Sunday, January 29, 2012

FOTOGRAFI: PERCOBAAN FILOSOFIS

[Photo: Lee Jeffries /
http://lightbox.time.com/2012/01/26/portraits-of-the-homeless-by-lee-jeffries/#1]


Betapapun canggihnya, kamera tetap sebagai peranti (biasa) belaka jika penggunanya tak piawai. Pendapat lain menyebutkan, tak perlu kamera atau pengguna canggih, yang terpenting pada hasil jepretannya. Foto baik tetaplah baik, tak soal entah berasal dari kamera sederhana atau kampiun fotografer.

Benar, foto baik tak harus berasal dari kamera super. Banyak peristiwa penting diabadikan dengan kamera sederhana dan oleh orang awam pula. Virginia Schau memenangi Hadiah Pulitzer 1954 berbekal Kodak Brownie, kamera saku pertama di dunia. Foto jawara itu dihasilkan Schau yang baru sekali itu memotret. Belasan tahun lalu seorang tukang foto keliling berhasil mengabadikan terbakarnya jembatan Tempel (Yogyakarta). Foto keduanya contoh sahih tentang asersi foto baik itu seperti apa.

Belakangan kamera dan lensanya berkembang kian canggih. Citraan (image) yang dihasilkan pun makin sempurna. Namun, secara teknis, tentu tak bisa disamakan hasil jepretan kamera prosumer (kamera saku), misalnya, dengan kamera lensa refleks tunggal (SLR, single lens reflex).

Singkatnya, makin canggih suatu kamera dan aksesorisnya, kian baik pula citraan yang dihasilkannya. Kamera “pintar” memudahkan kerja fotografer. Maka, kamera sebagai alat sangat menentukan hasil dan cara seseorang memotret. Dalam analisis perilaku, menggunakan kamera prosumer atau SLR, juga terbedakan.

Wacana Fotografi
Seseorang yang memotret melalui lubang bidik (viewfinder) serasa “menggenggam” dunia atau hamparan realitas di hadapannya. Dunia itu leluasa dikonstruksinya. Dengan mengatur posisi obyek atau memilih dan memilah tanda-tanda, pemotret mempraktikkan pengetahuan (atau kekuasaan, seturut Foucault) yang dimilikinya. Pemotret bebas menidakkan (negasi) atau menyetujui realitas yang terekam. Jadi, pemotret berjarak dengan realitas atau obyek-terpotret.

Menurut Foucault, pengetahuan tidak lagi membebaskan dan menjadi mode pengawasan, peraturan, dan disiplin (Madan Sarup, 2007). Tindakan memotret adalah praktik pengawasan atau obyektivikasi atas subyek (orang lain, the other) atau realitas terbidik. Bahwa laku seseorang yang sedang memotret itu tak terwakilkan (individualistik), terikat secara spasio-temporal, sarat subyektivitas, justru menguatkan asumsi memotret ialah tindakan deterministik. Di sini beroperasi wacana kekuasaan. ”Melihat” dalam fotografi adalah praksis kuasa subyek-pemotret terhadap apa yang dipotretnya.

Memotret adalah perluasan eksistensial pemotret meski kehadirannya implisit (samar-samar) dalam foto. Dengan memotret ada bukti kehadiran dalam ranah spasio-temporal. Sering jejak-jejak eksistensial ini lebih berharga, awet, dan perseptual ketimbang eksistensi subyek-pemotretnya sendiri. Jadi, selembar foto ialah fenomen kehadiran eksistensialistik: Saya ada dan mengada bersama di dalam foto.

Pada bagian lain Sarup (ibid) menjelaskan, kekuasaan disipliner ialah sistem pengawasan yang dibatinkan sehingga, secara otomatis, tiap orang menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Model ini memiliki kesamaan dengan konsep superego Freud sebagai pengawas internal keinginan tak sadar. Foucault mengacu pada penjara model panoptikon.

Akan tetapi, pada hemat saya, Foucault alpa satu hal. Orang atau individu bebas—bukan mereka yang terpenjara atau narapidana—tak serta-merta takluk pada ”tatapan” yang menghukum atau mendisiplinkan itu. Contohnya, fotomodel yang berpose di depan fotografer (dan kameranya) bisa dianggap sebagai individu bebas. Fotomodel berkuasa atas tubuh-eksistensialnya sendiri guna berpose seturut kata hatinya.

