Saturday, February 7, 2009

Vox Populi


Vox Populi

So my work didn’t have anything to do with the society,
the institutions and grand theories.
—Don Judd[1]
/1/
Posisi, peran, sikap atau cara pandang seniman atas fenomena kehidupan politik tak jarang mengundang perbincangan hangat. Cara pandang seperti ini, antara lain, dilatari oleh pendapat bahwa posisi seniman adalah unik, khusus, penting dalam konstelasi kehidupan masyarakat modern. Seniman dilihat sebagai saksi dan suara ‘terpilih’ dari zamannya.

[1] Pernyataan ini tertulis dalam “Artforum: from ‘The Artist and Politics: a Symposium’ dalam Art in Theory 1900—2000 An Anthology of Changing Ideas, edited by Charles Harrison & Paul Wood (UK: Blackwell Publishing, Edition 7, 2006) p.925.

Suara seniman mengandung aspek moralitas. Apa-apa yang disuarakannya tak lain adalah hasil ‘penerawangan’ panjang dan bijak yang, bisa jadi, ialah perikehidupan masa depan yang bakal terjadi. Tak jarang visi seniman dianggap sebagai idealisasi cita-cita masa depan masyarakat tempat ia berada. Gagasan dan kekaryaannya diterima banyak kalangan dan diyakini niscaya memuat kaidah estetik puncak. Beberapa aspek tersebut menjadikan seniman mempunyai kedudukan dan posisi khusus di masyarakat, pada setiap zaman yang dilaluinya.

Kendati ‘terhormat’, mempunyai ‘privilese’ tertentu, seniman diamsalkan sebagai sekumpulan ‘binatang yang terbuang’ dari masyarakatnya. Ini tak lain sebagai pertanda betapa publik, setidaknya dalam hal-hal tertentu, tak pernah bisa memahami pemikiran atau sepak terjang para seniman. Dengan sendirinya sudah biasa seniman dituduh atau memanggul cap si ‘pembuat onar’.

Salah paham masih terus berlanjut. Pada lazimnya komunitas seniman dianggap sebagai suatu entitas utuh. Mereka dikira sebagai suatu kelompok homogen, bahkan, dengan pandangan dan sikap politik, kultural, ideologi yang seragam. Pendapat simplistik ini menyebabkan terus saja ada jarak atau penyikapan terhadap para seniman. Padahal mereka adalah anggota masyarakat biasa yang (hanya) bekerja di lapangan kesenian. Pemikiran modern yang menegaskan bahwa seniman adalah ‘pusat’ pemikiran—celakanya bahkan ada disebutkan seniman sebagai asal pewahyuan—dan ‘kebenaran’ estetika tunggal sudah lama ditinggalkan.

Maka, sepantasnyalah wacana kesenimanan didekati dalam batas-batas kewajaran saja. Mitos ketunggalan entitas pun semestinya ditanggalkan. Terbukti bahwa dalam pemikiran atau praktik politik, misalnya, para seniman tak selalu bersikap homogen.

Sebagian seniman beranggapan bahwa karya-karya mereka dengan sendirinya inheren bermuatan politik. Hal ini berdasar keyakinan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Kalangan lain berpendapat bahwa berkarya saja tak cukup—aksi politik langsung diperlukan untuk menegaskan pilihan atau keyakinan politik mereka. Di samping itu ada pula seniman yang menampik relasi kekaryaan mereka dengan situasi atau aliran politik tertentu. Kelompok terakhir ini hendak mensterilkan, secara tegas, karyanya dari pengaruh atau kehidupan politik apapun.

Silang pendapat para seniman tersebut muncul dan dicatat dalam majalah Artforum (New York, September 1970). Walter Darby Bannard[2] mengatakan, lebih baik seniman menjauhi praktik politik apapun. Ia beranggapan bahwa aktivitas politik dan praktik produksi kesenian tak bisa dibaurkan demi kebaikan seni itu sendiri. Bahkan terang-terangan Rosemarie Castoro[3] menegaskan, masalahnya adalah ekonomi—bukan politik. “The better the food, the richer the art,” katanya.

