Thursday, June 26, 2008

Galeri (di) Semarang

"Berkoper-koper Cerita" of Hardiman Radjab exhibited at
Rumah Seni Yaitu: August 3-20, 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

KEPINDAHAN Galeri Semarang, dari lokasi awal di jalan Dr Cipto ke kawasan Kota Lama Semarang, membawa sinyal optimisme. Diharapkan, kawasan dengan fasad keeropaan itu akan berwajah kultural baru. Sejatinya kawasan itu layak digagas menjadi ruang kreasi seni-budaya internasional.

Meski digambarkan sebagai kawasan yang sangat potensial, dalam skala industri turisme, Kota Lama selama ini terlelap terus. Tak ada kegiatan kultural yang memadai. Yang tampak hanya irama monoton kehidupan harian. Lingkungan tidak terpelihara dan terkesan kumuh.

Pameran foto “Blank Spot” di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe Semarang, Desember lalu, jelas-jelas menggambarkan kawasan itu sebagai wilayah yang tak terurus, bermasalah, dan di ambang kehancuran. Pada malam hari daerah itu terasa sangat mencekam: sepi, suram, dan nyaris tidak ada denyut kehidupan yang berarti. Dan emperan menjadi istana peraduan bagi mereka yang tidak berumah.

Sudah lama pemerintah tak mampu mengolah kawasan itu menjadi lebih hidup, meskipun tak sedikit dana telah dikucurkan di sana. Beberapa program sudah dibuat, namun kenyataannya wilayah itu tetap saja tidak terurus. Kenyataannya, jejak-jejak sejarah kolonial di sana meninggalkan aneka bangunan dan lingkungan yang menawan. Wilayah ini, jika digarap secara integral, laik menyerupai kawasan Dashanzi atau areal ‘798’, yakni pusat seni rupa kontemporer kelas dunia di Beijing. Bedanya, di sana kawasan itu adalah bekas tangsi-tangsi militer China.

Kehadiran satu galeri seni rupa di Kawasan Kota Lama sangat mungkin menjadi impetus pertumbuhan budaya baru di kawasan itu. Harapannya adalah agar seluruh programnya juga memberikan kontribusi positif bagi kotanya.

Agen Budaya
Sudah saatnya para pemangku kepentingan kota memandang pertumbuhan budaya dalam perspektif kreatif-industrial. Banyak contoh keberhasilan yang bisa dikisahkan. Parade fesyen jalanan di Rio de Jainero adalah contoh industri budaya yang fenomenal. Bienial seni rupa di beberapa negara —semisal Venice, Havana, Gwangju, dan Beijing— termasuk industri budaya-kreatif dengan perputaran kapital yang menggiurkan. Di Indonesia, bisa jadi, ‘pusat’ produksi artistika seni rupa adalah Yogyakarta. Sedangkan Jember, kota kecil di belahan timur pulau Jawa, mulai menunjukkan diri sebagai buah-bibir budaya fesyen kontemporer Indonesia.

Penting ditumbuhkan kesadaran bahwa industri budaya-kreatif tidak saja mampu mendatangkan devisa, namun pula memberikan harkat mulia bagi suatu bangsa. Pada titik ini, galeri sebagai salah satu komponen dalam ‘industri’ seni rupa terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan.

Menimbang peran seni dalam investasi kultural suatu bangsa, jelaslah, inisiasi suatu ruang mediasinya menjadi penting dihargai. Apalagi negara atau pemerintah tidak pernah memberikan atensinya sedikitpun. Perhatian juga tidak muncul dari dewan-dewan seni apapun.

Galeri seni rupa punya peran ganda, yakni sebagai ruang mediasi karya seni dan agen budaya. Galeri—dalam kalimat Brian O’Doherty (“The Gallery as a Gesture”, 1981): “… leads in two directions. It comments on the ‘art’ within, to which it is contextual. And it comments on the wider context —street, city, money, business— that contains it.”

