Tuesday, November 27, 2007

Meretas Ruang Kosong

One of some artworks of "Hip-hip Hore!" art project
at Rumah Seni Yaitu, August 16, 2006

TANPA ‘ba-bi-bu’ dan zonder ‘koar-koar’ pula, enam anak muda memotret dan membuat video tentang kota Semarang. Karya-karyanya dipamerkan di ruang tengah kantor Yayasan Widya Mitra, Jalan Singosari II No. 12, Semarang. Pameran berlangsung pada 8—24 November 2007.

Modus ‘diam-diam’ itu terasa tak lazim di era komunikasi yang tak lagi bersekat sekarang ini. Kendati demikian, biarlah perkara itu menjadi PR bagi mereka. Yang terpenting ialah: apa saja yang menarik dari praktik kekaryaan para mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) Kronik Filmedia (KF) itu. Mereka: Damar Ardi Atmaja, Yuliansyah Ariawan, Ghita Kriska, Thommas Kurniawan, Lina Nurdiana, dan Bakti Buwono.

Mereka mengangkat tema dan sekaligus judul pameran: “The City”. Ini pokok yang menarik kendati merambah banyak topik. Kota, kita tahu, tak cuma sebagai tempat domisili, namun pula ruang berekspresi. Kota sekaligus adalah arena kontestasi beragam kepentingan yang melibatkan banyak stakeholders. Dengan begitu, tak ayal, ada yang terkalahkan. Ada pecundang di sana. Akan tetapi, ada pula yang dikonstruksi menjadi penanda kekuasaan.

Seperti itu pula kiranya yang disoroti oleh mereka berenam. Pameran Foto & Video “The City” menunjukkan banyak penanda-penjelas tentang fenomena ruang, tata kota, dan penduduknya yang bersambur-limbur dengan berbagai kepentingan hajat hidup mereka.

Terlepas dari karya-karya mereka yang, sejujurnya, terasa sederhana artistikanya, ajang kali ini menampilkan keberanian unjuk diri yang patut dihargai. Para mahasiswa itu berani tampil ke publik umum, bukan cuma di halaman kampus mereka saja. Mereka seperti hendak memecahkan kebekuan kreasi di kalangan mereka sendiri.

Jelas, selama sembilan tahun KF berdiri terhitung hanya beberapa biji karya mandiri dihasilkan. Selebihnya gerombolan mahasiswa (para intelektual muda calon penerus bangsa besar yang sedang morat-marit!) itu hanya puas sebagai pelaksana tugas dari sejumlah besar aktivitas dari luar. Popularitas KF hanya menunjukkan tanda nama yang kebesaran.

Kegiatan pameran ini juga menunjukkan rapor baik bagi YWM. Lembaga bernama lengkap Yayasan Persahabatan Indonesia-Belanda/Eropa “Widya Mitra” ini tak sekadar menjadi institusi steril. Tak banyak aktivitas dihasilkan dari lembaga dengan pendanaan dari Kerajaan Belanda itu. Tiga tahun terakhir – menempati ruang di Jalan Singosari II – praktis tidak banyak kegiatan penting meluncur dari sana.

Selama ini YWM – setali tiga uang dengan KF – jelas sekadar pelaksana tugas dari induk pendonornya. Tidak banyak aktivitas independen dan bernilai dalam konteks politik kebudayaan kita yang dihasilkan oleh para pengurusnya. Hemat saya, dengan improvisasi yang elegan, YWM mampu memberikan kontribusi kultural terhadap pengembangan seni-budaya kota pesisir ini. Hindarkan YWM sebagai arena klangenan kelas menengah tertentu saja.

Saya kira kegiatan pameran di atas sangat positif sebagai penanda awal dan inisiasi kelahiran ruang – ruang budaya dan ruang kreatif – dengan sumbangan pemikiran dan kreasi yang jelas. Tentu saja jika kita anggap YWM adalah ruang budaya dan KF sebagai ruang kreatif. (Tubagus P. Svarajati)

Monday, November 19, 2007

Memotret Ego

"and this one is for you" by Roy Voragen


“If your pictures aren’t good enough, you aren’t close enough.”
(Robert Capa)

MEMOTRET tidak cuma mengandalkan kamera, penglihatan tajam, gerak aksidental, atau nasib baik. Praktik memotret membutuhkan sederet pengetahuan, juga pengalaman. Termasuk pula menyertakan intensi sang fotografer: untuk apakah ia memotret.

Begitulah, memotret adalah langkah penuh perhitungan. Fotografer membidik, memilah, mengomposisi, sampai pada tindakan ‘memanipulasi’ peristiwa atau subjek-foto. Kecermatan diperlukan untuk satu tujuan: menampilkan foto yang menarik sekaligus inheren maknawi. Dengan begitu, jelaslah, praktik memotret selain berelasi dengan teknik fotografi sekaligus pula tentang cara mengonstruksi nilai-nilai wigati.

Fotografi menegaskan bahwa citraan yang diproduksinya adalah sebentuk bahasa atau teks. Pernyataan ini mengartikan bahwa fotografi termasuk media komunikasi. Fotografer dan pemandang (atau penikmat foto) berkomunikasi sesamanya melalui bahasa visual. Dari sana akan lahir pemahaman, meskipun tidak selalu berakhir dengan kesepakatan, tentang pokok soal yang dibincangkan.

Sebagaimana bahasa, fotografi adalah alat tutur dengan seperangkat gramatika, penanda (signifier), dan petanda (signified) dalam kesepakatan subjektif, ruang dan waktu tertentu. Masyarakat memaknai foto paralel dengan pengalaman kognitif, episteme, dan historisitasnya. Kondisi ini – pluralitas signifikasi – tak jarang memunculkan perdebatan sengit menyoal parameter dan paradigma pemahaman. Akan tetapi, dalam beberapa hal, justru ekstrapolasi diskursif itu semakin memperkaya resepsi kita tentang apa itu fotografi.

