Tuesday, October 23, 2007

R.I.P. Mamannoor

Yth. Ki Sobat: Tubagus P. Svarajati. Saya merasa tersanjung atas kerendah-hatian anda untuk menghadirkan saya sebagai guru anda dalam soal menulis.

Kalimat pembuka itu dituliskan oleh Mamannoor, dalam salah satu surat elektroniknya, kepada saya. Kepadanya saya berkata, saya ingin tulisan saya dibedah sembari, sebagai kausalitas atas kesediaannya mengajari, ia saya daulat sebagai guru dalam soal menulis kritik seni rupa.

Mamannoor senang dan bersedia memberikan kritikannya. Lantas ia menguraikan kekurangan dan kelebihan tiga esai yang saya kirimkan di koran lokal, tetapi ditolak diterbitkan. Kesediaannya memberikan kritik dan saran adalah upaya berkomunikasi. “Komunikasi seperti menjadi sangat penting, khususnya tukar-menukar pengalaman,” ujarnya.

Dengan cara itu Mamannoor mendudukkan diri tidak pada posisi ultim. Sedangkan saya, yang meminta advis, di hadapannya, tidak berada di titik periferi. Saya berkesan, Mamannoor seorang yang moderat dan sekaligus egaliter.

Kejadian itu berlangsung sekitar tahun 2003. Pada seputaran tahun itulah Mamannoor sering bertandang ke Semarang. Dia berkunjung atas undangan Arie Setiawan. Sosok terakhir ini dikenal luas di Semarang sebagai pengusaha periklanan. Ternyata Arie Setiawan seorang pelukis pula. Pameran tunggalnya yang pertama, di Balai Pemuda Surabaya, 2004, turut dipersiapkan oleh Mamannoor. Kecocokan keduanya membawa Mamannoor kerap ke Semarang.

Sepertinya Mamannoor menemukan sosok sang ayah, yang tidak dikenalnya sejak kecil, pada figur Arie Setiawan.

Empat bulan lalu Arie Setiawan berpulang. Mamannoor menyusulnya pada Minggu siang (7/10). Arie Setiawan lama mengidap sakit paru-paru kronis, sedangkan Mamannoor didera penyakit kanker kelenjar getah bening.

Anak tunggal pasangan Emi Rohaeni dan Abdullah Latief – keduanya telah mendiang – itu mangkat pada usia ke-49 tahun di RS Imannuel Bandung.

***

Pada awal-awal kehadiran Mamannoor di Semarang seringkali saya menjadi pemandunya. Dia seorang kolektor buku komik lawasan. Kami ‘berburu’ ke Pasar Johar (lantai 2). Perburuan komik bekas itu juga mengantarkan kami hingga ke suatu kampung di bilangan Pasar Jrakah. Di bekas persewaan buku itu Mamannoor memborong ratusan komik; satu dus besar. Tetapi, sayangnya, dia tidak mendapatkan karya Taguan Harjo, pengarang kesukaannya itu.

Bergaul dengan Mamannoor membawa kegembiraan untuk belajar terus. Kami membincangkan buku-buku dan diskursus seni rupa mutakhir. Dalam suatu kesempatan dia mencetuskan obsesinya untuk menulis buku-buku teks. Lelaki santun itu mambayangkan kerja intelektual yang menantang. Ia ingin dikenang sebagai cendekiawan.

Tesisnya dibukukan berjudul “Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia, Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis” (Penerbit Nuansa, Bandung: 2002). Dia menandaskan pentingnya suatu kritik seni rupa dilakukan secara holistik dan perlunya menimbang keberadaan subjek seniman. Cara pandang itu disebut kritik seni rupa kosmologis.

“Yang menarik adalah, ketika orang beramai-ramai menggunakan berbagai paradigma baru macam fenomenologi, post-strukturalisme, atau hermeneutik, Mamannoor sepertinya tetap melihat pentingnya dasar yang bersifat positivistik,” kata Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Parahyangan Bandung.

Di Semarang, difasilitasi oleh Arie Setiawan, Mamannoor memberikan lokakarya penulisan kritik jurnalistik seni rupa untuk guru-guru dan wartawan. Dia berpegang pada teknik penulisan yang memudahkan pemahaman. Baginya, pilihan diksi dan gramatika penulisan menjadi rujukan utama.

