. They have nearly the same faces: flat with eyes and brows that almost alike. The rules goes to their lips: all in maroon. Many of the characters resemble clown faces. My impression is the ‘clowns’ are allegory of life that is made light, without burden. People and clowns seem to call their viewers to communicate.

By bringing up people and their problems, Ipong is free to take on the world—to load his sharp criticisms to social conditions. His decorative figures are his vehicles or metaphor of clumsy, banal, satiristic and ironic urbanities. Reflecting on the characters that he draws, viewers will be brought to see a mirror and to have a good laught at themselves.

In reality, Ipong frequently repeats the same subject matter or themes on his works. Nevertheless, this is not a symptom of repetition of forms or ideas in its most true sense but it is a repetition of expression or celebration of the artist’s emotional world. Indonesia’s maestro of modern painting Affandi did the same habit.

To me, Ipong’s works disclose the psyche of Javanese in a different way: humorous and critical, yet still full of symbols.

Tubagus P. Svarajati
Art writer

[NOTE: This is an essay for the second solo exhibition of Ipong Purnama Sidhi’s “Hello! Hooray! Are You Ready?” at Ganesha Gallery, Four Seasons Resort Bali, Jimbaran, Bali from September 3 until October 5, 2009.]

Wednesday, July 29, 2009

Bom Bunuh Diri, Alegori Seni Performans


SENI performans atau seni rupa pertunjukan (performance art) adalah ekspresi seni efemeral. Dimensi ruang-waktu dan aksi dihayati bersamaan. Laku para senimannya berlangsung dalam dan berkelindan dengan sekuens waktu linear. Begitu pertunjukan berakhir, maka usai dan melenyap pula seni yang tersuguhkan.

Lazimnya seni yang berbasis ruang (“di sini”) dan waktu (“kini”) ini tanpa pola atau skenario yang terencana. Praktiknya bisa berlangsung seadanya, di tempat terbuka, di tengah kelimun, dan di sebarang waktu. Aksinya sering melibatkan penonton atau khalayak. Cara ini dipercayai mencairkan resepsi atas diskursus atau ekspresi seni yang biasanya terkesan abstrak atau esoteris.

Malangnya, acapkali aksi atau wujud pertunjukannya tak mudah dipahami oleh khalayak. Ungkapannya bisa terbilang gila-gilaan, seperti mengurung diri berbulan-bulan dalam suatu sel sampai dengan melukai diri sendiri. Namun, banyak pula aksi performans yang puitik.

Dua dekade silam, di Yogyakarta, seniman Eddie Hara dan pasangannya, sehari penuh saling merantai diri dan melakukan aktivitas harian secara tandem. Di tempat lain, Tehching Hsieh, seniman diaspora kelahiran Taiwan, mengurung dirinya dalam sel selama setahun tanpa berbuat apa pun (One Year Performances, New York, 1978—1979). Para seniman itu menghayati ruang-waktu dalam kebersamaan atau kesendirian yang ekstrem.

Dalam seni performans, tubuh bukan sekadar elemen, melainkan bentuk dan ekspresi seni itu sendiri. Bukan tubuh personal, soliter, melainkan bernilai sosial-politik pula. Tegasnya, tubuh yang terlibat. Para senimannya mengkomunikasikan gagasan atau pesannya melalui tubuhnya.

Seni performans adalah bagian dari praktik seni kontemporer yang berkembang luas di belahan dunia mana pun. Ia dipahami sebagai eksperimentasi antara tubuh, materi, dan ruang-waktu. Seni multi-dimensional ini kerap melibatkan disiplin atau praksis kesenian lain.

Banalitas Kejahatan
Dalam “koridor” yang mirip, ekstremitas penghayatan atas ruang-waktu dan ketubuhan pada seni performans ditiru oleh para pelaku bom bunuh diri. Mereka menganggap tubuh dan lokus peledakan bom adalah arena ideologis, kancah peperangan, tempat pesan dialamatkan. Makin masif ledakannya, makin banyak korbannya, menandakan tindakan teror itu sukses besar. Untuk itu, skala aksi mesti direncanakan saksama.

Pada seni performans, seiring usainya aksi pelakonnya maka yang tertinggal di memori pemandang hanyalah jejak-jejaknya. Sebagian tandanya berbentuk media rekaman atau fotografi. Dalam banyak kesempatan, praktik seni ini tidak berorientasi pada hasil akhir, tetapi menonjolkan jalinan proses atau nilai-nilai filosofisnya.