Kebanyakan galeri membidik sisi komersialnya saja. Rutinitas pameran hanya diniatkan sebagai ajang jual-beli karya—terutama lukisan. Memang tidak bisa disangkal bahwa galeri (komersial) mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar pada karya seni yang dimediasikan. Kesejahteraan seniman, pada akhirnya, meningkat pula.

Sebaliknya, galeri bisa mengenalkan karya seni sebagai media apresiasi dan sarana edukasi. Singkatnya, galeri berfungsi sebagai ruang produksi signifikasi. Seniman dan audiens dipertautkan dengan karya seni di ruang galeri. Dari sini lahirlah, idealnya, pemahaman bersama tentang nilai-nilai (values) estetika karya seni itu. Juga, nilai guna seni (dalam perspektif sosio-politis, misalnya) bisa dikembangkan menjadi media penyadaran publik; seni sebagai pembentukan nilai-nilai etika kemasyarakatan.

Galeri pantas menjadikan dirinya sebagai katalisator atau impetus praktik seni dan kultur kota. Program-program yang dijalankan diharapkan mampu memberikan nilai tambah kultural: bagi masyarakat seni dan pendukungnya, juga publik secara keseluruhan. Singkatnya, galeri sebagai sarana transformasi kultural.

Sebagai salah satu agen budaya, pusat diskursus dan praktik produksi seni mutakhir di dalam medan sosial seni yang ‘sehat’, galeri pantas memainkan peran sebagai ‘pengawal’ etika komunitas. Akan tetapi, galeri mesti menepis praktik wacana hegemonik dan menghindar dari kepongahan sebagai satu-satunya penentu selera maupun nilai. Tegasnya, demokratisasi gagasan conditio sine qua non bagi lahirnya pemikiran dan karya seni superlatif-komparatif.

Pendeknya, lembaga galeri jangan hanya dikonstruksi sebagai mesin cetak uang dari praktik komodifikasi karya seni. Galeri, ibaratnya, adalah plasa atau ruang pertemuan kultural; penanda zaman.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Selasa, 17/06/2008.]

Friday, June 20, 2008

Selain Representasi, pun Interpretasi

Advy Photo Expo "C4C" at Rumah Seni Yaitu, June 10-28, 2008.
[Photo: Importal's collection]

NIRWAN Ahmad Arsuka—dalam suatu risalahnya—mengandaikan bahwa seni rupa adalah sastra, dan lukisan adalah puisi, maka fotografi adalah bahasa[1]. Tampak jelas—dalam pandangan ini—fotografi adalah suatu ‘bahasa’ dan bersamanya dunia dialami dan dipahami.

[1] Nirwan Ahmad Arsuka, “Sontag, Citra, Waktu” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam nomor 23-2007, edisi online.

Tatkala sastra—tentu di dalamnya termasuk semua genre penulisan, tak terkecuali yang hanya bersifat sastrawi—dituliskan dalam dan melalui bahasa dan puisi pun demikian, maka bahasa mendapat peran sentral. Peran penting bahasa itulah, dan dikaitkan dengan fotografi, yang ditonjolkan oleh Arsuka. Menurut pemikirannya pula, fotografi tak lain termasuk dalam domain seni rupa; atau seni visual. Pernyataan ini niscaya menghalau inferioritas, yang di dalamnya para juru foto dalam tempo panjang senantiasa gundah: adakah fotografi di bawah strata seni rupa atau—singkatnya—lukisan.

Dengan menggamit fotografi ke dalam keluarga seni rupa—dan sebagai konsekuensinya—jelaslah kita mesti melacak jejaknya dalam ‘episteme’ kesenirupaan pula. Perkara ini meneguhkan kita, meski dengan sejumlah pertanyaan yang memerlukan kajian lanjutan, bahwa tindak-tanduk teknologi fotografi adalah semacam kelebihannya dibandingkan dengan seni rupa konvensional yang mengandalkan kepiawaian tangan belaka. Kita bisa membuka lembaran sejarah, tatkala daguerrotype ditemukan pertama kalinya pada tarikh 1837, sontak para pelukis semasa gentar oleh kekuatan reproduksinya. Mereka kalut: jangan-jangan teknologi baru itu menindas kedigdayaan seniman.