Arkian, keragaman pemahaman tentang fotografi di atas juga melingkupi karya Roy Voragen (33), lahir di Heerlen, Belanda. Orang bisa jadi bertanya-tanya, adakah foto-fotonya menawarkan pokok soal fundamental, visualitas yang ‘menggetarkan’, pesan tersurat (moral atau etik, misalnya), estetika fotografis, sampai dengan relasi atau interaksi fotografer dan subjek-fotonya.

Roy Voragen, pengajar filsafat di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, mengikuti program residensi seniman di Rumah Seni Yaitu (25/6—29/7). Program itu difasilitasi sepenuhnya oleh Yayasan Widya Mitra Semarang. Fotografer ini memotret kota Semarang dan problematikanya, singkatnya tentang pokok soal urbanitas.

Sebanyak tiga puluh karyanya dipamerkan di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Semarang. Pameran “an ongoing URBAN poem” berlangsung pada 9—24 November 2007.

Komunikasi Fotografis
Dengan menyusuri jejalanan Semarang, meskipun tidak di seluruh pelosoknya, Roy Voragen mengamati sekaligus mengabadikan aktivitas kota dan masyarakatnya. Praktik semacam ini lazim pula dilakukan oleh para jurnalis foto. Karya-karya semacam itu disebut ‘fotografi jalanan’ (street photography). Tentang hal ini tentu kita ingat satu nama yang tersohor, yaitu Henri Cartier-Bresson. Wartawan foto ini masyhur karena kesempurnaan dan keakurasian setiap momen yang dibidiknya. Fenomena itu dinamai sebagai ‘decisive moment’.

Berbeda dengan Cartier-Bresson, Voragen seperti memotret secara snapshot, sekenanya. Dia memunculkan tematika lingkungan, perekonomian informal, masyarakat urban, pemukiman rakyat jelata, dan tata kota. Hampir seluruh fotonya tentang aktivitas luar ruang (outdoor). Itu pun utamanya kegiatan siang hari. Minatnya menyasar pada kehidupan masyarakat urban perkotaan. Tepatnya, menyoal golongan papa yang mendiami ruang kota tertentu dan aspek-aspek keruangannya.

Di atas itu semua, manusia di dalam fotonya menduduki tempat sentral. Mereka dipotret dalam berbagai aktivitasnya: bekerja, tidur siang, main catur, bersantai, sampai dengan ketika sedang melamun. Hampir semuanya dibidik secara ‘candid’ (tak diatur, wajar). Hemat saya, subjek-foto itu adalah sosok-sosok yang kehilangan subjektivitasnya. Mereka hadir hanya sebagai objek-dari-fotografer. Dalam konteks ini, fotografer ‘memanipulasi’ subjek-foto untuk mengintroduksikan ideanya belaka. Akan tetapi, dengan mengamati foto-fotonya terkesankan pula pesan-pesannya amat sumir.

Hanya ada satu foto dengan sosok yang tampil bebas, tanpa beban, dan oleh karenanya bersifat eksistensial. Foto “senyumnya lucu banget!” menampilkan seorang anak lelaki sedang memegangi gulungan benang, menoleh dan tersenyum riang. Subjek-foto hadir sepenuh totalitasnya. Sang subjek adalah aku-yang-ada dan menyadari eksistensialitasnya. Kesadaran itu ditunjukkannya dengan sikap dan kewajaran berpose.

Foto “senyumnya lucu banget!” menunjukkan keberhasilan fotografer menghadirkan subjek-foto sebagai pribadi yang utuh. Fotografer tidak mengobjektivikasi subjek-foto. Relasi demikian menerangkan satu hal, bahwa fotografer tidak sekadar memotret, akan tetapi sekaligus berkomunikasi dengan ‘objek’ yang dibidiknya. Fotografer berdialog secara akrab, komunikatif, tidak koersif, dan hampir tidak berjarak dengan sosok yang dipotretnya. Dengan begitu, secara literal, ia mendekati aforisma Robert Capa di atas.

Praktik populis ini sejujurnya tidak mudah dilakukan. Seringkali relasi dan komunikasi hanyalah searah dan berjarak. Subjek-fotografer (hampir) niscaya mengobjektivikasi subjek-foto. Sayangnya, pada pameran ini, Voragen tidak menampilkan koleksi fotonya yang mencitrakan sosok-sosok bebas-merdeka itu. Padahal pada tataran komunikasi itulah salah satu kelebihan dia. Maklum, sebagai ‘bule’ ia mudah diterima oleh orang kebanyakan.

Subjektivitas Fotografis
Selain subjek-manusia, Voragen tertarik pula pada alam lingkungan dan remeh-temeh yang terasa artistik seturut persepsinya. Dia memotret reruntuhan bangunan, bayangan pohon, sudut kota, dan sebagainya. Ketertarikannya pada pernak-pernik itu dan tingkah manusia penghuni kota, hemat saya, mendeskripsikan bahwa sebagai orang Eropa ia atau terkesan pada fenomena itu atau ia menganggapnya sebagai ironi dunia ketiga.

Dalam beberapa segi, saya berkesan bahwa foto-fotonya adalah sebentuk epigram. Dia menggambarkan suatu kota yang sarat dengan paradoks dan anomali. Model presentasi begini, tak ayal, mudah ditengarai sebagai suatu cara pandang turistik. Itu untuk tidak mengatakannya sebagai persepsi kolonialistis yang mengusung konsep eksotika belaka.