Individu bebas diandaikan sebagai subyek yang sadar, rasional dan otonom. Ia senantiasa mempertahankan kebebasannya dengan cara menidakkan sosok lain. Tindakan demikian membuatnya tetap punya kuasa. Dari itu, seorang fotomodel punya peluang terbuka untuk, sebaliknya, mengobyektivikasi subyek-pemotret. Alhasil, subyek-pemotret berubah menjadi obyek-yang-ditatap oleh sang model.

Fenomena fotomodel itu bisa dijelaskan melalui filsafat eksistensialisme Sartre. Baginya, kehadiran Orang Lain (Autrui)—terwakilkan melalui sorot mata, le regard—adalah suatu ancaman eksistensialistik. Sartre tersohor dengan aforisme “Neraka adalah orang lain”.

Kritik Fotografi
Fotografi memproduksi kuasa pengetahuan terhadap obyek-terekam. Artinya, subyek-pemotret mempersepsikan dunia atau realitas semena-mena, sesuai kehendaknya, sehingga tindakan memotret tak lain suatu wacana atau narasi historis personal. Kemudian, selaras dengan tafsir yang berkembang, makna foto senantiasa mengalir terus dan tak akan pernah bermuara pada titik muasalnya.

Masalahnya, bisakah fotografi melakukan kritik terhadap ideologi dominan masyarakat. Juga, mungkinkah suatu penelusuran eksistensial subyektif melalui atau di dalam diskursus fotografi. Harapannya, agar subyek hadir dengan seluruh keunikan personalitasnya—yakni subyek yang sadar, rasional dan otonom.

Alih-alih, barangkali sudah takdirnya, kamera menjerat subyek-pemotret dalam seluruh kecanggihan teknologinya. Apa pun intensi, gagasan, olah visual, sampai dengan metode eksekusi sebuah foto, tetap saja pemotret terperangkap dalam konstruk materialitas kamera. Manusia tunduk pada kamera sebagai alat, lengkap dengan prosedur kerja atau teknologinya.

Inilah paradoks mentalitas fotografi: bersamanya subyek mengada sekaligus terperangkap di dalamnya. Dus, wacana fotografi ternyata mengusung rasionalitasnya yang spesifik. Akankah sia-sia upaya manusia mencari Ada-nya melalui fotografi?

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka—Sang Pamomong, Jumat: 6 Januari 2012.]

Sunday, January 15, 2012

MENGAWAL MURAL

[Works of Banksy]

Apakah kota perlu dikonstruksi menjadi suatu wilayah hunian-bisnis ideal sesuai harapan pemangku kepentingan? Ataukah kota dibiarkan tumbuh alami, tanpa rancang-bangun absolut? Begitu pula, apakah kehidupan seni kota memerlukan campur tangan eksternal agar bertumbuh-kembang? Ataukah rezim seni kota dilepas-bebas saja untuk menentukan nasibnya sendiri?

Kota tak boleh dibiarkan tumbuh mengonak-duri. Kota mesti dipersiapkan matang-matang: infra dan suprastrukturnya. Di dalamnya, seni mesti dipandu dan didukung daya hidupnya. Seni yang dipandu bukan berarti ditekuk gagasan atau ekspresivitasnya, melainkan dilapangkan kreativitasnya. Lebih dari itu, nyaris di seantero negara maju dan bertamadun, adab seni selalu disokong oleh negara dan kalangan filantropi. Disubsidi pula secara finansial.

Ada cabang seni yang, secara finansial, tak mampu menghidupi dirinya sendiri. Ada juga ragam seni yang cuma hidup dan dihidupi oleh dan di dalam komunitas terbatas. Langgam seni atau komunitas yang bekerja untuk edukasi publik, misalnya, hidup terseok-seok. Karenanya, berbagai bentuk sokongan—dari spirit hingga keuangan—perlu digelontorkan demi kelangsungan eksistensi seni, apa pun jenisnya.

