Sunday, November 28, 2010

MARI MENONTON VIDEO

"Video Spa" by Krisna Murti (Photo courtesy by Semarang Gallery)

MARI MENONTON VIDEO

Menyongsong Mediatopia di Galeri Semarang

SEPENDEK yang bisa saya catat, baru kali inilah seorang seniman berpameran retrospektif di Semarang. Ini bukan agenda sembarangan, melainkan program serius yang berkehendak mengenalkan, kurang-lebihnya, capaian gagasan dan kreasi seniman yang dianggap penting dalam kurun tertentu ritus kreatifnya. Dia Krisna Murti.

Medan seni Indonesia—dan hingga ke mancanegara—mengenalnya sebagai seniman video terkemuka. Dia lebih dari 10 kali berpameran tunggal di Indonesia. Pameran kelompoknya di dalam dan luar negeri melampaui 50 kali. Sebagian pameran tersohor yang diikutinya, yakni Venesia Bienalle, Gwangju Bienalle, dan Trienalle Art Fukuoka. Dia sebagai pembicara di beberapa perhelatan seni penting tingkat dunia seperti Havana Bienalle, 2001. Karyanya dikoleksi oleh lembaga-lembaga terhormat, antara lain, Fukuoka Asian Art Museum, Singapore Art Museum, dan Galeri Nasional Indonesia.

Pada Maret 2008, di tengah-tengah booming pasar seni rupa Indonesia, Krisna Murti menggelar pameran tunggal “Forbidden Zone” di Rumah Seni Yaitu, Semarang. Dia memajang sejumlah lukisan lanskap ala “Mooi Indie” di samping videonya yang berjudul “Airplane”. Publik seni—barangkali termasuk Dr Oei Hong Djien yang membuka pameran—ingin tahu, apakah seniman video ini sedang memanfaatkan momen kaostik pasar seni itu.

Sebenarnya seniman ini konsisten menggeluti seni media baru (new media art) tatkala belum banyak orang bersinggungan dengan seni yang memanfaatkan kecanggihan teknologi media itu. Barangkali dia masyhur bukan semata kepeloporannya, melainkan karya-karyanya terbilang menarik, memunculkan aspek kebaruan, dan mendasar dalam konteks diskursus atau pemikiran.

Dalam hal pemikiran, Krisna Murti sering menulis esai-esai timbangan perjalanan seni video Tanah Air di berbagai media. Tulisannya informatif, bernada elaboratif dan menguarkan semangat moderat pada perkembangan kultur media baru itu. Oleh karena pengaruh globalisasi, dipermaklumi jika beberapa aspek pemikirannya seraut dengan gagasan yang berseliweran di berbagai belahan dunia lain.

Kita mafhum, perkembangan seni media baru seiring dengan kemajuan teknologi medianya. Di zaman digital-internet sekarang, tatkala ruang-waktu teringkus kurang dari satu helaan napas, seni media baru ini mengalami kemajuan tak terkira dari sisi modus penciptaan, cara menikmati atau aksesibilitas, dan media tayangnya. Lebih jauh, terkesan siapa pun mudah memproduksinya melalui perangkat (gadget) sederhana dan murah. Semua itu tidak tergantung pada ruang-waktu spesifik. Demokratisasi seni media baru ini, lantas, melahirkan kultur yang egaliter: publik sebagai apresian sekaligus bisa sebagai produsen (atau “seniman”) seni.

Di tengah kondisi itulah Krisna Murti memamerkan pergulatan kreatifnya, kurun 1993—2010, dalam suatu pameran retrospektif “Mediatopia”. Total ada 21 karya video yang dibagi menjadi dua segmen dokumentasi, empat instalasi video, lima video tayang-langsung (video screening) dan satu instalasi suara interaktif. Dipamerkan juga 29 karya cetak digital di kertas, karton dan kanvas serta dua karya boks lampu.

Pameran ini dikurasi oleh Rifky Effendy, berlangsung di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang, selama 3—23 Desember 2010. Pada malam pembukaan, Jumat (3/12), direncanakan ada aksi performance.
***
Kebanyakan publik menganggap seni video bersifat naratif dengan urutan waktu linear dan gagasan transparan. Asumsi ini kerap meleset. Seperti halnya ekspresi seni kontemporer lain, seni video (video art)—sebagian kalangan menyebutnya sebagai video saja—menajakan ide dan cara ungkap artistik sarat perlambang. Maka, struktur seni bukan lagi sesuatu yang dipahami secara linear, berurutan, namun sangat mungkin terpecah atau fragmentatif. Juga, apresian berhak punya pengalaman atau tafsir atas serpihan imaji dan membangun narasi, membentuk persepsi atau daya cerap sendiri.

Kemandirian apresian bukan harga mati. Sebagian seniman malah berupaya melibatkan audiens menjadi bagian dari gagasan atau skema karya seninya. Ini dimungkinkan oleh majunya perangkat lunak video, peranti atau rancang bangun karya itu sendiri. Maka, pada situasi tertentu, partisipasi aktif audiens pada interaktivitas video bahkan menjadi tujuan utamanya. Audiens, dengan begitu, dirangsang berperan aktif dalam dinamika sosial-budaya yang digagas seniman. Aspek lain yang dielaborasi ialah emosi pemirsa.

Dari sisi kekaryaan, seni video acap bukan karya tunggal, soliter atau cuma ditayangkan di layar kaca atau monitor. Tidak juga hanya berkanal tunggal (single channel video), namun bisa multi kanal pula. Tampilannya bisa sangat kompleks dan instalatif. Video bisa bersisian atau bergabung dengan peranti teknologi lain, seperti perangkat audio, pemindai, kamera (termasuk CCTV), berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi, atau benda-benda lain.

Cara produksi video pun beragam. Sering seniman mencuplik penggalan-penggalan (footages) imaji, termasuk suara-suara (sounds), yang berasal dari televisi atau sumber lain. Artinya, seniman tidak memproduksi materi citraan—imaji bergerak mau pun still, seperti foto—atau suara sendiri. Setakat ini, dalam wacana seni kontemporer, praktik mencuplik, meniru, menggandakan (copy), menyebarluaskan karya seniman lain, namun diakui sebagai bagian dari kreasinya sendiri adalah langkah “sah”.

Satu hal yang pasti, perkembangan dan kemajuan teknologi media mendorong demokratisasi aksesibilitas dan cara menonton video. Maka lahirlah kultur menonton baru: budaya visual itu hadir tanpa terikat ruang-waktu dan serempak (omnipresent). Lihat, dengan gampang orang menonton video, gambar bergerak, di layar komputer atau bahkan di genggaman tangannya (Terima kasih, Internet!). Gambar, citraan atau suara bisa mudah diunggah-diunduh. Barangkali “sakralitas” karya seni—termasuk video—dalam tradisi modernisme, mulai tergerogoti.

Pertanyaannya, masih relevankah seniman mengusung seni video di ruang galeri dan mengharapkan audiens datang menyimak langsung?

Bagi Krisna Murti masalahnya mungkin tidak sederhana itu. Seniman ini sadar akan kekuatan video untuk “memerangkap” penonton dalam skenario teatrikal yang digagas seniman. Belum lagi kekuatannya mempermainkan emosi audiens. Lebih jauh, dia sadar akan paradigma filosofis yang terkandung dalam video. Wacana video, antara lain, mengaburkan batas-batas representasi-representasional, realitas-tontonan, memori-imajinasi, waktu artistik-waktu riil yang semuanya bisa disandingkan ulang-alik. Bagi dia, video bisa disejajarkan dengan wacana bayang-bayang dalam konsep wayang kulit.

Menelisik tematika karya-karyanya, bisa disimpulkan, Krisna Murti figur seniman yang kritis pada peristiwa politik-sosial-budaya. Tampilan dan gagasannya kontemplatif. Dia serius mengangkat isu waktu dan realitas filosofis. Pada hemat saya, dua hal ini sedikit dielaborasi oleh kurator atau kritikus pada umumnya.

Mengakhiri pengantar ini, saya ingin katakan, “Mediatopia” layak dijadikan tujuan berseni-seni di penghujung minggu ini. Sila Puan-Tuan ke Galeri Semarang. Mari menonton video.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai tersunting diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 28/11/2010.]

Tuesday, November 16, 2010

Melampaui Mooi Indie dan Jiwa Ketok


Resensi Buku

Judul:
Sang Ahli Gambar
Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono
Penulis:
Aminudin TH Siregar
Penerbit:
S Sudjojono Center dan Galeri Canna
Cetakan:
Pertama, Oktober 2010
Tebal:
410 halaman

HAMPIR bisa dipastikan, sejarah pemikiran seni rupa modern Indonesia berawal dari gagasan dan polemik yang diuarkan oleh S. Sudjojono. Dia dikenal sebagai figur di balik kebesaran—bahkan nyaris identik dengan—organisasi Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1930-an.

Buku “Sang Ahli Gambar Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono” ini mendudukkan Pak Djon—sapaan akrab—sebagai tokoh sentral dalam pergolakan pemikiran seni di Indonesia. Medan seni Indonesia mengenalnya, di luar kepala, sebagai pencetus istilah “Mooi Indie” dan kesenian sebagai “jiwa ketok”. Menurut Aminudin TH Siregar—penulis buku yang dosen ITB, kritikus dan kurator—“jiwa ketok” ini adalah kredo seni yang paling popular.