Sedangkan pada aksi bom bunuh diri, selain kengerian yang melekat di benak, destruksi yang ditimbulkannya adalah tanda-tanda yang diniscayakan. Jadi, pesan dan hasil akhir bom bunuh diri punya dampak lebih kuat ketimbang seni performans apa pun. Serpihan tulang, usus yang memburai, atau kepala yang terpenggal dan anyir darah adalah fragmen-fragmen kulminatif maujud “seni” itu. Inilah theater of horror.

Hampir seragam, bom bunuh diri senantiasa bermuatan pesan politik. Sering pula aksi ini dikira wujud perlawanan terhadap suatu rezim atau ideologi tertentu. Ada anggapan, tindakan irasional itu dilakukan karena para pelakunya gagal mengkomunikasikan ide-idenya. Sebaliknya, bisa jadi aksi itu adalah salah satu media atau cara berkomunikasi itu sendiri. Jika benar, yang perlu dikaji ialah, mengapa langkah teror yang membinasakan ini yang dipilih.

Apakah dasar pemikiran seseorang melakukan teror bom bunuh diri? Apakah praksis komunikasi dialogal, di tengah-tengah globalisasi dan kosmopolitanisme dunia, tak mungkin dilakukan? Apakah hidup damai berdampingan, dengan semua warna kulit atau bianglala ideologi, bukan realitas yang membahagiakan? Mungkinkan aksi teror ini adalah bentuk penolakan atas jalannya sejarah, modernitas atau sekularisasi? Jika legitimasi teror termaktub dalam Kitab Suci mana pun, apakah serentak ada kuasa terberi bagi manusia untuk mancabut hak hidup makhluk lain?

Bom bunuh diri adalah negativitas horor yang mencuat dari kegelapan akal sehat. Pelakunya bukan orang tak waras. Secara radikal, seakan-akan ia tengah menolak mortalitas eksistensialnya (“Sohib, saya sudah di surga!” serunya.) sembari menindas kemerdekaan yang lain. Giovanna Borradori (2005), berdasarkan pada pemikiran Hannah Arendt, mengatakan, “... esensi teror bukanlah pemusnahan secara fisik siapa pun yang dianggap berbeda, melainkan pencabutan perbedaan di dalam orang, yaitu pencabutan individualitas serta kemampuannya untuk bertindak secara otonom.”

Pada seni performans, bentuk atau ekspresi “fenomena artistik” itu transformatif, multifaset, seraya memperkaya kosa kebudayaan manusia. Sebaliknya, bom bunuh diri adalah alegori seni performans yang mengusung banalitas kejahatan (istilah Arendt, banality of evil). Darinya menyebar aroma kematian, bukan aurora kehidupan.

Sampai di sini, akal sehat kita tertantang: apakah otonomi kebebasan niscaya meringkus moralitas atau keberadaban manusia.

—Tubagus P. Svarajati

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Selasa 21/07/2009.]

Tuesday, June 9, 2009

Lukisan Rakyat Sokaraja

[Sumber: http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Seni_Lukis_Sokaraja]

MOOI INDIE atau Hindia Molek sebenarnya adalah mazhab atau cara pandang kolonialisme Belanda atas negeri jajahannya, tepatnya Hindia Belanda, yang diasumsikan sebagai alam pedesaan yang damai, adem-ayem, dan harmonis. Paradoksnya, justru sejarah membuktikan bahwa pergolakan yang berdarah-darah sering bermuasal dari pedesaan. Ingat pemberontakan Pangeran Dipanegara dalam Perang Jawa (1825—1830)?

Dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, gaya Mooi Indie gencar dikenalkan oleh ekspatriat atau pelukis asing Eropa. Mereka menggambarkan alam tropis Hindia Belanda dengan pola, dalam istilah S Sudjojono, “trinitas suci”, yakni gunung, sawah, dan pohon kelapa (atau bambu). S Sudjojono adalah pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia dan penentang utama aliran “turistik” tersebut. Lucunya, belakangan pelukis ini malah melukis dalam gaya yang dulu habis-habisan dicemoohnya itu.

Sejarawan Onghokham (1994) menuturkan, secara visual lukisan bergaya Mooi Indie itu pertama kali dikenalkan oleh Raden Saleh (1814—1880). Ong memberikan contoh lukisan Raden Saleh yang menggambarkan pertarungan banteng dengan macan. Namun, kita mesti cermati, bahwa Raden Saleh tak lain adalah anak emas kolonialisme. Ia belajar dan hidup dalam kebudayaan Eropa abad 19. Walhasil, pandangannya atas alam Hindia Belanda pun terpengaruh oleh pemikiran kolonialisme yang mengidealkan tanah jajahan sebagai eksotika pondok masa depan.