Masalahnya, orang sering bertanya, untuk apa kehadiran seni, meski tanpa seni kehidupan pun berlangsung baik-baik saja. Inilah paradoksnya, seniman dan keseniannya adalah sejenis status, yakni status simbolik yang mendapatkan remunerasi tinggi dalam masyarakat sipil yang berbudaya.

Lalu, apakah mural atau grafiti, corat-coret yang dianggap mengotori wajah kota, terhitung ekspresi kebudayaan? Ya. Masyarakat beradab, yang menghargai pluralitas dan multikultur, niscaya membolehkan ekspresi seni urban itu punya hak hidup pula. Seni jalanan (street art) adalah subkultur di tengah kultur dominan yang acap tak ramah atau, bahkan, menindas.

Rezim seni kota jangan dibiarkan meniti eksistensinya sendiri dan, seperti yang kerap terjadi, lekas pula terkubur kiprahnya. Maka, tiap keping gagasan yang hendak menggairahkan seni kota patut diapresiasi. Gagasan Prof Eko Budihardjo, tentang muralisasi dinding pagar bangunan umum di Semarang (”Karya Seni Kota Semarang”, Suara Merdeka, Sabtu, 31/12/2011), perlu ditimbang bukan hanya dari pelaksanaannya, melainkan harus dicermati juga ideologi seni mural dan aspek estetiknya.

Eko Budihardjo berangan-angan, pada 2012 ada gerakan massal melukis seluruh dinding pagar bangunan umum di kota Semarang. Ia mencontohkan Stadion Jatidiri. Jika seluruh dinding yang mengelilingi lapangan sepak bola dilukis, barangkali bisa meraih penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).

Pada hemat saya, konsep massalisasi mural dan hasrat pencetakan rekor Muri adalah ide instan yang, sangat mungkin, tidak menghasilkan karya maksimal. Cara ini juga bukan metode baik untuk menumbuhkan ruang kreatif bagi jenis seni rupa jalanan mural-grafiti. Penghargaan mesti diupayakan dari hasil kerja yang terukur, bukan dari sejenis proyek muralisasi tembok semacam itu.

Kanalisasi Mural-Grafiti
Yang harus dilakukan, buka seluas-luasnya ruang kreatif untuk mural-grafiti atau genre seni rupa lainnya. Setakat ini pemerintah kota Semarang terasa abai pada perkembangan dan potensi seni rupa yang dimiliki kota ini.

Khusus tentang seni rupa jalanan, harus dicatat, meski praktik mural-grafiti acap dianggap mengotori wajah kota, sejatinya genre seni ini punya nilai, filosofi dan parameter estetik khusus. Para penggiatnya mesti diberi kanal agar gejolak jiwa urban mereka terwadahi secara benar.

Belum terlambat bila pemerintah kota memperhatikan kehidupan seni rupa kota. Sebenarnya produk estetik seni rupa mampu memperindah wajah kota. Hunian pun menjadi lebih humanis. Karya patung atau instalasi, misalnya, bisa melengkapi taman-taman kota atau area publik lain. Mural atau grafiti—demi tujuan praktis—niscaya bisa memperindah tembok bangunan atau gedung yang telantar.

Namun, mesti dicermati, ruang ekspresi mural-grafiti patut dikawal agar raut kota tak semena-mena dijejali banalitas sampah visual. Semarang pantas belajar dari pengalaman Yogyakarta: pelajari kreativitas seni mural-grafiti itu, termasuk ekses-eksesnya.

Masalahnya, bagaimana pemerintah dan senirupawan bersinergi mewujudkan kota yang indah lagi beradab. Pemerintah mesti cerdas bertindak. Kebijakan yang ditempuh tak boleh instan atau berupa proyek sesaat. Program terstruktur, berjangka panjang, sangat berarti menumbuhkan ruang kreatif seni rupa kota. Usul saya, adakan seminar dan temu senirupawan kota demi mewujudkan kota sebagai hunian yang estetis dan humanis.

Pada akhirnya seniman dan kehidupan seninya bakal menemu ruang hidup yang ideal. Publik pun akan bergelimang dengan karya dan kegiatan seni kota yang memperkaya batin. Dari sini, bila gagasan semisal muralisasi tadi dilaksanakan, ia punya legitimasi ideologis dan estetiknya.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Dikirimkan ke kapling Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 4 Januari 2012.]