“Mooi Indie” adalah ekspresi sinisme S Sudjojono terhadap lukisan—utamanya karya pelukis kolonial Belanda atau Eropa—yang melulu menggambarkan keindahan optis. Baginya, lukisan semacam ini tidak mengungkapkan alam dan jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya. Yang digambarkan itu “bukanlah Timur”, melainkan “representasi tentang Timur” (h. 46). Para pelukis “orientalis” itu selalu menggambarkan alam Indonesia yang bertumpu pada trinitas “suci” pohon kelapa-gunung-sawah. Pada titik ini, pemikiran S Sudjojono melampaui Edward Said yang mewacanakan orientalisme dalam buku Orientalism, 1978.

Sedangkan “jiwa ketok” sebenarnya cara S Sudjojono mengingatkan seniman agar bekerja dengan “kebenaran”, bukan dengan “kebagusan” saja. Dia mewaspadai kelahiran pelukis-pelukis medioker yang menganggap “keterampilan teknis” tidak diperlukan. Pelukis semacam ini biasanya berlindung di balik retorika, kalau bukan teori atau filsafat. Para avonturir diingatkannya tentang craftmanship. Katanya, “Kalau teknik sudah dikuasai, dia mau melantur, terserah.” (h. 107).

S Sudjojono—kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, perkiraan 1913—ialah pemikir kesenian yang menonjol pada masanya. Pemikirannya, setidaknya, terbagi dalam dua pokok: “identitas” dan “modernitas” (h. 35).

Tanda-tanda kemodernan S Sudjojono, dalam konsepsi Foucault, bisa didekati melalui perspektif khusus, yaitu “cara bertanya terhadap suatu fenomena” dan “cara bertanya individu terhadap dirinya sendiri (self)”. Dalam bahasa lain, keduanya tentang “kesadaran sosiologis-historis” dan “kesadaran filosofis-etis” (h. 56).

Kesadaran filosofis-etis S Sudjojono dalam menyikapi modernitas bukan semata hal periodisasi atau kronologi sejarah, melainkan hendaknya dipahami sebagai “tugas”, suatu “etos”, suatu aktivitas individu untuk membedah atau mendiagnosis situasi terkini ((h. 57). Artinya, manusia modern harus berani bersikap terhadap kekinian yang ditunjukkan dengan hadirnya keterputusan atau discontinuity (h. 61). Kemodernan adalah kesadaran akan diskontinuitas waktu: jeda dengan tradisi dan munculnya rasa kebaruan (h. 64).

Dengan menelisik sisi identitas dan modernitas figur S Sudjojono, kita paham, penulis buku ini memberikan porsi besar pada kesadaran aku-seniman S Sudjojono dalam historisitas seni rupa modern Indonesia. Dia memang sosok yang gigih menolak “kolonialisme seni” dengan cara menghajar seni lukis “Mooi Indie”. Dalam istilah terakhir itu implisit terkandung paham nasionalisme. Secara hiperbolis penulis buku ini menganggap gambaran alam dalam lukisan-lukisan S Sudjojono mengarah ke “patriotisme” (?) sebagai refleksi kuatnya kesadaran nasionalisme sang Ahli Gambar itu (h. 378).

Dalam aspek diskontinuitas ruang-waktu historis S Sudjojono antusias “menuliskan” sejarah dan jatidiri seni lukis Indonesia. Tentang ini, terang belaka, tertulis dalam salah satu judul karangannya, yaitu “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa”.

Kritikus Trisno Sumardjo menjuluki S Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru dan seni lukisnya sebagai “Realisme S Sudjojono”. Penulis buku ini meyakini, “Realisme S Sudjojono” pada dasarnya adalah temuan, atau mungkin juga konsepsi seni yang khas, yang terikat oleh ruang-waktu spesifik, yang hanya bisa—dan pernah—lahir di ranah persoalan Indonesia (h. 380). Bagi S Sudjojono, “realisme” itu bukan mengarah ke “estetik”, melainkan menyasar ke soal “sosiologis” sebab diarahkan ke soal “kedudukan seni dan seniman” dalam lingkungan masyarakat (h. 380).

Buku ini sangat penting sebagai upaya menyusun historisitas seni rupa modern Indonesia yang berwibawa, khususnya terkait peran S Sudjojono. Tercetak pula lebih dari 250 gambar/sketsa yang sebagian besar belum pernah dipublikasikan. Oya, asal tahu, Pak Djon inilah yang mencipta kata “pelukis” dan “seniman” dalam khazanah bahasa Indonesia. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Ringkasan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 14/11/2010.]

Monday, October 25, 2010

PASFOTO JUGUN IANFU

[Photo: Tommas Titus Kurniawan]

APA pentingnya pasfoto para perempuan renta itu dipamerkan? Rautnya berkeriput, matanya menatap kosong, kulit sawo matang, dan tanpa polesan atau pun perhiasan. Sebagiannya, ketika potret dirinya dipertontonkan ke hadapan publik Semarang saat ini, bahkan telah mangkat.

Pameran foto “Jugun Ianfu”—Unika Soegijapranata Semarang (11—23/10)—ini menimbulkan enigma bila tidak diberi informasi jelas. Sebab, lazimnya pasfoto tak memberikan kemungkinan eksplorasi maksimal di ranah artistik mau pun teknis. Barangkali satu-satunya telisik ialah: Apa wacana di sebaliknya dan intensi sang fotografernya serta siapa subyek terpotret itu.

Pasfoto dikenal luas di seluruh dunia. Ini adalah potret diri dengan pose lugas, frontal, hampir tanpa aksesoris dengan memperlihatkan ciri-ciri paras yang jelas. Kegunaannya nyaris seragam: demi kepentingan dokumentatif. Dalam penelitian doktoralnya di Indonesia, Karen Strassler (Michigan University, 2004) menyimpulkan, melalui fotografi (termasuk pasfoto) orang Indonesia menemukan cara untuk menjadi modern.

Selain itu, dalam kajian poskolonial, rezim Orde Baru menggunakan pasfoto sebagai alat kontrol terhadap warganya. Pasfoto digunakan di hampir semua sisi administrasi negara. Lebih sebagai identitas personal, pasfoto adalah sarana negara mendisiplinkan warganya. Melalui pasfoto negara menancapkan kekuasaannya dan, sebaliknya, warga pun mengakui kehadirannya dan mematuhi aturannya. Negara mencatat, memilah, dan mendokumentasikan mana yang warganegara dan yang bukan (“liyan” yang liar). Pada pasfoto terjadilah pertemuan atau relasi antara kekuasaan negara dan warganya.

Jika diteliti, pada selembar pasfoto nilai-nilai atau karakter personal direduksi hanya sebatas data, numerik, statistik, atau citra-citra digitalis (satuan piksel!). Singkatnya, visibilitas tak sama sebangun dengan identitas.

Dalam kompleksitas wacana itulah selaiknya pameran foto itu dipahami. Subyeknya adalah perempuan jugun ianfu (comfort women) atau “wanita penghibur” alias “budak seks” para serdadu Jepang ketika Saudara Tua itu menjajah Indonesia selama 1942—1945.

Kejahatan Perang
Isu jugun ianfu mulai merebak di Korea Selatan berkat suara gigih para aktivis hak asasi perempuan. Dunia kian gempar ketika Kim Hak Soon, salah satu penyintas (survivor), pada Agustus 1991, memecahkan kebisuan dan bersaksi, dirinya adalah salah satu korban proyek militer balatentara Jepang pada PD II. Testimoni Kim terpicu oleh pernyataan pemerintah Jepang yang tidak mengakui adanya kekerasan seksual itu dan menolak minta maaf atau melakukan investigasi apa pun.

Sejak itu banyak penyintas lain berani muncul ke publik. Cerdik cendekia, jurnalis, para aktivis HAM pun giat melakukan penelitian dan advokasi. Beberapa penyintas menuntut pemerintah Jepang mengakui kejahatan perang itu dan memberikan ganti rugi kepada mereka. Di Indonesia, kendati peristiwa itu dipandang sebagai aib dan ditutup-tutupi pemerintah, toh ada juga penyintas yang lantang menyuarakan penistaan yang menimpa mereka.

Salah satu korban Indonesia yang santer menuntut hak-haknya ialah Mardiyem. Perempuan Jawa ini diiming-imingi berlakon di kelompok sandiwara. Bersama 48 anak perempuan lainnya dia dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan. Segera dia dimasukkan ke kamar nomor 11 Hotel Tlawang. Di sanalah Mardiyem—dipanggil dengan nama Jepang, Momoye—melewati hari-hari kelamnya. “Hati saya remuk. Saya ini dari keluarga baik-baik, lingkungan saya priyayi, kok bisa saya jadi orang nakal,” begitu kata Mardiyem sambil menghela napas seperti dituturkannya kepada Radio Nederland (28/3/2007).

Kekerasan jender itu juga terjadi di Timor Timur selama pendudukan Indonesia. Komisi pencari fakta dan kebenaran Timor Timur menemukan fakta perempuan menjadi sasaran perkosaan, perbudakan seks, dan berbagai kekerasan seksual lain. Kesaksian perempuan Timor Timur yang diperlakukan tidak senonoh selama pendudukan Jepang (1942—1945) dan Indonesia (selama 24 tahun) dipamerkan di Museum Aktif Wanita tentang Perang dan Perdamaian di Shinjuku Ward, Tokyo, Desember 2006 (The Japan Times, 23/12/2006).

