Monday, October 22, 2012

Jika Orhan Pamuk Melukis Semarang

[Photo: Tubagus P. Svarajati]

ORHAN Pamuk, sastrawan dan cendekiawan Turki peraih Nobel Sastra 2006, terpukau-terenyak bila mengamati lukisan-grafis Antoine-Ignace Melling (1763-1831). Tak seperti orang Barat lainnya, Melling melukiskan Istanbul dan Bosphorus dari perspektif orang dalam dan kecermatan seorang Barat. Testimoni Pamuk tentang Melling dapat ditelusuri di bukunya, Istanbul Memories of A City (Faber and Faber Limited, 2006).

Melling melanglang ke Istanbul pada usia sembilan belas yang mungkin terinspirasi oleh Gerakan Romantisme yang menguat di Eropa saat itu. Tak dinyana, di sana ia tinggal selama delapan belas tahun. Ia meninggalkan warisan berharga, sebuah buku lukisan-grafis, tentang kebesaran dan keindahan sebuah kota tua.

Bagi Pamuk, yang paling mengejutkan dari lukisan Melling ialah ketepatannya. Zaman keemasan Istanbul digambarkan secara rinci, utamanya pada sisi arsitektural, topografi dan kehidupan sehari-harinya. Lukisannya adalah keseimbangan antara suatu karya akademis dan detail-detail atau hal-ihwal manusiawi.

Karya Melling, puji Pamuk, paling bernuansa dan meyakinkan. Melling tidak mempercantik pemandangannya agar terkesan eksotis atau oriental. Lukisan pemandangannya memberikan semacam perasaan gerakan horisontal, tak ada yang melompat di depan mata, dan eksplorasinya yang tak terbatas terkait geografi dan arsitektur Istanbul seakan mengajak pemandang untuk menjelajahi sendiri surga yang menawan itu.

Dalam lukisan-grafis Melling, keelokan berkelindan dengan kemurungan-melankolik komunal yang dirasakan penduduknya. Rasa murung melankolik itu, semacam aura ngelangut, oleh Pamuk ditandai sebagai hüzün. Istanbul tak cuma menyimpan artefak atau kebesaran sejarah kota tua, namun sekaligus pada dirinya menanggung beban kehancuran peradaban-peradaban besar. Sejarah kota tua dua ribu tahun Istanbul (sebelumnya bernama Byzantium dan Konstantinopel) seakan turut lenyap bersama dengan keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah, 1923. Pamuk tak menyangkal bahwa penduduk Istanbul didera semacam rasa terasing sebagai orang-orang yang kalah. Bagi dia, Istanbul adalah kota reruntuhan dan kemurungan zaman akhir kesultanan. Namun, seturut John Freely (Istanbul Kota Kekaisaran, Pustaka Alvabet, 2012), karakter dan roh Istanbul tetap, seakan punya jiwa yang kekal.

Roh Istanbul, menurut Pamuk, muncul kuat dari foto-foto lama hitam-putih. Nuansa itu pula yang mendorong Pamuk remaja suka mengambil suatu foto dan melukisnya. Mungkin terkesan oleh teknikalitas lukisan-grafis Melling, atau pelukis Barat lain, Pamuk melukis secara detail pula. Saya bayangkan, suatu kali, Orhan Pamuk menjumput suatu foto Semarang dan melukisnya pula, tekstual ataupun visual.

Lukisan Sejarah Kota
Saya ingat, pada pertengahan 1970-an, pelukis-pelukis Semarang gemar menyusuri jejalanan dan melukis sudut-sudut kota. Tak sejengkal pelosok kota tua Semarang semisal Pecinan, Kampung Melayu, Kauman, atau Kota Lama, luput dari amatan seniman-seniman yang tergabung dalam Sanggar Raden Saleh itu. Ketika itu, sampai dengan 1980-an, Sanggar Raden Saleh identik dengan kesenilukisan Semarang.

Karya taferil pelukis-pelukis tadi, dalam konteks dokumenter, terhitung sebagai bagian dari sejarah sosial kota. Meski kita mafhum, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis. Padahal, seperti halnya lukisan-grafis Melling tentang Instanbul-Bosphorus, karya visual mampu mengabadikan dan jadi bagian dari peradaban suatu kota. Dalam hal yang terakhir, saya pribadi menangisi karya-karya seniman Sanggar Raden Saleh tadi yang tak tentu rimbanya kini.

Seperti cinta dan duka lara Pamuk terhadap kota kelahirannya, Istanbul, niscaya banyak warga kota Semarang pun merindu-dendam pada kota tempat tangis pertamanya meledak di dunia ini. Saya bayangkan ada sosok-sosok ”Pamuk” melalui tulisan, lukisan atau foto meriwayatkan Semarang sepenuh afeksi, totalitas. Maka, lebih dari sekadar harapan, saya menaruh hormat kepada mereka yang rela mencatat atau menarasikan, baik tekstual maupun visual, perkembangan kota kepada khalayak.