Mamannoor juga membagi ilmunya kepada para pelukis autodidak Semarang dalam suatu lokakarya kreatif seni rupa. Peserta lokakarya kemudian menggabungkan diri menjadi Komunitas Kayangan (Komka) yang mengambil nama sebuah rumah, milik Sarutomo, yang dinamai Kayangan di Jalan Borobudur Utara, Semarang. Untuk pertama kalinya Komka berpameran bersama dengan tajuk “Kakilangit Baru”, Museum Ronggowarsito, 2004. Pameran ini diyakini memunculkan aspek visual dan presentasi ‘baru’ bagi kalangan seniman mandiri itu.

Beberapa seniman muda Semarang diikutkan pada pameran-pameran yang dikurasinya, seperti “Artclips” (2004) dan “The Realistage” (2005). Ada pula mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang yang diajak berpameran di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta.

Sampai akhir hayatnya Mamannoor masih tercatat sebagai salah satu kurator GNI. Tidak jarang dia melanglang ke luar negeri mengawal pameran seniman Indonesia. Dia sering pula dipercayai sebagai konsultan atau kurator di satu-dua galeri di Tanah Air. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang luas, tak ayal, dia membawa angin perubahan ketika masih sering berkunjung ke Semarang.

Sebagian seniman Semarang berterima kasih atas uluran tangan dinginnya. Sebaliknya, ada juga yang mencibir. Dia dicurigai ingin ‘mempola’ praktik produksi artistik seniman lokal. Resistensi beberapa ‘seniman’ dan ‘pekerja seni’ itu ditengarai hanya kekhawatiran semu, misalnya, karena domain ‘kekuasaan’ mereka terinterupsi.

Mamannoor, sejauh yang saya kenal, tidak berpretensi menjadi imperialis. Dalam banyak kesempatan bahkan bapak tiga putri itu bersikap sangat terbuka. Dia tidak pelit membagi ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasannya disampaikan secara deskriptif dan terang. Mamannoor adalah sosok guru yang artikulatif.

***

Kurator kelahiran Losari, Jawa Barat, 21 Agustus 1958, itu meninggalkan seorang istri (Lien Herlina) dan tiga putri (Sandya Maulana, Tyar Ratuanissa, dan Lalitya Putri Noorullya). Mamannoor menamatkan pendidikan sarjana dan pascasarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), ITB-Bandung. Dia merupakan dosen tetap di Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Bandung, mengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan Program Magister, FSRD-ITB.

Mamannoor dikenal sebagai penulis artikel, esai, dan kritik seni rupa yang sangat produktif. Tulisannya tersebar di berbagai media massa di Indonesia. Aktif pula menuliskan pengantar pameran di katalogus-katalogus. Dia menulis beberapa buku, antara lain, 55 Tahun Seni Lukis Popo Iskandar; Imagi dan Abstraksi Umi Dachlan; Jeihan-Jeihan-Jeihan (edisi bahasa Prancis dan Inggris); Ambang Cakrawala Amang Rahman; dan Vision, Faith, and Journey in Indonesian Art (1955-2002) A.D. Pirous.

Suatu kali, tahun 2006, Mamannoor terserang stroke ringan di Magelang. Pagi-pagi buta dia, setelah mendapatkan penanganan pertama dokter Oei Hong Djien, kolektor seni rupa kenamaan, dilarikan ke RS Karyadi Semarang. Ketika itu Mamannoor terlihat bugar. Dia dinyatakan sehat.

Setelah itu, kabar mengembus, Mamannoor sering keluar-masuk rumah sakit setahun terakhir. Meski begitu dia tetap memenuhi undangan diskusi atau mengajar di berbagai tempat. Ia, bisa jadi, satu-satunya kurator seni rupa yang sering melanglang ke beberapa daerah di Indonesia dan, dengan begitu, paham perkembangan mutakhir seni rupa di tempat-tempat yang dikunjunginya.

Kepergian Mamannoor meninggalkan kenangan tersendiri bagi kalangan seni rupa Semarang. Paling tidak dia – bersama Arie Setiawan – telah menjadi bagian kontributif dari perkembangan seni rupa kota ini.

Selamat jalan, Pak Maman. Teruslah bercengkerama dengan Pak Arie. Kami mengenang sembari menanti (lagi) sosok-sosok seperti Anda berdua. (Tubagus P. Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis (11/10)]

Thursday, October 18, 2007

Tentang GRIS dan Senjakala Ingatan

“Who controls the past, controls the future: who controls the present, controls the past.”(George Orwell)

SILOGISME Orwell, dalam novelnya “1984”, itu mededahkan amsal totalitarianisme yang kronis. Kita diingatkan tentang sejarah yang terkooptasi oleh suatu rejim. Dalam konteks global kini, rejim itu entah militeristik, entah kapitalistik sekalipun.

