Thursday, May 29, 2008

Mencatat sebagian ‘9808’

Experimental Music Performance by Local Youth.
(Photo: Ferintus Karbon)

[CATATAN: Sepuluh film pendek dalam kompilasi ‘9808’ dibuat khusus sebagai upaya mengingat—untuk tidak melupakan—Peristiwa Mei 1998. Proyek produksi film-film itu dipayungi dengan nama Proyek Payung. Kompilasi ‘9808’ ditayangkan di beberapa kota; Rumah Seni Yaitu menayangkannya pada 25-27 Mei 2008. Terima kasih untuk Prima Rusdi.]

Kompilasi sepuluh film pendek “9808” ini menunjukkan kisahan yang variatif. Di antaranya saya terkesan oleh film “A Letter of an Unprotected Memories” [Lucky Kuswandi, 2008, 09:37] dan “Meet Jen” [Hafiz, 2008, 16:39].

Film “A Letter of an Unprotected Memories” menunjukkan suatu cara bertutur yang menarik. Bahwa film sebagai ‘gambar bergerak’ diwujudkan tidak dengan aliran sekuens gambar (pictures) akan tetapi menyuguhkan gambaran (images), yakni teks atau tulisan. Kiranya teks pinyin (termasuk pula terjemahan Indonesia dan Inggris-nya) itu patut dianggap sebagai representasi gambar-gambar. Pada pengertian ini sekuens atau urutan gambar terbentuk dari beralihnya satu teks ke teks yang lain.

Film “A Letter…” ini dengan kuat memaksa pemirsa untuk menggambarkan sendiri apa-apa yang berasal dari dan terkandung di dalam teks yang ditampilkan. Penonton dipaksa takzim membaca setiap teks yang muncul yang terkadang tidak berupa kalimat utuh, namun hanya sepenggal frasa. Tak ada musik atau citraan auditif muncul mengiringi kehadiran setiap teks. Sunyi. Teks berwarna merah (pinyin) itu dituliskan dengan latar warna hitam; hadir di tengah kegelapan. Alhasil, sutradara Lucky Kuswandi mendobrak kelaziman cara bertutur filmis di tengah-tengah kemajuan teknologi perfilman global. Dia menyajikan teknik produksi film yang sederhana. Sutradara tidak memanjakan penonton dengan rentetan gambar-gambar indah. Bayangkan efek mencekam yang muncul dari film yang minim suara atau audio ini.

Di sela-sela kehadiran teks itu sutradara sesekali menyisipkan sekuens gambar hidup. Gambar-gambar itu sebagian bersuara dan sebagian yang lain bisu. Salah satu gambar hidup itu menampakkan satu barongsai beraksi di tengah kerumunan massa. Geraknya diperlambat, tidak ada gemuruh pukulan tambur, tidak ada riuh kelimun. Ini satu sekuen yang sangat dahsyat. Apakah kaum Cina—direpresentasikan oleh kesenian barongsai—hadir sebagai kekuatan gigantik, namun seolah-olah di antara ada atau tiada, dalam kebisuan?

Awalnya film dibuka oleh kesan adanya suara orang menganggat gagang telepon. Kemudian meluncurlah dialog—atau lebih tepat monolog—yang diwujudkan dalam deretan teks pinyin itu. Apakah percakapan dalam diam itu bisa diartikan sebagai suatu eksistensialitas yang terbungkam? Apakah monolog itu menunjukkan keterbelahan jiwa si pencerita notabene kaum Cina?

Bagaimana menerangkan kehadiran waktu dalam setiap teks itu? Pada saat teks muncul—dan itu selalu dalam kebisuan yang melesak—adakah kiranya aliran waktu di sana? Pertanyaan-pertanyaan ini mengasumsikan bahwa hadirnya—atau katakanlah kesan tentang—waktu sangat penting, bahkan termasuk sorotan utama, dalam suatu film. Waktu di film berjalan dari satu titik ke titik berikutnya, meski tidak selalu linear. Ini berbeda dengan selembar foto di mana momen dibekukan dan waktu dihentikan.