[2] Ibid., p.923.
[3] Ibid., p.924.


Menurut Castoro, seniman itu juga manusia biasa dan bisa sangat rapuh pada situasi dan kondisi tertentu. Faktanya, dalam praktik produksi seni yang telah berabad-abad umurnya, seni hadir di tengah-tengah peperangan, investigasi penuh curiga, dan pembunuhan terorganisasi. Pada situasi itu seniman selalu berjuang sendiri, bahkan acapkali diserang oleh orang-orang tak dikenal. Setengah geram dan putus asa, Castoro menegaskan bahwa pemerintah manapun tak pernah mensejahterakan para seniman.

Akan halnya pernyataan Judd—lihat kutipan di atas—terasa bermata dua. Pada satu sisi, seakan-akan dia menafikan konteks sosial—bahkan epistemologi—kekaryaannya. Akan tetapi, apa yang hendak disampaikannya, pada sisi yang lain, ialah posisi seniman sebagai bagian dari masyarakat yang kompleks. Dalam gerakan sosial, disadarinya bahwa peran seniman sangat kecil. Ia percaya institusi atau kehidupan politik, atau organisasi masyarakat, oleh karena sifat-sifatnya, hanya bisa diubah melalui kelembagaan yang sama pula. Meski setengah ragu, Judd mengakui, seni mungkin bisa turut mengubah keadaan, namun tak berarti banyak.

Sampai di sini kita pun mafhum, perbincangan mengenai posisi dan atau peran politis seniman memang tak linear. Ada banyak keyakinan, kepentingan, dan ideologi yang mendasari sikap dan praktik produksi seni para seniman setakat ini. Kompleksitas itu pula yang, antara lain, mendasari praktik kuratorial pameran ini.

Dasar pemikirannya ialah: bagaimanakah posisi, peran, sikap atau cara pandang seniman atas fenomena kehidupan politik di negerinya.

Sejumlah argumen yang telah disampaikan di atas sekiranya mampu menjawab persoalan posisi atau peran seniman. Maka, perihal sikap atau cara pandang seniman atas fenomena kehidupan politik—terkhusus pada situasi dan kondisi politik Indonesia menjelang Pemilu 2009—diharapkan akan terlihat dari kekaryaannya.

Mengapa mesti mencermati Pemilu 2009? Semestinya, dalam negara yang demokratis, praktik pemilihan umum, yang pada ujungnya tak lain memilih para pelaksana pemerintahan, adalah hal lumrah. Namun, masih saja terlihat sejumlah anomali, keluarbiasaan, atau ekses-ekses dari suatu pesta demokrasi di Indonesia.

Di Indonesia suksesi kepemerintahan senantiasa berdarah-darah dan penuh goncangan. Mengapa hal itu terjadi? Sejarawan Ong Hok Ham menyebutkan, “Suksesi di Indonesia—seperti di banyak masyarakat Asia tradisional—dapat disebut sebagai sesuatu yang cyclical, bukan evolusioner seperti di Barat. Suksesi cyclical atau putaran perubahan menurut siklus berarti bahwa kekuasaan lama mengalami disintegrasi (keruntuhan) untuk kemudian mengalami proses konsolidasi kekuatan baru.”[4]

[4] “Perubahan tanpa Kekerasan” dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong Refleksi Historis Nusantara, kumpulan tulisan Ong Hok Ham (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, Cetakan 1) p.152. Esai ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 24 Mei 1996.

Oleh karena itu, mencermati pesta demokrasi Pemilu 2009 adalah menarik, perlu, dan penting. Seniman Indonesia, bagian dari masyarakatnya, niscaya mampu memberikan kontribusi dengan cara mengamati, mencatat, dan mendedahkannya dalam bentuk karya seni. Sudah barang tentu, penting atau tidak, ‘catatan’ itu adalah bagian integral dari zamannya.

Bagaimana seniman memandang fenomena politik Indonesia menjelang, terkhusus menyoroti (bakal) pelaksanaan Pemilu 2009? Bagaimana seniman menganalisis dan mengintroduksikan kampanye politik “baru”—sekalipun subversif?