Akan tetapi, kita paham, di kemudian hari fotografi dipandang sebagai mampu melancarkan ekspresi seni yang demokratis. Hal itu—sekali lagi—menyoal asas-asas reproduksi yang bisa dilakukan oleh praktik fotografi itu. Dan pada tiga dekade pertama abad dua puluh, kita catat dengan takzim, ada sosok Walter Benjamin, kepada siapa kita berhutang pemikiran: aura seni elitis itu—seperti seni lukis—telah sirna oleh lahirnya fotografi[2]. Otentisitas meredup, digantikan praktik reproduktif. Dan oleh karena itu seni, lantas, mampu dikonsumsi oleh siapa saja. Inilah, antara lain, yang menghilangkan praktik pembedaan antara seni tinggi atau seni rendah. Meski perdebatan mengenai keduanya masih berlanjut hingga sekarang—publik pun, dalam praktiknya, tak kuasa benar menyamakan keduanya setara[3].

[2] Walter Benjamin, “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” dalam Illuminations (London: Pimlico, 1999.).

[3] Baca telaah Budi Darma, “Ironi si Kembar Siam Tentang Posmo dan Kajian Budaya” dalam Jurnal Kebudayaan Kalam nomor 18-2001.

Praktik reproduksi dalam dunia fotografi, sebenarnya, tak lain menggandakan imaji sedemikian rupa sama persisnya. Fotografi niscaya berhutang pada teknologi kamera, film (dan kini digantikan oleh piksel digital), dan mesin cetak foto. Meski demikian, ada hal lain yang mesti—dan tak bisa lain—disebutkan dalam perbincangan tentang aspek penggandaan itu. Jelas, yang digandakan—atau direproduksi dan bisa dalam jumlah tak terbatas—ialah citraan atau images. Pada fotografi, citraanlah yang selama ini digeluti.

Citraan dalam selembar foto tak lain ialah representasi[4] dari sesuatu. Jika selembar foto menyuguhkan suatu pemandangan, maka ia bukanlah pemandangan itu sendiri, melainkan representasi dari suatu pemandangan yang riil, yang ada benar. Meski begitu, pemandangan yang kita lihat—dalam dunia kenyataan—sebenarnya tak lebih dari suatu pengalaman di dalam bahasa. Dengan begitu, bahasa mendahului pengalaman eksistensial—pengalaman diwujudkan dalam bentuk bahasa metafor[5]. Menimbang hal itu, bisa jadi analogi ini berujung pada pertanyaan fenomenologis: apakah citraan fotografis itu suatu metafor?

[4] Budi Darma menamai hal representasi itu dengan sebutan ‘versi’, ibid.

[5] Metafor adalah suatu sistem bahasa yang bersifat analogi-simbolik, tidak mededahkan kenyataan sebenarnya, melainkan suatu pelukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Untuk pengantar bahasan mengenai filsafat bahasa, khususnya metafor, lihat I. Bambang Sugiharto, Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003, Cet. 6.).

Sekarang kita paham—dalam dunia yang berhumbalang dan beririsan ini—kita tak kuasa melepaskan diri dari jerat visualitas; kita dikepung oleh suatu dunia yang penuh dengan ledakan gambar. Visualitas itu hampir selalu mempertontonkan imaji-imaji yang terbarui, terkadang ganjil, dan seringkali meneror benak. Ledakan gambar itu, niscaya, representasional. Meski pengertian ini tak selalu berarti: imaji-imaji yang terepresentasi berasal dari realitas empirik atau dunia bahasa yang kita kenal. Patut dikatakan: dunia yang sarat ledakan gambar ini juga merepresentasikan segala ihwal angan-angan. Alhasil, imaji-imaji yang tersajikan terkadang tak kita kenal fenomenanya.