Akan halnya “lukisan pemandangan” gaya Sokaraja, Banyumas, barangkali bukan titisan langsung dari cara pandang kolonialistik, namun penonjolan semangat romantisme. Mas’ut (“Lukisan Sokaraja dan Galeri Hidup”, Kompas, Kamis, 14 Mei 2009), pengamat budaya, mendeskripsikan ciri-ciri lukisan Sokaraja sebagai “langit pasti cerah, air selalu bening, mengalir tanpa gejolak” dan pemandangan senantiasa dilukiskan dengan “gunung, hamparan sawah dengan padi yang menguning, telaga atau sungai yang mengalir”.

Barangkali justru lukisan dengan identifikasi seperti di atas itulah yang, secara umum, memenuhi hasrat rakyat banyak tentang suasana batin keindonesiaan yang diangankan. Lukisan rakyat semacam ini memberikan “ketenteraman” bagi peminatnya yang sebagian besar ialah rakyat biasa pula yang jauh dari diskursus “seni tinggi” atau yang “mengawang-awang”.

Jenis “lukisan sederhana” itu, seperti dilaporkan oleh Sindhunata (“Lukisan Jalanan itu Ternyata Mengundang Banyak Peminat” dalam Cikar Bobrok, Kanisius: 1998), dalam suatu pameran di Bentara Budaya Yogyakarta, diminati banyak orang. Setakat ini, jenis lukisan pemandangan yang “indah” tersebut masih sering terlihat di rumah-rumah rakyat kebanyakan, di kota-kota maupun di desa-desa.

Dalam kenyataannya paham Mooi Indie bukan saja dapat menerobos batas-batas ras, kesukuan, ideologi politik dan kesenian, tetapi juga kelas. Ong menegaskan hal itu dan memberikan contoh, sembari mengutip antropolog James T Siegel, bahwa ada karya-karya pelukis yang berasal dari kaki lima—seperti Kumpul di Malang dan RM Sayid di Solo—diangkat oleh kelas menengah menjadi seni lukis tinggi dan koleksi berharga. Kumpul acap “melukis pohon flamboyan dan cikar yang bermandikan cahaya”. Salah satu pelukis kenamaan Semarang, almarhum R Hadi, pun gemar melukis obyek yang sama.

Untuk diketahui, lukisan-lukisan jenis “pohon flamboyan dan cikar yang bermandikan cahaya” itu bertebaran di lima buku koleksi seni Presiden Soekarno. Hal ini membuktikan, secara telak, bahwa sesungguhnya selera Soekarno pun tak jauh dari kesenian gaya Mooi Indie. Cermati bagaimana presiden RI yang karismatik itu menerangkan pertemuannya dengan rakyat kecil bernama Marhaen. Ia berjumpa dengan orang Indonesia yang tidak bermajikan, hidup pas-pasan, namun mandiri itu di alam indah Parahiyangan (“… mungkin di atas sebuah cikar,” tambah Ong). Gambaran tentang Marhaen dan lokus pertemuannya tak lain khas mencirikan estetika Hindia Molek.

Cermin Masyarakat Agraris
Pada hemat saya, estetika Mooi Indie atau jenis lukisan Sokaraja tetap relevan dalam konteks kebudayaan Jawa khususnya atau Indonesia pada umumnya. Adagium “gemah ripah loh jinawi” dalam kultur Jawa memberikan pembenaran atas fenomena lukisan Sokaraja. Pandangan itu bukan sekadar idealisasi suatu kondisi, namun implikatif pula. Secara guyonan, jika bertolak belakang dari fakta atau tak terpenuhinya kondisi termaksud maka orang Jawa pun tetap rela “mangan ora mangan kumpul”.

Karenanya, tidak penting ada atau nihilnya pembaruan atas pola produksi estetika lukisan Sokaraja itu. Yang lebih menarik dibincangkan ialah sejauh mana model estetika tersebut setia memenuhi harapan komunitas penikmatnya. Sederhananya, rakyat banyak menginginkan suatu cantolan atau pembenar atas prinsip-prinsip kehidupan yang diyakininya. Lukisan Sokaraja adalah gambaran ideal itu: Indonesia nan permai.