Bagaimana nasib bekas jugun ianfu Indonesia? Hanya ada satu kata: merana. Hingga wafatnya, Mardiyem dan perempuan-perempuan Indonesia senasib dirinya tidak mendapat kompensasi apa pun. Padahal pemerintah Jepang memberikan ganti rugi uang atas keputusan vonis bersalah oleh Pengadilan khusus Wanita Kejahatan Perang Internasional tentang Perbudakan Seksual Militer Jepang di The Hague, Netherlands, Desember 2001. Dengan dalih kepentingan sosial lebih besar pemerintah Indonesia menahan uang ganti rugi dan malah dibagikan untuk keperluan yang sumir.

Fakta-fakta di atas, antara lain, yang memicu jurnalis Hilde Janssen—koresponden harian Algemeen Dagblad di Indonesia—melacak keberadaan para penyintas Indonesia. Bersama fotografer Jan Banning, dia merekam sebagian narasi kelam sejarah PD II dengan mewawancarai dan memotret sekitar 50 perempuan renta di pelosok Jawa, kepulauan Maluku, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Timor Barat. “Sebelum semuanya terlambat,” kata dia.

Diperkirakan, proyek seksual militer Jepang jugun ianfu menelan korban 50.000—200.000 orang, termasuk di dalamnya antara 5.000—20.000 perempuan Indonesia. Kini, 18 perempuan korban keganasan perang itu hadir di Semarang melalui foto-foto mereka hasil bidikan Banning, fotografer peraih penghargaan World Press Photo.

Foto-foto yang ditampilkan seragam: pasfoto yang memperlihatkan raut wajah dan sebagian bahu. Titik fokusnya ada di mata para subyek terpotret. Pencahayaan tunggal dari arah samping. Dengan cara ini, ditambah keuzuran subyek terpotret, tekstur muncul kuat. Foto-foto tersebut patut ditafsir sebagai gambaran kekerasan hidup dan kekejian perang yang mereka alami.

Wacana Dekonstruksi
Pada hemat saya, tanpa lumuran sejarah kelam yang dilakukan balatentara Jepang pada PD II, seluruh pasfoto Banning bernilai sebagai citraan dokumentatif belaka. Tegasnya, konteks eksternalnya memberikan bobot kemanusiaan universal pada foto-foto yang dipamerkan itu. Maka, citraan Wainem, Icih, Rosa, Kasinem, Emah atau Mastia hadir dengan seluruh getar penderitaan, kegetiran hidup, dan aib yang, barangkali, akan di bawanya ke liang kubur.

Banning dan Janssen—melalui “proyek wanita penghibur” ini—memberikan wacana tanding atas peran dan kehadiran negara dalam masyarakatnya. Ironis, negara luput mencatat, bahkan terasa melakukan pembiaran terstruktur, nasib getir sebagian warganya. Barangkali data diri para penyintas—nama, umur, asal, agama, pendidikan, dan pasfoto—tidak ditemukan dalam arsip negara. Seakan-akan negara melupakan mereka yang dianggap ber“dosa”.

Di sinilah kontribusi Banning dan Janssen—keduanya wong Landa—yang menghidupkan narasi sejarah Indonesia, meski pahit, dan menghadirkannya untuk publik Indonesia. Mereka hendak bilang, monumen ingatan mesti dibangun agar peristiwa serupa tidak terulang.

Di satu lembar pasfoto, negara menancapkan kekuasaannya: Warganya dicatat. Sebaliknya, negara abai dengan tidak memotret warganya jika dianggap “kotor”.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 24/10/2010/]

Tuesday, September 28, 2010

WACANA SENI PEMBEBASAN

[Karya Antonius Danang Bramasti, SJ]

ISTILAH teologi—dalam wacana teologi pembebasan Amerika Latin—berarti “iman dalam tantangan sejarah perjuangan untuk pembebasan”. Sedangkan pembebasan diartikan sebagai “bebas dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik, atau alienasi kultural, atau kemiskinan dan ketidakadilan” (Francis Wahono Nitiprawiro, 2008).

Tegasnya, teologi pembebasan bukan cuma praksis religiositas eskatologis, melainkan upaya nyata memerangi penindasan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat miskin. Lantas, apa yang dimaksud dengan “seni (sebagai sarana) pembebasan”?

Adalah seorang imam jesuit—Antonius Danang Bramasti, kepala paroki Girisonta, Ungaran—yang mencetuskan istilah atau pemahaman (baru) tersebut. Romo Danang adalah gembala Tuhan yang gemar menggambar. Secara personal, dalam tempo tertentu, praktik meditasi dilakukannya melalui dan dengan cara menggambar. Dalam hal ini dia melakukannya dengan tangan kiri meski dia bukan seorang kidal. Wujud nyata meditasinya adalah karya gambar (drawing) atau lukisan.

Seiring arus waktu, sejalan dengan keimanan Kristiani, romo Danang berniat mengaplikasikan kesenirupaan sebagai karya pastoralnya. Hasratnya tersambungkan oleh realitas, di wilayah kerjanya, sejumlah besar pabrik terbengkelai dan lingkungannya pun terdegradasi.

Romo Danang melukiskan realitas memilukan itu—reruntuhan pabrik dan lingkungannya—ke atas kanvas. Pertama-tama realitas empirik itu dipotretnya dan lantas dilukisnya. Jadi, lukisannya tak lain visualisasi impresinya atas citraan fotografis. Secara kasat semua karya lukisnya terkesan impresif: paduan warna-warni primer, ikonisitas yang samar, dan non-figuratif. Pada ujungnya, lukisan-lukisan itu dipamerkan untuk publik (misal: pameran “Asa di Tengah Kehancuran” di Unika Soegijapranata Semarang, 23—28/8).

Mangkraknya banyak pabrik, yang menyebabkan rusaknya topografi tanah agraria setempat, adalah bukti gagalnya industrialisasi di desa Harjosari, Bawen, Ungaran. Utopia kemakmuran—via kerajaan industri garmen, tekstil, dan sebagainya—sirna berbareng dengan ambruknya perekonomian Indonesia yang diterjang krisis moneter, 1998. Semenjak itu—puncaknya setahun belakangan—ribuan buruh kehilangan pekerjaannya dan serentak mereka jatuh miskin.

Seni Pembebasan: Apa dan Siapa
Sejarah kebudayaan modern Indonesia—dalam hal ini kesenilukisan—mencatat wacana “realisme sosialis”. Adalah pelukis S Sudjojono—pada 1930-an—yang getol melansir isu “kesenian ialah jiwa ketok”. Baginya, seni lukis “harus keluar dari dalam hidup kita sehari-hari”.

Kesenian S Sudjojono—dan termasuk pelukis Hendra Gunawan, Affandi, Harijadi, Suromo, Basuki Resobowo—berpijak pada gelora nasionalisme dan kerakyatan. Bisa dipahami mengingat mereka terlibat pada bara revolusi Indonesia. Dalam bahasan kritikus Jim Supangkat (pengantar dalam S Sudjojono, 2000), kekuatan lokal yang tercermin pada realisme Sudjojono merupakan estetik yang moralistik.

Pada 1950, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI)—berdiri dan mengawal jargon seni realisme sosialis pula. Pedoman geraknya disebut Satu Lima Satu (1-5-1). Satu yang pertama “politik sebagai panglima” dan satu yang terakhir “cara kerja turun ke bawah”. Oleh Hersri Setiawan (dalam Antariksa, 2005) pelaksanaan Turba (turun ke bawah) itu dijabarkan dengan “Tiga Sama” yaitu: bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. Artinya, seniman harus merasakan jiwa dan perasaan terdalam rakyat kebanyakan sehingga bisa diungkapkan secara tepat.

Maka, paham realisme sosialis niscaya menaruh perhatian—dan berpihak—pada problematika kerakyatan. Kesenian yang dihasilkan mestilah menyuarakan dunia dalam kaum pekerja, rakyat jelata: buruh, petani, atau mereka yang termarginalkan.

Sampai di sini, kita dapatkan beberapa pertanyaan. Apakah “seni pembebasan” sama sebangun dengan realisme sosialis dalam konteks praksis kebudayaan sosialistik ala Lekra? Apakah “seni pembebasan” menawarkan cara, metode, atau matriks terukur demi tujuan “pembebasan”? Apakah “pembebasan” itu bersifat individual atau kolektif-komunal dan bebas dari apa?

Barangkali gagasan “seni pembebasan” tersebut masih perlu dielaborasi. Mesti dicari benang merah antara gagasan, teoretik, dan praktik dengan anasir-anasir dan komunitas yang hendak dilayani. Ini mengandaikan ide “seni pembebasan” bukan untuk pencerahan personal belaka, melainkan demi kolektif-komunal (wujud “turun ke bawah”).

Pada hemat saya, jika gagasan “seni pembebasan” dianggap sebagai praksis pembebasan teologis—sebagai konsekuensi logis dari praksis teologi pembebasan yang hendak menghalau penindasan dan ketidakadilan—maka sudah semestinya locus theologicus-nya ialah masyarakat atau komunitas yang termarginalkan. Benarkah ini yang dimaksud?

Sudah banyak contoh bagaimana seni rupa digunakan sebagai wahana pencerahan (enlightenment) atau penyembuhan (healing). Bila “seni pembebasan” seperti ini, tentu saja, bukan wacana baru.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa
Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Selasa: 28/09/2010.]