Jika suatu citraan dalam foto adalah hanya suatu representasi, apakah kita masih meyakini bahwa foto itu menyatakan suatu kebenaran? Dalam hal apa yang direpresentasikan, bisakah dikatakan bahwa citraan itu tak lebih perkara kita berbahasa? Sejauh manakah pengalaman berbahasa kita diperlukan dan mampu mengurai linguistikalitas fotografi? Dengan kata lain, esai ini hendak menekankan gelagat fotografi sebagai bahasa, sebagai teks.

Dengan mengandaikan imaji fotografis adalah sebuah teks—bahasa, untuk gampangnya—maka senyatanya diperlukan pengetahuan berbahasa agar orang mampu ‘berkomunikasi’ dengannya. Tata bahasa atau seluk-beluk gambar, tentu saja, tak sama dengan abjad (Latin) yang kita kenal selama ini. Dialog akan produktif jika kita, sebagai misal, membekali diri dengan semiotika. Bagian dari kajian bahasa ini memfokuskan diri pada relasi penanda-petanda dan juga analisis bahasa gambar. Akan tetapi, kita jangan berhenti pada ranah ini saja, sebab ada banyak peranti—misal: hermeneutika, sejarah, antropologi—yang bisa dipakai sebagai alat bantu analisa.

Berbagai cara ‘membaca’ foto itu sebenarnya merujuk pada keyakinan: bahwa praktik interpretasi—atau tafsir bebas, jika hendak disederhanakan—pantas dirayakan. Suatu laku pengkajian terhadap foto, tidak lain, ialah praktik interpretasi terhadap sesuatu teks di dalam konteksnya[6]. Jelas sudah, fotografi—seperti mesti dan hampir selalu—didekati dari sudut interpretatif, personal dan subyektif.

[6] Bagi E.D.Hirsch Jr, “… konteks adalah sesuatu yang sudah ditentukan—pertama oleh pengarang dan kemudian, melalui rekaan, oleh penafsir. Konteks bukanlah sesuatu yang sudah ada begitu saja tanpa ada orang yang membuat batasan-batasannya.” Lihat E.D. Hirsch Jr, “Keabsahan sebuah Interpretasi” dalam Hidup Matinya Sang Pengarang (Toeti Heraty, ed., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.).

Setakat ini fotografi Indonesia abai pada ihwal ekstrinsik—dunia luar, kata lainnya—relasi foto dengan dunia luar itu dan bagaimana serta dengan cara apa fotografi layak didekati; tak hanya menyoal teknologinya[7].

[7] Tentang teknologi fotografi, ketika lensa dan film belum setajam sekarang, Rudolf Mrazek menulis “Orang-orang pribumi yang biasa bergerak terlalu cepat, akan dibuat diam”. Lihat Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.).

Semarang, 20 Juni 2008

[CATATAN: Esai ini dibawakan dalam diskusi di Rumah Seni Yaitu, Jumat, 20 Juni 2008, jam 19:00 WIB—mengiringi ADVY Photo Expo “C4C” tanggal 11—28 Juni 2008.]

Sunday, June 15, 2008

Gebalau Seni, Sirnanya Aura Itu

"Kisah:Kesaksian" Exhibition at Rumah Seni Yaitu:
Oct 26-Nov 5, 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

DI PELATARAN Sangkring Art Space, tiga penyanyi dangdut membetot animo audiens, meski timbre mereka pas-pasan saja. Kelebihannya: liukan tubuh mereka bak magnet membetot sukma penonton lelaki.

