Friday, March 28, 2008

Peace for Tibet!


Deeply sympathy from the bottom of my heart to
the people of Tibet. May God bless your freedom.

Warm Regards,
Tubagus P. Svarajati

Saturday, March 22, 2008

Nalar Pasaran

"Kertas Kerja Jogja" exhibited at Rumah Seni Yaitu;
a join production with Cemeti Art Foundation (now IVAA).

DUNIA seni rupa Tanah Air kembali gegap-gempita. Padahal belum lama art-world kita diserbu oleh karya-karya lukisan seniman kontemporer China. Paradoksnya, tak semua perupa Indonesia menikmati sebaran kapital yang meruah itu.

Hanya sebagian kecil perupa yang siap berlaga dalam ‘industri’ seni rupa yang kian canggih. Kita lihat, tidak banyak nama bertengger pada puncak kapitalisasi artifak seni. Hal itu bisa dilihat dari kiprah sejumlah balai lelang Indonesia atau tingkat Asia.

Kapitalisasi artifak seni rupa, dalam bentuk jual-beli karya terutama lukisan, mulai diminati dan dijadikan ajang investasi. Orang menganggap artifak seni punya ‘value’ dalam bilangan yang menggiurkan. Disamping itu, terlibat dalam praksis berkesenian, meskipun sekadar di tingkat hilirnya, mampu memberikan kebanggaan dan kepuasan batin.

Beberapa hal itulah, antara lain faktor sosial-ekonomi, di luar perbincangan yang menyoal nilai-nilai intrinsik suatu karya seni, turut menyumbang sengkarut kapitalisasi artifak seni.

Peran Perantara
Bagaimanapun karya seni adalah cipta karya seniman dengan latar historisitas dan kepiawaian artistika tertentu. Oleh karena itu, biasanya hanya karya-karya dengan estetika kulminatif yang dapat menduduki posisi puncak dan meraih atribusi memadai secara finansial. Menjadi jelas, tidak semua karya – termasuk senimannya – mendapatkan remunerasi yang memadai. Namun mesti diingat, bahwa penghargaan tidak selalu berasal dari pasar saja yang seringkali berkesan anti-logika. Capaian yang menawan di tingkat diskursus sangat layak dihargai pula.

Dari tahun ke tahun jumlah pembutuh artifak seni meningkat. Hal ini mengindikasikan masih ada peluang bagi para perupa terlibat dalam pasar seni itu. Pasar seni mempunyai segmentasinya tersendiri. Artinya, karya seni dengan tingkatan beragam, jika dikelola dengan baik, niscaya akan menemukan para pembutuh yang tepat pula.

Oleh karena pasar bersifat spesifik, seringkali seniman membutuhkan mediator untuk memasarkan karya-karyanya. Diperlukan berbagai lembaga penyokong untuk menaikkan pamor artistika atau nilai kapitalnya.

Mata rantai perdagangan artifak seni melibatkan banyak perantara. Lembaga itu, antara lain, galeri, kolektor (individual/korporat), balai lelang, art-dealer, kurator, kritikus, lembaga riset budaya/pendidikan, museum seni, pemerintah, dan termasuk juga media massa.

Namun, sayangnya, sejauh ini negara – tepatnya pemerintah – tidak saja pasif namun juga tidak pernah peduli pada ranah seni rupa kontemporer yang pantas dilirik sebagai pengail devisa penting. Peran pemerintah yang memadai akan semakin mempercepat pertumbuhan kapitalisasi artifak seni. Pemerintah China, sebagai misal, membuktikannya melalui ‘Distrik 798’ di Beijing. Sekarang kawasan itu terbukti sebagai salah satu pusat perdagangan seni rupa dunia. ‘The hottest cultural zone’, sebut Financial Times.