Jika dicermati, Roy Voragen – menetap di Indonesia selama empat tahun dan beristrikan perempuan Indonesia – tidak pernah memotret kelimun. Foto-fotonya hanya menggambarkan sosok-sosok atau objek-objek soliter. Fakta itu, bisa jadi, menjelaskan aspek psikologis sang fotografer.

Foto-foto yang terpajang hampir seluruhnya menunjukkan tanda-tanda leksikal yang gamblang, tidak berbelit, dan hampir tanpa simbolisme apapun. Gaya fotografi semacam itu, termasuk kesederhanaan tekniknya, memang memudahkan proses signifikasi, namun sangat mungkin terasa membosankan. Satu-satunya foto yang direkayasa adalah “exposed to this city”. Foto yang dominan warna putih itu – dengan menaikkan pencahayaan ‘over’ beberapa stop – seolah hendak menunjukkan betapa panasnya cuaca Semarang.

Sejatinya, melalui pamerannya ini Roy Voragen tidak cukup kuat ‘memetakan’ Semarang. Dia cuma menelisik fenomena jalanan dengan egosentrisme. Lagipula apa yang dimaksudkan sebagai ‘urban poem’ itu? Tak jelas memang. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu (18/11/2007)]

Wednesday, November 14, 2007

AWAS! Seni Rupa Lokal

All art-works by Hamad Khalaf in the "Camouflage: Acts of War" exhibition at Rumah Seni Yaitu, August 31 to September 9, 2007.

SENI RUPA Semarang cukup bergemuruh lima tahun belakangan. Tumbuh kecenderungan melintasi bahkan bersekutu dengan wilayah artistik di luar konvensi atau praksis seni rupa itu sendiri. Meski begitu, belum terlihat hadirnya perupa dengan bahasa visual dan konsepsi yang kuat.

Berdasar catatan terserak dan estimasi, kurun lima tahun terakhir, ada lebih dari dua ratus aktivitas kesenirupaan yang diikuti oleh perupa Semarang. Hanya saja sebagiannya memang kegiatan yang berlangsung di luar kota. Juga, sebagian besar aktivitas itu bukan berasal dari inisiatif personal atau komunal seniman.

Akumulasi kegiatan itu cukup menarik jika dikaitkan dengan fakta tidak adanya kontribusi dana atau peran negara di dalamnya. Dukungan juga tidak hadir dari dewan kesenian yang notabene kepanjangan tangan pemerintah.

Hasil amatan menunjukkan, justru peran dan kontribusi masyarakatlah yang mendominasi kegiatan kesenirupaan Semarang. Pihak masyarakat itu termasuk galeri, ruang pamer independen, dan kalangan seniman sendiri. Sedangkan komponen masyarakat lainnya, yakni para apresian ‘kuat’ atau kolektor yang, secara finansial maupun terkadang ‘politik-estetika’ amat berpengaruh, hampir tidak berperan sama sekali.

Celakanya kita juga menyaksikan tumbuh, runtuh, dan sekaratnya sebagian ruang-ruang pamer. Sudah tidak ada kabar lagi mengenai Galeri Sienna, Galeri Gajah Mada, Galeri Proses Borobudur, Rumah Seni Kayangan, Galeri Joglo, Kedai Proses, atau B’OK Art House.

Yang tersisa dan bertahan ialah Galeri Semarang, Rumah Seni Yaitu, Galeri Dahara, dan Galeri Bu Atie. Ada juga Galeri Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang didanai Pemkot, namun kegiatannya tidak terlihat semarak.

Jika diamati, tumbuh dan tumbangnya ruang-ruang pamer itu bukanlah pertanda progresivitas atau dinamika kesenirupaan suatu kota. Hal itu lebih sebagai kegagalan mendiseminasi gagasan menjadi jejak yang menyejarah dalam medan sosial seni Semarang. Disgresi itu, lebih lanjut, termasuk minimnya pengetahuan manajemen seni, langkanya etos kreatif dan enterpreneurship, serta tak jelasnya visi-misi para pendiri ruang-ruang itu. Lihat saja fenomena satu-dua ruang yang sejak dideklarasikan, lantas, tidak pernah berkiprah lagi. Atau ruang pamer yang hanya mampu sesekali berproduksi. Begitulah sebenarnya kisah ruang-ruang yang berserak.

Sejatinya, dukungan infrastruktur saja tidak cukup. Seandainya pun suatu kota punya lembaga pendidikan tinggi seni rupa, ruang pamer yang memadai, organisator yang tangkas, sampai penyandang dana yang kuat, toh, itu semua tidak memadai jika tidak disertai dengan aktivitas kesenirupaan yang laten. Aktivitas atau gerakan kesenirupaan itu niscaya mengasumsikan adanya kreativitas dan etos berkarya yang memadai. Sedangkan etos berkarya menandaskan hadirnya praktik produksi artistik yang melimpah.

Pertanyaannya, adakah kelimpahan kreasi dan praktik artistik para seniman (baca: perupa) Semarang?

Kreasi
Bahwa (beberapa) perupa – tergolong ‘senior’ – Semarang, belakangan ini, kerap dilibatkan oleh satu-dua galeri dalam pameran-pameran tematik di Yogya dan Jakarta. Akan tetapi, hal itu bukan pertanda suburnya kreasi kesenirupaan mereka. Kreasi mengandaikan adanya kebaruan dalam gagasan, anasir estetika, visualitasnya, dan bahkan termasuk modusnya. Tentu saja hal itu tidak selalu paralel dengan praktik produksi artistik yang, dalam beberapa kasus, hanya bersandarkan rutinitas atau pesanan (termasuk: undangan kuratorial) saja. Dalam banyak kesempatan justru yang terakhir inilah yang terjadi di Semarang.