Sunday, September 5, 2010

PUASA SENI RUPA

[Photography: Tommas Titus Kurniawan]

BERPUASA bagi kaum Muslim bukan cuma berpantang makan-minum sebulan penuh. Berpuasa juga bukan semacam ritualitas yang berulang belaka. Berpuasa adalah praksis transenden: suatu upaya mendekatkan manusia, yang profan, kepada Sang Pencipta Agung.

Ramadan adalah bulan saat umat Muslim berpasrah diri dan menangis haru-girang atas segenap karunia-Nya. Karena itu, bulan berpuasa yang suci ini disyukuri oleh kaum Muslim dengan melakukan hal-hal berguna nan positif.

Akan tetapi, bukan tidak menyukuri rida-Nya bila tiga seni rupawan muda—tergabung dalam komunitas Beanstalk—melansir wacana kritis atas situasi “puasa hari ini”. Tommas Titus Kurniawan, Nasay Saputra, dan Aris Yaitu berpameran di Widya Mitra, Jalan Singosari II/12, Semarang, pada 28 Agustus—6 September 2010. Pameran bertajuk “Sa-ti-re 2” itu dibuka pada Sabtu (28/8) malam.

Pameran kelompok ini lanjutan dari “Sa-ti-re”—diadakan di Galeri Bu Atie, Maret lalu. Saat itu Beanstalk terdiri dari Tommas, Nasay, dan Wisnu Baskoro. Di tengah jalan Aris bergabung. Belakangan jejak kreatif Wisnu tak jelas dan dia, lantas, undur diri dari praksis kesenirupaan.

Refleksi Kritis
Tiga sekawan itu mengkritisi kebebasan, kemerdekaan dan isu-isu terkini sesuai minat dan cara masing-masing. Tulis mereka dalam selebaran pameran, “Tentu 'Puasa Hari Ini” tidaklah mudah untuk dijalani di tengah maraknya kepentingan-kepentingan tersembunyi yang membuat masyarakat semakin terbungkam dalam ketidakadilan.”

Bagi mereka, kekritisan itu diperlukan sebagai refleksi di bulan Agustus tatkala bangsa Indonesia memperingati kemerdekaannya. Namun mereka sadar bahwa “masyarakat sulit bersuara lantang karena (di) bulan puasa mengharuskan umat-Nya mengendalikan segala emosi.”

Walhasil, menyimak pernyataan mereka, ada tiga pokok soal (subject matter) sentral yang disoroti, yakni isu-isu kemasyarakatan terkini, dialektika kemerdekaan bangsa Indonesia, dan diskursus religiositas. Ketiga topik itu diekspresikan dalam karya foto, komik, instalasi, video, dan gambar (drawing).

Nasay—alumnus Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang—menciptakan superhero “Kompor mBledhak”. Tokoh itu bertubuh tambun dan berkepala tangki gas 3-kiloan keluaran Pertamina. Tampangnya sangar: alis hitam melengkung, mata mendelik, mulut menyeringai. Ironinya, sang “pahlawan” justru menebar teror: membakar banyak rumah, mencelakakan rakyat kebanyakan. Kisah getir ini ditampilkan dalam serial komik.

Selain serial komik, Nasay menggambar panel-panel mandiri yang menyoroti isu-isu hangat. Malaysia digambarkan sebagai “raja perompak”: sosok kartun buatan Malaysia “Upin” dan “Ipin” sedang naik perahu. Ada juga citraan raja-ratu lombok sebagai perumpamaan harganya yang melambung tak terkendali baru-baru ini.

Isu kebebasan-kemerdekaan digarap dengan taktis oleh Aris. Dia memvisualisasikan “presiden lebay” itu sebagai sosok berjubah-bersorban sedang mengangkat kedua tangannya. Adakah gambar ini metafor menyerahnya supremasi negara pada kekerasan simbolik atas nama keagamaan tertentu?

Satu-satunya instalasi—gubahan Aris—ialah “Tiga Jajaka”: tiga sisi kardus bekas pembungkus kulkas dilobangi serupa sosok tiga lelaki. Kardus dibaluri cat putih. Lampu kecil merah menggantung di sebaliknya. Dimensinya, lebar dan tinggi berkisar 120—180 cm. Ini karya apropriasi atas fenomena patung “Tiga Mojang”—kreasi I Nyoman Nuarta—yang dibongkar paksa di suatu kompleks perumahan di Bekasi. Bahan dan tematik “Tiga Jajaka” santir rapuhnya karya seni oleh arogansi dan banalitas tafsir sekelompok penganut kepercayaan garis keras.

Aris juga menyoroti nasionalisme Indonesia. Ada gambar burung garuda—kedua sayapnya tak mengepak—terlihat gontai-lunglai tanpa semangat. Secara umum karya-karya gambar Aris—dia lama bekerja di Rumah Seni Yaitu Semarang—berupa metafor bertingkat: visualitasnya senantiasa berdaya-ungkap mejemuk dan tak linear.

Dan ruang pamer itu—garasi yang beralih fungsi (sic!)—dimeriahkan oleh karya foto Tommas. Anak muda ini—sedang kuliah hukum di FH Universitas Diponegoro Semarang—konsisten dan kian matang dengan pilihan media ungkap fotografi.

Empat dari lima fotonya hasil pemindaian (scanning) objek kaleng bir dan mainan anak (toys). Ini semacam pemetaan sikap pro-kontra publik atas suatu realitas yang disigi berdasar syariat tertentu. Teknik tersebut dinamai scannography dan dikenalkan oleh Angki Purbandono—pentolan komunitas Ruang Mes56 Yogyakarta. Proses pemindaian itu direkam dan ditayangkan juga di ruang pamer.

Beanstalk dan Yang Lain
Hanya dalam tempo lima bulan Beanstalk menggelar dua pameran. Fakta ini pantas dihargai di saat lesunya praktik produksi atau eksposisi seni visual di Semarang belakangan ini. Padahal, beberapa tahun silam, pernah serentak dalam semalam di kota ini ada tiga perhelatan seni visual.

Sampai Agustus ini memang ada saja tercatat pameran foto, poster, zine, lukisan, di beberapa tempat, seperti di Galeri Bu Atie, Galeri Semarang, GrobagArt, Toko Buku Togamas, Taman Budaya Raden Saleh, Museum Ronggowarsito dan di mal atau kafe. Kegiatan itu, antara lain, diinisiasi oleh komunitas Hysteria, Outsiders, dan beberapa seni rupawan individual atau kelompok dadakan.

Menariknya, satu dua kelompok anak muda Semarang meraih atribusi “nasional” atas perannya selama ini—mereka: Hysteria (lebih dikenal sebagai komunitas sastra) dan Byar Creative Industry. Beberapa seni rupawan pun mulai mendapat cukup atensi dari pasar seni rupa Tanah Air, terutama pasar seni primer. Sebaliknya, tak kurang-kurangnya komunitas atau (calon) seniman berbakat tumbuh dan lalu bertumbangan.

Dahulu performa kelompok Importal cukup menjanjikan, namun kini bercerai-berai. Akan halnya Outisiders—anggotanya terutama dari kalangan pemusik cadas dan indie—menyimpan potensi besar. Tentu saja kepercayaan diri mesti dilecut lagi dan gagasan, strategi, serta pengetahuan estetik pantas ditinggikan pula.

Barangkali segenap pemangku kepentingan kreatif kota mesti menata ulang strategi dan pertumbuhan kesenirupaan Semarang. Untuk itu, jika benar, adanya agenda seni besar dalam waktu dekat patut disyukuri. Harus diwaspadai, sesuai pengalaman, iklim panas kota pesisir ini mudah memanggang relasi horisontal para pekerja seninya.

Jika ada pilihan, sebaiknya menggerakkan nadi kesenian secara laten dan dalam skala-format terukur ketimbang menginisiasi kegiatan besar cuma sekali lalu terkubur sudah. Hindarkan seni visual Semarang berpuasa lama.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 05/09/2010.]

Saturday, August 7, 2010

CATATAN UNTUK DEWAN KESENIAN KOTA

[Photo: Tubagus P. Svarajati]

IDEALNYA, dewan kesenian suatu kota tidak berlagak sebagai pelaksana proyek kesenian, melainkan sebagai lembaga strategis yang merancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota. Ia adalah lembaga ahli sebagai mitra konsultatif pemerintah sekaligus promotor dinamika kesenian-kebudayaan kota.

Dalam rasionalitas rezim Orde Baru, berbagai taman budaya dan dewan kesenian adalah agen idealisasi kebudayaan yang diimpikan. Praktik rezimentasi kesenian-kebudayaan ala Orde Baru pada ujungnya menjauhkan masyarakat dari problematika, dinamika, dan wacananya sendiri. Akibatnya, sebagian seniman dan masyarakat apriori atau tak acuh pada praktik kesenian-kebudayaan kotanya. Kondisi itu gampang ditemui di kota-kota di Indonesia, tak terkecuali di Semarang khususnya dan Jawa Tengah umumnya.

Agaknya berbagai taman budaya dan dewan kesenian itu, sebagai pendukung kekuasaan rezim, gagal (?) menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat kita. Meski terkesan punya wilayah, otoritas, termasuk program tersendiri, alih-alih mereka berelasi dengan realitas kesenian-kebudayaan yang hidup di masyarakatnya. Ironisnya, mereka disokong oleh pemerintah notabene dananya berasal dari uang rakyat.