Hegemoni kekuasaan kapital pada wilayah perkotaan, terutama di dunia ketiga, menyodorkan ilusi yang seragam: modernitas dianggap keniscayaan. Contoh modernitas itu tak lain: wajah kota yang gemerlap oleh gedung pencakar langit, termasuk agresivitas pembangunan mal, dan tumbuhnya konsumerisme. Semangat begini tidak saja disorongkan oleh pemodal dan para birokrat, namun pula digencarkan oleh sebagian media massa yang berpatgulipat dengan penguasa.

Janji-janji modernitas itu tak urung mendesak dan merobohkan, bahkan dalam frasa sebenarnya, banyak sekali bangunan atau ingatan manusia penghuni kota bersangkutan. Maka lahirlah semacam katastrofi: manusia tercerabut dari jejak sejarahnya.

Ambil contoh Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Ini sebuah gedung monumental, pada masanya, sebagai saksi sekaligus arena kebudayaan yang dihidupi oleh sebagian besar penduduk Semarang. Di gedung itu, antara lain, kelompok legendaris wayang wong Ngesti Pandowo rutin berpentas. Selain itu, GRIS adalah ajang bagi khalayak menyerap dan menimba kesenian serta hiburan murah. Sekarang, kita tahu, GRIS tinggal kenangan saja.

Masih segar dalam ingatan tatkala kami, serombongan anak muda dan pelukis senior Semarang, berpameran di sana. Pada tahun 1985 itu GRIS salah satu tempat yang sangat layak untuk pameran lukisan atau kesenian pada umumnya. Tajuk pameran itu “Bagimu ‘85”. Mungkin ini pameran lukisan terakhir di sana.

Sebentar lagi di sana akan berdiri pusat perbelanjaan modern: Paragon City. Ambruknya GRIS dan dibangunnya Paragon City, barangkali, bukan suatu kemunduran. Gelagat disrupsi begini – mengubur capaian sejarah kebudayaan dan memori kolektif yang panjang – toh bukan monopoli Semarang saja.

Akan tetapi Goenawan Mohamad mengingatkan, “…sebuah kota membutuhkan sebuah “sajak panjang”, dan tak hanya harus didirikan dengan ketidak-sabaran.”

Sastrawan terkemuka itu hendak mengatakan bahwa historisitas suatu kota, tentu paralel dengan kehidupan masyarakatnya, pantas diperhitungkan tatkala kota hendak dimodernisasi.

Menghapus Jejak
Tengoklah China. Agaknya wajah China yang sekarang sarat dengan ketidak-sabaran itu. Di dalam negeri irama pembangunan terasa riuh-rendah. Sudah pasti pola pembangunan itu menghapus dan menghilangkan kebijaksanaan lokal dan akar kebudayaan leluhur. Kota tumbuh menjulang dengan segenap kontradiksinya. Bersisian dengan gedung pencakar langit adalah artefak rumah-rumah kuno. Memang, jika disandingkan dengan ketinggian apartemen, kediaman warga itu terkesan tak layak.

Akan tetapi, barangkali kita alpa, model ‘moderniatas’ itu tak lain upaya sistematis perusakan sejarah fisik kota-kota dengan cara membuat yang baru di atas reruntuhan yang lama. Jelas, sepenggal ingatan warganya turut dilenyapkan.

Kota, lantas, tumbuh tanpa ingatan yang memadai. Itulah kira-kira yang hendak dikatakan oleh fotografer Sze Tsung Leong yang merekam perubahan topografi perkotaan China kontemporer (“History Images”, Portfolio No. 45, Juni 2007). Ia menandaskan, “Motivasi penghapusan sejarah pastilah berakar pada kehendak membentuk dan mengatur masyarakat.”

Sze Tsung Leong terasa ingin menunjukkan bahwa tegaknya bangunan-bangunan modern China sekarang melibatkan suatu rejim dengan kekuatan politik yang menelikung. Akan tetapi, rejim itu niscaya tidak bekerja soliter. Alih-alih sendirian, suatu rejim niscaya mengajak kekuatan kapital untuk membiayai rencananya.

Barangkali modus demikian terjadi pula di Semarang. Pelan namun pasti, penguasa kota seperti hendak menggempur satu per satu ingatan kolektif warganya. Sekarang GRIS dan besok, siapa tahu, Pasar Johar turut dilanggar jika masyarakat tak lagi sadar.

