Friday, August 15, 2008

Mengenal Tuhan dari Tulisan

Artwork by Eko Nugroho showed in "The Past The Forgotten Time"
at Rumah Seni Yaitu, September 2007.

ORANG mengira bersekolah itu membahagiakan—niscaya membuat pintar orang. Faktanya, bersekolah menyebabkan sebagian orang senewen. Sekolah seakan-akan momok: hantu yang meringkus akal sehat.

Tak hanya sebagai hantu, ada orang mengibaratkan sekolah sebagai candu pula—sesuatu yang membius-adiktif. Juga, sekolah telah menjadi sesuatu yang hegemonik—memproduksi takhyulisme: lembaga monolitik tempat pengetahuan—kognitif dan afektif—diajarkan dan membebaskan manusia dari isolasi ketidaktahuan. Akibatnya, kita mafhum, orang tak bersekolah (tinggi) dianggap tak punya kualifikasi adiwidia. Kegagalan bersekolah dituding sebagai kurang intelegensia dan atau tertinggal kereta modernitas.

Sekolah, kata orang, tak lain lembaga yang menawarkan kebaikan plasebo kepada kaum marjinal. Ivan Illich, pemikir pendidikan Marxis, mengecam model pendidikan itu yang disebutnya, secara sarkastik, sebagai “agama dunia yang dianut (para) proletar modern”. Menurutnya, sekolah (hanya) memberikan janji-janji hampa akan keselamatan kepada kaum miskin (di) zaman teknologi ini.

Celakanya, seolah tak kuasa menampik nubuat, kita semua terjerat di dalam “agama dunia” tersebut. Samsul Arifin (29), perupa, pun mengalami alienasi dalam astaka sekolah itu. Dalam bahasanya, ia “tersesat di garis lurus”. Dan “garis lurus” itu bisa jadi model sekolah yang dikenal selama ini, yang membosankan itu.

Situasi hati dan gagasan Samsul, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta, itu terpampang dalam pameran tunggalnya, yang pertama, di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting No. 5—6, Semarang, 26 Juli—9 Agustus 2008. Pameran yang dikurasi oleh Farah Wardani itu bertajuk “Goni’s Journey: Episode 1”.
***
Pada pamerannya ini Samsul menampilkan suatu tokoh utama objek-karakter, yakni boneka berbahan karung goni dengan mata membelalak. Oleh kurator dan sang seniman, karakter itu disebut Goni. Alkisah, Goni diniatkan sebagai sebuah simbol dari orang yang lugu, sederhana dan ‘bodoh’ seperti tergambar dari bentuknya yang minimalis—mata membelalak polos seperti selalu tercengang dan ingin tahu dengan dunia di luarnya.

Boneka kecil itu, menurut kurator, tak lain subject matter yang mendedahkan suatu simbolisme atau manifestasi alter-ego si seniman. Atau tokoh rekaan yang merefleksikan pembacaan Samsul terhadap diri dan hidupnya serta pengamatan akan apa yang terjadi di sekelilingnya.

Sebelumnya karya-karyanya berbentuk lain, yakni timbunan karakter—boneka berbahan kain putih, berisi kapas—yang berhumbalang, melekat sesamanya. Sosok-sosok dramatik—seturut Chris Darmawan, pemilik Galeri Semarang—itu tak lain ibarat manusia-manusia sosial, yang berjumpalitan dan berdesak-desak saling menempel, yang menghasilkan imaji yang meledak dan mengejutkan pemirsanya. Untuk pandangan tersebut, saya bersepakat dengan Chris—sang juragan itu.

Pada lukisan-lukisan Samsul kala itu—pensil warna di atas kertas—kita temukan sosok-sosok dramatik berwarna merah tumpah-ruah dari buah semangka yang terbelah, misalnya. Atau sebuah mobil ambulans terajut dari figur-figur merah, terkulai, saling melekat. Betapa visualitas yang meneror benak—majas yang menggetarkan kalbu.

Sekarang sosok-sosok dramatik itu bermetamorfosis menjadi si Goni yang lugu, jika tidak terbilang pandir. Samsul memasang si Goni untuk menarasikan gagasannya tentang dunia pendidikan. Perkara ini, andai hanya pengalaman personalnya, tak kurang-kurangnya mengetengahkan problematika, terutama, para murid di dalam kelas-kelas sekolah kita.