Malam itu, Sabtu (31/5), desa Nitiprayan-Yogyakarta bergeletar. Tak saja dentam organ tunggal—dimainkan oleh pelukis Hadi Susanto—pula rentak gendang memeriahkan desa itu. Tak syak, keriuhan dipicu oleh hadirnya tiga penyanyi belia nan molek. Pinggul-pinggul mereka tak henti-henti mengentak kencang. Tubuh-tubuh itu cuma dibalut busana minimalis—tank-top dan celana pendek ketat. Pada salah satu penyanyi itu, saya pastikan, bibir celananya sejengkal di bawah pusar—ajaib, potongan kain itu tak melorot.

Musik terus berdentam—tubuh-tubuh segar itu tak henti meliuk-menggeliat. Langit malam—di atas Nitiprayan—sontak memanas. Pemuda kampung blingsatan. Sebagian perupa lelaki pun tak kuasa menahan diri—mereka menghambur di dekat dan di atas panggung: berjoget canggung, bergelejotan. Tampak Samuel Indratma, tokoh mural Yogya berambut gimbal, bergoyang lucu—ia mengingatkan kita pada gerak koreografi topeng monyet jalanan. Ada bule-kurus—seolah tak terurus—terus bergoyang; aneh dan menggelikan. Arahmaiani, perempuan perupa kontemporer, turut berjoget—pinggulnya bergerak-gerak seperti putaran baling-baling helikopter.

Tak perlu suara merdu untuk memanaskan suasana—yang penting goyangan penyanyinya; begitulah teriakan beberapa orang. Yuswantoro Adi, perupa tambun itu, sesekali berteriak menenangkan massa. Di sudut panggung, mendekati tiga penyanyi itu, dia tampak duduk tak nyaman. Ia terlihat bergelora seolah menahan sesuatu hasrat. Seakan-akan hendak menunjukkan kecakapannya pula, Putu Sutawijaya—si empunya Sangkring—turut berjoget. Perut buncitnya terantuk-antuk naik-turun—kucirnya bergoyang ke kiri-kanan. Sang istri mengabadikan segala tingkah polanya. Klop: lucu.

Nitiprayan, kita tahu, tempat mukim beberapa perupa kontemporer Indonesia yang menjadi buah bibir belakangan ini. Di sana, untuk menyebut sebagian saja, ada Putu Sutawijaya dan Nyoman Masriadi. Keduanya tercatat sebagai lokomotif yang menghela gebalau pasar seni rupa Tanah Air. Di balai lelang Sotheby’s Singapura muasalnya—April 2007—satu karya Putu Sutawijaya meraih hammer-price mendekati US$ 60,000. Sebulan kemudian karya Nyoman Masriadi melambung di Christie’s Hong Kong. Semenjak itu pasar seni rupa Indonesia melesat liar tak terkendali. Koran New York Times edisi Rabu (2/4) menyebut kejadian itu sebagai “Insiden Mei 2007”. Bukan salah kedua perupa Bali itu, tentu.

Dengan mengeja Nitiprayan, niscaya kita mesti menyebut pula Sangkring Art Space. Sudah setahun ini Nitiprayan diramaikan oleh kehadiran ruang pamer itu. Tak jelas bagaimana secara persis menyebut bentuk bangunan atau arsitekturnya. Gedung tiga lantai itu menjulang tinggi—menjadi tetenger baru, meski dengan fasad yang tak lazim; tepatnya aneh.

Pada malam itu sebenarnya ada pembukaan pameran lukisan Kisah Dua Kota di Sangkring. Pameran yang dikurasi oleh Wahyudin itu menampilkan sepuluh seniman Bali dan Yogyakarta. Keriuhan di luar ruang pamer sepertinya menepis animo penikmat seni untuk berlama-lama menatap karya-karya yang tergantung. Para seniman yang terlibat pameran pun bereaksi tak acuh. Ini gelagat yang aneh—seakan-akan mereka tak hirau pada karya-karyanya sendiri. Atau mungkin mereka terlalu percaya diri bahwasanya karya-karya itu akan menemukan pembutuhnya masing-masing?