/2/
Lazim benar, dalam suatu kampanye—sebutlah di sini: kampanye politik Indonesia—segala janji diuar-uarkan. Ibaratnya, kembang gula segala merek dijajakan. Rakyat, dengan begitu, dibuat bingung dan tak kuasa memilah atau memilih: pimpinan yang bijak, tegas, dan mampu mengelola negara serta tidak korup.

Kampanye politik semestinya mengkomunikasikan gagasan-gagasan atau program-program para kandidat kepada para konstituennya. Cara itu diambil guna meyakinkan dan menarik simpati para calon pemilih bahwa dirinya mampu dan baik bagi suatu posisi tertentu yang disasarnya. Kenyataannya tidak seperti itu. Gagasan dan program kerja berada di urutan nomor bontot—yang penting: tampilan dan kemasan.

Maka, bertebaranlah banyak partai yang tak jelas eksistensinya. Dengan cerdik, sarkastik, AS Kurnia melukiskan fenomena partai yang bertumbuhan bak cendawan di musim penghujan itu.

Syahdan, para (calon) penguasa itu mencitrakan diri sebaik-baiknya. Foto dirinya ditampilkan dalam pose yang paling mengesankan. Popularitas dianggap sebagai jalan pelicin ke arah singgasana kekuasaan. Di media televisi mereka berlagak santun, merangkul si miskin, dan mengumbar keberpihakan. Jangan-jangan, setelah berkuasa, mereka sekadar mementingkan golongan atau kelompoknya—bukan rakyatnya, vox Dei itu.

Banalitas kampanye para aktor politik itu diungkapkan oleh Hanafi dengan cara menampilkan dirinya selayak pesakitan—cermati tiga posenya dari tiga sisi: kiri-kanan dan depan. “Jangan pilih saya,” katanya. Pernyataan imperatif ini terkesan paradoks dan pasivistik. Dengan cara ini Hanafi mengajak pemirsa untuk memeriksa para kontestan politik itu—tidak dengan cara tidak memilih, atau golput, namun bersikap kritis-skeptis.

Fenomena golput dicermati saksama oleh Ivan Hariyanto. Tampilan bendera-bendera kosong itu, dipandang dari dalam mobil yang melaju, terkesan enigmatik, ambigu. Interior mobil dan cara pandang ke luar itu seolah mendedahkan sikap para kelas menengah yang berjarak. Inikah realitas (sebagian) masyarakat kita—termasuk di dalamnya sang seniman itu sendiri?

Sementara itu, hal yang kasat terlihat ialah hiruk-pikuk kampanye politik itu niscaya mengarus pada praktik pengumpulan massa. Dengan penampang yang kabur, mudah dicerai-beraikan, massa diperebutkan suaranya. Wayan Kun Adnyana menggambarkan rakyat ini sebagai sosok-sosok yang tak berwajah. Juga, ia umpamakan NKRI sebagai mobil sarat penumpang dengan tujuan tak jelas. Dan si sopir mobil, seperti raut seluruh penumpangnya, tak berwajah. Entah siapa sopir Indonesia itu.

Erik Muhammad Pauhrizi menggambarkan potret-potret yang kabur, tidak fokus—bahan stiker di atas kaca—sebagai amsal atas status objek sehari-hari yang sering digunakan dalam proses realisasi ide politik yang seolah-olah absolut. Sosok-sosok itu pun menyaran pada sejumlah besar konstituen muda usia yang diperebutkan suaranya. Oleh siapa? Mungkin oleh sosok manusia rakus yang hendak melahap apa saja, termasuk semua kekayaan Indonesia. Cermati sosok banal gubahan Hari Budiono: manusia bercawat, tambun, beringas yang sekujur tubuhnya berbulu itu.

Hiruk-pikuk Pemilu 2009 menjelaskan satu hal: ini benar-benar republik yang tengah mabuk. Semua orang mafhum: uang begitu berkuasa dalam dunia politik Indonesia. Ipong Purnama Sidhi bersaksi: kendati diawasi, orang pun masih gemar ber-patgulipat di bawah tangan.

