Wednesday, March 24, 2010

3G: KOMPETISI PLUS-MINUS

[Sumber foto: Katalog Pameran Finalis Kompetisi Seni Lukis dan Foto Jurnalis “3G (3 Generations)”]

BISA dipastikan setiap orang (di) Jawa Tengah mengenal Suara Merdeka. Inilah koran yang telah tua: berumur 60 tahun. Tetapi ia tidak menua-pikun, melainkan tetap segar-gemuk. Tentu saja hal ini berkat regenerasi kepemilikan yang lancar-lancar saja: dari kakek, ke menantu, lalu menurun ke cucunda.

Juga, koran ini sukses beralih rupa: dari koran perjuangan sampai menjadi koran industrial. Sudah pasti kontribusinya pada pembangunan di Jawa Tengah tak terbilang lagi. Sebagai satu bentuk usaha, niscaya, pemilik koran ini pun telah menangguk laba tak terhitung. Karena itu, perayaan 60 Tahun Suara Merdeka, yang ditandai dengan suatu Kompetisi Seni Lukis Tingkat Jawa Tengah, lantas memamerkannya bersama beberapa foto karya jurnalisnya, pantas disambut baik.

Menurut panitia, kompetisi bertujuan mendekatkan Suara Merdeka pada komunitas seni lukis dan menggairahkan kehidupan seni lukis di Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Niat mulia ini, pertama, pantas disebut sebagai sumbangan bagi dinamika seni rupa di Jawa Tengah. Yang kedua, kegiatan ini boleh dipandang sebagai zakat seni. Karena itu, wajib hukumnya bagi Suara Merdeka meneruskan, mengembangkan dan meluaskannya di tahun-tahun mendatang. Berzakat mesti ikhlas dan kontinu.

Saya bayangkan, tatkala kompetisi ini telah mengakar, sudah pasti seni rupa Jawa Tengah bakal kian dinamis. Pada titik inilah kontribusi terbesar Suara Merdeka: koran ini tak hidup demi diri dan lingkaran kecilnya belaka, melainkan berperan aktif dalam ranah kebudayaan dan kemanusiaan. Ini niscaya hal mendasar dan penting bagi kemajuan peradaban Indonesia.

Barangkali pameran lukisan dan foto “3G [3 Generations]” adalah titik awal panampakan wajah kulturalnya. Publik pantas mengapresiasi eksposisi itu yang dilangsungkan di Semarang Gallery, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang, dari 12 sampai 17 Maret.

Kompetisi
Konon ada 149 foto lukisan yang masuk ke meja juri. Dari jumlah itu terpilih hanya 24 karya yang layak pamer dan dianggap bersesuai dengan tema kompetisi. Secara umum, jika diamati sepintas, nyaris seluruh karya terpajang tak beda jauh dari kelaziman praktik seni rupa kontemporer Indonesia belakangan ini. Beberapa karya bahkan lebih dari memadai untuk kompetisi perdana ini, contohnya: “Alone With Me” (Suprik), “Dan Jadilah Pohon” (Oentoeng Nugroho), “Di Antara Merah Dan Biru” (M Hafez Achda), “Human Kompleks” (Wahudi), “Penerang Jiwa” (Nur Fuad), “Problematika Dan Semangat Anak Bangsa” (Choirul Hidayat), “Proyeksi Kata-Kata” (M Aldi Yupri), dan “Vaksinasi” (Danni King). Rata-rata karya mereka menunjukkan capaian teknis yang baik.

Dari karya-karya terpajang didapat kesan, beragamnya bentuk visualitas. Cara ungkap ini, sudah tentu, harus beririsan dengan tema kompetisi. Meski kita tak paham, bagaimana ragam lukisan abstrak, misalnya, mampu memaparkan tema dengan memadai. Tema kompetisi, menurut Adi Ekopriyono (pimpinan produksi), ialah “tiga generasi”. Ini mengacu pada realita, di usianya yang ke-60, di Suara Merdeka sedang terjadi fase peralihan kepemimpinan dari generasi kedua ke ketiga.

Sayangnya publik tak paham, bagaimana tema “tiga generasi” itu diuraikan dalam teks atau rambu-rambu lomba. Tak ada keterangan secuil pun—dalam ruang pamer dan katalog—yang menerangkan hal itu. Akibatnya, publik sulit menilai, sejauh apa suatu karya bersesuai dengan tema yang diwajibkan. Kesenjangan proses apresiasi ini terjembatani bila di dalam ruang pamer ada keterangan singkat tentang pameran yang lazim disebut “wall text”.

