Thursday, December 31, 2009

BIENIAL YOGYAKARTA UNTUK SIAPA?


SALAH satu “puncak” perhelatan seni visual kontemporer ialah bienial. Ini suatu pameran dua tahunan yang memetakan kecenderungan capaian estetik dan artistika senirupawan serta wacana kesenirupaan yang lazim berkembang di suatu “pusat” kesenirupaan. Semua itu berkelindan dengan gairah dan denyut kebudayaan masyarakatnya.

Untuk pengalaman Indonesia, yang disebut “pusat”—artinya, kota atau wilayah dengan praktik kesenirupaan yang dinamis—ialah Yogyakarta, Bandung, Jakarta, (pulau) Bali, dan belakangan termasuk Surabaya atau Jawa Timur umumnya. Pameran bienial yang penting diselenggarakan di Yogyakarta dan Jakarta. Lantas virus bienialisme menjalar ke Bali (bienial pertama, satu-satunya dan lalu mati, yakni Bali Biennale 2005 dengan tema “Space/Scape”) dan Jawa Timur (sampai tahun ini Jawa Timur Biennale baru berlangsung dua kali). Bienial Yogyakarta penting di tingkat nasional, selain karena digelar rutin pun telah berlangsung sepuluh kali.

Melihat jejak rekamnya, Bienial Yogyakarta pantas dianggap sebagai tolok ukur dan representasi dinamika gagasan seni visual kontemporer kota. Pendapat ini bertumpu pada sejumlah data bahwa Yogyakarta tempat bermukimnya ribuan seniman, medan sosial seninya dinamis yang menunjukkan gerakan kultural, gejala estetik dan visualitas beragam. Belum lagi adanya fakta bahwa karya-karya seniman Yogyakarta terbukti dicari-cari di pasar seni rupa Asia.

Karena itu, perkembangan Bienial Yogyakarta patut dicermati oleh medan sosial seni Semarang, atau Jawa Tengah umumnya, jika hendak mendinamisasi praktik kesenirupaan wilayahnya sendiri. Apalagi karena kedekatan geografisnya.

Akan tetapi, setelah sekian lama, masyarakat pendukung Bienial Yogyakarta merasa perlu berbenah di tengah-tengah pergesaran wacana, paradigma, atau kepungan art fair yang menjadi fenomena global. Ada pemikiran sudah saatnya bangunan dialektik dan kultural Bienial Yogyakarta diredefinisi sehingga bersesuai dengan semangat zamannya tanpa kehilangan jati dirinya. Sementara kita paham, dasar pemikiran suatu bienial senantiasa merujuk pada tradisi Barat.

Sebagian tokoh dan seniman berasumsi bahwa perhelatan bienial tak mesti berorientasi pada pola atau pemikiran Barat. Yogyakarta mesti punya identitasnya sendiri. Untuk itu, dengan semangat populis, Bienial Yogyakarta X-2009 (Publikasi resmi selalu menyebut “Biennale Jogja X-2009” yang jelas-jelas tidak tepat dalam gramatika bahasa Inggris!) diistilahkan sebagai arena “jamming” atau interelasi aktif antara karya seni, seniman, kalangan pendukung dan masyarakat umum sehingga didapatkan konstruk “bienial organik”.

Tematik dan tajuk Bienial Yogyakarta tahun ini ialah “Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja” (11 Desember 2009—10 Januari 2010). Tematik ini hasil pemikiran kurator Wahyudin. Proposalnya disetujui oleh suatu Tim Seleksi bentukan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sebagai penyelenggara tetap Bienial Yogyakarta. Singkatnya, de facto dan de jure, Wahyudin adalah kurator resmi (official curator) Bienial ini. Dia membagi tematik kearsipan—atau sejarah bienial I—IX dan praktik estetik seni rupa di Yogyakarta—menjadi lima subtema, ialah Humanisme Kerakyatan, Humanisme Universal, Perlawanan terhadap Kemapanan Estetika, Pergolakan antara Budaya Lokal dan Global, dan Seni Rupa Urban.