Penting dicermati ialah bagaimana para seniman rakyat itu meningkatkan capaian teknik dan mutu estetika kekaryaannya. Untuk hal tersebut mereka perlu membekali diri dengan pengetahuan yang memadai. Yang paling mudah dilaksanakan, adakan pelatihan-pelatihan praktis sesuai kebutuhannya termasuk kiat-kiat pemasaran karya mereka. Bukan tidak mungkin lukisan rakyat itu menjadi suatu “komoditas seni” dengan nilai tambah yang menggiurkan.

Lukisan Sokaraja punya relevansi sosio-kultural penting tidak hanya bagi masyarakat pedesaan, namun juga buat masyarakat urban perkotaan yang umumnya berasal dari atau punya ikatan emosional kuat dengan alam pedesaan. Singkatnya, lukisan “gaya” Sokaraja adalah lukisan rakyat dan santir masyarakat agraris Indonesia.

—Tubagus P. Svarajati

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa 9/6/2009.]

Sunday, May 24, 2009

Kritik Seni di Media Massa

[Photo: Studio RSY]

HOLLAND COTTER menerima Hadiah Pulitzer 2009 untuk kategori kritik seni. Ia diganjar $10,000. Staf redaksi The New York Times, sejak 1998, itu terpilih karena “ulasannya yang luas tentang seni rupa, dari Manhattan sampai China, dengan amatan yang akurat, tulisan yang cerlang, dan penceritaan yang dramatis”.

Pulitzer adalah penghargaan jurnalisme terkemuka di Amerika Serikat. Penghargaan prestisius itu diumumkan tiap bulan April di Universitas Columbia. Setahun setelah Joseph Pulitzer (1847—1911) mangkat berdirilah Columbia School of Journalism itu yang digagasnya. Hadiah Pulitzer yang pertama diberikan pada 1917 di bawah supervisi suatu dewan pengawas yang telah diberinya mandat.

Pada masanya figur Pulitzer diakui sebagai penerbit surat kabar yang piawai dan pejuang tangguh bagi pemerintahan yang busuk. “Pengaruh Hadiah Pulitzer yang kuat di ranah jurnalisme, sastra, musik, dan drama didasari oleh cara pandangnya yang visioner,” kata Seymour Topping, profesor emeritus Universitas Columbia.

Bagaimana dengan kehidupan jurnalisme, tepatnya kritik seni (rupa) jurnalistik, di Indonesia? Apa manfaat terbesar adanya tulisan seni rupa di media massa kita?

Tak semua media massa Indonesia menyediakan ruang untuk reportase seni rupa. Dari yang sedikit itu, perhatian harian Suara Merdeka terhadap diskursus seni visual itu terbilang lumayan. Koran tersebut menurunkan dua jenis penulisan seni rupa, yakni reportase dan esai. Jenis yang pertama dituliskan oleh wartawannya sendiri (rubrik Hiburan & Seni), sedangkan yang kedua ditulis oleh kritikus atau pengamat seni (rubrik Bianglala).

Meski ditulis oleh kritikus atau penulis khusus seni rupa, esai seni rupa yang diterbitkan di media massa tak lain adalah kritik seni jurnalistik. Jenis kritik ini cukup ringkas mengingat koran tak leluasa memuat tulisan yang berpanjang-panjang. Kendati begitu, ada perbedaan yang cukup signifikan antara reportase atau esai seni rupa itu. Tulisan reportase hanya memuat unsur-unsur pemberitaan yang esensial. Esai seni lebih condong pada sisi analitik dan sarat dengan opini penulisnya.

Jurnalis cum Kritikus

Reportase atau kritik seni jurnalistik tersebut berguna, antara lain, untuk mendekatkan pemahaman suatu karya seni visual (termasuk pameran seni, misalnya) dan gagasan seniman di satu sisi dengan publik pada sisi lainnya. Dalam penelitiannya, Mamannoor (Penerbit Nuansa: 2002) menemukan fakta bahwa tulisan atau informasi seni rupa di beberapa media cukup bermanfaat dalam membantu publik mengapresiasi karya atau kegiatan seni rupa (63,44%).

Setakat ini bahasa tekstual, dalam situasi atau demi kepentingan khusus, tergantikan oleh simbol atau kode visual. Ragam bahasa gambar itu diyakini sebagai wahana atau bersamanya orang modern saling berkomunikasi. Karenanya, pengetahuan tentang kesenirupaan niscaya diperlukan oleh masyarakat di dalam dunia yang penuh dengan “ledakan gambar” itu. Dalam bahasa Susan Sontag (Picador: 1990), “Today everything exists to end in a photograph.”

