Monday, January 17, 2011

PERIHAL KOTA ANGGITAN

Karya Ivan Hariyanto [Photo: Courtesy of Syang Art Space]


BARANGKALI kota adalah pusat dan habitus istimewa. Dalam diskursus modernitas, kota dan masyarakatnya adalah pusat peradaban. Kota tumbuh sebagai center of excellent.

Di kotalah memusat berbagai macam wajah pemikiran dan kepentingan—ekonomi, politik, sosial, dan budaya—membentuk kelindan simbolik. Kota hadir sebagai wadah atau representasi masyarakatnya. Kota melahirkan cara pandang (point of view) yang acap hegemonik.

Roland Barthes, pemikir kebudayaan dan ahli semiotika strukturalis, menyigi perbedaan nyata konstruk kota-kota Barat dan Tokyo. Kota-kota Barat senantiasa konsentrik dan “penuh”. Pusat-kota (downtown) sesak seperti pasar dan pampat oleh nilai-nilai peradaban membentuk semacam “kebenaran” sosial. Pusat-kota, tempat menuju ke dan pulang dari, ibaratnya, situs impian komplet (a complete site to dream of) bagi seseorang untuk menemukan jati dirinya sendiri (to invent oneself).

Sedangkan Tokyo, yang disambangi Barthes pada 1960-an, adalah paradoksal dibandingkan dengan kota-kota Barat umumnya. Kota ini juga punya pusat, namun pusat-yang-kosong, suwung. Kota seperti dirancang memutari suatu situs yang tak mencolok, namun terlarang, kediaman raja yang sosoknya tak terlihat.

Aktivitas kota Tokyo dan lalu lintasnya mengelilingi pusat-yang-kosong itu dan seolah menyakralkan “yang suwung”. Secara imajiner, sistem ini mengelilingi dan kembali lagi ke subyek yang kosong.

Sekarang bandingkan dengan kota Jakarta dan Surabaya. Kedua kota ini mirip dengan imaji kota-kota di Barat seperti ditulis oleh Barthes lebih dari empat dekade silam (“Center-City, Empty Center” dalam Empire of Signs, penerbit Hill and Wang, cetakan keempat: 1986). Pusat-kota adalah situs yang padat oleh “simbol-simbol peradaban”. Manusia dan sistem kota memusat di tengah. Simbol-simbol peradaban kota modern, antara lain, ialah: mal dan gedung pencakar langit (perkantoran) minus situs spiritual.

Mungkinkah yang disebut tapak spiritual, dalam konteks budaya urban, adalah ruang produksi-konsumsi yang disebut mal itu? Inilah situs impian—bersesuai dengan ide Barthes—tempat orang-orang bakal menemukan eksistensinya.

Barangkali, paradoksnya, “menemukan diri sendiri” berarti kesadaran dalam turbulensi produksi-konsumsi simbolik milik anak kandung kapitalisme lanjut. Orang-orang kota lahap memamah ikon global dan fasih berlagak kosmopolit.

Dan Simpang Lima, pusat-kota Semarang, contoh lain yang ambigu, yakni: situs-kosong (lapangan rumput luas) yang dikitari kilau pusat perbelanjaan atawa mal. Ruang hedonis sekaligus tapak kontemplatif? Padu-padan kota ala Barat dan Tokyo yang misterius? Yang jelas, Simpang Lima telah menggantikan kawasan Kota Lama sebagai pusat-kota di zaman kolonial Hindia Belanda.
***
Jakarta-Surabaya-Semarang oleh Ivan Hariyanto (55) dijadikan pokok soal (subject matter) lukisannya dalam suatu pameran tunggal bertajuk “City without People”. Ivan adalah eksponen kelompok seni Kepribadian Apa (PIPA), kelompok yang menggegerkan jagad seni rupa Yogyakarta, di tahun 1977.

Pamerannya ini terasa menyambung eksposisi “Visiblecity”, di Emmitan CA Gallery, Surabaya, November 2009, yakni tentang raut kota. Sebagian visualitasnya ada kemiripan: sabur-limbur refleksi bentuk dan warna-warna psikedelik di kaca atau etalase pertokoan. Pada “City without People” lanskap kota lebih jelas dan banyak digambarkan. Semuanya ditampilkan tanpa kehadiran manusia. Lima belas lukisannya nyaris seukuran: 200X180 cm.