Lihat saja ‘kelas’ versi si seniman—“Suara si Goni #2”. Di sana ada dua belas murid—ya, karakter-karakter si Goni itu—seperti laiknya tingkah para murid di kelas: ada yang bersemangat mengacungkan telunjuk—seakan sedang merespons guru. Akan tetapi, dinamika itu tertindas oleh aksi atau gerak-gerik sebagian besar murid yang abai, bermalas-malasan, melamun, santai, tak konsens—pokoknya tak serius, terkesan berleha-leha. Situasi khaostik. Halai-balai itu diperkuat dengan coretan gambar dan teks—aforisme atau metafor—di sekujur dinding dan lantai ruang.

Di lantai kelas, di depan pintu masuk, terpampang teks “Welcome to pseudo asian contemporary”. Di tengah-tengah ruang berserak teks-teks yang menyuarakan kekalutannya saat bersekolah, seperti “mata itu terbelalak tak tahu apa-apa”. Akan tetapi, toh, di sana pula ia “belajar mengenal dunia dari huruf2 dan angka2”. Dalam hal religiositas, Samsul mengaku, “Aku mengenal Tuhan dari tulisan”.

Aforisme atau majas di atas adalah agregat yang berfungsi melepaskan beban memori personal Samsul menjadi praksis katarsis. Model pembacaan ini merujuk pada praktik psikoanalisis Freud—seseorang yang diterapi hipnosa akan melepaskan beban psike yang terepresi sehingga lahir kondisi kejiwaan yang lebih stabil. Praktik katarsis model Samsul di atas, hemat saya, berimbas lain: turut membuka borok dunia pendidikan.

Selain mural (“Suara si Goni #1”) dan setting kelas itu, Samsul juga menghadirkan tiga objek kriya: batang pensil terbuat dari kayu. Hitam-Putih ialah seraut pensil pendek—kedua ujungnya menyembulkan batang karbon hitam dan putih. Ada lagi sepenggal ujung-atas pensil yang dari lobang tengahnya menumpahkan banyak sekali abjad—judul Bercucuran Kata-kata. Di ujungnya tertulis IQ, EQ, dan SQ—hal mengenai tingkat kecerdasan otak, emosi, dan sosial. Satu lagi batang pensil yang terbuka tengahnya—menampakkan isinya (Jembatan Pengetahuan). Tiga karya dengan karakter visual kuat yang menyembulkan sensasi artistika sublim—digarap nyaris sempurna.

Samsul juga memamerkan sepuluh lukisan—berbahan akrilik di atas kanvas. Ukurannya antara 150 sampai 300 cm. Secara umum, objek dilukiskan dengan latar dan warna datar monokromatik—nirbarik.

Lukisan Gagal dalam Belajar (200X150 cm, 2008) terasa paling menarik dan imajinatif. Tergambar sosok Goni menggamit potongan pensil kecil, leher tertutup karton Boxy, mata menyembul penuh tanya. Dinding kelas sarat coretan. Di lantai tergeletak patahan kecil isi pensil. Bukankah ini refleksi dunia pendidikan kita?

Terapung di Laut Asia (150X300 cm, 2008) memperlihatkan teknik chiarascuro superlatif. Goni yang menumpang tube cat itu terlihat gamang mengarungi kegelapan samudra. Suatu tematika yang membekas dalam.
***
Samsul Arifin seorang seniman dengan potensi gagasan dan estetika yang sangat baik. Gampangnya, (hampir) seluruh karya dalam pameran ini menyiratkan kualifikasi artistika prima. Akan tetapi, ekspresi mural dan sabur-limbur teks itu terkesan mengekor pada jejak-jejak kepioniran Eko Nugroho.

Pada segenap lukisannya, terasa kesegarannya meluruh. Samsul seperti terjebak pada pesan atau pembobotan eksesif. Seluruh sosok Goni di kanvas tereduksi dari aura bermain yang muncul kuat dari karakter objeknya. Untungnya pelukisan pensil-pensil itu sekuat objek kriyanya. Visualitas lukisannya kini, dibandingkan dengan ‘sosok dramatik’ pada karya-karya sebelumnya, terkesan kompromistis dengan selera pasar masa kiwari.

Terlepas dari cacat-celanya, pameran “Goni’s Journey: Episode 1” ini sungguh menyegarkan. Barangkali ini pameran terbaik di Galeri Semarang dalam kurun setahun terakhir. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat 31/07/2008]