Wednesday, October 14, 2009

Migrasi Ruang Seni Rupa Kota

Artwork: Murakami

GALERI adalah ruang untuk memajang karya seni rupa. Beberapa museum (khusus seni rupa) pun punya fungsi sama. Singkat kata, keduanya bagian dari infrastruktur seni rupa modern. Seiring dengan perkembangan diskursus dan praktik seni rupa kontemporer peran galeri atau museum mendapatkan tandingannya.

Sekarang wacana atau praktik seni visual tak harus berlangsung di galeri atau museum seni rupa. Kecenderungan ini bahkan telah lama dipraktikkan di negara-negara Barat. Di sana, sejak 1960-an, sebagian seniman memanfaatkan gudang atau bangunan bekas pabrik untuk menggelar ekshibisi. Indonesia belakangan meniru hal tersebut. Jogja National Museum menempati bangunan bekas Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di Gampingan, Yogyakarta.

Akhir-akhir ini di Semarang terlihat gelagat sebagian seniman (muda) atau kelompok senirupawan (baru) mengadakan pameran di sebarang tempat. Mereka unjuk kebolehan di lobi hotel, mal, kedai minum (cafĂ©), balai pertemuan, rumah kos, atau situs-situs informal lain. Sekali ada seniman yang menggunakan jalanan sebagai arena pamernya. Seniman grafiti atau mural (siapakah mereka dan berapa jumlahnya?) terang-terangan memanfaatkan areal kosong kota, terutama tembok-tembok bangunan yang “terbengkelai”, untuk berekspresi.

Gelagat lain, mulai tumbuh simbiose atau kolaborasi antarkesenian. Seni visual disandingkan dalam satu situs bersama dengan musik underground, misalnya. Praktik intertekstualitas tersebut, jika diseriusi, barangkali akan memberikan atmosfer segar pada praktik seni urban di Semarang pada masa depan.

Kecenderungan “baru” demikian dipicu oleh banyak hal. Alasan terutama, praktik itu dianggap sebagai sikap penolakan atas rezim, sistem atau infrastruktur yang ada. Selain itu, demi pendidikan kepada publik, diseminasi gagasan lebih luas, atau melebarkan cakupan pasar karya seninya adalah alasan berikutnya. Tentang berpameran di lobi hotel atau mal, contohnya, jelas-jelas didasari asumsi komersial.

Singkatnya, migrasi lokasi pameran tersebut didaulat sebagai perluasan kreatif para seniman. Sebaliknya, jarang ada seniman mau mengaku bahwa mereka tertolak di situs pamer “mapan” lantaran tersandung pertimbangan kualitatifnya. Ini memang argumentasi yang berisiko.

Ruang-Liyan Teatrikal
Berpindahnya ekspresi atau praktik seni ke ruang baru terbilang menarik. Bisa jadi dominasi atau otoritas ruang seni “konvensional” mulai berkurang. Agaknya seniman mencoba berkelit dari jerat ideologis ruang-ruang lama tersebut dan, sebaliknya, menciptakan ruang “teatrikal” bagi diri dan karyanya. Ruang dan keruangan menjadi panggung eksistensial sekaligus domain signifikasi “baru”.

Kalau diandaikan ruang konvensional bersifat maskulin, maka ruang-ruang di luarnya—sebutlah sebagai “ruang-liyan”—menunjukkan aura feminin. Amsal “feminitas” tersebut barangkali akan melahirkan sikap atau praktik seni yang lebih akrab terhadap publik umum.

Akan halnya tempat-tempat pamer kecil (adakah “ruang besar” itu?) di Semarang, niscaya perlu menegaskan sikap dan tata kelolanya. Tak mungkin lagi, dalam diskursus dan praktik seni visual kontemporer yang melesat-pesat, ruang pamer cuma dikelola seadanya. Paling banter, sebagai suatu remunerasi, kehadiran sebarang ruang itu cukup dianggap sebagai dinamika kehidupan seni visual kota.

Sementara itu, kita mafhum, spasialitas bukan hanya merujuk pada ruang fisik atau konkret, melainkan mengarah pula pada wacana keruangan yang abstrak. Ruang spasial bukan bangunan gedung belaka, tetapi termasuk ruang cyber yang hadir-serempak (omnipresent). Harus diakui, tak terdengar ada senirupawan Semarang bergelut di ranah seni-maya (cyber-art).

