Monday, October 25, 2010

PASFOTO JUGUN IANFU

[Photo: Tommas Titus Kurniawan]

APA pentingnya pasfoto para perempuan renta itu dipamerkan? Rautnya berkeriput, matanya menatap kosong, kulit sawo matang, dan tanpa polesan atau pun perhiasan. Sebagiannya, ketika potret dirinya dipertontonkan ke hadapan publik Semarang saat ini, bahkan telah mangkat.

Pameran foto “Jugun Ianfu”—Unika Soegijapranata Semarang (11—23/10)—ini menimbulkan enigma bila tidak diberi informasi jelas. Sebab, lazimnya pasfoto tak memberikan kemungkinan eksplorasi maksimal di ranah artistik mau pun teknis. Barangkali satu-satunya telisik ialah: Apa wacana di sebaliknya dan intensi sang fotografernya serta siapa subyek terpotret itu.

Pasfoto dikenal luas di seluruh dunia. Ini adalah potret diri dengan pose lugas, frontal, hampir tanpa aksesoris dengan memperlihatkan ciri-ciri paras yang jelas. Kegunaannya nyaris seragam: demi kepentingan dokumentatif. Dalam penelitian doktoralnya di Indonesia, Karen Strassler (Michigan University, 2004) menyimpulkan, melalui fotografi (termasuk pasfoto) orang Indonesia menemukan cara untuk menjadi modern.

Selain itu, dalam kajian poskolonial, rezim Orde Baru menggunakan pasfoto sebagai alat kontrol terhadap warganya. Pasfoto digunakan di hampir semua sisi administrasi negara. Lebih sebagai identitas personal, pasfoto adalah sarana negara mendisiplinkan warganya. Melalui pasfoto negara menancapkan kekuasaannya dan, sebaliknya, warga pun mengakui kehadirannya dan mematuhi aturannya. Negara mencatat, memilah, dan mendokumentasikan mana yang warganegara dan yang bukan (“liyan” yang liar). Pada pasfoto terjadilah pertemuan atau relasi antara kekuasaan negara dan warganya.

Jika diteliti, pada selembar pasfoto nilai-nilai atau karakter personal direduksi hanya sebatas data, numerik, statistik, atau citra-citra digitalis (satuan piksel!). Singkatnya, visibilitas tak sama sebangun dengan identitas.

Dalam kompleksitas wacana itulah selaiknya pameran foto itu dipahami. Subyeknya adalah perempuan jugun ianfu (comfort women) atau “wanita penghibur” alias “budak seks” para serdadu Jepang ketika Saudara Tua itu menjajah Indonesia selama 1942—1945.

Kejahatan Perang
Isu jugun ianfu mulai merebak di Korea Selatan berkat suara gigih para aktivis hak asasi perempuan. Dunia kian gempar ketika Kim Hak Soon, salah satu penyintas (survivor), pada Agustus 1991, memecahkan kebisuan dan bersaksi, dirinya adalah salah satu korban proyek militer balatentara Jepang pada PD II. Testimoni Kim terpicu oleh pernyataan pemerintah Jepang yang tidak mengakui adanya kekerasan seksual itu dan menolak minta maaf atau melakukan investigasi apa pun.

Sejak itu banyak penyintas lain berani muncul ke publik. Cerdik cendekia, jurnalis, para aktivis HAM pun giat melakukan penelitian dan advokasi. Beberapa penyintas menuntut pemerintah Jepang mengakui kejahatan perang itu dan memberikan ganti rugi kepada mereka. Di Indonesia, kendati peristiwa itu dipandang sebagai aib dan ditutup-tutupi pemerintah, toh ada juga penyintas yang lantang menyuarakan penistaan yang menimpa mereka.

Salah satu korban Indonesia yang santer menuntut hak-haknya ialah Mardiyem. Perempuan Jawa ini diiming-imingi berlakon di kelompok sandiwara. Bersama 48 anak perempuan lainnya dia dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan. Segera dia dimasukkan ke kamar nomor 11 Hotel Tlawang. Di sanalah Mardiyem—dipanggil dengan nama Jepang, Momoye—melewati hari-hari kelamnya. “Hati saya remuk. Saya ini dari keluarga baik-baik, lingkungan saya priyayi, kok bisa saya jadi orang nakal,” begitu kata Mardiyem sambil menghela napas seperti dituturkannya kepada Radio Nederland (28/3/2007).