Esoterik atau Populis?
Untuk mendukung ide Bienial Yogyakarta X-2009 sebagai “bienial organik”, Samuel Indratma (penanggung jawab agenda seni di ruang publik) menjelaskan—dalam suatu diskusi di TBY, Minggu (13/12)—bahwa bienial kali ini sebagai “bienial-nya seniman”, bukan “bienial-nya kurator” seperti di tahun-tahun lewat.

Melalui pernyataan di atas agaknya hendak dicitrakan bahwa seniman dan karyanya tampak “merakyat”. Caranya dengan menyebar sebagian karya di beberapa sudut kota. Seniman yang terlibat bisa siapa saja, termasuk masyarakat umum. Tak jelas apakah karya-karya luar ruang itu dan situsnya bersesuai dengan kerangka kuratorial yang digariskan oleh Wahyudin. Faktanya, beberapa karya ditolak oleh sebagian elemen masyarakat dan dinas terkait. Menurut hemat saya, sebagian besar karya itu melesap di tengah-tengah hutan tanda atau kode urban kota yang lain.

Memang tak mudah mendekatkan gagasan seniman kontemporer dan karyanya ke tengah-tengah masyarakat. Barangkali terdapat jurang lebar di antara keduanya. Konsep estetika yang dibangun oleh seniman bisa saja diametral dengan nilai-nilai keindahan yang diyakini publik. Kesenjangan ini tak mudah dijembatani. Ironisnya, sebagian seniman—termasuk segelintir panitia pelaksana Bienial—setengah mati meyakini: karya seni dan praktik kesenian mereka bisa menyatu dengan masyarakat umum. Asumsi itu mesti diuji lagi kiranya.

Pada dasarnya bienial di mana saja kerap menuai kontroversi. Kritik itu mulai dari praktik kuratorial, pilihan seniman, karya seni hingga politik seni yang diusungnya. Kendati begitu, bienial masih diyakini sebagai perhelatan signifikan dalam seni visual kontemporer mondial. Ia senantiasa menyita perhatian dan waktu kita.

Masalahnya, kalau bienial itu penting, sejatinya perhelatan itu tertuju untuk siapakah? Adakah bienial (di Indonesia?) tak lain praktik ekstravagansa, arena pencitraan atau politik kebudayaan negara yang punya nilai ekonomis dalam relasinya dengan industri turisme? Apakah bienial dianggap sebagai takaran estetik dan artistika seniman belaka sehingga ia ada demi menyokong kepentingan kalangannya (art world) sendiri? Ataukah bienial adalah bagian dari proses dialogal antara gagasan, kekaryaan, wacana seniman dengan masyarakat umum?

Yang jelas, eksposisi Bienial Yogyakarta X-2009 menampilkan sejumlah besar karya yang menarik dalam hal gagasan, artistika maupun presentasinya. Karya-karya itu dipamerkan di TBY, Jogja National Museum, Sangkring Art Space dan Gedung Bank Indonesia. Sedangkan yang berserak di beberapa sudut kota, sayangnya (sekali lagi!), sebagian besar sulit ditelusuri jejak dan landasan wacananya.

Pada akhirnya, gagasan mendasar apakah yang disodorkan oleh Bienial tersebut? Bienial Yogyakarta X-2009 ini meletakkan tapak historiografi seni rupa kontemporer Yogyakarta sebagai titik pijak kuratorial. Wacana ini penting dielaborasi demi terang sejarah kesenirupaan nasional.

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 27/12/2009.]

Friday, December 18, 2009

SENI VISUAL KONTEMPORER SEMARANG


DALAM pentas global, seni-budaya berperan sebagai pembeda sekaligus identitas. Seni-budaya tradisi ialah ekspresi kehidupan, nilai-nilai dan adat kebiasaan yang dilakoni dan dipraktikkan terus-menerus oleh kolektif manusia. Di sanalah kearifan lokal dan roh bangsa bersemayam.