Publik seni Semarang belum melihat hadirnya sosok perupa garda depan dengan gagasan-gagasan visioner. Sebagian perupa berbakat tumbuh dan lantas, tidak lama, meluruh. Perkara ini acapkali hanya berpangkal pada korelasi timpang antara angan-angan (atau mimpi?) dengan ‘mitos’ berkreasi itu.

Faktor determinan lainnya sebagai ‘penghambat’ praktik kekaryaan, bahkan nyaris menjadi momok, adalah relasi horisontal yang friksional. Teramat sering perkara sepele mendatangkan antipati yang berlebihan. Belum lagi tentang segregasi antarpemangku kepentingan.

Salah satu solusi meningkatkan praktik kreasi yang menawan ialah dengan diselenggarakannya pameran seni rupa yang laten, terus-menerus. Saya maksudkan berpameran, atas inisiatif personal atau komunal seniman, ialah mengambil tempat di kota sendiri. Dalam forum pameran itulah seniman bisa mendiseminasi gagasannya, entah besar atau sekadar intermeso banal. Pameran-pameran itu akan berimbas ganda, yakni di satu sisi sebagai latihan kreatif dan, pada sisi lainnya, mengail publisitas bagi dirinya sendiri dan serentak pula berguna bagi kehidupan kesenian kota.

Aktivitas berpameran, di samping suatu upaya pembelajaran, adalah cara seniman ‘bertanggung jawab’ kepada publik atas atribusi kesenimannya. Simak lebih lanjut tulisan saya, “Agar Seni Rupa (Semarang) Pantas Dikenang” (Suara Merdeka, Minggu, 5 November 2006).

“K-to-K Project”
Belakangan ini ada yang menarik pada praktik kesenirupaan di Semarang, yakni lahirnya “K-to-K Project” yang melibatkan (calon) seniman muda dan sekelompok mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Gagasan mulanya, “K-to-K Project” diniatkan sebagai lima kali pameran bertempat di kos-kosan sekitar kampus Unnes, Sekaran, Gunung Pati, dengan interval dua bulanan. Sekarang pameran itu telah berlangsung empat kali. Pada akhir proyek – dengan asumsi karya kos-kosan itu artistik dan menarik – akan ditampilkan sebagai pameran utuh di Rumah Seni Yaitu (RSY) Semarang, Desember ini. Rencana semula begitu.

Awalnya memang tekesan sepele. Suatu malam, akhir November silam, ditemani Ridho (M. Salafi H.) dan Aris Yaitu, saya menemui sekelompok mahasiswa seni rupa Unnes di sebuah rumah di Gang Kenari, Sekaran, Gunung Pati (kelak rumah itu dikenal sebagai Kos Pokemon). Saya cetuskan gagasan: pameran berkala di rumah-rumah atau kamar-kamar kos mahasiswa.

Eksperimen pameran di rumah atau kamar kos, sehingga dinamakan “Kos-to-Kos Project” atau “K-to-K Project”, itu berawal dari kegundahan saya: betapa minimnya pameran seni rupa di Semarang yang melibatkan mahasiswa Unnes. Padahal, kita tahu, ini perguruan tinggi satu-satunya yang mempunyai jurusan seni rupa di Semarang.

“K-to-K Project” sebenarnya siasat terhadap miskinnya eksplorasi kekaryaan, langkanya pameran seni rupa mahasiswa, serta solusi atas mahalnya biaya pameran. Dengan model pameran itu, saya harapkan, mahasiswa kian kreatif (termasuk merambah teknik dan medium kekaryaan baru) dan naiknya skala penyelenggaraan pameran yang melibatkan mahasiswa dengan konsekuensi kegiatan itu akan berbiaya murah. Singkatnya, dari mahasiswa untuk mahasiswa. Di atas itu semua, ada semangat bermain (playful) yang menggembirakan (for fun) yang hendak diperkenalkan kepada publik. Sebab, saat itu, saya melihat betapa di kalangan mahasiswa seni rupa pun tidak muncul kegembiraan menyikapi fenomena seni visual.

Tidak disangka pancingan saya bersambut. Hanya dalam tempo dua minggu mereka, dimotori oleh Ridho (pernah kuliah di Seni Rupa Unnes, tidak tamat) dan Nasay (mahasiswa tahun terakhir Seni Rupa Unnes, kini telah lulus), berhasil mengadakan pameran “K-to-K Project” #1 bertajuk “Heroisme” (14/12) di rumah kos Pesanggrahan Temulawak, Banaran, Sekaran, Gunung Pati.

Langkah awal ini, seperti saya duga, tidak menampilkan karya dengan bahasa visual yang kuat. Ini sebuah pameran ala kadarnya.

Dari yang pertama lantas meluncur “K-to-K Project” #2, ialah “Komedi Putar” di Kos Pokemon, Gang Kenari (27/2). Saya cukup terkesima olehnya. Dalam catatan saya, inilah pameran paling menarik yang pernah diadakan oleh mahasiswa Seni Rupa Unnes, bahkan hingga tulisan ini dibuat. Pameran itu menampilkan beragam medium dan visualitas dengan gagasan-gagasan segar.

Yang ketiga berjudul “Dark Brown Sofa” di Kos Pink Corner, Sekaran, Gunung Pati (26/4). Pameran ketiga ini menyuguhkan video dan foto. Meski tidak ada karya yang mengejutkan, karya video Irfan Fatchu Rahman – kisah tentang sofa yang dikelilingkan di seantero kota – cukup menarik perhatian saya.

Sejatinya, pameran “Dark Brown Sofa” itu telah mengenalkan ragam foto dan video ke dalam khasanah praktik visual sivitas akademika seni rupa Unnes. Beruntung sebagian peserta pameran itu pernah ikut Workshop OK! Video MILITIA 2007 di RSY (9—16/4). Lokakarya video itu kerja sama antara RSY, Kronik Filmedia, dan ruangrupa Jakarta.

