Tuesday, June 9, 2009

Lukisan Rakyat Sokaraja

[Sumber: http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Seni_Lukis_Sokaraja]

MOOI INDIE atau Hindia Molek sebenarnya adalah mazhab atau cara pandang kolonialisme Belanda atas negeri jajahannya, tepatnya Hindia Belanda, yang diasumsikan sebagai alam pedesaan yang damai, adem-ayem, dan harmonis. Paradoksnya, justru sejarah membuktikan bahwa pergolakan yang berdarah-darah sering bermuasal dari pedesaan. Ingat pemberontakan Pangeran Dipanegara dalam Perang Jawa (1825—1830)?

Dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, gaya Mooi Indie gencar dikenalkan oleh ekspatriat atau pelukis asing Eropa. Mereka menggambarkan alam tropis Hindia Belanda dengan pola, dalam istilah S Sudjojono, “trinitas suci”, yakni gunung, sawah, dan pohon kelapa (atau bambu). S Sudjojono adalah pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia dan penentang utama aliran “turistik” tersebut. Lucunya, belakangan pelukis ini malah melukis dalam gaya yang dulu habis-habisan dicemoohnya itu.

Sejarawan Onghokham (1994) menuturkan, secara visual lukisan bergaya Mooi Indie itu pertama kali dikenalkan oleh Raden Saleh (1814—1880). Ong memberikan contoh lukisan Raden Saleh yang menggambarkan pertarungan banteng dengan macan. Namun, kita mesti cermati, bahwa Raden Saleh tak lain adalah anak emas kolonialisme. Ia belajar dan hidup dalam kebudayaan Eropa abad 19. Walhasil, pandangannya atas alam Hindia Belanda pun terpengaruh oleh pemikiran kolonialisme yang mengidealkan tanah jajahan sebagai eksotika pondok masa depan.

Akan halnya “lukisan pemandangan” gaya Sokaraja, Banyumas, barangkali bukan titisan langsung dari cara pandang kolonialistik, namun penonjolan semangat romantisme. Mas’ut (“Lukisan Sokaraja dan Galeri Hidup”, Kompas, Kamis, 14 Mei 2009), pengamat budaya, mendeskripsikan ciri-ciri lukisan Sokaraja sebagai “langit pasti cerah, air selalu bening, mengalir tanpa gejolak” dan pemandangan senantiasa dilukiskan dengan “gunung, hamparan sawah dengan padi yang menguning, telaga atau sungai yang mengalir”.

Barangkali justru lukisan dengan identifikasi seperti di atas itulah yang, secara umum, memenuhi hasrat rakyat banyak tentang suasana batin keindonesiaan yang diangankan. Lukisan rakyat semacam ini memberikan “ketenteraman” bagi peminatnya yang sebagian besar ialah rakyat biasa pula yang jauh dari diskursus “seni tinggi” atau yang “mengawang-awang”.

Jenis “lukisan sederhana” itu, seperti dilaporkan oleh Sindhunata (“Lukisan Jalanan itu Ternyata Mengundang Banyak Peminat” dalam Cikar Bobrok, Kanisius: 1998), dalam suatu pameran di Bentara Budaya Yogyakarta, diminati banyak orang. Setakat ini, jenis lukisan pemandangan yang “indah” tersebut masih sering terlihat di rumah-rumah rakyat kebanyakan, di kota-kota maupun di desa-desa.

Dalam kenyataannya paham Mooi Indie bukan saja dapat menerobos batas-batas ras, kesukuan, ideologi politik dan kesenian, tetapi juga kelas. Ong menegaskan hal itu dan memberikan contoh, sembari mengutip antropolog James T Siegel, bahwa ada karya-karya pelukis yang berasal dari kaki lima—seperti Kumpul di Malang dan RM Sayid di Solo—diangkat oleh kelas menengah menjadi seni lukis tinggi dan koleksi berharga. Kumpul acap “melukis pohon flamboyan dan cikar yang bermandikan cahaya”. Salah satu pelukis kenamaan Semarang, almarhum R Hadi, pun gemar melukis obyek yang sama.

Untuk diketahui, lukisan-lukisan jenis “pohon flamboyan dan cikar yang bermandikan cahaya” itu bertebaran di lima buku koleksi seni Presiden Soekarno. Hal ini membuktikan, secara telak, bahwa sesungguhnya selera Soekarno pun tak jauh dari kesenian gaya Mooi Indie. Cermati bagaimana presiden RI yang karismatik itu menerangkan pertemuannya dengan rakyat kecil bernama Marhaen. Ia berjumpa dengan orang Indonesia yang tidak bermajikan, hidup pas-pasan, namun mandiri itu di alam indah Parahiyangan (“… mungkin di atas sebuah cikar,” tambah Ong). Gambaran tentang Marhaen dan lokus pertemuannya tak lain khas mencirikan estetika Hindia Molek.

Cermin Masyarakat Agraris
Pada hemat saya, estetika Mooi Indie atau jenis lukisan Sokaraja tetap relevan dalam konteks kebudayaan Jawa khususnya atau Indonesia pada umumnya. Adagium “gemah ripah loh jinawi” dalam kultur Jawa memberikan pembenaran atas fenomena lukisan Sokaraja. Pandangan itu bukan sekadar idealisasi suatu kondisi, namun implikatif pula. Secara guyonan, jika bertolak belakang dari fakta atau tak terpenuhinya kondisi termaksud maka orang Jawa pun tetap rela “mangan ora mangan kumpul”.

Karenanya, tidak penting ada atau nihilnya pembaruan atas pola produksi estetika lukisan Sokaraja itu. Yang lebih menarik dibincangkan ialah sejauh mana model estetika tersebut setia memenuhi harapan komunitas penikmatnya. Sederhananya, rakyat banyak menginginkan suatu cantolan atau pembenar atas prinsip-prinsip kehidupan yang diyakininya. Lukisan Sokaraja adalah gambaran ideal itu: Indonesia nan permai.

Penting dicermati ialah bagaimana para seniman rakyat itu meningkatkan capaian teknik dan mutu estetika kekaryaannya. Untuk hal tersebut mereka perlu membekali diri dengan pengetahuan yang memadai. Yang paling mudah dilaksanakan, adakan pelatihan-pelatihan praktis sesuai kebutuhannya termasuk kiat-kiat pemasaran karya mereka. Bukan tidak mungkin lukisan rakyat itu menjadi suatu “komoditas seni” dengan nilai tambah yang menggiurkan.

Lukisan Sokaraja punya relevansi sosio-kultural penting tidak hanya bagi masyarakat pedesaan, namun juga buat masyarakat urban perkotaan yang umumnya berasal dari atau punya ikatan emosional kuat dengan alam pedesaan. Singkatnya, lukisan “gaya” Sokaraja adalah lukisan rakyat dan santir masyarakat agraris Indonesia.

—Tubagus P. Svarajati

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa 9/6/2009.]