Tak kurang-kurangnya Nasirun dan Tisna Sanjaya pun bersaksi dan mencatatkan amatannya—dalam gagasan, karakter, dan visualitas yang hibrid—pada fenomena keindonesiaan kita yang berjungkir-balikan.

Arkian, kampanye politik menjadi perkara yang kompleks dengan sisi sebelah bernuansa intriktif, koruptif, manipulatif, dan sekaligus—raut lainnya—adalah suatu dunia imajiner.

/3/
Hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2009 membuat suhu politik Indonesia meningkat. Rakyat kembali diperebutkan suaranya. Meski di di republik ini pemengang kuasa sebenarnya tak lain adalah vox populi itu—daulat rakyat[5].

[5] Prof. Sarbini Sumawinata mengajukan pandangan tentang sosialisme kerakyatan sebagai perwujudan daulat rakyat itu. Baginya, “…sosialisme kerakyatan menekankan pentingnya kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan. Karena itu jelas pula kepeduliannya dan keberpihakannya kepada rakyat kecil.” dalam Politik Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, Cetakan pertama), p. 73. “Dalam hubungannya dengan kesenian, acapkali “rakyat” menjadi sebuah alamat tempat karya-karya ditujukan, semacam peminat-pada-umumnya yang dibayangkan akan datang ke teater atau galeri,” kata Goenawan Mohamad, “Tentang Seni Rupa, Rakyat dan Celeng” dalam Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005, Cetakan I), p. 436. Pernyataan ini menyaran pada kemungkinan “rakyat” diperalat sebagai bahan kekaryaan belaka.

Pameran “vox populi” diniatkan sebagai sikap (protes) politik seniman, advokasi publik, partisipasi rakyat madani, ekspresi kebahasaan (tekstualitas) yang mendusin/berjaga, retorika atau dialektika ‘baru’, catatan sejarah atau bahkan cara menulis sejarah ‘secara lain’, yang barangkali tak mesti gegap-gempita, namun dalam kesenyapan itu ada gemuruh—suwung, tapi berisi-bernas. Katakanlah semacam ‘silent politics’.

Pada anggapan seperti itulah kita—sekiranya—memandang peran dan sumbangan pemikiran para seniman Indonesia dalam situasi karut-marutnya keindonesiaan kita.***

[CATATAN: Esai ini adalah Pengantar Kuratorial untuk pameran “Vox Populi” di Bentara Budaya Jakarta, 3—12 Februari 2009. Seniman yang berpartisipasi: AS Kurnia, Erik Pauhrizi, Hanafi, Hari Budiono, Ipong Purnama Sidhi, Ivan Hariyanto, Nasirun, Tisna Sanjaya, dan Wayan Kun Adnyana.]

A tale of humble matches

Detail of Saftari's work showed at Semarang Gallery.

Tubagus P. Svarajati, CONTRIBUTOR, SEMARANG, CENTRAL JAVA Sun, 01/18/2009 1:27 PM Arts & Design

They were oversized steel-plated typewriters. Strangely, the dark yellow machines had no type levers. Their casings were turned into pick-up open containers with different loads – the one packed with dozens of giant matches, the other with chunks of river stone.

The huge typewriters (180 x 120 x 50 cm) were entitled “Sang Pewarta #6” (The Reporter #6) and “Sang Pewarta #7”. Both were made of steel plates and fiberglass, covered with spray paint and mahogany.

These were the creations of Saftari, 38, a graduate of the Indonesian Arts Institute (ISI), Yogyakarta. He was holding a solo exhibition themed “Anxious Objects” at the Semarang Gallery, held from January 1-15. The display’s curator was Rifky Effendy.

Apart from the two objects, Saftari presented two other installations and 13 acrylic paintings on canvas. All of them were his 2008 works.

Quoting the artist, the curator said the theme of the paintings was not intended to give profound meanings to their objects. Nor were they meant to express any apprehension or fear of the dangerous consequences of environmental damage.