Lebih-kurangnya publik patut berterima kasih dan bersoja takzim kepada Amen Budiman dan Jongkie Tio atas ketekunan mereka menarasikan penggalan sejarah kota dalam bentuk tulisan. Catatan Liem Thian Joe pun sangat bernilai untuk menelisik kiprah warga Tionghoa Semarang pada awal Abad 20 hingga sekitar tiga dekade berikutnya. Sekarang, kumpulan tulisan Rukardi (Remah-remah Kisah Semarang, Penerbit Pustaka Semarang 16, 2012) juga bisa disigi dari sudut sejarah kecil (petite histoire) kota.

Bagaimana dari sisi visual: lukisan atau foto? Agaknya warga kota kurang terkesan oleh kiprah sekalian pelukis atau fotografer Semarang. Satu-satunya figur menonjol dalam fotografi sejarah kota ialah Tan Tat Hien. Almarhum tekun merekam artefak penting kota ini. Secara teknis, foto-foto Tan amat prima. Sayangnya karya-karya Tan tidak terdokumentasikan rapi. Publik Semarang kesulitan melacak karya lengkapnya. Jongkie Tio mencoba membuntuti kiprah Tan, namun agaknya ia tertinggal beberapa langkah. Kendati begitu, publik berharap, suatu kali karya mereka berdua bisa disandingkan dan warga kota mampu menjejaki dan  meneruskan adab-adat kotanya yang terbaik.

Adapun seni lukis kota atau seni visual yang didedikasikan khusus mencatat taferil dan panorama kota itu belum menggirangkan hati. Seperti Pamuk yang khusuk dan berasyik-masyuk menelusuri keindahan lukisan-grafis Melling, barangkali dalam derajad berbeda, saya pun rela berkubang dalam kenikmatan visual rekaan senirupawan kota ini, jika ada.

Merekam kota sebagai teks, foto atau lukisan tak boleh semau-maunya. Ada semacam disiplin-disiplin tertentu sebagai landasannya. Namun, tak perlu risau, ada banyak pakar di beberapa universitas kota ini seperti antropolog, etnografer, sejarawan, arsitek, dan beragam insinyur lain yang bisa bersumbang-saran. Karena itu, khusus bagi senirupawan kota, tak ada apologia ketidaktahuan bila hendak mengilustrasikan napas atau detak jantung kota ini.

Catatan ini khusus saya tujukan kepada sekalian Anda: penggemar dan pegiat seni gambar luar ruang. Alih-alih ber-haha-hihi dalam ”komunitas-hore”, kumpulan individu penyuka waktu luang, alangkah lebih berharganya bila mampu melahirkan karya rupa kota yang bertaksu. Istanbul-Bosphorus karya Melling, seperti dalam resepsi Pamuk, patut dijadikan referensi. Bisa?

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai terbit di harian Suara Merdeka, Minggu: 21 Oktober 2012.]

Monday, October 1, 2012

Komunitas (Seni) Suka-Suka

Art work: Aris Yaitu, 2012

APA lacur, setakat ini grafik seni Semarang terpuruk di titik nadir. Sangkaan itu terkhusus mengena pada aktivisme seni rupa (kontemporer). Praktis seni rupa kota tumpul-mandul total, dua tahun belakangan.

Jika di sana-sini ada perhelatan sedikit—sering kali dengan asersi kulminatif oleh penggiatnya sendiri—tak berarti derajad seni rupa kota terangkat pula. Kegiatan tadi umumnya digulirkan oleh anak-anak muda—tergabung dalam pelbagai komunitas (konon!) kreatif. Gerombolan anak-anak muda itu meriung sembari berkarya bersama. Aktivitas mereka, biasanya, menggambar atawa menyeket. Kadang-kadang saja hasilnya dipamerkan.

Gelagat mereka memang terbilang ”baru”. Sayangnya, aktivisme mereka ibarat percik air di musim kemarau. Tetapi, paling tidak, kehadiran mereka menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah komunitas anak-anak muda mendominasi geliat seni urban-kontemporer kota akhir-akhir ini? Apakah mereka membawakan genre budaya tertentu sampai pada wacana estetika spesifik? Sejauh mana pengaruh mereka terhadap arah kesenirupaan kota dan apa sasarannya? Apakah ide perwadahan atau infrastruktur telah memberhala?

Mesti diakui, sementara sebagian senirupawan senior (baca: tua) bergeming-pasif, kelompok-kelompok anak muda mulai unjuk gigi. Umumnya mereka mahasiswa—dari berbagai perguruan tinggi dengan latar edukasi majemuk pula. Kegiatan mereka, antara lain, jalinan seni visual, fotografi, musik, sastra dan sedikit teater atau seni performans.

Dari ranah seni visual, menariknya, selalu lahir—secara laten—penggiat grafiti atau mural. Sialnya, dalam amatan saya, guratan mereka terbatas pada ekspresi romantik personal, belum menonjolkan gagasan keutamaan estetik, atau sosial-politik, dan karenanya tidak mencapai tataran ideologis. Akibatnya, seni luar ruang ini potensial menjadi sampah visual yang mencemari raut tata ruang kota. Ingatlah, dibutuhkan kecerdasan, strategi dan modus tertentu jika ingin mendalami seni yang sejatinya subversif ini.