Sebagai bangsa yang besar, ironisnya, kita seringkali lupa pada kekeliruan yang pernah diperbuatnya. Bukankah riwayat Pecinan Semarang belum terkikis dari ingatan: pada kurun 70-an keindahan arsitektural pecinan itu dibabat habis oleh model politik represif rasialistis. Alhasil, façade bangunan menjadi seragam dan kehilangan auranya. Sekarang barulah terpikir, kita bersusah-payah hendak mengail rejeki turisme dari kawasan itu.

Merawat Ingatan
Justru sebelum semuanya terlambat, publik yang tidak berdaya secara politis –sub-altern seturut Gayatri Spivak – semestinya bahu-membahu menyuarakan maklumatnya sendiri demi peradaban madani yang lebih baik. Justru bangunan yang menyimpan jejak ingatan kolektif masyarakatnya haruslah dirawat demi keseimbangan jiwa dan ragawinya.

Ke depan, tak boleh lagi ada kebijakan publik yang merepresi kehidupan masyarakat umum. Siapa saja pemegang otoritas, termasuk para pengusaha makmur, tak sepantasnya diberikan hak berlebihan.

Kita mesti belajar mengingat terus, kendati ingatan manusia sependek nafasnya.***

TUBAGUS P SVARAJATI, Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Minggu (23/9)]

Tuesday, October 2, 2007

Ruang Hampa

Art work of Fang Lijun

HAMPA tidak berarti kosong. Seperti halnya pengetahuan hidup ala oriental, seperti juga Zen Budhisme, kosong itu berisi. Kosong itu punya energi yang tak terbatas.

Ruang hampa, dalam dunia cyber, bukanlah kehampaan imajiner. Justru kehampaan itu penuh gejolak, padat informasi, penuh lalu-lalang komoditas kebudayaan.

Reifikasi dunia internet telah menelorkan satu pemahaman baru, bahwa ini pun sebuah “dunia”. Sebuah dunia yang meneguhkan hegemoni budaya massa dan seni dalam ruang-ruang yang kapitalistik.

Tetapi komodifikasi seni-budaya bukanlah gagasan yang digulirkan Marxisme. Seperti juga kegagalan membidani masyarakat tanpa kelas, maka Marx dan Engels pun bersimpuh di depan model persekongkolan buruh-pemilik kapital.

Senyatanya, dalam era globalisasi, seni-budaya makin mengekalkan kapitalisme. Dan ketika penetrasi sudah demikian tajamnya, mampukah seni menolak ketergantungannya pada para pemodal?

Maka terasa aneh ketika Moelyono, seniman lulusan ISI Yogya, justru kembali ke desanya di Tulungagung, Jawa Timur. Moelyono lalu melakukan aksi kultural bersama masyarakat desa.

Orang-orang desa yang dalam kurun waktu lama termarjinalisasi dibangkitkan partisipasinya dalam ranah publik dan politik: dengan meminjam bahasa visual/seni rupa yang ditawarkan oleh Moelyono.

Berhasilkah aksi Moelyono itu? Agaknya sejarah masih membuka pintunya lebar-lebar untuk mengafirmasinya.

Pada bilik yang lain sejarah juga mencatat kehadiran seniman Dede Eri Supria. Seniman yang dengan realisme-fotografisnya itu selalu membabarkan kisah para jelata dalam kanvas-kanvasnya.

Sosok rakyat dalam kanvas Dede dimunculkan dalam labirin yang tak bertepi: dehumanisasi dalam ruang-ruang imajiner.

Dalam konteks fotografi salon di Indonesia mirip-mirip model kesenian Dede tampak jelas di dalamnya. Rakyat digambarkan dalam kesehariannya yang – sejujurnya – tidak dalam kehidupan riil mereka. Suatu artikulasi kerakyatan yang manipulatif.

Subjek-rakyat divisualisasikan menurut asosiasi pemotretnya. Rakyat lantas jatuh pada titik nadir objektivasi. Anasir rakyat dan kerakyatannya dalam karya foto salonis tergelincir sebagai etalase objek-objek belaka. Akhirnya lahirlah fetisisme kerakyatan dengan pemberhalaan yang berlebihan pada paham eksotisme.

Jelas, fotografi salon adalah bagian dari nilai-nilai kapitalistik yang disemai terus oleh para kapitalis itu sendiri. Fotografi salon ialah ruang hampa humanisme. Pada aras ini, kita musti mengkritisi kegagalan juru foto saat menampilkan subjek-rakyat.

Tidakkah diperlukan ideologi atau pendekatan fotografis baru ketika harus membidik subjek-rakyat?***

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Buletin PAF Bandung No. 01/2004]