Berkaca pada hal-hal itu, mesti diupayakan suatu konstruk masyarakat dan kebudayaan yang padu. Relasi keduanya bukanlah sesuatu yang berjalan dan bekerja secara otomatis. Masyarakat dan kebudayaan, sesuai dengan teori konstruksi sosial (Ignas Kleden, 2004), tidak hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis melainkan adalah buatan, konstruksi, dan produksi manusia sendiri.

Maka, sangat rasional jika kota-kota di Jawa Tengah—terutama yang telah mempunyai lembaga dewan kesenian—menyiapkan cetak biru kesenian-kebudayaannya secara realistik, namun futuristik. Usaha tersebut memang tak mudah mengingat kurang suburnya wacana atau dialektika kesenian dan mandulnya kritik kebudayaan kita selama ini.

Tanggung Jawab Baru
Masalahnya, siapa atau lembaga apa yang mampu memindai, memetakan, serta menjabarkan keistimewaan atau tantangan setiap daerah hingga dihasilkan pemahaman holistik dan pola kerja integral bagi berbagai praksis kesenian yang ada.

Masyarakat seniman dan pekerja seni (termasuk pemikir kebudayaan dan kritikus) harus mendesak aparat pemerintah agar bekerja lebih keras menginisiasi konstruk kebudayaan ideal yang diidamkan bersama. Juga, segenap pengurus lembaga seni “plat merah”—yang dikucuri dana rakyat via APBD—perlu disemangati agar mau terbuka, serius mengaji dan memetakan potensi kreatif kota, dan menolak berasyik-masyuk atau “berseni-seni” di tubuhnya sendiri.

Pada hemat saya, selain sebagai “think-tank” atau lembaga strategis perancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota, dewan kesenian juga berfungsi sebagai pusat data dan dokumentasi, serta mitra konsultatif (yang otoritatif) pemerintah.

Selain itu, dewan kesenian bisa berperan sebagai promotor, dinamisator atau fasilitator praktik kreatif seni kota. Namun, ia bukanlah leveransir atau legitimator praktik kuasi-seni. Juga, lembaga ini perlu mengembangkan diri sebagai wahana jejaring seni yang tangguh dan punya pengaruh luas.

Untuk merealisasikan fungsi-fungsi ideal tersebut, pengurus harus membenahi tujuan strategis, pola kerja, program sampai dengan—yang amat penting!—paradigma atau dasar filosofis konstruk kebudayaan kota yang dinamis. Masalahnya, apakah selama ini dewan kesenian telah atau mampu berperan secara ideal?

Kesan miring mesti ditepis, yakni: dewan kesenian sama-sebangun dengan organisasi atau kelompok kesenian lainnya, namun (beruntung) didanai oleh pemerintah. Jika dugaan ini terus berlanjut, tak syak, kelompok-kelompok seniman yang jauh lebih aktif, kreatif dan kompeten di bidangnya bakal menggugat kebijakan irasional itu.

Profesionalisme Pengelola
Yang perlu diberikan perhatian ekstra ialah siapa saja yang pantas mengelola dewan tersebut. Lazimnya lembaga semacam ini dikendalikan oleh kalangan seniman sendiri. Tak jarang unsur pertemanan atau koneksi turut campur yang, bisa jadi, menghambat laju organisasi. Praktik permisif mesti dihindarkan.

Pantaslah aspirasi seniman, pekerja seni, pemikir kebudayaan atau pemangku kepentingan umumnya—termasuk aspirasi birokrasi—diakomodasi dan dijalankan oleh pengurus dewan kesenian. Pimpinan yang dibutuhkan ialah manajer tangguh, bukan figur-figur improvisatif dengan kompetensi manajemen tanggung. Jelas, pengelolaan dewan adalah domain manajerial.

Dan dalam manajemen modern, adalah niscaya semua kegiatan dan keputusan dibuat transparan dan akuntabel. Sisi finansial, bagian yang potensial melahirkan syak-wasangka, mesti diaudit secara benar oleh akuntan publik. Sudahkah itu semua dilaksanakan?

Betapa penting kesenian-kebudayaan dalam pembangunan karakter bangsa, maka peran dewan kesenian sangatlah strategis. Harapannya, lembaga ini jangan beraksi sebagai organisasi seni partisan belaka.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa
Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Rabu: 14/07/2010.]

Thursday, July 22, 2010

ESTETIKA MULTI DIMENSI


Resensi Buku

Judul: Persoalan-persoalan Dasar Estetika
Penulis: Marcia Muelder Eaton
Penerbit: Salemba Humanika
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xviii+190 halaman

Dalam sejarah seni, diskursus tentang hal artistik atau estetika menunjukkan gagasan beragam. Pelbagai mazhab pemikiran itu saling melengkapi, namun tak jarang bahkan ada yang bertolak belakang. Justru di sinilah hikmatnya: seni atau hal indah menemukan maknanya yang majemuk sekaligus kaya nuansa.

Lazimnya, diskusi tentang estetika bersifat filosofis. Ada perbedaan mencolok antara praktik produksi artistik dan karya (atau objek) artistik dengan bagaimana pemahaman atasnya dilangsungkan. Gagasan mengenai apa itu seni pun berkembang, tidak ajeg, dan terkait dengan fenomena budaya suatu masa. Pemahaman kian kompleks bila menyoal seniman dan karyanya yang tidak sezaman dengan penikmat. Kompleksitas itu setidak-tidaknya disebabkan perbedaan tanda-tanda atau kode-kode kulturalnya, artinya perihal kontekstualitas.

Hadirnya buku terjemahan ini turut membantu pemahaman publik atas perkembangan diskursus tentang estetika dan karya seni. Paparan buku ini menarik dan jelas. Telisiknya pun cukup mendalam.

Bangunan buku ini terdiri dari tujuh bab. Satu, mendefinisikan permasalahan keindahan, seni, dan teori-teori estetika. Dua, kajian estetis yang berpusat pada sudut pandang seniman. Tiga, telaah estetis menurut persepsi penikmat karya. Empat, relasi atau problematik seni dan bahasa. Lima, tentang objek estetis dan objek artistik dalam konteksnya. Enam, kedudukan interpretasi atau kritisisme dalam diskursus seni. Dan tujuh, diskusi tentang nilai-nilai estetis.

Dinamika Pemahaman Estetik
Pada mulanya adalah seniman dan karyanya. Mendiskusikan hal seniman, tentu saja, terkait dengan intensinya sebagai kreator (artist’s intention) dan kreativitasnya. Kendati begitu, intensi atau maksud penciptaan tak mudah ditelusuri. Begitu pula soal kreativitas yang melahirkan karya seni.

Kehendak, maksud, atau intensi inilah yang mendasari kreativitas. Dorongan kreatif itu melahirkan karya atau artefak seni. Akan tetapi, maksud seniman kerap diagungkan (terutama pada masa Modernisme tatkala narasi monolitik bertengger kuat) sehingga apa yang berseberangan dengannya dianggap suatu kesalahan. Kondisi ini, termasuk kekeliruan menafsir artefak seni, disebut sebagai intentional fallacy.

Debat tentang intensi melahirkan dua kubu, yakni kaum intensionalis dan antiintensionalis. Yang pertama meyakini bahwa penciptaan artefak seni—termasuk resepsi atau pemahaman terhadap suatu kegiatan seni—dilandasi kesadaran penuh seniman atau penikmat. Sebaliknya, kalangan antiintensionalis berpendapat bahwa intensi tidak menyediakan kondisi keharusan (necessary condition) maupun kondisi mencukupi (sufficient condition) untuk membedakan sesuatu itu seni atau bukan seni.

Pada sisi lain, ada teoretisi—terutama Benedetto Croce—yang menganggap bahwa gagasan berperan penting dalam praktik kreasi seni. Singkatnya, ekspresi itu dipahami lebih sebagai fenomena mental ketimbang kegiatan jasmaniah belaka. Sedangkan bagi John Dewey, artefak seni mesti dikerjakan dengan terampil, di samping perlunya menimbang kontribusi perasaan dan konsepsi seniman. Pandangan ini dikenal sebagai teori pengalaman.

Lantas, di manakah posisi penikmat seni ditautkan dengan seniman dan karyanya? Kerap para penikmat seni dipandang sebelah mata. Faktanya, dalam konsep tritunggal seni (seniman, artefak seni, dan penikmat), penikmat pun memberikan kontribusi dalam diskursus atau resepsi estetik. Yang terpenting, sesuai dengan perkembangan teori estetika mutakhir, penikmat seni tak hadir dengan seluruh kepolosannya (innocent eyes), melainkan membawa skemata terkait dengan tradisi, sejarah, atau lingkungan budayanya.

Filsafat estetika—sesuai dengan perkembangan filsafat di abad 20—dipengaruhi pula oleh filsafat bahasa (linguistic turn), yakni filsafat yang diungkapkan dalam bahasa. Permasalahan filosofis dikaitkan dengan permasalahan bahasa, terutama bahasa sebagai sistem simbol. Ini berarti, karya seni dianggap sebagai suatu tekstualitas. Dan semiotika menjadi alat bantu yang berharga dalam praktik resepsi estetik.

Karya seni sebagai suatu teks, seturut EH Gombrich, adalah representasi simbolik, namun bukan dalam artian kemiripan melainkan substitusi. Gombrich dan beberapa teoretisi lain, pada dasarnya tidak sekadar mempertanyakan bagaimana suatu bentuk dalam seni visual dapat mengartikan sesuatu. Sebaliknya, titik beratnya pada bagaimana suatu bentuk dapat diartikan sebagai sesuatu.