Selain street art tadi, kerap pameran terbatas pada sketsa, ilustrasi, drawing, desain, atau pelbagai variannya. Di antara ekshibisi itu, satu-dua menampakkan upaya serius. Meski, lagi-lagi, jika disigi dari kacamata mondial—sekurang-kurangnya tingkat regional atau kota-kota ”pusat” seni Indonesia—citra artistikanya rada terbelakang. Dalam catatan saya, masalahnya terletak pada: pengenyahan aspek teknikalitas dan olah material yang berakhir pada runyamnya artistika. Di tingkat gagasan pun patut didiskusikan lebih intens. Yang kasat, banyak salah kaprah menggerogoti otak para calon senirupawan itu, yakni: seni rupa kontemporer dikira nirteknis, boleh aya-aya wae. Alamak!

Tapi, jangan-jangan saya salah duga atau terlalu bersemangat menilai kalangan anak-anak muda tersebut. Barangkali mereka tak lebih cuma gerombolan pemuda-pemudi periang, rileks menapaki masa depannya, tanpa ideologi estetika mendasar, atau bahkan rumusan berkesenian tertentu. Jika benar begitu, niscaya saya tak perlu risau-galau. Bukankah kita tak wajib menuntut capaian tinggi-tinggi dari mereka?

Sesuai tipologi di atas, contohnya, adalah komunitas Karamba Art Movement. Penggiatnya beberapa mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang. Kegiatan terakhirnya: menghela 70-an anak muda untuk menggambar bersama, berdiskusi (katanya!), dan ilustrasinya dipamerkan di suatu kafe di Sekaran, Gunung Pati, dekat kampus mereka, awal September ini. Saya teliti jejak-jejak karya mereka dan, dengan sesal-kesal harus diungkap, itulah sesuatu terkategori ilustrasi siswa sekolah wajib belajar 9 tahun. Yang mengenaskan, dalam suatu obrolan, Galih Pratama—salah satu eksponen Karamba—mengeluh, ”Saya sendiri bingung.”

Senyatanya keriuhan mereka santir budaya urban keblinger: suka-suka di kelimpahan waktu luang. Bahkan, saya sinyalir, aktivitas kesenggangan itu sengaja dibuat-buat, diberhalakan, dan (celaka!) dikonstruksi sebagai citra komunitas (seni) gaul.

Jika begitu, patut diragukan, peran atau kontribusi kegiatan (kuasi) seni sekalian anak-anak muda itu—para penggiat dan penikmatnya—terhadap struktur dan detak seni kota. Jika dicermati, kiprah mereka hanya berjejak di tapak periferi, bukan menohok jantung seni rupa kontemporer di republik ini. Alhasil, tak jelas pula apa yang diupayakan itu bisa bernilai, estetis maupun diskursif. Alih-alih, paling jauh, mereka ditengarai sebagai kumpulan penggembira belaka.

Lahirnya berbagai komunitas—dengan minat seni yang beragam—sejatinya patut disyukuri bakal memperluas kemungkinan kreatif. Asal saja eksistensi mereka tak cuma dalam ranah leisure time atau having fun. Perilaku hura-hura mesti segera ditanggalkan, digantikan oleh laku paradigmatik yang lebih serius.

Selain itu, setelah secara acak mengamati dan berdiskusi dengan beberapa kalangan, saya skeptis pada pola perwadahan atau ide infrastruktur yang, secara eksesif, sengaja diuar-uarkan selama ini. Bahwa secara politis-strategis semua kemungkinan ruang-budaya kota memang wajib ditata ulang, bahkan jika perlu direbut paksa untuk kemaslahatan masyarakat sipil, namun tak berarti ekspresivitasnya bisa seenaknya sendiri. Dalam konteks praktik produksi-konsumsi seni rupa kota, keliru bila gagasan senantiasa mengangkangi artistika, aktivisme melumat kajian diskursif, atau pemberhalaan pada anything goes. Seni yang cerdas niscaya terlahir dari seniman terasah, bukan para medioker atau penyorak-tepi-laga.

Saya cemas, raut seni rupa kontemporer kota, nyaris setelah satu dekade terakhir on track, memburuk. Elan senirupawan (tua) kita pun seakan terpuruk-terkubur dalam-dalam. Apa langkah yang mesti ditempuh agar seni rupa kota kembali semarak? Pola-pikir (mindset) harus diubah, praktik produksi seni dan eksposisi kian digalakkan, ide-ide diskursif-paradigmatik dibiakkan terus, atau sebaliknya jika hanya diam-membatu maka seni rupa kota pasti tewas, tanpa nisan, tanpa epitaf. Tak terkenang.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dimuat di harian Suara Merdeka, Minggu: 23 September 2012.]