***

Perilaku pasar seni rupa Tanah Air memang aneh—tak mudah dikalkulasi dan seringkali bersifat anomali. Meski begitu, antinomi pasar juga menyodorkan stimulus kapital yang tak tanggung-tanggung. Celakanya, banyak seniman muda (dan tak terhitung seniman tuanya)—dengan akar kreatif yang belum mendarah-daging—turut tersedot dalam pusaran artistika imitatif. Mereka meladeni nafsu pasar—mereka cuma memproduksi karya medioker. Bahkan tak jarang cuma bisa meniru gelagat seni lukis kontemporer China: lukisan representasional dengan latar datar sederhana. Tak ada evokasi—tak jelas pula makrifatnya. Mereka mempraktikkan “estetika China kontemporer” itu dengan “tanpa sensor dan rasa malu sedikit pun” (Aminudin TH Siregar, Kompas, Minggu, 1/6).

Akan halnya pasar yang tanpa acuan—tuna wacana—memang menguntungkan para spekulan. Orang-orang inilah yang kerap mengeruhkan tatanan dan meringkus dialektika yang terbangun dalam dunia gagasan seni. Sisi positifnya, maraknya komodifikasi lukisan seperti sekarang ini juga berjasa melahirkan sekian banyak pembutuh benda seni itu. Sebaliknya, saya teramat khawatir, akan ada sekelompok orang—para calon kolektor seni yang serius—yang dirugikan akibat turbulensi pasar yang sangat membodohi itu.

Situasi yang penuh keganjilan itu—di satu pihak kesejahteraan seniman lukis meningkat, di lain pihak terjadi pemiskinan diskursus seni—semestinya memaksa para pemangku kepentingan mengurai labirin dunianya. Kenyataannya sungguh jauh dari harapan. Lihatlah, para penulis atau kritikus seni malah berhumbalang menjadi kurator. Meski kita paham, tugas kurator tak bisa dianggap ringan. Akan tetapi, pada praktiknya, acap terlihat hasil kuratorial yang tak lebih sebagai pemanis suatu pameran. Fungsi kurator yang mampu memediasi seniman dan karyanya dengan publik terkotori oleh praktik kuratorial yang menyenangkan pemodal (baca: pemilik galeri) saja.

Determinisme pasar seni rupa pada akhirnya hanya melahirkan sekian banyak pameran etalatif bergaya art shop. Praktik yang memalukan itu melibatkan dan dikawal pula oleh sekian kurator yang kita punyai—juga menempati sekian ruang pamer yang (kelihatannya) terhormat. Simak pameran-pameran bertajuk “Survey”, “Manifesto”, dan “Freedom”.

Sebenarnya, fenomena apa atau siapa di balik kegaduhan pasar seni itu? Beberapa sinyalemen menyebutkan, boom pasar seni rupa kita diakibatkan oleh luberan dari perdagangan seni kontemporer China di tingkat dunia. Karena harganya semakin meninggi, maka para pembutuh seni kita tak mampu lagi membeli karya seni dari China daratan itu. Imbasnya, tak syak, situasi pasar kita menjadi tak terkendali. Akan tetapi, siapa di balik semua eforia itu? Tak jelas memang—selain kita hanya bisa mensinyalir, bahwa sabur-limbur itu diberi impetus pula oleh sebagian (besar) para pemilik galeri yang cuma melansir praktik komodifikasi lukisan.

***

Kapan gebalau pasar seni kita akan berakhir? Siapa yang dirugikan dan akan menjadi korban? Apakah seniman kita mampu lepas dari jerat kontingensi pasar?

Esai ini tak hendak menjawab atau mengurai buhul persoalan itu. Saya pun tidak berpretensi ingin menjelaskan ihwal pameran di Sangkring atau yang di Taman Budaya Yogyakarta. Oleh sebab pasar seni dan kelimun telah menjadi esoterik pada dirinya sendiri, maka tak perlu ada eksplanasi mengapa—sekarang dan di sini—perupa cuma melahirkan lukisan-lukisan dangkal.