Nah, formalisme senantiasa mengkaji anasir-anasir formal pada suatu karya seni, misalnya bentuk, garis, tekstur, bidang, komposisi pada seni visual atau nada dan irama dalam musik. Formalisme menyoroti aspek kebentukan dan isi (form-content) suatu karya seni. Pada perkembangannya ternyata hal form-content itu tak memadai. Kajian seni visual kontemporer, misalnya, kian menitikberatkan pada diskursus form-context. Kontekstualitas suatu karya seni, tepatnya sebagai bagian dari kajian sosiologis, turut dipertimbangkan sebagai hal penting. Pertanyaannya, apakah karya seni niscaya diresepsi demi seni itu sendiri (art for the art’s sake) ataukah dia diapresiasi sebagai bagian dari masyarakatnya.

Para teoretisi dan kritikus seni marxisme getol mendalami aspek kontekstualitas tersebut. Mereka mencari pola dan relasi antara karya seni dan kreasi sosial lain dan menilainya dalam kerangka peran historis dan kontribusinya dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Aforisma Beuys—Setiap orang adalah seniman—termasuk dalam ranah ini. Meski begitu, kontekstualitas seni tak selalu harus dikaitkan dengan marxisme.

Eaton pun menyigi hal kritisisme dan peran kritik(us). Baginya, mengutip Tormey, kritik yang baik dapat memformulasikan penilaian sedemikian rupa demi kepentingan penikmat seni. Buku ini berharga—terutama bagi para mahasiswa seni dan peminat kesenian umumnya—sebagai awal pengenalan pada keragaman diskurus filsafat estetika. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku ini dikirimkan ke harian Suara Merdeka, Jumat: 04/06/2010.]

Sunday, July 18, 2010

TUBUH INFERIOR

Artworks by Rosid
[Photo: Courtesy of Semarang Contemporary Art Gallery]


Riwayat pak Dapin, petani, didedahkan di kanvas oleh Rosid. Itu cara seorang anak menghormati sang ayah. Rosid pelukis kelahiran Parigi, Ciamis-Jawa Barat.

Afeksi Rosid kepada ayahnya diekspresikan dengan cara menggambarkan, secara total, hampir seluruh bagian tubuh sang ayah. Dia melukiskan wajah, tengkuk, dada-perut, punggung, lengan, telapak tangan, kaki, dengkul, dan semuanya diguratkan rinci.

Guratan-guratan gambar rinci itu berasal dari susunan gegarisan ritmis (mirip arsiran pensil, bukan meniru torehan Van Gogh), tatanan bayang-bebayangan (shading), dalam warna monokromatik hitam-putih. Tentu di antaranya terlihat median abu-abu. Latar, umumnya, adalah bidang luas-datar berwarna abu-abu tanpa kedalaman.

Melalui garis-gegarisan, Rosid menghadirkan sosok ayahnya nyaris sempurna. Tanda-tanda keuzuran—kulit keriput, gelambir lemak tubuh-renta, tulang punggung membungkuk—digambarkan dengan tingkat mimikri absolut.

“Menjadi Sawah” adalah pameran tunggal Rosid kedelapan. Pameran 16 karya lukisan berbagai ukuran ini berlangsung di Galeri Semarang, Jalan Dr Cipto No. 10 Semarang, mulai 22 Desember hingga 5 Januari 2008. Sebelumnya dipresentasikan di Galeri Soemardja ITB, Bandung (22/11 sampai 15/12). Heru Hikayat, kurator yang berdiam di Bandung, mengawal pameran ini.

Sejarah Personal
Pameran ini menunjukkan gelagat kelaziman cara melukis, yakni menggambarkan kembali citraan dari obyek (dalam hal ini sosok pak Dapin) yang dipungut melalui teknologi fotografi.

Merepresentasikan (kembali) suatu citraan ke atas kanvas, dalam beberapa segi, memunculkan sensasi dan penghayatan rasionalistik atas peristiwa atau obyek yang digambarkan itu. Pak Dapin, pertama-tama, adalah obyek bagi pelukis. Seniman mengambil jarak dengan obyeknya ketika ia sedang berkarya. Setelah selesai, karya lukis itu, yakni sosok pak Dapin, menjelma jadi subyek di hadapan seniman dan pemandang.

Dalam kiasan lain, Agung Hujatnikajennong (risalah di katalog pameran Tubuh Ayah, Tubuh Petani, Narasi pada Lukisan-lukisan Rosid) menyebutkan, betapa pun ‘anonim’ untuk sebagian orang, ia (pak Dapin, penulis) seperti dihadirkan ‘sebagai pusat’. Dan ‘pusat’, pada hemat saya, adalah ketokohan, tidak lain sejarah itu sendiri.

Dengan menokohkan subyek-ayahnya di atas kanvas, Rosid seperti tengah menarasikan sejarah personal keluarganya ke permukaan. Ini riwayat petani kebanyakan: tekun bekerja, menghormati ibu-tanah, dan sepenuh cinta menghidupi keluarganya. Kerut-merut dan gosong tubuhnya adalah gambaran usia, cucuran keringat, dan semangat yang membaja.

Sejarawan, seturut Kuntowijoyo, ibarat orang naik kereta api dengan melihat ke belakang. Ia dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Yang tidak bisa dikerjakannya ialah melihat ke depan. Sebaliknya Rosid, sebagai ‘sejarawan’ ia tak cuma menoleh ke kanan-kiri dan menengok ke belakang, namun sekaligus ia melihat ke depan dan memproyeksikan historisitas keluarganya. Sosok sang ayah di atas kanvas, barangkali, ialah cermin diri sang anak pula.

Sejarah Tubuh Inferior
Pada galibnya, dalam persepsi saya, Rosid sedang mendiskusikan ide tubuh inferior: tubuh yang ‘a-historis’ dan menafikan tubuh auratik kaum dionisian. Pada paham estetika tubuh, yang diintroduksikan oleh kapitalisme lanjut, tubuh adalah sejarah ‘aku’ yang mengidolakan citra kemudaan, kemulusan, dan kesegaran jasmani. Tubuh yang kempot-peyot mendekam di lapis bawah kesadaran konsumer citraan. Tubuh dengan otot kendur dinistakan. Rosid, agaknya, menolak kecenderungan arus utama komodifikasi atau industrialisasi tubuh itu. Ia justru merayakan kehidupan sejarah panjang seorang orangtua.

Ditilik dari depan atau belakang, tubuh pak Dapin sama saja: kendur, berkerut, bergelambir, dan menua. Setiap milimeter lekukan tubuhnya, seakan-akan, mengguratkan aura tapal batas kehidupan.

Coba simak karya-karya Menghadap (200X100cm, akrilik pada kanvas, 2007), Jejak Beban (100X120cm, akrilik pada kanvas, 2007), atau Menatap (150X150cm, akrilik pada kanvas, 2007). Tiga karya ini, antara lain, mampu mewakili sejarah hidup pak Dapin dan puncak capaian artistika sang pelukis.

Tak semua karya Rosid berkesan kelabu, tentu. Ia mencoba menyusupkan warna-warni—kepala Pak Dapin—di antara lengan, lutut, di atas telapak tangan, atau di ujung telunjuk. Sayangnya kepalaan itu selaik makhluk asing—alien—yang tiba-tiba muncul menyeruak. Bahwa kontras itu terasa banal kiranya.

Wajah sepuh—karya Menghadap—dengan selarik bibir yang mencengkeram itu mengingatkan saya pada mendiang Ayahanda. Dia berpulang membawa seluruh catatan sejarahnya, belum lama ini, dengan bibir mencengkeram pula.

Tubagus P Svarajati,
Penikmat seni visual, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke majalah Visual Arts, Rabu 9/1/2008. Esai tidak diterbitkan.]

Friday, April 16, 2010

KOK POO DAN DULLAHISME

["Miss Sasih" by Dullah - Collection of Neka Art Museum.]

MENARASIKAN sejarah adalah upaya memelihara ingatan kolektif agar fenomen—peristiwa dan pelaku—dihargai sepadan sesuai peran atau kontribusinya. Sejarah adalah bangunan memori kolektif yang ditegakkan atas nama kepentingan atau konstruk sosial-politis tertentu. Dalam konteks esai ini catatan sejarah berguna bagi dunia kreatif—khususnya seni visual—Semarang terkait dengan politik kesenian-kebudayaannya.

Penulisan sejarah seni lokal berguna pula sebagai kerangka belajar dan pemandu agar praktik kreatif seni visual kota terhindar dari cermin buruk rupa. Dari sini orang bisa berupaya membangun infrastruktur yang lebih mapan. Dan kesadaran menyejarah itu mesti dimulai dari para pemangku kepentingan.

Karenanya, catatan kreatif sekecil apa pun—individual mau pun kolegial—elok bila dituliskan. Jika tidak, peran dan kontribusi penting niscaya mudah tergelincir dari ingatan masyarakat. Faktanya, sebagai kota urban kosmopolit, sejak era kolonial, Semarang tidak punya catatan kesenian yang memadai—setidaknya lima dasawarsa terakhir. Satu dua nota tersisa, antara lain, ialah Pelukis Rakyat (di dalamnya ada Hendra Gunawan, Affandi, dan Trubus) berpameran di Semarang dalam rangka Kongres Perdamaian, 1955. Affandi sekeluarga—bersama Maryati (istri) dan Kartika (anak)—unjuk gigi pada tahun 1970-an.