Migrasi Estetik dan Wacana
Tempat (place) dan ruang (space) berbeda konsepsinya. Yang pertama menyaran pada adanya perjumpaan langsung, sedangkan yang kedua mengarah pada relasi mereka yang tidak hadir (absent others). Singkatnya, tempat pameran (baru) layak dipandang sebagai ruang signifikasi resiprokal di antara seniman, karya, dan apresian.

Dinyatakan oleh Greenberg, Ferguson dan Nairne (1999), bahwa “Pameran ialah situs utama pertukaran dalam politik kesenian, tempat pemaknaan dikonstruksi, dilanggengkan atau terkadang didekonstruksi pula.” Pada ranah ini seniman mesti mampu mendekati, menata, dan mengkonstatasi “ruang-liyan” itu sebagai ruang bersalut kreativitas atau wacana yang selaras dengan praktik keseniannya. Yang kerap terjadi, praktik artikulasi seni di sana sekadar migrasi ruang tanpa arti. Tegasnya, tak terlihat tata laksana atau konstruk keruangan “baru”.

Mesti diingat, pameran seni (visual) bukan sekadar etalase, tetapi pertemuan tanda-tanda simbolik dengan semua kompleksitas signifikasinya. Jadi, ruang pamer adalah tempat praktik produksi-konsumsi dan pertukaran aktif pemaknaan. Proses dialektik lebih penting ketimbang menggapai finalitas konklusi.

Seharusnya migrasi ruang pamer seni visual di Semarang serempak menyuguhkan arus besar praktik seni berikut latar produksinya. Bermigrasi bukan karena inferioritas, namun sebagai pertaruhan gagasan, estetik, dan wacana. Bisakah?

TUBAGUS P SVARAJATI,
Penulis seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Senin, 12 Oktober 2009.]

Thursday, October 1, 2009

Membidik Pasfoto Teroris

"Wild Boar as Terrorist"

MEMBIDIK PASFOTO TERORIS
MELALUI pasfoto orang memperkenalkan sekaligus membedakan dirinya dengan yang lain. Ia adalah citra diri, representasi, atau pembeda identitas. Artinya, pasfoto adalah tanda pengenal diri yang “sahih”. Meski begitu, pasfoto tak seluruhnya milik privat, personal. Di dalamnya beroperasi kekuasaan negara, antara lain, dalam hal dokumentasi dan administrasi kependudukan. Di ranah ini negara melakukan pengawasan dan kodefikasi terhadap rakyatnya.

Pada zaman sekarang sulit membayangkan negara bisa mengidentifikasi rakyatnya tanpa bantuan foto diri itu. Lebih jauh, pasfoto bukan situs identitas netral. Ia punya relevansi sosial, politik dan kultural. Negara mewajibkan rakyatnya untuk berpose dengan aturan tertentu. Sosok dalam pasfoto senantiasa frontal, memperlihatkan secara jelas ciri-ciri wajahnya. Di negara dan budaya tertentu, memakai kerudung (baca: burqa) dalam pasfoto terlarang.

Hak atas identitas rakyatnya, seakan-akan in natura, menyebabkan negara dengan gampang menyebarkannya ke ranah publik untuk tujuan tertentu. Atas nama kepentingan negara dan masyarakat, misalnya, negara mempublikasikan sejumlah pasfoto dari sosok-sosok tertentu dan meneranya sebagai teroris. Media lekas menyebarkannya sehingga serempak menjadi wacana publik. Apa tujuan Kepolisian RI mengedarkan identitas (melalui pasfoto) mereka yang dituduh sebagai teroris?

Semiosis Pasfoto
Dalam ranah semiotika, terutama tentang ikonisitas triadik Peircean, pasfoto adalah representamen. Ia adalah representasi citraan dari objek kognitif tertentu, yakni seseorang. Keduanya dihubungkan oleh prinsip similaritas atau keserupaan yang konvensional. Kaitan representamen dan objek senantiasa melibatkan suatu proses penafsiran yang, oleh Charles Sanders Peirce (1839—1914), disebut interpretan. Jadi, interpretan adalah tafsir (atau “makna”) atas hubungan tanda dan objeknya.