Bandingkan dengan kondisi Indonesia. Selama ini kita tidak punya strategi kebudayaan yang jelas. Alhasil, pergaulan seni-budaya Indonesia, di tingkat global, terasa menyedihkan. Kita tentu masih ingat takala pameran KIAS di Amerika Serikat, beberapa tahun silam, cuma dikerling sebagai karya antropologis. Bukan sebagai karya seni kontemporer dalam pergaulan bangsa-bangsa modern.

Kompleksitas perkembangan dan perdagangan artifak seni, ditambah lowongnya peran pemerintah dan lembaga penilai, menyebabkan pasar bergerak tak terkendali. Hal itu diperkeruh oleh praktik takhyulisme: nilai (value) seni yang baik paralel dengan nilai kapital yang tinggi.

Peran Kuasi-Kurator
Belakangan beberapa pemilik galeri mulai mengenalkan karya seni rupa (baca: lukisan) kontemporer Indonesia ke luar negeri, tepatnya di China. Upaya ini diharapkan meraih perhatian pasar tingkat dunia. Kita tahu, pasar seni rupa China sedang melambung beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, cara ini – yaitu melirik pasar China sembari menghampiri gelagat artistika senimannya – tak pelak menggulirkan sentimen di kalangan perupa Indonesia.

Munculnya Tim Buzer (kependekan dari Butuh Uang Zegera) Jogja menggambarkan pekanya sentimen pasar seni rupa kita [lihat “Seni Rupa Berorientasi Pasar Digugat”, Kompas, Selasa (20/11)]. Disinyalir, galeri dan kurator sekarang hanya gemar memediasi karya-karya yang diminati pasar. Akibatnya, ada banyak perupa dan karya seni yang baik – gagasan dan estetika – di luar arus utama kurang diperhatikan. Padahal relasi pasar dan capaian artistika suatu karya seringkali tidak paralel. Pasar acap menunjukkan gelagat rekayasa, mengagungkan tren semata, atau mengekor pada fenomena supply-demand.

Dilema pasar itu juga melahirkan praktik memalukan sebagian perupa termasuk pula kurator kita. Mereka bekerja sekadar memenuhi tuntutan pasar, yakni dari visualitas karya sampai dengan gagasannya dipatok oleh pemodal (baca: pemilik galeri). Akibatnya, artifak seni yang dimediasikan cenderung medioker bahkan tidak jarang tersebut buruk dari kacamata estetika.

Arkian, kerangka kuratorial (intelectual framework) yang digulirkan kurator-pemuja-pasar semata gincu murahan dan cerminan kuasi-intelektualitas. Begitu pula nalar karya seni rupa pasaran itu.

Tubagus P. Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas Rabu, 28/11/2007]

Sunday, March 16, 2008

Sesat Desain Buruk Rupa

[Catatan: Esai ini diterbitkan di Kompas, Rabu (3/11/2004). Tidak ada program serius muncul dari galeri milik DKJT itu. Dalam catatan saya, sepanjang tahun 2007 hanya ada tiga kali pameran. Seterusnya dan sebelumnya juga ruang itu selalu mangkrak.]
***
GALERI Seni Rupa DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah) berada dalam kompleks yang bersebelahan dengan Taman Budaya Maerokoco Semarang. Di areal itu dirancang pula gedung teater tertutup, panggung teater terbuka, dan juga wisma seniman. Meski areal itu belum selesai dibangun seluruhnya, Galeri DKJT (yang telah jadi) pernah digunakan dua kali untuk pameran sketsa dan lukisan.

Dan inilah pangkal masalahnya: konstruksi bangunan Galeri DKJT itu teramat aneh untuk praktik kesenirupaan yang kita kenal selama ini.Memasuki bangunan itu pengunjung akan melewati satu pendopo kecil yang di kiri-kanannya terdapat “gardu” (persis gardu penjagaan di tangsi militer). Ada ruang cekung terbuka di depan pendopo. Pintu Galeri ada dua, di kiri-kanan bangunan, dan untuk mencapainya pengunjung harus melewati koridor pendek. Seluruh dinding Galeri melengkung-lengkung. Jarak dinding berhadap-hadapan terdekat 3,4 meter dan terjauh (ruang tengah yang berbentuk 2 cekungan berhadapan) 8,1 meter. Lebar Galeri sekitar 15 meter. Di beberapa titik, di depan dinding yang bergelombang, berdiri tegak 12 pilar yang hanya berjarak 0,3 meter dari dinding yang dihalangi pandangannya itu.