Kekerasan jender itu juga terjadi di Timor Timur selama pendudukan Indonesia. Komisi pencari fakta dan kebenaran Timor Timur menemukan fakta perempuan menjadi sasaran perkosaan, perbudakan seks, dan berbagai kekerasan seksual lain. Kesaksian perempuan Timor Timur yang diperlakukan tidak senonoh selama pendudukan Jepang (1942—1945) dan Indonesia (selama 24 tahun) dipamerkan di Museum Aktif Wanita tentang Perang dan Perdamaian di Shinjuku Ward, Tokyo, Desember 2006 (The Japan Times, 23/12/2006).

Bagaimana nasib bekas jugun ianfu Indonesia? Hanya ada satu kata: merana. Hingga wafatnya, Mardiyem dan perempuan-perempuan Indonesia senasib dirinya tidak mendapat kompensasi apa pun. Padahal pemerintah Jepang memberikan ganti rugi uang atas keputusan vonis bersalah oleh Pengadilan khusus Wanita Kejahatan Perang Internasional tentang Perbudakan Seksual Militer Jepang di The Hague, Netherlands, Desember 2001. Dengan dalih kepentingan sosial lebih besar pemerintah Indonesia menahan uang ganti rugi dan malah dibagikan untuk keperluan yang sumir.

Fakta-fakta di atas, antara lain, yang memicu jurnalis Hilde Janssen—koresponden harian Algemeen Dagblad di Indonesia—melacak keberadaan para penyintas Indonesia. Bersama fotografer Jan Banning, dia merekam sebagian narasi kelam sejarah PD II dengan mewawancarai dan memotret sekitar 50 perempuan renta di pelosok Jawa, kepulauan Maluku, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Timor Barat. “Sebelum semuanya terlambat,” kata dia.

Diperkirakan, proyek seksual militer Jepang jugun ianfu menelan korban 50.000—200.000 orang, termasuk di dalamnya antara 5.000—20.000 perempuan Indonesia. Kini, 18 perempuan korban keganasan perang itu hadir di Semarang melalui foto-foto mereka hasil bidikan Banning, fotografer peraih penghargaan World Press Photo.

Foto-foto yang ditampilkan seragam: pasfoto yang memperlihatkan raut wajah dan sebagian bahu. Titik fokusnya ada di mata para subyek terpotret. Pencahayaan tunggal dari arah samping. Dengan cara ini, ditambah keuzuran subyek terpotret, tekstur muncul kuat. Foto-foto tersebut patut ditafsir sebagai gambaran kekerasan hidup dan kekejian perang yang mereka alami.

Wacana Dekonstruksi
Pada hemat saya, tanpa lumuran sejarah kelam yang dilakukan balatentara Jepang pada PD II, seluruh pasfoto Banning bernilai sebagai citraan dokumentatif belaka. Tegasnya, konteks eksternalnya memberikan bobot kemanusiaan universal pada foto-foto yang dipamerkan itu. Maka, citraan Wainem, Icih, Rosa, Kasinem, Emah atau Mastia hadir dengan seluruh getar penderitaan, kegetiran hidup, dan aib yang, barangkali, akan di bawanya ke liang kubur.

Banning dan Janssen—melalui “proyek wanita penghibur” ini—memberikan wacana tanding atas peran dan kehadiran negara dalam masyarakatnya. Ironis, negara luput mencatat, bahkan terasa melakukan pembiaran terstruktur, nasib getir sebagian warganya. Barangkali data diri para penyintas—nama, umur, asal, agama, pendidikan, dan pasfoto—tidak ditemukan dalam arsip negara. Seakan-akan negara melupakan mereka yang dianggap ber“dosa”.

Di sinilah kontribusi Banning dan Janssen—keduanya wong Landa—yang menghidupkan narasi sejarah Indonesia, meski pahit, dan menghadirkannya untuk publik Indonesia. Mereka hendak bilang, monumen ingatan mesti dibangun agar peristiwa serupa tidak terulang.

Di satu lembar pasfoto, negara menancapkan kekuasaannya: Warganya dicatat. Sebaliknya, negara abai dengan tidak memotret warganya jika dianggap “kotor”.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 24/10/2010/]