In the curator’s view, Saftari presented the ironies of life and individuals. The images he composed were captivating, reflective and sublime.

Indeed, Saftari’s pieces in general offered an enchanting sight. He worked on his paintings meticulously, neatly and cleanly, making them pleasant to scrutinize. His canvases come in large sizes, over 150 x 150 cm.

Matches became his main subject. The fire sticks were portrayed in their veined, neatly (even too neatly) cut and stacked form. Their dimension of depth was fairly well illustrated by the technique of chiaroscuro (light and shade treatment). Their carbon-knob tips were seemingly ready to strike for fire.

Shapes and colors constituted the major elements of his paintings. The sensations that emerged came from, among others, the repetitive rhythms of the sticks. This aspect could actually help observers become engrossed in the creations.

Most of Saftari’s canvases showed single and delicate nuances with an emphasis on pastel color tones. In “Sensitive #2” (200 x 300 cm) and “Sensitive #3” (200 x 200 cm), the shades were very poetic, with pink and orange dominating the knob tips of the sticks.

The only picture decorated with texts was “Explosive #2” (180 x 180 cm). The main feature was a bunch of matches with a burning fuse – right in the middle of the blood-red canvas packed with the words “fire”. An overwhelming message, isn’t it?

An easy message was suggested by panoramic “Explosive #3” (100 x 370 cm). The canvas was laden with a pile of matches on the left. Amid the sticks was a gunungan (a Javanese leather-puppet mountain). A fuse ran across the stack, burning on the right. Is it a symbol of the imminent extinction of Javanese culture?

It’s anyone’s guess why the paintings with the same subject —match sticks— carried different titles in the “Sensitive” and “Explosive” series, distinguished only by the presence and absence of a fuse.

In addition, three pictures had no clear meanings. Each of them (Pewarta #3, #4, #5”) presented a typewriter and a wooden chair. The machine was flying, perching on a group of twigs, or lying on a rock. The three were just apparently iconic representations of a nature showcase.

His installation works boasted some freshness, however. Along with the two mentioned earlier, two others were “Business of Java” (235 x 22 x 19 cm, manual counting machines, of fiberglass and teak wood) and “Menu Hari Ini #2” (Today’s Menu, 70 x 57 x 40 cm, a typewriter, of iron plates, stainless steel, rugos lettering and fiberglass).

“Business of Java” comprised two old manual counting machines with operating levers on their ends. Both devices were connected with a long wooden plank.

“Menu Hari Ini #2” was a large typewriter with its top inner side containing two gas stove burners. Above the machine’s top casing was the grating cover of an electric fan.

Despite the obscurity of their interpretations, the two installations generated an enigmatic impression. They were something fresh.

The shapes and substances of Saftari’s creations are not always parallel. Frequently their formal manifestations are stronger than their essence. This has become a general phenomenon in Indonesia’s contemporary fine art practice.

Yet most painters produce their works with simple visual portrayal, by manipulating external factors instead of going deeper into paradigmatic ideas. Consequently, almost no transcendental values are emanated.

In the case of Saftari, the values he was supposed to put forward perhaps involved the “ironies of life”. He seemed to criticize the excessive utilization of wood. This fact has led to the arbitrary practice of tropical forest destruction.

If forests are stripped bare, the environment is under threat, with its growing, imminent dangers. This could be the way he reasoned.

Environmental devastation should of course be prevented. Nonetheless, can the message get across if merely conveyed in a “beautiful” (read: Captivating) manner? Are the “beautiful” images capable of inducing some reflection, which is sublime (in the curator’s word)?

Fine arts relying only on simple visual illustrations are not strong enough to perpetuate the substance to be assigned to them. In Saftari’s paintings, this essence lies behind the veil of his enchanting visual depictions.

The writer is a fine art critic, living in Semarang

Anxious Objects
A solo exhibition
Semarang Gallery
Jl Taman Srigunting 5-6,
Semarang, Central Java

[Source: http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/18/a-tale-humble-matches.html]