Perlu dicatat, salah satu hasil lokakarya video itu – Tamasya Reklame/2007/2’ buatan Singgih AP – ditayangkan di layar besar pada malam pembukaan Festival Video Internasional Jakarta ke-3, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (10/7). Karya mahasiswa seni rupa Unnes itu disejajarkan dengan karya-karya besar Benny Nemerofsky Ramsay/Pascal Lievre (Kanada/Prancis), Astrid Rieger/Zeljko Vidovic (Jerman), Jean-Gabriel PĂ©rlot (Prancis), dan Daniel Lisboa (Brasil).

Pameran “K-to-K Project” #4 – bertajuk “Sakit? Di-KOMIX Aja!” dengan tema pendidikan – baru saja berlangsung di Rumah Catdog, Jl. Banaran Raya (2—5/10). Anak-anak muda itu mempertontonkan ragam komik sederhana dengan berbagai medium eksplorasi. Sayang, di tangan mereka komik cuma dimengerti sebagai gambar dengan teks naratif.

Gerakan Baru
Jika dicermati, “K-to-K Project” layak disebut sebagai gerakan ‘revolusioner’ dalam konteks kesenirupaan Semarang. Tak pernah terjadi, dalam data praktik seni visual Semarang atau bahkan sejak Unnes bernama IKIP Negeri Semarang, ada kelompok-kelompok mahasiswa yang berpameran di rumah-rumah kos mereka. Bahwa, seandainya pun, kualifikasi artistika karya-karya mereka kurang memadai, toh, itu tidak mengurangi fakta kepionirannya.

Seringkali praktik estetika seperti itu cuma disalah-mengertikan sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan (atau kemandegan!) suprastruktur atau ruang-ruang pamer yang, konon, hegemonik. Faktanya, sebagian eksponen “K-to-K Project” seringkali dilibatkan – untuk sekadar menunjukkan data – dalam kegiatan di RSY. Beberapa di antara mereka bahkan diberi kesempatan berkolaborasi dengan Entang Wiharso tatkala seniman itu berpameran tunggal – “Intoxic” – di RSY (25/5 hingga 16/6).

Selalu saja alasan-alasan usang direproduksi oleh beberapa pemangku kepentingan (tentu mereka yang sirik!) untuk mendiskreditkan ‘gerakan’ yang tidak sejalan dengan praktik artistika mainstream.

Saya tegaskan, isu ‘perlawanan’ terhadap ruang pamer adalah romantisme picisan. Dan gelagat desktruktif begini juga menghantui sebagian besar anak muda yang kalap. Melawan harus dinyatakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan kulminatif, bukan dengan cara menyodorkan praktik atau atribut pandir. Bagi saya, jelas sekali, mereka yang tidak mampu meraih apresiasi dari ruang pamer tertentu – atau dalam konstelasi pergaulan seni secara luas – adalah mereka yang kalah dalam arena negosiasi.

Seandainya hendak ditandai sebagai praktik pengingkaran, maka fenomena itu – pameran di rumah kos – pantas disimak sebagai pergulatan internal mahasiswa menyoal legitimasi kampus. Santer terbetik kabar, dalam masa yang panjang, di dalam kampus sendiri, para mahasiswa itu tidak leluasa berkreasi. Sejumlah alasan dikuatkan: para mahasiswa itu, antara lain, oleh dosen mereka dipandang belum cakap memamerkan karyanya.

Kini sinyalemen itu semestinya luruh dengan sendirinya. Penerimaan publik, termasuk media massa lokal, terhadap praktik kekaryaan para mahasiswa itu berujung pada kanal yang menggembirakan. Siapa sangka, “K-to-K Project” yang semula hanya diintensikan sebagai solusi sederhana terhadap kebuntuan praktik kreasi di lingkungan mahasiswa Unnes, dihargai dalam sebuah bienial? Saya pun tidak menduga demikian.

Kepastian diundangnya “K-to-K Project” unjuk diri dalam Jogja Biennale 2007 – bertajuk “Neo-Nation” – sungguh mengesankan. Fakta objektif ini mendeskripsikan pencapaian optimum seni rupa Semarang, diwakili serombongan anak muda, dalam kancah kesenirupaan kontemporer Indonesia.

Siapa saja mereka? Pertama kali, tentu saja, harus disebutkan sosok Ridho. Anak muda inilah yang sejak awal berkeringat memuluskan proyek “K-to-K”. Kemudian, dalam perjalanan waktu, menyusul bergabung M. Rofikin, Singgih AP, kakak-adik Nahyu-Ratri, Irfan Fatchurahman, dan sosok di belakang layar Firman.

Proyek pameran mahasiswa ini juga mendatangkan penghargaan bagi Ridho. Bapak satu putri ini hadir sebagai pembicara dalam seminar seni rupa nasional – tema “Membangun Dinamika Seni Rupa Indonesia 2007” – di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (12—13/7). Tentu saja Ridho ‘menjual’ fenomena “K-to-K Project” itu.

Di antara yang serius, terlihat dari capaian prestasinya, terdapat juga pasangan Rofikin-Ratri. Proposal keduanya lolos seleksi, dalam suatu penyaringan terbuka oleh para kurator Jogja Biennale 2007, dan karyanya akan dipajang dalam ajang pameran dua tahunan itu.

Nama-nama tersebut di atas hanyalah sebagian di antara mereka yang intens menggawangi “K-to-K Project”. Selebihnya, keberhasilan atributif itu jelaslah jerih-payah semua mahasiswa yang terlibat, bukan milik kelompok (atau korporat!) tertentu. Klaim sepihak akan berakibat retaknya kebersamaan yang telah terbangun dengan baik.