Ekspresi seni-budaya, antara lain, berupa kekayaan seni arsitektural, tari, gambar, sastra, filsafat, nilai-nilai atau pranata adat. Pada artefak-artefak budaya inilah bangsa Indonesia bisa menimba dan memperkuat (lagi) karakternya. Indonesia punya khasanah seni-budaya tradisi beragam. Jumlahnya pun banyak dan tersebar di seantero daerah. Seni-budaya tradisi ini tak lekang digali dan direkreasi agar selaras dengan konteks zamannya.

Ambil contoh susastra klasik Sulawesi, I La Galigo. Sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson, menata ulang dan memberi sentuhan artistik khusus pada I La Galigo sesuai kebutuhan estetik masyarakat global (baca: Barat). Di tangannya kisahan itu mewujud sebagai teater visual kontemporer kelas dunia.

Wilson menunjukkan, dekonstruksi seni-budaya tradisi wajib dilakukan jika hendak diluaskan signifikasi dan konstituennya. Pembacaan ulang bukan penyelewengan, melainkan pengayaan terhadap sastra kanonik tersebut. I La Galigo kian bersinar, kearifannya makin diserap oleh masyarakat luas. Di tempat kelahirannya, karya sastrawi itu bisa saja dihidupkan sesuai atau direinterpretasi ke tradisi muasalnya.

Pada galibnya seni-budaya tradisi terbuka dibaca ulang. Budaya bukan artefak statis melainkan hasil olah rasa-karsa manusia yang dinamis. Dengan adaptasi seperlunya, raut budaya lokal bakal berkembang sehingga sesuai harapan masyarakat modern. Singkatnya, dibutuhkan cara pandang baru mengapresiasi seni-budaya tradisi. Pada seni tradisi pun ada kreativitas meski dalam kadar dan intensitas berbeda di setiap zaman atau kolektif manusia.

Namun, sebagian seni-budaya tradisi seyogianya tetap diperlakukan sebagai perekat komunitas, yakni seni-budaya yang sarat dengan energi spiritualitas dan atau nilai-nilai moral pendukungnya. Tradisi demikian tak seharusnya direkayasa demi tujuan praktis atau profan saja.

Andai kreativitas jelas ada dalam berbagai seni tradisi, kendati tekanannya beragam, seni kontemporer justru merayakannya terang-terangan. Memungut, membentuk ulang, menjiplak atau mencuri kode-kode terdahulu menjadi bentukan baru adalah bagian dari "kreativitas". Konsep daur ulang (apropriasi) ini salah satu ciri posmodernisme yang, antara lain, menafikan paradigma universal dan tatanan monolitik. Ia pun tak bersemangat melahirkan ide, bentuk, atau ekspresi seni avant-garde seperti disyaratkan oleh Modernisme.

Reinterpretasi Budaya
Bagaimana kondisi praktik produksi artistik atau wacana seni visual di Semarang? Pada praksis seni rupa kontemporer, ranah yang saya cermati, senirupawan seperti lalai atau menafikan potensi tradisi dan historisitas kotanya. Jika pun ada yang mengangkat isu sejarah kota, itu cuma sebatas kulit luar.

Sebenarnya kota pesisir ini sarat dengan sejarah atau nilai-nilai yang bisa dijadikan sumber kreativitas, gagasan atau pun produksi artistik. Kultur Semarang terbentuk dari bastarisasi budaya lokal, China, Arab, dan Eropa. Hingga kini kultur hibrid itu terlihat jelas pada artefak arsitektural, kuliner, bahasa, sampai dengan pola permukimannya. Tegasnya, paduan budaya yang masih hidup dan diakrabi sehari-hari oleh masyarakat pendukungnya.

Dengan menengok pada seni-budaya tradisi artinya seniman diharapkan mengolah gagasan, wacana atau estetika kontekstual (Masih ingat pada diskursus Sastra Kontekstual yang ramai pada 1970-an?). Seniman ditantang, sebagai misal, untuk mengolah problematik sosiokultural atau pun politik lingkungan.