Sanggar Raden Saleh yang berjaya pada tahun 1970-an, bahkan nyaris identik dengan kesenilukisan Semarang saat itu, samar-samar terlacak notasinya. Publik pun lupa pada fenomena Pawiyatan Sanggar Raden Saleh (1978) sebagai kelompok belajar seni lukis—pada masanya mendidik 100 siswa lebih di Balai Desa Karangkidul, Semarang Tengah—yang sempat melahirkan seniman berkelas AS Kurnia.

Fenomena “melupa-diri” itu merugikan praktik dan strategi kesenian-kebudayaan kota. Nyaris kita tak punya sosok senirupawan kebanggaan kota selain cuma sepotong kenangan kabur pada figur Raden Saleh.

Demi membangun ingatan kolektif yang adil adalah bijak kita kenali dan hargai pelukis Kok Poo. Dia adalah seniman dengan kontribusi jelas bagi banyak pelukis Semarang. Perannya pantas diperluas dan diremunerasi sebagai salah satu seniman penting kota ini.

Dullahisme
Kok Poo adalah anak didik Dullah, pelukis istana pada era Presiden Soekarno. Selama sepuluh tahun (1972—1982) dia nyantrik kepada Dullah di Sanggar Pejeng, Bali. Sanggar ini mengambil nama suatu desa sepi-tenteram nan sejuk di antara Ubud-Tampaksiring. Selain Kok Poo, pelukis Tan Hok Lay dan Inanta Hadipranoto (keduanya asal Semarang) juga berguru kepada Dullah.

Boleh dikata pesona Dullah mencengkeram kuat di benak dan kreasi anak didiknya. Mereka, karenanya, seakan-akan “meniru” persis tiap jengkal gerak tangan, sapuan kuas, pilihan objek, hingga alam pikiran atau ideologi kesenian Dullah. Walhasil, Dullah dan anak didiknya melahirkan semacam “dullahisme”.

Ciri-ciri utama genre dullahisme: lukisan realistik dengan latar lelehan cat transparan, warna gelap-kusam, pulasan cat tipis, dan pilihan objek keseharian. Pokok soalnya (subject matter) hanya berkisar pada model (anak-anak, gadis molek, kakek-nenek renta), bebungaan, bebuahan, alam benda, hewan-hewan peliharaan, sudut-sudut desa dan lanskap seputar Bali. Tematik itu divisualisasikan berdasar pakem komposisi konvensional (biasanya memusat) dan teknik pencahayaan chiaroscuro (umumnya sudut pencahayaan samping atau dikenal sebagai Rembrandt Light). Singkatnya, ini genre mimikri realitas.

Di Semarang, di tengah-tengah kebekuan praktik seni rupa kota antara tahun 1990—2000-an, Kok Poo tekun membina sejumlah anak muda dan pelukis paro waktu. Dalam mendidik mereka Kok Poo tidak menyediakan waktu atau ruang khusus. Muridnya datang silih berganti menunjukkan karyanya. Dia akan mengomentari, mengritik, dan kerap memperlihatkan cara atau teknik melukisnya. Dengan metode itu Kok Poo menurunkan ilmunya dan seketika murid-muridnya mendapat bekal melukis secara praktis.

Kok Poo sangat menekankan upaya melukis secara langsung, on the spot. Baginya, cara itu memudahkan belajar sekaligus mampu menangkap esensi dan raut objek yang dilukisnya. Praktik amatan langsung itu mengharuskan seseorang menguasai aspek nirmana, anatomi dan proporsi bentuk, serta kondisi emotif sesaat. Secara berolok-olok, seni lukis dullahisme yang dikenalkan oleh Kok Poo itu diberi label “Mangga-Pisang-Jambu”. Akibatnya, seni lukis Semarang dikenal kuat berciri realis-naturalistik.

Tak jelas berapa banyak pelukis Semarang yang tetap setia pada ajaran Kok Poo. Yang terang, berkat didikannya, berpuluh-puluh orang benar-benar mampu hidup dari hasil kerja melukisnya. Kok Poo tak cuma menularkan tradisi dullahisme, melainkan juga membukakan jalan penghidupan bagi pengikutnya. Inilah kontribusi terbesar Kok Poo—sosok Guru seni lukis yang kukuh—pada praktik kreatif seni visual Semarang.

Kini Kok Poo (72) nyaris tak melukis lagi. Kondisinya melemah karena beberapa kali terserang stroke. Namun, semangat dan keyakinan seninya tetap sekuat dulu. Medan seni Semarang pantas mengenangnya sebagai seniman yang tangguh dan ulet. Ia pantas didukung mewujudkan pameran retrospektif lengkap. Semoga sekalian muridnya terketuk bersoja takzim kepada sang Guru. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa: 12/01/2010.]

Thursday, April 8, 2010

SETELAH DUCHAMP, BUAT APA CHONGYANG

[Photo: Courtesy of Semarang Contemporary Art Gallery.]

The artist is the origin of the work. The work is the origin of the artist.
—Heidegger

MARCEL DUCHAMP—pada tarikh 1917—mengirimkan kloset-kencing ke pameran besar The Society of Independent Artists di New York. Barang-jadi (ready-made) itu cuma dibubuhi dengan “R. Mutt, 1917”. Sejak itu paradigma dan sejarah seni rupa modern pun berubah.

Kita paham, seni rupa modern, antara lain, menegaskan keluhuran pakem (order) dan memuliakan ketrampilan (skill). Justru di situlah paradoksnya: Kloscing (kloset-kencing) atawa torpis—akronim sentor pipis (pissoir) seturut Goenawan Mohamad—Duchamp adalah barang pabrikan yang didongkrak derajadnya sebagai benda seni yang diistilahkan sebagai found-art. Dunia gaduh: Serentak ruh seni rupa modern meluruh—mungkinkah benda-temuan (found-object) itu dihargai setara-sebangun dengan seni adiluhung. Ingatlah, keriuhan itu terjadi saat Barat bersiteguh dalam paham Modernisme.

Pada kuartal pertama abad 20 itu, guna menyuarakan kemuakan pada paham borjuis dan keputusasaan masyarakat yang berkembang selama Perang Dunia I, Duchamp—bersama Hans Arp, Man Ray dan Francis Picabia—menggelorakan Dadaisme. Ini gerakan budaya anti-perang yang menentang standar seni universal. Raut anti-seni itu diwujudkan melalui beragam teknik, antara lain, kolase, montase foto, asembling, dan merekayasa barang-jadi sebagai ekspresi seni. Dalam bahasa sederhana, Dada menghalalkan segala ekspresivitas atas nama seni (rupa).

Halai-balai berlanjut. Joseph Beuys hadir melebarkan definisi seni: Every human being is an artist. Adagium Beuys terkait dengan keyakinannya, bahwa hanya seni yang bisa membongkar efek represif dari sistem sosial yang menyakitkan. Singkatnya, karya seni sebagai organisme sosial. Ia yakin, seni adalah satu-satunya kekuatan evolusioner-revolusioner.

Beuys dan Duchamp tampaknya dipertegas oleh Martin Heidegger, filsuf yang berjuluk “sang penyihir dari Messkirch”, yang berpikir dan menulis di suatu pondok kecil di pedesaan Todtnauberg, dekat Freiburg. Dengan menyebut “Sang seniman adalah muasal karyanya. Karyanya adalah muasal sang seniman.” seolah-olah ia hendak mengatakan: Seniman dan karyanya ibarat sekeping mata uang, kedua sisinya tak terpisahkan. Apakah Heidegger hendak menegaskan bahwa ekspresi seniman, bagaimana pun atau apa pun, adalah karya seni dan begitu pula sebaliknya?

Akan tetapi, kita patut memeriksa perihal “Seniman” dan “Karya Seni”. Siapakah dan bilamana seseorang ditahbiskan sebagai “Seniman” dan bagaimana sesuatu benda—ya, karya seni tak lain adalah “benda” lengkap dengan sifat kebendaannya (masih gagasan Heidegger)—dianggap sebagai “Karya Seni”.
***
Tatkala Duchamp menyodorkan kloscing, kita mafhum, terjadilah perdebatan sengit: Apakah barang-jadi fungsional itu terkategori “Seni”. Andaikan sosok itu bukan Duchamp—seniman pencipta lukisan “Nude Descending a Staircase, No. 2” yang kondang itu—apakah kloscing “R. Mutt, 1917” tetap meraih atribusi sebesar itu? Barangkali kisahnya akan lain.

Di inilah pangkal perdebatannya: Ada perbedaan antara nama dan “Nama”. Ia terkait dengan “the economy of recognation”, begitu tulis Goenawan Mohamad (risalah Sebuah Torpis, sederet “nama”, 2005). Di dalamnya terkandung pengertian “fetisisme komoditas” Marx, yakni mistifikasi sesuatu—barang atau nama—dengan derajat nilai ekonomis lebih ketimbang nilai guna atau reputasinya. Perlu dikutipkan lagi di sini sepenggal paragraf dari risalah GM—sapaan ringkas Goenawan Mohamad, jurnalis cum sastrawan Indonesia kenamaan—di atas: “Nama” itu beroleh nilai tukarnya sendiri, yang kemudian disebut “harga”, sebuah penilaian yang terlepas dari kegairahan atau pun jerih-payah sang seniman ketika ia melahirkan sebuah karya.

Namun, justru karena kegairahan tepermanai dan jerih-payah yang berdarah-darah melahirkan karya seni itulah seseorang, akhirnya, pantas dihargai sebagai seniman. Ini, tentu saja, keyakinan saya mengenai “Seniman” dan “Karya Seni”. Tegasnya, reifikasi mustahil semulus jalan tol.