Arsitektur Galeri itu seperti huruf “C” dengan dua pintu masuk-keluar di kedua kakinya. Pada ruang dalam, di kedua sudut lengkung “C” itu, lantainya dinaikkan dua undakan. Tinggi dinding sekitar 2,5 meter saja. Lampu sorot dipasang sekenanya di dinding atas berbatasan dengan kisi-kisi. Tak seluruh dinding mampu diterangi oleh lampu-lampu itu.

Konstruksi bangunan Galeri itu, konon, digagas menyerupai irama gelombang air laut di tepi pantai. Paham itu, katanya, pas dengan lokasi Semarang yang adalah kota pesisir di pantai utara Laut Jawa.

Publik seni Jawa Tengah terheran-heran oleh paham arsitektur semacam itu. Bagaimana mungkin galeri untuk masyarakat Provinsi Jawa Tengah didesain dan dibangun dengan menolak kelaziman sebuah galeri dengan dinding-dinding yang lebar dan tinggi.

Lihatlah CP Artspace Gallery di Jakarta. Ruang galeri hanya selebar 7 meter dan panjang sekitar 20 meter. Ruang netral itu terasa lapang menyambut kehadiran karya seni dan para apresian. Atau bandingkan dengan Selasar Sunaryo Art Space Bandung. Meskipun arsitektur galeri sangat modern, toh, galeri itu menyediakan banyak dinding yang lebar dan tinggi untuk karya seni dua dimensi.

Secara teknis Galeri DKJT tak layak dipakai untuk berkesenian. Dindingnya tak bisa dipasangi karya lukis yang besar. Selebar satu meter saja sudah menimbulkan persoalan.

Tak ada karya patung atau instalasi yang bisa dipajang bebas dan aman dari lalu lalangnya pengunjung. Apalagi karya seni rupa kotemporer yang acapkali memerlukan ruang spasial yang luas dan tinggi, tentu saja, tak mungkin bersambut di sana.

Memasuki ruang Galeri DKJT itu pengunjung serasa berada di lorong yang sempit dan berkelok-kelok bak komidi putar. Apresian tak leluasa menikmati karya seni yang terpajang karena jarak pandang yang terlalu pendek. Belum lagi persoalan simbolisasi “ombak laut” itu yang selalu bakal hadir dan terus-menerus mengkooptasi karya seni dan mengintervensi proses signifikasi audiens.
***
Dalam konteks kesenian, sebuah galeri (seni rupa) tak sekadar sebuah tempat/place (fisik) pamer, namun ia adalah ruang/space yang kondisional. Bisa jadi ruang yang reaksional pula. Bahkan sarat muatan filosofis, ideologis, sosiologis, politis dan seabrek peneraan lainnya. Tentu saja semua paham itu dalam konteks adanya pameran dan relasi kultural yang terbentuk di sana.

Galeri diartikan sebagai “ruang”, yakni ruang pertemuan ide dan gagasan dalam berbagai artikulasinya. Ia adalah konsepsi tentang pertemuan dan pergumulan antara kehadiran dan ketakhadiran.

Sekarang ini tengara proses penciptaan dan produksi karya seni, dalam kesenian kontemporer, tidak lagi mengabaikan ruang dan unsur keruangan. Ruang dalam konteks kesenian telah menjadi salah satu elemen estetik yang diperhitungkan secara signifikan. Seniman tidak lagi menganggap eksistensi ruang sebagai tempat karya seni terpajang secara fisik dan material saja (place). Tetapi sebaliknya, ruang dan atmosfer keruangannya (space) ialah bagian dari proses kreatif seniman dan – bahkan – menjadi bagian dari karya seninya.