Jika seniman hanya menggunakan bahasa ungkap biasa atau tipikal, seperti yang dipraktikkan oleh kalangan luas pada umumnya, praksis seni rupa kota ini barangkali tak segera meraih atensi maksimal. Sebab, pertarungan wacana dan politik kebudayaan global (baca: Barat) senantiasa meminggirkan wilayah-wilayah yang dianggap tak punya sejarah seni modern. Boleh dibilang Semarang, atau sebagian besar kota-kota lain di Indonesia, dalam konteks sejarah seni mondial selaik "wilayah bertabir" (unseen zone).

Juga, ada ketersendatan arus alih informasi dari "Selatan" ke "Utara". Sebaliknya, modernisasi (baca: internasionalisasi) merasuk dari negara-negara industri modern, terutama Eropa dan Amerika, ke kawasan "Selatan". Akibatnya, seni-budaya kontemporer Indonesia (termasuk Semarang) tak diakrabi oleh masyarakat Barat.

Sebagai wacana tanding, unsur lokalitas atau seni-budaya tradisi baik diangkat dan dijadikan sumber kreasi. Ia menjadi pembeda sekaligus identitas diri dan, secara komparatif, mudah meraih momentum serta atensi di tengah-tengah paham posmodernisme yang menghargai pluralitas. Karena itu, penting menimbang kembali kaidah, norma, atau nilai seni-budaya tradisi untuk diolah dan diekspresikan sebagai karya seni atau wacana kontemporer.

Masalahnya, bagaimana merekreasi anasir seni-budaya tradisi sehingga relevan pada ruang-waktu berbeda dan tetap punya daya pukau. Berfokus pada bentuk, isi, atau gabungan keduanya? Atau sekadar mementingkan cara ungkap alias kemasan?

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Kamis 10/12/2009.]

Friday, December 4, 2009

Esai Foto Jurnalistik Santir Realitas Subyektif


KEHADIRAN foto di media massa cetak sudah jamak. Sejarah media mencatat, eksistensi foto mulai dominan ketika pecah Perang Dunia II. Kekejian perang menelusup di ruang keluarga dan, ironisnya, menjadi hiburan pula.

Dalam peperangan tak cuma jenderal atau serdadu yang berperan, wartawan pun punya posisi penting. Peter Arnett mencuat pamornya berkat laporan pandangan matanya dari arena Perang Teluk (1991). Pada 1938, Robert Capa dielu-elukan sebagai “the Greatest War-Photographer in the World”. Tak cukup hanya dipuji, bahkan disebutkan “nyaris tercium bau mesiu” dari foto-fotonya yang dianggap terbaik dari medan perang.

Capa, salah satu pendiri sindikasi Magnum Photos, tersohor dengan aforismenya, “If your pictures aren’t not good enough, you aren’t close enough”. Pernyataan ini gabungan antara keberanian dan rasa cinta, yakni seseorang yang rela bersabung nyawa di garis depan laga seraya berempati kepada mereka yang berada di depan lensa kameranya. Capa pun melegenda.

Contoh di atas menunjukkan pentingnya foto dan peran wartawan foto—tak hanya di medan perang, juga di saat damai. Foto jurnalistik pada akhirnya dipahami sebagai bahasa komunikasi visual. Ia diterima sebagai media universal dengan muatan pesan gamblang, kritis, namun tetap berpijak pada humanisme.

Lazimnya, foto-foto jurnalistik merekam dinamika kehidupan manusia di segala aspek. Melalui sudut bidik dan narasinya, para juru foto menunjukkan empatinya pada subyek-terpotret. Kuasa pemotret atau ekses obyektivikasi menepi demi konstruk humanisme yang diwacanakan. Artinya, meskipun subyek-terpotret terkategori liyan, pewarta foto tak menampik subyek beritanya.

Obyektivitas
Setakat ini publik percaya, foto ialah salinan faktual suatu peristiwa. Analogon sempurna itu berasal dari rangkaian kejadian yang disentakkan dan aliran waktu yang dibekukan. Semuanya berkat kerja mekanis kamera. Akhirnya selembar foto menjadi dokumen yang sahih dalam historisitas manusia modern.