Tak perlu dijelaskan mengapa Mona Lisa dan Frida Kahlo ditampilkan secara kasar terpiuh dan tanpa kedalaman. Untuk meraih yang auratik, tak cukup hanya tampilkan ihwal ikonik. Apalagi jika teknis pun tidak memadai. (Tubagus P. Svarajati, penikmat seni rupa)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu, 15/6/2008.]

Thursday, June 5, 2008

Mahasiswa, Film, dan Leha-leha

"Kertas Kerja Jogja" exhibited at Rumah Seni Yaitu, September 2006.
(Photo: Ferintus Karbon)

SAYA bukan movie-goer. Tentang ini perlu saya utarakan, terutama, oleh karena satu hal: film bukan minat saya yang pokok. Sejelasnya ini sebuah apologia: saya tak menguasai sekian banyak pengetahuan tentang perfilman.

Bagi saya, film atau gambar sekuensial itu teramat sarat dengan pelbagai kemungkinan telaah. Sebab, kita tahu, di sana tak cuma gambar yang kita cermati, namun sekaligus meliputi episteme tentang, antara lain: property, wardrobe, tata cahaya, tata rias, musik, narasi atau teks dialogal dan setimbunan pokok soal yang lain. Membincangkan fotografi lebih menggairahkan dan—karena dilandasi minat personal—terasa lebih mudah bagi saya.

Lalu, apa yang mesti saya utarakan terkait dengan suatu lembaga mahasiswa, di Semarang, yang sekaum-sepaham tentang perfilman? Tak ada yang aneh menimbang kumpulan mahasiswa itu selain tak banyak aktivitas yang dihasilkan oleh mereka.

Sudah jadi rahasia umum, suatu kelompok kemahasiswaan tak pernah bisa menorehkan aktivitas konstan dan konsisten. Selain karena faktor keanggotaan yang cair, keterbatasan waktu, hingga tak adanya impetus kreativitas. Ini semua, pada akhirnya, menjelaskan secara sederhana bahwa kalangan mahasiswa itu jarang melahirkan karya-karya yang menakjubkan.

Akan tetapi, mesti ada justifikasi lain yang bisa disampaikan. Benar, anak-anak muda mahasiswa itu sedang bertumbuh, mencari bentuk, dan di sana-sini terantuk pada kurangnya akses atas modal. Kendati begitu, andai saja khalayak punya etos melangit, termasuk pula mereka: mahasiswa itu, setiap kendala dan aral laik disiasati demi hasil akhir yang lebih baik.

Acapkali pada etos itulah kita kehilangan arah. Kita menyaksikan, dengan derajad keheranan yang mustahak, anak-anak muda yang, konon, penerus bangsa itu tak punya inisiatif yang memadai. Maka, kerap mereka cuma tampak sedang berleha-leha.

Kadang-kadang, secara sporadis, ada pula sejumput mahasiswa dengan aktivitas dan pemikiran serasa memadai. Pada merekalah mesti diberikan perhatian. Digenjot dengan omnibus pemikiran.

Komunitas pecinta film, sebagai misal, semestinya tak sekadar menabalkan sederet program mercusuar. Atau cuma mengagendakan sejumlah pemutaran film dengan dalih apresiasi. Sepantasnya disamping ada penikmat, tentu terhormat pula bila ada berderet-deret pekerja film atau penulis dan pula kritikus. Celaka, selama ini khalayak tak pernah dapat kehormatan menyaksikan inisiasi beragam atribut itu.

Arkian, hendak ke manakah kelimun mahasiswa yang bersepaham tentang perfilman itu? Di zaman kiwari, tatkala etos gampang merunduk dan orang kehilangan arah, maka hanya ada satu kata: bangun.

Esei ini taklah laik ditafsir sebagai sepotong risalah mustaid. Niscaya cuma remah-remah gagasan semenjana. Jadi: kalian tak perlu bersitegang atau meracau.