Dalam bayangan saya, “tiga generasi” setidaknya menunjukkan tanda waktu, sosok kepemimpinan, dan falsafah di balik tiap generasi itu. Agak sulit mendapatkan anasir-anasir itu dalam visualitas karya-karya peserta kompetisi. Kesan saya, nyaris seluruh lukisan bebas membawakan tematikanya sendiri, tidak terikat oleh “tiga generasi”. Umpamanya, periksalah lukisan-lukisan: “Vaksinasi”, “Player”, “Membuka Makna Diri”, “Kesederhanaan Untuk Langkah Ke Depan”, “Human Kompleks”, “Bersihkan Yang Kotor”, “Alone With Me”, atau “Aku dan Diriku”.

Pada hemat saya, justru pada teks kuratoriallah suatu kompetisi—termasuk pameran tematik apa pun—mesti bersandar. Teks kuratorial yang baik, jelas, berikut tata cara lombanya yang mudah dipahami akan memuluskan interpretasi para kontestan. Entah seperti apa teks kuratorial kompetisi ini. Pengantar pameran oleh Gunawan Budi Susanto, meski ditulis dengan bahasa indah, adalah tafsir atas karya-karya lukisan dan foto terpajang. Intinya: ia membiarkan penonton melakukan interpretasi sendiri.

Pameran ini pun tak menjelaskan latar para peserta terpilih. Hanya ada nama-nama mereka minus sejarah kreatifnya. Tiap karya pun tak disertai konsepnya. Kekurangan lain yang lebih serius ialah: nihilnya daerah asal para senimannya. Hemat saya, yang terakhir ini penting guna memetakan potensi kesenirupaan Jawa Tengah mengingat kompetisi ini berskala regional. Publik hanya menerka-nerka: seberapa luas cakupan wilayah kompetisi ini.

Sebagai suatu kompetisi perdana, “3G [3 Generations]” mampu menampilkan sejumlah nama yang, nyaris, tak terdengar sebelumnya dalam ranah kesenirupaan regional sekali pun. Ini pertanda menggembirakan. Sebaliknya, nilai kompetisi akan menguat bila saja ada banyak seniman kenamaan turut serta. Ini tentu pekerjaan rumah yang mesti ditanggung panitia di masa depan.

Fotografi Jurnalistik
Foto-foto karya para jurnalis Suara Merdeka ini boleh dibilang menarik. Visualitasnya kuat, pesannya jelas, dan itu pun masih didukung dengan olah teknis fotografi yang baik. Tentu saja foto-foto jurnalistik ini tak menjelaskan genre khas Suara Merdeka, melainkan lebih pada mengekspresikan kecenderungan estetik masing-masing fotografernya.

Dari karya-karya yang terpajang, terlihat kesan menonjol gaya fotografi piktorialisme. Ini jenis fotografi dengan aksen kuat pada visual yang indah, tata cahaya dramatis (chiaroscuro), dan humanis. Terkategori genre ini adalah foto-foto “Saksikan Kereta Uap Jaladara” (Yusuf Gunawan), “Long Journey” (Sutomo), “Menyeberangi Sungai Luk Ulo” (Supriyanto), “Generasi Ketujuh” (Rukardi), “Memanfaatkan Cahaya” (Maulana M Fahmi), “It’s My Life” (Leonardo Agung B), “Upaya Padamkan Api” (Juli Nugroho), dan “Padamkan Api” (Fahmi Z Mardizansyah).

Sebagai karya foto jurnalistik, amat disayangkan “Tu Wa Ga Tarik” (Maulana M Fahmi) dimanipulasi menjadi sekadar foto ilustrasi. Sejatinya ini foto yang dramatis dan amat informatif. Prinsip jurnalisme foto dunia (diwakili oleh lembaga World Press Photo) hanya mengizinkan rekayasa alamiah (seperti dalam teknik fotografi analog). Kekeliruan pengolahan (di bagian pra-cetak?) juga mengakibatkan “It’s My Life” dan “Memanfaatkan Cahaya” terkesan kurang natural.

Saya harapkan lahir banyak jurnalis foto tangguh, punya karakter personal, dari rahim koran yang telah berusia matang ini. Usia enam puluh tahun mestinya kian bijak dan siap mendukung fotografernya tampil dalam pameran-pameran tunggal yang tertata baik. Juga, regenerasi fotografernya mesti disiapkan pula sejak dini. Publik berharap agar suatu hari Maulana M Fahmi, Sony Wibisono, Leonardo Agung B, dan Garna Raditya tampil sebagai fotografer yang kian berkarakter.

Esai ini saya akhiri dengan salam, doa, dan harapan. Selamat berulang tahun ke-60, semoga Suara Merdeka kian membesar dan membawa makrifat bagi praktik kesenian-kebudayaan (regional dan nasional), serta di tahun-tahun mendatang publik menjadi saksi, bahwa kompetisi dan pameran semacam ini rutin terjadwal.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 14/03/2010.]