Di situlah barangkali sumbangan terbesar fotografi: pengakuan tentang apa yang disebut “obyektivitas”. Gambar atau citraan foto adalah representasi realitas empirik, bukan berasal dari imajinasi fotografer belaka.

Dalam jurnalisme—termasuk fotografi jurnalistik—aspek obyektivitas mendapat porsi utama. Diniscayakan, wartawan mengabadikan kejadian faktual tanpa rekayasa. Pembaca media melihat dan memahami kejadian via mata juru foto yang diberinya mandat sebagai pelapor on the spot.

Kendati begitu, Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya (1993) mengatakan bahwa berita ialah “sebuah presentasi yang datang dengan kerangka dan kemasan yang ditentukan dari luar kita.” Artinya, jurnalis juga punya cara pandang atau keyakinan tertentu yang bisa mempengaruhi reportasenya. Subyektivitas menyelimuti jurnalisme fotografi kendati juru foto senantiasa menjaga jarak kedekatannya dengan subyek-terpotret. Dengan demikian, kenyataan yang terekam adalah realitas subyektif.

Pada hemat saya, jurnalis—dengan semua konsekuensi dan tanggung jawabnya pada diktum kebenaran jurnalistik—adalah subyek-bebas. Maka, seseorang pewarta foto punya kesempatan pula menjadi author, mencipta karya personal. Salah satu kemungkinan kreatifnya bisa diwujudkan dalam bentuk esai foto, yakni kumpulan foto tematik-naratif, antara 5—10 citraan atau lebih, dilengkapi dengan teks penjelas. Struktur atau bentuk presentasinya bisa sekuensial atau pun acak. Dalam esai foto bahasa visualnya lebih dominan daripada teks abjadiahnya.

Sebagai perbandingan, buku “The Long and Winding Road” (2001) karya jurnalis Kompas Eddy Hasby tentang Timor Timur pantas pula didaku sebagai esai foto jurnalistik panjang. Begitu pula buku “Samudra Air Mata” (2005) yang merekam ganasnya tsunami di Aceh.

Serenada Kehidupan
Seperti bahasa, foto bisa diungkapkan dengan berbagai cara. Foto disebut pula sebagai teks visual. Dikatakan sebagai bahasa visual, karena itu, foto pun punya tatanan “gramatik”. Namun, gramatika fotografi tidaklah sama-sebangun dengan teks linguistik. Fotografi banyak menyodorkan metafor atau simbolisme. Bangunan metaforitas itu tampak jelas dalam rangkaian esai foto.

Dan esai, seturut Ignas Kleden (2004), adalah “kisah suka-duka perjumpaan seorang subyek dan sebuah obyek”. Pertemuan itu tentang pengalaman interaksi penuh canda di antara keduanya. Tentang obyek, masih sesuai pikiran Kleden, bukan berarti seorang esais berjarak, dengan dingin meneliti dan mancatat ciri-cirinya, tetapi justru berjumpa dengan, terlibat di dalam, dan mengajak obyeknya berkata-kata sekaligus memberikan respons atas apa yang dikatakan oleh lawan-bicaranya. Singkatnya, Kleden mengartikan suatu esai ialah dialog intensif antara subyek-obyek.

Mengacu pada Kleden, esai foto jurnalistik ialah dialog humanitas antara subyek-pemotret dan obyek-terpotret. Ini bukan praktik menidakkan (negasi), melainkan saling memuliakan. Maka, pameran esai foto “Serenada Kehidupan” oleh delapan anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang, Jumat—Sabtu (20—28/11), di Rumah Seni Yaitu Semarang, layak dipandang dari sisi ini pula.

“Serenada Kehidupan”, sependek ingatan saya, adalah pameran esai foto pertama (dan serius!) di Semarang. Eksposisi ini penting, selain menunjukkan kompetensi, eksistensi dan martabat para jurnalisnya, pun mampu mengartikulasikan selera estetik personalnya. Foto-foto mereka adalah santir realitas subyektif semasa.

TUBAGUS P SVARAJATI
Salah satu pendiri PFI Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Jumat 27/11/2009.]