Oleh Umberto Eco (via Kris Budiman, 2005), relasi keduanya—representamen dan objek—dikenali dan bersifat kultural. Artinya, seseorang dapat mengenali dua hal sebagai mirip satu sama lain karena ia memilih unsur-unsur tertentu yang relevan dan mengabaikan unsur-unsur yang lain. Karena pasfoto sebagai tanda adalah satuan budaya, maka tafsir atasnya berlaku dalam kultur yang sama dengan para pemakai tanda itu.

Bagaimana seseorang (objek) yang terwakili oleh pasfoto (representamen) bisa ditafsirkan sebagai teroris (interpretan)?

Sosok-sosok dalam pasfoto yang dipublikasikan oleh Kepolisian RI sebenarnya tak berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Tak ada ciri-ciri khusus—fisikalitas maupun atribut—yang menjelaskan sosok teroris itu seperti apa. Artinya, otoritas negara—melalui Kepolisian RI—yang memaknai mereka sebagai teroris. Seperti tak ada pilihan lain, agaknya masyarakat Indonesia meyakini tafsir tunggal itu. Hal ini mudah terjadi di suatu negara dengan kultur paternalistik yang kuat.

Tujuan penyebaran pasfoto teroris bukan sebatas pengenalan saja. Masyarakat diharapkan sadar bahwa tabiat para pelaku teror itu—termasuk terorisme—adalah telengas, tak beradab, dan terkutuk. Pada gilirannya, keyakinan bersama itu akan mengkristal menjadi suatu kesadaran kolektif bahwa: pelaku teror dan terorisme dalam segala bentuknya harus diganyang. Skenario seperti inilah yang dibayangkan oleh negara. Di dalam masyarakat gradasi ontologis ini berjalan “alamiah”. Roland Barthes mengembangkan teori signifikasi yang selaras dengan fenomena ini.

Menurut Barthes, dalam suatu kebudayaan apa-apa yang dianggap suatu kewajaran oleh masyarakatnya adalah sebagai hasil dari suatu proses konotasi (atau penafsiran). Bila konotasi menjadi tetap, ia menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia menjadi ideologi (via Benny H Hoed, 2008). Masih seturut Barthes, dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat.

Mengikuti jalan pikiran Barthes, terorisme adalah ekspresi “penyalahgunaan ideologi” itu. Terorisme adalah ideologi yang destruktif, yang membinasakan kehidupan, apa pun kebenaran moral yang melatarinya. Menyadari hal itu, sembari mendapatkan dukungan dari otoritas negara, rakyat pun serempak melakukan aksi “pembalasan”. Di suatu daerah, salah satu pasfoto yang telah lama terpublikasikan secara luas dijadikan sasaran menombak dalam seni tradisi. Di daerah lain, dalam perayaan tujuhbelasan, ada masyarakat yang tampil berkostum Densus 88—lengkap dengan tutup muka dan senjata serbunya.

Wacana Musuh Kolektif
Setakat ini di Indonesia sosok yang paling populer sekaligus enigmatik, ditakuti seraya dipuja, dan diharapkan diketemukan segera adalah Noordin M Top. Turut dicari-cari bersamanya adalah mereka yang dituduh terlibat dalam jaringannya. Bagi sebagian besar masyarakat sosok-sosok mereka hanya dikenal melalui pasfotonya. Dengan begitu pasfoto mendapatkan peran penting dalam wacana terorisme di Indonesia.

Signifikasi pasfoto para teroris itu seakan-akan membantah asersi Walter Benjamin bahwa foto sebagai citraan (seni) reproduktif adalah produk mekanis yang tidak punya aura. Kenyataannya, di zaman ketika gambar atau imaji berseliweran tak henti, ternyata toh ada juga citraan yang mencuri perhatian kita.

Imagologi pasfoto teroris berujung pada kehendak (bermuasal dari lembaga otoritatif) menjustifikasi orang-orang tertentu adalah musuh kolektif masyarakat. Imperatifnya: teroris(me) mesti dibasmi. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas untuk rubrik Teroka, Senin 31/08/2009.]