Catatan Pelengkap
Dalam Jogja Biennale 2007 itu (dijadwalkan Desember ini), selain “K-to-K Project” dan pasangan Rofikin/Ratri, turut pula berpameran Putut Wahyu Widodo, Doel AB, dan Aji Akhmad Sumardhani. Fakta ini menggenapi suka-cita seni rupa Semarang.

Meski begitu, hanya pada kelompok “K-to-K Project” inilah terlihat kegiatan lintas disiplin. Selain menggeluti beragam medium, mereka juga bersekutu dengan komunitas seni lain – misal, kalangan sastra Komunitas Hysteria – melansir kegiatan multifaset. Ini fenomena menarik dalam dunia seni visual Semarang terkini.

Akan tetapi, dengan harapan kian melambungkan praktik kreasi dan kemeriahan seni visual kota, izinkanlah saya berbagi beberapa pendapat. Pertama: penerimaan “K-to-K Project” dalam Jogja Biennale 2007 tidak mesti disikapi paralel dengan kualifikasi artistikanya. “K-to-K Project” bijak dilihat sebagai satu fenomena baru dalam modusnya di dalam konteks praktik seni visual Semarang.

Kedua: Putut Wahyu Widodo dan Doel AB pantas dihargai pergulatan dan keseriusannya dalam praktik artistikanya lima tahun terakhir. Mereka sebagian kecil perupa Semarang yang intens berkarya.

Ketiga: dalam berkesenian, dengan harapan menjadi seniman atau pekerja seni papan atas, perlu lebih digalakkan capaian kualitatif ketimbang kesenangan meraih popularitas yang mengandalkan kiat, strategi, atau keluasan jejaring sesaat. Hindarkan menjadi parvenu idiot.

Di luar itu semua, saya tak paham, bagaimana mekanisme penyeleksian suatu bienial dilakukan. Mungkin pemilahan komprehensif dilakukan sebatas melalui foto dan analisis data yang diajukan para pengusul karya. Tak jelas pula bagaimana menerangkan keikutsertaan orang dengan rekam jejak tipis.

Pada ujungnya publik seni Semarang hanya bisa berharap, capaian optimum praktik seni visual Semarang mampu mengalahkan skeptisisme yang meronak. (Tubagus P. Svarajati, pengamat seni rupa, tinggal di Semarang)***

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Rabu (17/10/2007)]

Tuesday, November 6, 2007

Memahami Kritik

Front Pool of Rumah Seni Yaitu: (Photo: Ferintus Karbon)


KRITIK yang baik selalu meluaskan pemahaman dan meningkatkan apresiasi – para pembacanya – tentang apa itu seni. Namun, membincangkan apa itu seni dan juga kritik yang baik itu seperti apa bukanlah perkara mudah.

Seringkali satu kritik – dan seolah sudah menjadi anggapan bersama – hanya dipahami sebagai bentuk penghakiman belaka. Kritik cuma disempitkan sebagai justifikasi setuju, tidak setuju, suka, tidak suka, serta penilaian negatif tentang suatu karya atau peristiwa seni. Padahal kritik seni punya peran menerangkan, menjelaskan, dan memberikan pertimbangan – dari keyakinan sang kritikus – kepada publik secara jujur.

Kritikus tidak semena-mena menyampaikan kritiknya. Ia bekerja dengan kejujuran, dedikasi, integritas, dan kredibilitas yang dipertaruhkan. Meski kritik yang ditulis bukan satuan-satuan dogmatis, namun kebenaran yang diyakini itu akan dipertahankannya dengan gigih. Tetapi, kritik yang baik seyogianya bersifat ‘terbuka’ dan – kata Mark Stevens – ‘incomplete’. Artinya, suatu kritik tidaklah anti-kritik. Suatu kritik terbuka untuk diperbaiki, didiskusikan lagi, atau dibantah esensinya. Maka, seringkali kita lihat ada debat terbuka atau polemik – di media massa – tentang topik tertentu. Jika suatu kritik dianggap sebagai tesis, maka antitesisnya tak perlu dicibir sebagai mengada-ada saja. Sesungguhnya kritik itu sendiri suatu karya seni, kata Sanento Yuliman.

Sedangkan bagi Terry Barrett (dalam “Criticizing Photograph, an Introduction to Understanding Images”, Mayfield Publishing Company, California, USA; edisi ketiga: 2000), kritik adalah ‘informed discourse’ yang memperkaya pemahaman dan pencerapan tentang seni. Singkatnya, suatu kritik adalah diskursus – teks tertulis atau verbal – berdasar (ilmu) pengetahuan, bukan pendapat pokrol bambu atau ngelantur saja.

Siapa tentang Apa
Pro-kontra atas suatu kritik, termasuk metode atau pendekatan yang diaplikasikan, kepentingan ideologis yang disandang sang kritikus, juga latar pendidikan dan basis teori yang dipakai selalu menimbulkan diskusi yang panjang.

Latar belakang edukasi kritikus kerap menjadi gunjingan. Jika tidak mengenyam pendidikan seni, humaniora, atau yang menjadi bidang keahliannya, seseorang kritikus dianggap kurang kapabel menjalankan tugasnya. Namun, kenyataannya ada banyak kritikus baik yang tidak pernah sedikit pun mempunyai pendidikan formal (seni). Ambil contoh A.D. Coleman, kritikus fotografi yang sering menulis untuk Popular Photography, New York Times, dan Artforum. Coleman bukan fotografer dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal fotografi sedikit pun. Di Indonesia, Oscar Motuloh menjadi contoh lain. Direktur Galeri Foto Jurnalistik ANTARA itu berangkat dari wartawan tulis dan sekarang dikenal luas sebagai pewarta foto dan kurator foto jurnalistik yang paling dihormati di Indonesia.