Sementara itu, perguruan tinggi yang mempunyai jurusan seni rupa (khususnya di Jawa Tengah) menyimpan rapat-rapat, disengaja atau tidak, hasil pengajaran atau penelitiannya. Publik hampir tidak pernah menyaksikan kelahiran pemikir atau kritikus seni dari kalangan kampus itu. Celakanya medan sosial seni kita pun kurang mengakrabi tradisi kritik seni rupa yang diskursif.

Lowongnya kritikus atau penulis seni rupa, dalam beberapa segi, semestinya bisa tergantikan oleh jurnalis dengan minat khusus pada topik kesenirupaan. Dalam praktiknya, yang bersangkutan barangkali jauh lebih menguasai medan sosial seni yang menjadi area peliputannya. Sosok Cotter pantas disebut sebagai jurnalis cum kritikus. Peran Cotter, atau jurnalis khusus seni rupa, di samping sebagai pewarta informasi, tak lain berfungsi pula sebagai lembaga penilai. Dari merekalah publik mempercayakan mata-telinganya untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang “benar” mengenai aspek-aspek kesenirupaan. Kita paham, figur seperti ini, dalam perjalanannya, niscaya memiliki pengetahuan dan integritas yang kian teruji.

Sebagai penulis seni, sosok seperti Cotter sangat mungkin melahirkan cara pandang, metode kritik, atau teorisasi baru. Mata-telinganya senantiasa terasah dengan cara mengamati langsung karya dan kegiatan seni yang berserak. Justru inilah salah satu kelebihan seorang jurnalis ketimbang kritikus seni. Pada posisi seperti ini, Rukardi, wartawan harian Suara Merdeka dengan atensi khusus pada diskursus seni rupa, punya peran penting. Dengan independensinya, ia mengamati dan melaporkan praktik kesenirupaan suatu kota (Semarang) secara intens. Seperti Cotter, jurnalis Semarang tersebut melaksanakan fungsi sebagai kritikus seni pula.

Barometer

Masalahnya, seberapa penting kajian seni rupa bagi media massa itu sendiri maupun bagi masyarakat pembacanya. Untuk itu mesti dipahami bahwa unsur kreativitas adalah penopang utama di dunia penciptaan karya seni apa pun. Karenanya, dengan pelaporannya tentang kesenian secara mendalam, khususnya mengenai kesenirupaan, media massa turut menyumbang konstruk industri kreatif yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Tentang industri kreatif ini, para pekerja kreatif Indonesia dengan keragaman budayanya punya peluang besar sebagai pemasok gagasan atau kreasi yang bernilai jual tinggi. Pada sisi lain, media massa yang peduli pada diskursus atau praksis kesenian bakal menuai penghargaan sebagai media yang berbudaya, bukan sebagai mesin yang kemaruk pada laba saja.

Kenyataan di atas mewajibkan media massa yang berkelas untuk mendidik dan memberikan kesempatan lebih luas kepada jurnalisnya menggeluti diskursus kesenian secara serius. Barangkali reportasenya akan menjadi barometer praktik penulisan atau cermin bagi praksis kesenian tertentu. Pada akhirnya masyarakatlah yang mengenyam manfaat terbesarnya.

Satu hal yang penting, media massa—khususnya harian Suara Merdeka sebagai media besar dan tua di Jawa Tengah—mesti turut membantu kelahiran tradisi penulisan atau kritik seni yang “benar” dan bermartabat. Tujuannya agar medan sosial seni terhindar dari situasi tuna-acuan yang bakal menjerumuskan banyak pihak pada situasi khaostik dengan kemungkinan merugi finansial dalam skala besar. Tegasnya, harian tersebut diharapkan kian menyiapkan halamannya lebih luas untuk peliputan atau penulisan kesenian pada umumnya.

Publik seni kita berharap membaca dan belajar dari tulisan-tulisan seni rupa yang cerlang, akurat, dan dramatis seperti karya Cotter. Kapankah jurnalis sekelas peraih Hadiah Pulitzer itu lahir dari rahim harian Suara Merdeka? (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Minggu 17/05/2009. Esai tidak terterbitkan.]

Saturday, May 23, 2009

Menghargai Raden Saleh


Art works by I Made Aswino Aji showed at Rumah Seni Yaitu, May 6--30, 2009.

RADEN SALAEH Syarif Bustaman disebut-sebut sebagai Bapak Seni Lukis (Modern) Indonesia. Ia adalah sosok bumiputera pertama yang mengenyam gemerlap art scene Eropa abad 19. Ada pula yang menyebutnya sebagai “orang Jawa kosmopolit pertama, manusia modern Indonesia pertama” (Werner Kraus, 2004). Menariknya, “orang Jawa kosmopolit pertama” itu lahir di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah.