Dalam paham dan relasinya, bahwa galeri sebagai ruang signifikasi interaktif, maka sebuah galeri – dalam bentuk fisiknya yang paling awal – diandaikan sebuah tempat yang “steril” dan “bebas nilai”. Ruangan galeri ialah sebuah tempat bagi seniman, karya seni, dan penonton (audience) atau apresian melakukan percakapan maknawi sehingga hadir tata nilai estetis yang, diamsalkan, menuju pencerahan atau transendental. Atau mungkin sebaliknya diintensikan untuk meneror kemapanan dialektis. Oleh sebab itu, sebuah galeri membiarkan keruangannya “tumbuh” seiring dengan kehadiran artefak dan apresian secara signifikan.

Tata arsitektural sebuah tempat spasial, dalam konteks galeri atau museum seni rupa, semestinya tidak membiarkan dirinya sendiri – tempat fisik dan material itu – sebagai sebuah tempat yang masif dan hegemonik. Struktur bangunan dan peruntukan ruang-ruangnya dirancang agar tidak mendominasi karya seni yang sedang dipamerkan.

Sesungguhnya tak ada parameter yang jelas seperti apakah sebuah ruang galeri yang “standar” itu. Namun, di sebagian besar galeri dan museum di Barat lazim ditemui bentuk ruang “netral” kotak (atau persegi panjang), berdinding vertikal, horisontal, bercat putih, dengan lantai dan plafon putih juga (“Function of Architecture” oleh Daniel Buren dalam “Thinking about Exhibitions”, Routledge, 1999).

Oleh karena itu, bangunan fisik galeri selayaknya membuka katub-katub kemungkinan seliar apapun. Biarkan seniman berinteraksi, bersosialisasi, dan berproses dalam “kekosongan”. Konstruksi dan tata ruang tergantung pada konsep dan ideologi yang hendak diuarkan oleh seniman dan corak keseniannya.

Lantas, bagaimana jika sebuah bangunan yang telah membawa ideologinya sendiri diperuntukkan bagi sebuah galeri seni rupa setingkat Jawa Tengah?
***
Seni rupa kontemporer adalah anak kandung modernitas yang, tidak bisa tidak, erat berkorelasi dengan kebudayaan dan wacana kontemporer. Dia hidup dan dihidupi oleh kapitalisme. Lokasi Galeri DKJT yang menjauh dari pusat kerumunan publik, ditambah lagi dengan bentuk bangunan yang ideologis-hegemonik itu, tidaklah tepat. Idealnya, wacana dan praktik seni rupa kontemporer menghampiri kelimun, bukan malah memunggunginya.

Publik seni Jawa Tengah mengelus dada memendam kalut. Benarkah ide dan desain Galeri DKJT yang amorf itu berasal dari para cerdik-cendekia Pengurus DKJT? Bagaimana kompetensi Komite Seni Rupa-nya yang tidak mampu menggagas ruang pamer yang representatif?

Suatu malam di bulan September 2004, pada pembukaan sebuah pameran, pengunjung terjebak di dalam Galeri. Hujan deras mengantar tempias air dan memerciki lukisan yang tergantung. Lantai basah dan kotor. Saya menjadi saksi itu semua.

Ah, seni rupa Jawa Tengah …, malang nian nasibmu, Nak.

Tubagus P. Svarajati,
Pemerhati seni rupa, tinggal di Semarang

Wednesday, March 5, 2008

Realitas, Ruang, dan Waktu Fotografis

An exhibition at Cemeti Art House
(Photo: Ferintus Karbon)

LAZIMNYA orang menganggap foto adalah representasi sahih atas realitas empirik. Anggapan itu, barangkali, tidak salah karena tanda-tanda objektif di sana diyakini benar adanya.