Dalam bidang kebudayaan, kita mengenal nama Nirwan Dewanto. Secara formal ia lulusan Departemen Geologi ITB. Tetapi kiprahnya dalam kritik seni, sastra, teater, atau kebudayaan secara luas tidak diragukan lagi. Ia menyebut diri sebagai ‘penulis eklektik’.

Lantas, apa relevansi latar pendidikan formal dalam perjalanan intelektual kita? Tidak banyak, jika kita mau berkaca pada sejumlah besar lulusan perguruan tinggi yang ‘tidak bersuara’ sama sekali.

Signifikansi terbesar dari ‘siapa’ seorang kritikus, saya kira, pada kontribusi pemikiran dialektis dan praktik intelektualitasnya ketika menyikapi fenomena seni dan budaya yang digelutinya. Dus, kita sedang mendiskusikan tentang ‘apa’ ketimbang ‘siapa’nya. Mengacu pada pemikiran seperti ini kita akan terhindar dari pemberhalaan pada nama-nama ‘selebritas’ saja. Yang penting bukan pada nama, namun pada kadar diskursus yang ditawarkan seseorang. Bukan begitu?

Menyoal sumbangan pemikiran seseorang kritikus, tidak bisa lain, publik mesti menyorotinya dari, salah satunya, sisi keluasan ‘episteme’ yang dikuasainya. Juga, pada kemampuan ‘retorika’nya, terutama pada bahasa tekstual. Tambahan lagi, tanggung jawab kritikus ialah pada nilai-nilai estetik (aesthetics values) yang diyakini dan dipahaminya.

Kritikus (bahkan kurator sekalipun!) harus rajin mempublikasikan kritik-kritik atau pemikirannya. Dia tidak bekerja dalam keyakinan yang tertutup, namun suatu perjumpaan (encounter) dengan karya atau peristiwa seni secara open-minded. Kritikus selalu bekerja dengan cara mempertanyakan, skeptis, dan mendudukkan seni dalam konteksnya (polisemi). Ini berarti, kajian seni tidak terpaku pada teori estetika saja, namun bisa melibatkan disiplin sosiologi, antropologi, sejarah, serta berbagai teori lainnya.

Seorang kritikus harus berlaku adil (fairness) ketika berhadapan dengan karya seni atau seniman yang sedang dievaluasinya. Dan harus diingat, dalam bahasa Christopher Knight, kritikus bukanlah penyambung intensi seniman terhadap publiknya. Dengan nada sama, Coleman mengatakan, kritikus bukan ‘anyone’s mouthpiece’, namun suara independen. Lebih jauh ditandaskannya, kritikus tidak perlu ‘hunger for power and the need to be liked!’ Artinya, persetan dengan kekuasaan dan sanjungan.

Dalam hal pengalaman saya pribadi, tidak pernah dan tidak akan saya menuliskan pandangan atau kritik-kritik saya demi untuk menyenangkan sekelompok kawan atau seniman tertentu saja. Sebaliknya, kritikus bekerja untuk kepentingan publik secara luas. Sebab, kritikus hakikatnya adalah juga praktisi jurnalisme. Dan seorang jurnalis – sejalan dengan gagasan Bill Kovach – bekerja menyampaikan kebenaran untuk warga (citizens).

Kritik Selibat
Dalam catatan Dr. Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, wilayah kritik seni sekarang terlihat tak jelas sosoknya. Ketidakjelasan itu dikarenakan berubahnya parameter dan paradigma kritik seni. Secara klasik, kritik mengandung unsur deskripsi, interpretasi, dan evaluasi. Menurutnya, orang kini cenderung berhenti hanya pada unsur ‘interpretasi’. Pada tahap ‘evaluasi’ orang menjadi sangat ragu-ragu.

Kompleksitas pemikiran dan praktik kritik seni (jurnalistik) itu terungkap dalam tesis Mamannoor (2002). Pada satu sisi, kehadiran kritik seni dirasakan oleh publik bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi suatu karya atau peristiwa seni. Kritikus bertugas memberikan pengetahuan itu. Ia sebagai mediator antara seniman berikut karyanya dan publik. Namun, sebagian seniman, pada sisi lain, menganggap bahwa kritik sering dianggap cuma menjelek-jelekkan. Sebagian besar seniman lainnya, akhirnya, toh mengakui kegunaan kritik terhadap peningkatan prestasinya.

Patut dicatat, tak akan pernah ada kritik yang sebenar-benarnya objektif, sekalipun seorang kritikus telah menjaga jarak dan bersikap independen. Namun, subjektivitas yang melekat pada kritikus, dan otomatis muncul juga pada hasil telaahnya, adalah subjektivitas berdasar parameter-paramater yang diyakininya sahih. Pada titik inilah ‘objektivitas’ itu dimaksudkan.

Sebagian kritikus menghindari ‘terlibat’ atau di bawah ‘pengaruh’ seniman atau institusi tertentu. Meski tidak bisa disangkal, keterlibatan emosional kritikus terhadap suatu karya seni (plus senimannya) mampu memberikan pembacaan yang mendalam. Inilah yang ditawarkan oleh Mamannoor dengan pendekatan kritik kosmologisnya, yakni suatu pendekatan ‘positivistik’.

Namun, kedekatan dengan sumber telaah harus terhindar dari praktik ‘kritik seni selibat’, yaitu: kritik yang cuma menyodorkan puja-puji semu. Praktik semacam ini tidak saja merugikan senimannya, namun seluruh art-world kita. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa (6/2/2007)]

Friday, November 2, 2007

Festival Seni sebagai Komoditas Turisme

Photography: Prasetiyo Budi Utomo

TAK PERNAH para pelaku industri pariwisata menggagas kemungkinan suatu festival seni kontemporer sebagai event yang bisa mendatangkan devisa. Perhatian utama selalu hanya tertuju pada tourism spot (saujana atau artefak kultural), seni tradisi (teater, musik, atau tari), kuliner, atau cenderamata lokal.