Sarip Saleh adalah anak dari pasangan Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Raden Ayu Sarif Husen bin Alwi bin Awal (versi lain: Mas Ajeng Zarip Husen). Ketika bocah ia tinggal bersama dengan pamannya, Raden Adipati Surohadimenggolo, bupati Semarang. Tahun kelahirannya tak jelas, diperkirakan antara 1812 atau 1814. Ia mendapat pelajaran menggambar pertama kali dari Theodorus Bik. Namun, bakat besarnya ditemukan oleh Antoine Paijen, pelukis Belgia, yang di kemudian hari menjadi teman yang kebapakan di Jawa dan Eropa.

Antara lain atas jasa Paijen, pemuda Sarip Saleh, ketika itu berumur sekitar 16 tahun, diberangkatkan ke Belanda untuk belajar seni lukis. Di Den Haag anak muda itu belajar dari pelukis potret penting Cornelis Kruseman dan pelukis lanskap Andreas Schelfhout. Pemuda itu lantas menunjukkan perkembangan pesat dan memiliki ketrampilan melukis yang luar biasa.

Barangkali dikarenakan perbedaan kultur dan pandangan hidup, Raden Saleh tak sepenuhnya diterima oleh keluarga-keluarga terkemuka di Den Haag. Ia pun hidup sebagai seorang bohemian dan berfoya-foya; bahkan ia pernah tidak mampu membayar tagihan tukang jahitnya.

Rencananya, Raden Saleh akan dikirim pulang ke tanah jajahan, dimasukkan ke birokrasi kolonial dan dipekerjakan sebagai pelukis peta di luar Jawa. Pemuda ini memang berminat besar pada ilmu pengetahuan. Suatu kali ia pernah mengajukan ke Pemerintah Belanda untuk “melanjutkan pelajarannya di bidang matematika, survei tanah, mekanika”.

Di kemudian hari Raden Saleh terbukti memperlihatkan ketekunannya pada kajian antropologi budaya Jawa. Kepeloporannya di bidang paleontropologi diakui oleh para pakar E Dubois dan GHR Keonigswald. Tak banyak orang memperhatikan riwayatnya di ranah keilmuan ini. (Baca tulisan Harsja W Bachtiar “Raden Saleh: Bangsawan, Pelukis dan Ilmuwan” dalam Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu: 2009)

Sebagai inlander Raden Saleh terlalu pintar dan jelas itu bakal membahayakan pemerintahan kolonial. “Anak ini bisa bikin kacau jika memegang jabatan dalam birokrasi kolonial,” kata JC Baud yang mengawasi Raden Saleh selama di Belanda. Namun, oleh karena kepiawaiannya dalam hal seni lukis, Raja William III mengangkat Raden Saleh sebagai “Pelukis Sang Raja” atau Peintre de Son Majeste le Roi de Pay Bas (Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda).

Pada akhirnya Belanda mendorong agar Raden Saleh melakukan lawatan artistik ke negara Eropa lainnya. Artinya, kepulangannya ke Hindia Belanda ditunda. Tiba di Jerman, tepatnya di Dresden, kehidupan dan kecakapan Raden Saleh berkembang maksimal. Di sinilah Raden Saleh bertemu dengan Johan Clausen Dahl dan Caspar David Friedrich, yang mempengaruhinya sepanjang hayatnya. Dari merekalah Raden Saleh belajar seni lukis aliran Romantik. Ia pun sangat terpengaruh oleh gaya Eugene Delacroix, sang tokoh utama Romantisisme.

Anak Zaman Kolonialisme
Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengizinkan pemuda Jawa ini belajar ke Belanda? Alasannya tak jelas. Menurut Kraus, kemungkinan perjalanan inlander ini ke Eropa adalah bukti prinsip Pencerahan atau, bagi sebagian masyarakat Belanda, pendidikan Raden Saleh di Belanda dianggap sebagai sebuah eksperimen filosofis.

Dalam analisis JJ Rizal (2009), fenomena Raden Saleh saat itu harus ditempatkan dalam konteks zaman dan lingkungan pergaulannya. Ia adalah produk dan cocok dengan pola pertengahan abad 19 itu yang oleh Edward Said dicirikan sebagai “wabah Orientalia yang mempengaruhi setiap penyair, eseis, dan filsuf besar pada masa itu”.