Hemat saya, berpindahnya satu teks ke teks berikutnya mengindikasikan adanya aliran waktu. Jeda yang dirasakan penonton menegaskan hadirnya unsur kemewaktuan itu. Hal yang sama pun muncul dari tiap teks pada layar. Meski teks itu diam, aliran waktu muncul ketika penonton mengejanya. Jadi, unsur kemewaktuan hadir asosiatif di benak penonton. Cara baca seperti ini biasa diterapkan pula saat kita memandang selembar foto.

Penggunaan citraan (image) teks yang diperlakukan sebagai gambar (picture) atau still photo menunjukkan capaian Lucky yang melampaui cara kerja Anggun Priambodo (“Where was I”, Anggun Priambodo, 2008, 10:39). Pada filmnya Anggun memaparkan still photo dengan narasi di sebaliknya. Dengan begitu foto-foto itu hanya dijadikan alat bercerita, narasi sebagai panglima. Foto-foto pada karya Anggun tak mampu berdiam di wilayah ‘gambar bergerak’. Pada teks Lucky, hemat saya, terdapat sekaligus asosiasi dan narasi.

Beberapa gambar hidup di film “A Letter…” menunjukkan semiotika visual yang sangat kuat. Ada ditampakkan di sana gambaran buah-buah impor yang, konon, disebutkan berasal dari negara imperialis itu. Sang narator bercerita bahwa dia (atau kami: Cina; asosiasi di film) tidak menyukai buah-buahan lokal. Lantas muncullah teks Kami ga pernah percaya pada yang “lokal”. Sesaat kemudian tampil gambar seseorang—penjaga toko, pribumi—memegang sekotak buah stroberi impor. Gambar-gambar lain menunjukkan sekuens perempuan Cina—terkesan sebagai kelas menengah—diperbandingkan dengan seorang penjaga toko. Satu gambar menunjukkan: perempuan bercelana jins itu ditampakkan punggungnya dari sebatas pinggang hingga lutut dan di sudut kanan bawah penjaga toko itu sedang berjongkok, tersudut. Bukankah jelas dan benderang ke arah mana Lucky bertutur?

Saya berkesan, film “A Letter…” ini sangat kuat visual dan pesan yang hendak dikomunikasikannya meski bercerita dengan cara tak lazim. Ia mempertontonkan sistem oposisi biner yang lugas. Secara samar-samar, jika saya tidak salah tangkap, film ini cenderung merajuk. Apakah sang sutradara sedang menghasut kita? Entahlah.
***
Saya tidak menuliskan panjang mengenai karya Hafiz, “Meet Jen”. Yang patut saya katakan, dalam memproduksi film itu Hafiz sungguh menampakkan kelasnya sebagai sutradara, videografer, dan sekaligus penulis skenario.

Hafiz mengarahkan—tepatnya menyutradari—tokoh filmnya dengan cara melemparkan pertanyaan-pertanyaan langsung. Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, direspons, dan sebagian dipertanyakan ulang oleh sang tokoh. Skenario film itu berasal dari sejumlah gambar yang telah dipersiapkannya. Alhasil, ini sebuah produksi film langsung di tempat. Film konseptual. Menarik.

Meski sebagian besar film itu berkisah atau menyoal perkara seputar Reformasi Mei 1998, namun saya berkesan bahwa sejatinya ini sebuah film mengenai eksistensialisme. Bagaimana seorang anak manusia—dalam kedigdayaan cara pandang cartesian—yang mengandalkan rasio, meyakini sekularisme (ingat pengalamannya yang tidak berkesan sama sekali saat azan bergema?) yang ternyata tak lebih dari satu sosok yang teralienasi. Manusia itu kesepian di antara kegalauan lalu lintas di jalan layang. Manusia itu terpenjara dan kesepian di dalam pikirannya sendiri. Di ketinggian dia mengecil, di dalam dirinya dia terus mencari.

Apakah mengalami harus mengalami secara wadag? Apakah realitas empirik tak lebih dari suatu lakon teater? Apakah realitas empirik itu riil adanya? Apakah realitas empirik adalah cuma representasi kebahasaan? Apakah realitas di televisi itu simulakra?

Tubagus P. Svarajati,
Menonton ‘9808’ di Rumah Seni Yaitu, Semarang