Sementara itu, terbentang jarak bermil-mil dan nyaris seabad setelah kloscing Duchamp ramai digunjingkan, seseorang membawa tabung-tekan-kucur (dispenser) berisi chongyang—arak industrial khas lokal Semarang, berwarna merah marun, berbau sengak-menyengat—ke dalam galeri. Tabung dan seisinya itu diniatkan sebagai benda seni. Seseorang itu dibilang sebagai seniman pula. Seketika kita sadar, bukankah terasa ada perbedaan antara benda dengan “Karya Seni” dan seniman dengan “Seniman”.

Esai pendek ini ialah upaya mendiskusikan pameran “Ecce Homo” di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang (1—10/3). Perlu dipertegas, risalah ini hanya menyoroti salah satu karya terpajang, yakni tabung-tekan-kucur yang berisi chongyang itu.
***
Puluhan tahun terbilang, zaman beralih-rupa, dan seni rupa berevolusi “dari olah rupa, olah bentuk, olah media, olah konsep, olah peristiwa, olah tubuh, hingga ke olah realitas sosio-kultural sehari-hari” (Bambang Sugiharto, Kompas, Minggu, 27/6/2008). Artinya, dunia seni rupa telah pontang-panting berusaha mendefinisikan dirinya sendiri.

Karena itu, masih pantaskah konsepsi benda-temuan dikira sebagai karya seni di masa sekarang? Bagaimana memposisikan ketrampilan teknis atau artistik seniman (craftmanship)? Juga, adakah perbedaan antara “Nama” dan nama: antara Duchamp dan seseorang lain yang disebut-sebut sebagai seniman muda itu?

Bilamana chongyang—di galeri—berubah fungsi dan nilai sebagai karya seni, apakah serentak arak merah marun di toko-toko disebut sebagai arak-seni pula. Kita paham, meski karya seni tergolong “benda”—seturut Heidegger—ia tak semata-mata benda an sich, melainkan membicarakan sesuatu yang lain, allo agoreuei. Artinya, karya seni bersifat alegoris sekaligus simbolis. Lantas, chongyang mewakili dan merepresentasikan apa gerangan? Ataukah ia sebenarnya memang benda belaka? Jika begitu, masih perlukah mengusung dan menganggapnya sebagai karya seni di galeri?

Beberapa orang gelisah dan bertanya-tanya: Bagaimana dan seberapa jauh galeri mampu menabalkan sesuatu benda menjadi karya seni? Kelak, tatkala ide telah menguap dan hasrat sensasional menjulang-melangit, barangkali satu sofa putih di ruang pamer bisa tersebut sebagai karya seni pula. Saat itu para connoisseurs mungkin berseru: Alamak! Barangkali sudah waktunya publik memaklumi, dalam politik kesenian, seniman tak bebas nilai dan “seni rupa” adalah suatu kategori hasil kontestasi dan negosiasi berbagai wacana, kepentingan, dan otoritas. Dan kurator, tentu saja, terlibat dalam konstruksi anggitan itu.

Sekali lagi, sebagai pengantar diskusi, masih pentingkah peran craftmanship dalam proses penciptaan karya seni sehingga tak serta-merta siapa pun bisa gampang mendaku barang-jadi sebagai sebuah karya seni? Atau, perlukah diferensiasi “Nama” dan nama atau “Seniman” dan seniman?

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 04/04/2010.]

Friday, April 2, 2010

CITRA BANAL FOTOGRAFI PILKADA SEMARANG

[Photo: Tommas Titus Kurniawan]

DALAM kampanye pemilu atau pilkada, termasuk kampanye pilkada Semarang, fotografi punya peran signifikan. Para kontestan—mereka yang sedang “menjual diri” untuk meraih jabatan publik tertentu—tampil sebagai sosok ideal melalui citra dirinya. Maka, foto diri adalah alat sekaligus representasi personal dan pesan atau gagasan.


Sebagai alat, foto digunakan untuk menampilkan diri sebagai figur dalam beragam kemungkinan: eksekutif, pengusaha, pemuka agama, juru penerang, pendidik, petugas medis, tukang sapu, kernet mikrolet hingga tokoh berkostum kecina-cinaan. Maksudnya jelas, mengusung dinamika pluralisme dan profesionalisme.


Ikonografi itu mengandung sugesti: Yang bersangkutan tak lain citra cermin yang tepat dan terbaik bagi sekalian calon pemilih (atau mereka yang terperangkap). Imperatifnya, pilihlah saya, calon walikota dan wakil walikota yang representatif.


Tampak luar kostum dan penggayaannya, tercermin dalam tanda-tanda fotografis yang telanjang, mengarah pada satu kemungkinan: Foto adalah media yang diperalat demi konstruk politis tertentu. Dalam hal ini kehendak menjual citra natural dengan segenap positivitas sosio-moral, ambisi, dan pengabdian sang kontestan.


Celakanya justru citraan masif dan variatif itulah yang menerbitkan kecurigaan pemandang. Tanda-tanda ideal itu pun kerap tak menelorkan hasil akhir sepadan sesuai ide awalnya. Produksi makna dan pesannya, sehubungan dengan koherensi imperatifnya, tak berjalan linear. Publik bisa saja mengartikan lain. Barangkali yang tertangkap di permukaan ialah: Citra sosok nan kikuk notabene a-fotogenik.


Faktanya, kini orang Indonesia gemar bergaya (lengkap dengan cacat-celanya). Foto-foto kampanye pilkada—di seluruh Indonesia—menggarisbawahi asa narsistik itu. Publik mafhum, apa pun mesti dilakukan oleh mereka yang sedang berebut kursi birokrasi yang, konon, “basah-basah empuk” itu.


Padahal, dalam ingatan orangtua Frances Gouda, “orang Indonesia cenderung tidak memperlihatkan diri” melainkan “lebih sering menjadi latar panggung hiruk-pikuk kehidupan dan kerja komunitas kolonial Belanda”. Profesor sejarah dan jender di Universitas Amsterdam itu menuliskan catatannya dalam buku Dutch Culture Overseas (Penerbit Serambi, 2007). Namun, itu dulu tatkala Indonesia masih dinamai Hindia Belanda dan bumiputera disebut inlander oleh kolonialis Belanda.


Memeriksa dan Memutuskan

Dalam masa kampanye pilkada Semarang, contohnya, publik jarang mendengar atau membaca apa saja program atau ideologi para kandidat. Yang lebih sering masyarakat hanya disuguhi morfologi foto diri (alat peraga) dan slogan-slogan sebagai manifestasi tindak bertutur serampangan. Nyaris tak ada guliran wacana atau pernyataan politik yang mencerdaskan. Bahkan kerap foto diri dan slogan itu terkesan main-main, tidak serius, dan terbilang sebagai lawakan. Contohnya, teliti peraga salah satu kandidat sebagai “sopir-kernet mikrolet” dan slogan “Jaran Kepang Makan Brownies, Jadikan Semarang Kota Yang Manis”. Apa yang bisa disarikan dari gestur dan slogan canggung itu?


Lantas, bagaimana menanggapi citra diri kebapakan, berkumis tipis, dengan sorot mata lembut dan disertai senyum dikulum? Atau imaji lelaki bersorot mata tajam, berpeci, dengan tampilan dingin dan sangar itu? Barangkali gestur dan pose klise keduanya—dalam nuansa “resmi” ala Orde Baru—menguarkan mitos kewibawaan. Melalui fotografi para kandidat “menjual” dirinya agar “terbeli”. Dalam konteks “jual-beli” itu, kampanye, tak lain, adalah proses semiosis budaya massa.


Roland Barthes, ahli semiologi strukturalis, melakukan kritik ideologi atas bahasa sebagai budaya massa dan mengulas cara kerjanya secara semiotik. Esai-esainya terkumpul dalam buku Mitologi (Penerbit Kreasi Wacana, 2004). Dalam salah satu esainya—Fotografi dan Daya Tarik Pemilu—Barthes menyatakan, “yang dialirkan melalui foto calon bukanlah rencananya, namun motifnya yang terdalam”. Agaknya ia hendak menegaskan bahwa kampanye adalah praktik komunikasi kompleks sarat agenda. Bisa disimpulkan, fotografi dalam ranah politik diperdaya sebagai bahasa yang, bisa jadi, “anti-intelektual”.


Sejatinya fotografi terkait erat dengan wacana ruang-waktu semasa. Dalam kampanye, kedua elemen itu direkayasa. Kandidat hadir di sembarang tempat dan terus-menerus. Infinitas itu bukan lambang eksistensialitas atau personalitasnya, tetapi praktik persuasif: Kapan saja dan di mana saja kandidat akan selalu bersama masyarakatnya. Jurus ini mangkus membius konstituen umumnya, tetapi belum tentu mempan mengakali mereka yang berpikir panjang.


Karena tak banyak program kerja terkomunikasikan, maka esai ini hanya menyoroti yang tampak, yakni citra fotografis para kontestan. Berpegang pada analisis sederhana di atas, risalah ini mengarah pada sikap: Bagaimana pemilih kritis menyimak dan menentukan putusannya. Apa boleh buat, pilihan tak mesti dibuat mengingat banalitas citraan itu.


TUBAGUS P SVARAJATI

Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang


(CATATAN: Versi tersunting dari esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa: 06/04/2010.]