Kolonialisme yang berwajah oriental niscaya menggambarkan tanah jajahan sebagai wilayah yang indah, adem-ayem dan menghanyutkan perasaan. Realitas yang terbekukan ini melahirkan konsep yang disebut “Mooi Indie”. Rizal menyebutkan, cara pandang khas itu adalah politic of seeing pemerintah kolonial Belanda. Langgam lukisan Raden Saleh juga mencerminkan paham (kuasi) keindahan seperti itu.

Rezim Orde Baru pun, dalam gaya yang mirip, menerapkan praktik politic of seeing kolonial terhadap, ambil contoh, Bali. Lama sekali “Pulau Seribu Pura” itu diperlakukan sebagai surga dunia terakhir yang eksotis, damai-tenteram, dan nihil konflik. Tujuannya jelas: demi menangguk devisa dari industri pariwisata. Terang-terangan Orde Baru meneruskan konstruk estetik pelancong budaya Barat—Rudolf Bonnet dkk—yang diwujudkan dalam perkumpulan seniman Pita Maha. Tegasnya, Orde Baru atau Pita Maha memainkan politik pencitraan terhadap suatu entitas budaya sesuai yang dimauinya.

Memandang Raden Saleh, dalam perspektif Eropa pertengahan abad 19, adalah santir sempurna dari produk kolonialisme Belanda di tanah jajahan. Ia pintar, eksotis-modis, penuh misteri, dan selaras dengan konsep “Mooi Indie”. Jelaslah, Raden Saleh memang anak zaman kolonialisme—tepatnya adalah anak emas pemerintah kolonial Belanda. “...Loyalitas, kepatuhan, serta rasa terimakasih kepada rajaku, pemerintah dan bangsa Belanda,” katanya. Pada suatu ia menegaskan hal tersebut tatkala menolak tuduhan turut mendalangi suatu pemberontakan di Tambun, Bekasi.

Raden Saleh, Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda, wafat pada 23 April 1880 di Buitenzorg (Bogor). Meski antek kolonialis, ia pantas dikenang sebagai seorang bumiputera, seniman dengan bakat dan karya-karya luar biasa, yang telah turut mengharumkan nama bangsanya. Tentang relasinya dengan Semarang? Ia memang lahir di sini. Itu saja. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis 7/5/2009. Esai tidak terterbitkan.]

Dicari: Kritikus Seni Bermartabat



KRITIK seni rupa di Indonesia, pada kenyataannya, belum punya kosa dan gramatika kritik fundamental. Bandingkan dengan tradisi kritik di Barat yang punya sejarah panjang. Walhasil, suka atau tidak, dari terminologi hingga metodologi kritik di sini senantiasa meminjam cara pandang asing.

Meski demikian, kehadiran kritikus seni selayaknya dipandang sebagai rekan dialogis, seperti apapun kompetensinya. Martabat kritikus, pada akhirnya, ditentukan oleh bobot gagasan dan ketajaman analisisnya. Sama halnya para senirupawan—senantiasa akan dinilai berdasar aspek-aspek kekaryaan dan wacana di sebaliknya. Pantas pula kita mengenang kata (alm) Sanento Yuliman bahwa kritik seni, tak lain, juga suatu karya seni.

Sebagai rekan dialogis, keduanya niscaya sejajar. Sebab, keduanya mengemban tanggung jawab masing-masing di hadapan medan sosial seninya. Seni bukan cuma memproduksi sesuatu keindahan, demikian pula kritik bukan sekadar untaian kata berirama. Keduanya mesti bertumpu pada standar nilai, dalam suatu “kelaziman” konvensi kesenian, yang mesti benar-benar dihayati dan dipraktikkan sungguh-sungguh.

Tradisi kritik yang baik harus berani mengajukan penilaian, atau diskursus, yang dirasanya “benar” dan bertanggung jawab atasnya. Sebab, seperti dituturkan oleh kritikus Pauline J. Yao (2008), analisa kritis terhadap sesuatu karya seni bukan sekadar suatu analisa deskriptif, tetapi artikulasi dari kompleksitas kultural di sebalik karya seni itu dan kepekaan atas karya-karya seni, teori-teori, dan ide-ide lain yang mendahului atau mengikutinya.

Di China, seturut Yao, seni rupa kontemporer yang hidup dari kedigdayaan pasar telah melahirkan sejumlah penyimpangan. Tak jarang “kritikus” menerima gratifikasi—uang atau karya—sebagai imbalan dari tulisannya. Yang lebih parah, ada yang bertindak sebagai pialang atau agen bagi seniman tertentu.