Ivan melukis dengan perantara kamera dan olah komputer. Dengan teknik itu nuansa pop atau kitsch benderang pada karya-karyanya. Satu dan lain hal, ini cara bersiasat agar dekat pada evolusi seni rupa terkini. Seni rupawan ini fasih menguasai teknik melukis antara naturalistik atau dekoratif dan bersiteguh dengan hanya menggunakan bahan cat minyak.

Sebagian subyek lukisannya disederhanakan meski masih menyiratkan karakter naturalnya. Simak “CafĂ© at Plaza Surabaya”, “Basuki Rakhmat Street”, atau “Kelapa Gading Plaza Jkt”. Sebaliknya, sudut-sudut kota atau taferil direkayasa, sedemikian rupa, sehingga visualitasnya tak beda dengan citra foto olahan peranti lunak Adobe Photoshop. Dalam kategori ini: “Kelapa Gading Boulevard MOI Jkt”, “Tunjungan Street Sby”, “At Semarang Street 1” dan “Marba Building” serta “Crowded #1” dan “Crowded #2”.

“Dr Soetomo Street Sby #2” adalah lukisan taferil realistik. Nuansanya mencekam, nyaris tanpa tanda kehidupan kecuali seseorang pengendara sepeda terlihat di sebelah kiri kanvas. Dengan sudut berlainan, sepenggal jalan ini tampil lagi di “Dr Soetomo Street Sby #1”. Bedanya, yang terakhir dilukiskan bertumpuk transparan dengan tiga citraan kapstok seukuran manusia.

Pada beberapa lukisan tanda-tanda locus kabur sehingga tak spesifik merujuk ke tempat tertentu. Contoh: “Reflection #1” dan “Reflection #2”. Keduanya adalah ilustrasi pintu atau dinding kaca yang memantulkan benda-benda dan warna di sekitarnya. Warna terang dan gelap berselang-seling membentuk bidang-bidang geometrik. Pantas disebut keduanya sebagai cabaran komposisi warna-bidang belaka.

Perlu dicatat, lukisan “At Semarang Street 1” dan “Marba Building” kuat mencuri pandang di ruang pamer. Itu disebabkan visualitasnya yang masif: gedung menjulang berwarna coklat monokromatik di (bekas) lingkungan kolonial Hindia Belanda. Enigmatik.

Dengan tiadanya manusia, tak berarti kanvas-kanvas Ivan rumpang kehidupan. Vitalitasnya terasa dari tanda-tanda budaya yang tersebar. Di beberapa bagian, lukisannya sedikit memedihkan mata karena komposisi warnanya yang tajam. Kota tanpa manusia, bagi Ivan, barangkali tamsil kekalahan dan terhisapnya manusia ke kancah budaya urban, tepatnya konsumtivisme.

Sebenarnya pokok soal kota, termasuk kode-kode urbanitasnya, adalah tematika yang tak kunjung usai meski telah jamak diungkap. Apakah “City without People” Ivan Hariyanto ini mengajak apresian menemukan dirinya sendiri? Sejumlah barangkali, entah keraguan atau afirmasi, berhumbalang kiranya.

Kita yakin, seni rupawan yang tangguh mestinya tak cuma bertumpu pada gemerlap visualitas: warna mau pun kebentukan. Sedangkan karya seni yang bertaksu niscaya tak lahir karena didesak atau tergesa. Senyawa dengan itu, kurator yang elegan lazim berargumen secara transparan, bukan memperlonggar kisah dengan kalimat yang meliuk, ungkapan yang melambung atau kutipan-kutipan menor. Kurator puncak, tentu, tak hasilkan teks yang mrucut.

Bagaimana pun “City without People” adalah eksposisi yang cukup menarik. Ini sekaligus satu pameran lukisan karya seorang seni rupawan tersohor dan prestasi sang kurator dengan tekstualitasnya yang berarakan dengan awan. Keduanya bisa disyukuri terpisah.

(Pameran lukisan “City without People” di Syang Art Space, jalan MT Haryono 2, Magelang, berlangsung sepanjang 18 Desember 2010—10 Januari 2011. Kurator pameran adalah Wahyudin.)

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 09/01/2011.]