Akan tetapi, kesadaran fenomenologis itu – pengakuan bahwa citraan dalam foto adalah representasi riil atas suatu fenomena – pantas dipertanyakan. Kita tidak pernah mengira bahwa praktik memotret adalah suatu tindakan intervensi, betapapun kecilnya, terhadap realitas empirik atau momen yang diabadikan oleh fotografer.

Dari jendela bidiknya seorang fotografer, mau tidak mau, diharuskan memilih dan itu artinya, seperti yang diungkapkan oleh Michelangelo Antonioni: “Dengan membuat seleksi, Anda memalsukannya. Atau, seperti kata orang, Anda menafsirkannya” (via Seno Gumira Ajidarma/ SGA dalam “Kalacitra”, Esei-esei Bentara 2002, Penerbit Buku Kompas, 2002).

Perkara campur tangan itu dengan mudah kita analisis dari sisi ini: dunia atau realitas di hadapan fotografer membentang tak terbatas dan ketika dia membidik lalu membingkai sesuatu perkara atau kejadian (=fenomen), berarti dia telah meniadakan yang lain untuk hanya satu frame tertentu. Keputusan memilih ini jika bukan ‘pemalsuan’ (atau tindakan manipulatif) adalah suatu penafsiran tentang dunia. Dengan memilih berarti mengeliminasi dan itu jelas menegasikan (menidakkan) yang lain.

Terang sudah, sebuah foto adalah suatu konstruksi subjektivitas. Dengan kata lain, tak ada foto yang benar-benar objektif sekalipun itu foto jurnalistik yang, dalam semangatnya, tidak mentolerir adanya praktik manipulasi.
***
Lantas, realitas seperti apakah yang hadir dan dipilih oleh fotografer dan mewujud dalam sebingkai foto?

Pertanyaan di atas berujung pada suatu pengandaian tentang seseorang fotografer dengan kesepenuhan tanggung jawab, historisitas, imajinasi, intensi, juga ideologinya yang bercampur aduk dan mengkonstruksi karyanya.

Dus, seorang fotografer – tak peduli ia seorang profesional, amatir, atau pemula – akan melahirkan karya foto sesuai dengan batas-batas kemampuannya sendiri. Deskripsi ini mendedahkan mengapa satu karya foto dengan yang lainnya, kendati memvisualisasikan momen atau pesan yang sama, tidak akan sama persis nilai-nilai intrinsiknya. Dengan begitu sebuah foto merefleksikan suatu penggal kompleksitas identitas fotografernya.

Jelaslah, selembar foto adalah jejak-jejak kultural dari sesosok individu yang bebas merdeka, individualistik, dan eksistensialistik.

SGA mengatakan bahwa realitas dalam foto adalah “realitas (yang) selalu retak, dalam pengertian selalu berubah karena berada dalam waktu, dalam temporalitas” (ibid). Maksudnya, realitas – yang terepresentasikan sebagai momen atau kejadian – adalah masa lalu. Begitu juga waktu kejadian adalah waktu lampau. Namun sebaliknya, seseorang memaknai selembar foto dalam konteks kekinian, dalam situasi kontemporer.

Realitas yang terpenggal dan waktu yang terkompresi – dalam selembar foto – dihadirkan lagi secara live oleh pemandang yang sedang berdialog dengan foto itu. Tegasnya, seseorang pemandang foto itulah yang menghidupkan fenomen dan mengalirkan kemewaktuan fotografisnya.

Dalam kajian semiotika Barthesian, realitas dalam foto adalah representasi paradoksal. Mengapa? Sejauh ini pengalaman kehadiran mengandaikan adanya relasi spasial dan temporal pada satu titik, yaitu subjek. Sedangkan representasi realitas dalam foto memunculkan anggapan sekarang dan di sini dan dulu dan di sana (ST. Sunardi, Semiotika Negativa, Penerbit Kanal, 2002).