Akan halnya majalah seni, yang umumnya dimiliki oleh pemodal besar sekaligus juga kolektor kelas kakap, tidak jarang menurunkan artikel dan iklan yang hanya mempromosikan pameran-pameran dan seniman-seniman yang diageninya. Sebagian penulis seni, oleh karena lemahnya tanggung jawab editorial dan kedekatannya dengan para kenalan atau sejawatnya, menggadaikan kredibilitasnya dengan menulis esai-esai yang menjilat.

Bukan tidak mungkin fenomena miring di atas juga berlangsung di Indonesia. Kasuk-kasuk menyebutkan, satu atau dua penulis seni, termasuk beberapa kurator dan pengajar seni rupa yang terhormat, telah lama merangkap jabatan sebagai agen para pemodal atau galeris. Disebutkan juga, penerbitan seni yang ada pun disinyalir cuma sebagai corong bagi konstruk kesenian dan kepentingan kalangan tertentu. Sengkarut kepentingan beginilah yang, barangkali, tak membuka peluang lahirnya tradisi kritik seni yang dialektis.

Kritik Seni ialah Kompas

Sesungguhnya, kita bisa bertanya: untuk apakah seni itu diproduksi? Jika seni ialah, katakanlah, semacam kesaksian seniman atas masyarakatnya, yang semasa, maka seni niscaya mempunyai konteks sosio-kultural tertentu.

Hemat saya, demikian pula halnya posisi sosio-kultural kritikus seni—menawarkan dan mengusung diskursus tertentu, dan barangkali mampu memberikan gambaran atau prediksi arah perkembangan seni di suatu area atau masa yang diamatinya.

Acapkali kritikus seni menganalisis karya seni dan korelasinya dengan kehidupan masyarakat tempat seni itu diproduksi. Singkatnya, ia memandang produk seni dan senimannya berkelindan dalam ruang yang beririsan—interkontekstualitas—dengan masyarakatnya. Seni tidak lahir di ruang vakum dan steril. Begitu juga posisi dan wacana kritik dari seseorang kritikus.

Makin dalam, makin luas amatan seseorang kritikus, maka makin berharga bagi publik yang mengapresiasinya. Signifikansi peran ini sering diabaikan oleh pemangku kepentingan lainnya. Kerap kehadiran kritikus seni dipandang secara taksa oleh seniman: kritikannya dibenci, pujiannya dinanti-nanti.

Dalam suatu riset untuk tesis pascasarjananya, Mamannoor (2002) mencatat kemenduaan sikap seniman atas kehadiran sesuatu kritik. Meski sebagian besar seniman peduli (54,74%) dan mengakui bahwa tulisan kritik bermanfaat bagi peningkatan prestasi (57,89%), hanya sedikit yang mangamini relevansi antara kualitas tulisan kritik dengan kondisi kekaryaan mereka (3,16%).

Sedangkan di kalangan masyarakat, tulisan atau informasi seni rupa di beberapa media dipandang cukup bermanfaat dalam membantu mereka mengapresiasi karya atau kegiatan seni rupa (63,44%). Meski begitu, sebagian besar (59,14%), saat mengunjungi suatu pameran, kurang mendapat penjelasan memadai dari penyelenggara pameran. Bahkan ada yang tidak mendapat penjelasan sama sekali (23,66%).

Hemat saya, temuan-temuan (alm) Mamannoor, secara eksplisit, mengungkap perlunya kritik atau tulisan seni rupa di media massa. Di lain pihak, penting pula meningkatkan kualitas kritik seni itu sendiri. Pada ujungnya, kritik atau esai seni itu akan bermanfaat bagi tumbuh dan berkembangnya diskursus seni yang sehat. Dari sana akan terbentuk art world yang dewasa dan menghargai fungsi serta peran masing-masing komponen pendukungnya.

Hadirnya kritik seni yang bermartabat, yang bestari, meski bukan obat mujarab, mampu mengerem laju euforia kapitalisasi karya-karya seni yang banal. Jika tidak diimbangi dengan kritik yang “baik”, banyak pihak akan terperosok dalam-dalam ke situasi tuna-acuan, merugi besar secara finansial, dan membodohi diri sendiri. Kondisi demikian niscaya merobohkan bangunan art world yang diangankan.

Justru pada situasi halai-balai pasar seni rupa, seperti barusan terjadi setahun belakangan ini, kritikus seni mesti unjuk diri: menjadi kompas yang bermartabat. Bukan kritikus majal dengan retorika semenjana dan yang gemar bersekutu dengan kepentingan sesaat.

Tubagus P. Svarajati

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Koran Tempo, Senin 09/03/2009. Esai tidak terterbitkan.]