Laporan Kompas “Harus Satukan Langkah”, Kamis (4/1), yang menyoroti industri pariwisata Jawa Tengah tidak sedikitpun menyinggung tentang peran budaya kontemporer itu. Pemangku kepentingan hanya sibuk membicarakan tempat, lokasi, atau daerah tujuan wisata. Malang pula, berdasar fakta yang ada, hampir semua infrastruktur lokasi tujuan wisata Tanah Air tak pernah serius dibenahi. Alhasil, dengan hanya bersandar pada ‘aset’ yang ada untuk mengail devisa, terasa bermimpi di siang bolong.

Padahal, dalam praktik strategi kebudayaan global, kita menyaksikan budaya kontemporer suatu bangsa dieksplorasi habis-habisan demi pengarusutamaan mencetak devisa. Lihat, bukankah festival seni ‘jalanan’ Rio de Jainero (Brasil) menjadi bukti tak terbantahkan?

Dalam konteks tertentu, mirip dengan praktik seni tari-musik-fesyen di Brasil yang fenomenal itu, masyarakat Jember telah melangkah jauh sekali. Kita terperangah oleh gerakan masif festival fesyen jalanan di kota kecil – di ujung timur pulau Jawa – itu tahun-tahun terakhir ini. Festival tahunan itu, yang menyedot publisitas luar biasa, bukan tak mungkin suatu saat jadi andalan wisata Indonesia. Dan inilah satu contoh, betapa peran masyarakat terhadap industri turisme (community-based tourism) bukan isapan jempol.

Lantas, mampukah Semarang – atau Jawa Tengah umumnya – melahirkan produk turisme inovatif, terutama berbasis pada budaya kontemporer?

Festival Seni Rupa
Arus utama pergerakan manusia, dalam industri turisme global, tidak cuma tergiur pada eksotika alam-saujana atau seni-budaya tradisi lokal. Manusia rindu berkomunikasi – dalam konteks sosial-budaya – dengan manusia lainnya yang hidup se-zaman. Dus, sebuah komunikasi kultural dalam ranah kontemporeritas.

Pada posisi itulah, pergaulan bangsa-bangsa menemukan signifikansinya pada upaya pemahaman berbasis pluralisme dan multikulturalisme. Maka, sebuah perjalanan wisata tak hanya mereguk atmosfir gunung-gemunung, mencecap kuliner lokal, atau cuma berdecak-kagum pada ‘keadiluhungan’ seni tradisi, namun sebenarnya berpijak pada suatu dialog kultural antarmanusia yang saling bersapa.

Dalam perjumpaan kultural itulah, maka peran budaya kontemporer tidak bisa dinafikan. Kultur kontemporer pantas dipahami sebagai berbagai segi peri-kehidupan manusia se-zaman dalam kurun waktu dan ruang tertentu. Dan seni-budaya manusia kontemporer selalu melahirkan tegangan dan kejutan psikologis-emosional yang, pada perkembangan positifnya, mampu memperkaya kehidupan batiniah.

Seni-budaya kontemporer, pada umumnya, adalah reaksi, aksi, harapan tentang tatanan ruang kehidupan manusia agar lebih nyaman bagi umat manusia keseluruhannya.

Salah satu praktik seni budaya kontemporer, sejak beberapa dekade terakhir telah menjadi semacam cermin ‘modernitas’ dan, seringkali, mendatangkan citraan positif bagi suatu negara atau kota besar di dunia, ialah festival seni rupa kontemporer. Sebut saja sejumlah bienial – pameran konseptual seni visual dwi-tahunan – yang tersohor, seperti: Gwangju (Korsel), Shanghai (China), Sao Paolo (Brasil), Havana (Kuba), atau Venice Biennale (Itali) yang tertua di dunia. Bienial-bienial itu sukses menyedot tidak saja kelimun dan devisa yang meruah, namun pula mampu menaikkan ‘derajat’ kultural suatu bangsa.

Contoh fenomenal ialah China. Lima tahun lalu, di kawasan bekas markas tentara di Beijing, sejumlah seniman menggagas suatu festival seni rupa. Target awal: menggugat kebijakan pemerintah yang hendak meratakan kawasan itu dan diganti dengan infrastruktur modern. Aksi para seniman itu, akhirnya, menyadarkan Pemerintah China, bahwa suatu gerakan seni-budaya kontemporer, jika dirancang dan dikelola secara baik, niscaya deras mengalirkan devisa. Benar saja, sekarang Dashanzi Art District disebut-sebut sebagai ‘the hottest cultural-zone’ di dunia oleh Financial Times.

Sejumlah bienial di atas, riwayat Dashanzi, dan festival Rio de Jainero menjadi bukti: budaya kontemporer layak dicermati sebagai objek unggulan dalam blue-print industri turisme kita.

Festival di Kota Lama
Di kawasan Kota Lama Semarang, sebagai hinterland Eropa ‘tempo doeloe’ itu, pantas digelar suatu Festival Seni Visual Semarangan. Magnet kawasan itu tak perlu diragukan lagi. Indonesia juga tidak kekurangan seniman dengan karya-karyanya yang menarik.

Dalam bayangan saya: Festival itu tidak saja akan menjadi tolok ukur seni-budaya kita kelak, namun sekaligus ladang devisa yang cukup menggiurkan. Yang diperlukan: manajemen budaya terlatih, pekerja seni militan, praktik kerja dan jejaring sinergis, serta tidak koruptif. Pamrihnya: demi kemakmuran bersama.

TUBAGUS P SVARAJATI
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirim ke Kompas, Jumat, 5 Januari 2007]