Lebih jauh Roland Barthes juga menyatakan, bahwa realitas dalam foto adalah realitas paradoksal, real-unreality. Disebut unreality karena realitas itu sudah lampau, bukan here-now. Sebaliknya disebut real karena realitas dalam foto bukan ilusi, ia adalah presence secara spasial.

Membicarakan realitas terkait erat dengan ruang. Realitas hadir menempati ruang tertentu. Tempat (place) dan ruang (space) dibedakan berdasarkan kehadiran-ketidakhadiran sebagai berikut: yang pertama dicirikan oleh adanya perjumpaan langsung, sedangkan yang kedua dicirikan oleh hubungan antarmereka yang tidak hadir (Anthony Giddens dikutip Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, Penerbit Bentang, 2005).

Dalam konteks fotografi, analog dengan pemikiran Giddens tadi, kita barangkali bisa mengatakan bahwa ruang adalah kehadiran yang ditandai oleh pemandang saat mengapresiasi atau meresepsi sebuah foto. Kehadiran pemandang dalam ruang yang sama dengan realitas fotografis itu bukan kehadiran secara fisik, melainkan kehadiran dalam ruang simbolik. Hubungan dialogal antara pemandang dengan foto di hadapannya melahirkan ruang signifikasi atau pertemuan nilai-nilai (ketidakhadiran).

Seterusnya pemandang meyakini, bahwa realitas atau fenomena dalam selembar foto itu benar adanya dan menempati ruang spasial tertentu, meskipun eksistensialitas itu senyatanya hanya di lembaran kertas foto. Kebenaran di sana dipercayai sepanjang jika mencitrakan atau ditandai oleh adanya tengara-tengara ikonik, simbolik, atau metaforik dari realitas empirik yang sudah dikenal, dialaminya atau terbayangkan ada.

Momen kejadian atau realitas – dalam perbincangan fotografis – menempati ruang dan terfragmentasi dalam satuan waktu tertentu. Dengan kata lain, realitas dalam foto terkonstruksi di dalam suatu ruang spasial tertentu dengan rentang waktu yang terkompresi. Prosesnya begini: fenomena ruang dan waktu eksistensial (sebelum “diambil” oleh kamera) dicerabut dari asalnya (melalui mekanisasi kamera) dan terbekukan dalam selembar foto. Kondisi ini setidaknya memenuhi asersi “perentangan waktu-ruang”/”time-space distanciation” (B. Herry-Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar, KPG, 2002).
***
Sesungguhnya, waktu adalah dimensi yang utama dalam fotografi (David Finn, How To Look At Photographs, Penerbit Harry N. Abrams, Inc., 1994). Perbincangan tentang foto selalu melibatkan dimensi waktu, yaitu masa lampau yang terkompresi.

SGA (ibid) menuliskan, bahwa: Pengertian “mengabadikan” – dalam fotografi – bukan berarti sebuah foto membekukan waktu itu sendiri, melainkan karena momen yang terekam dalam foto itu terus-menerus berada dalam waktu, yang begitu relatif dalam pembermaknaan manusia sebagai Subjek-yang-Memandang. Dengan kata lain, pernyataan SGA itu berarti: dimensi waktu yang terbekukan dalam foto hanya dan selalu dihidupkan oleh dan di dalam imajinasi sang pemandang.

Di dalam fotografi, kode-kode realitas-ruang-waktu itu dimampatkan sedemikian rupa – hanya – dalam selembar kertas. Fenomena itu akan hadir dalam kesepenuhan maknawinya bagi siapapun seturut historisitasnya dan dalam kontekstualitasnya sendiri, meskipun dimensi nilai-nilainya tidak seragam bagi setiap orang.

Sesungguhnya selembar foto adalah sekeping citraan (image) sekalipun ia merepresentasikan realitas, ruang, dan waktu eksistensial. (Tubagus P Svarajati, mendirikan Mata Semarang Photography Club, 1998)

[CATATAN: Dikirimkan ke Suara Merdeka, Rabu 9/1/2008]