Sunday, May 24, 2009

Kritik Seni di Media Massa

[Photo: Studio RSY]

HOLLAND COTTER menerima Hadiah Pulitzer 2009 untuk kategori kritik seni. Ia diganjar $10,000. Staf redaksi The New York Times, sejak 1998, itu terpilih karena “ulasannya yang luas tentang seni rupa, dari Manhattan sampai China, dengan amatan yang akurat, tulisan yang cerlang, dan penceritaan yang dramatis”.

Pulitzer adalah penghargaan jurnalisme terkemuka di Amerika Serikat. Penghargaan prestisius itu diumumkan tiap bulan April di Universitas Columbia. Setahun setelah Joseph Pulitzer (1847—1911) mangkat berdirilah Columbia School of Journalism itu yang digagasnya. Hadiah Pulitzer yang pertama diberikan pada 1917 di bawah supervisi suatu dewan pengawas yang telah diberinya mandat.

Pada masanya figur Pulitzer diakui sebagai penerbit surat kabar yang piawai dan pejuang tangguh bagi pemerintahan yang busuk. “Pengaruh Hadiah Pulitzer yang kuat di ranah jurnalisme, sastra, musik, dan drama didasari oleh cara pandangnya yang visioner,” kata Seymour Topping, profesor emeritus Universitas Columbia.

Bagaimana dengan kehidupan jurnalisme, tepatnya kritik seni (rupa) jurnalistik, di Indonesia? Apa manfaat terbesar adanya tulisan seni rupa di media massa kita?

Tak semua media massa Indonesia menyediakan ruang untuk reportase seni rupa. Dari yang sedikit itu, perhatian harian Suara Merdeka terhadap diskursus seni visual itu terbilang lumayan. Koran tersebut menurunkan dua jenis penulisan seni rupa, yakni reportase dan esai. Jenis yang pertama dituliskan oleh wartawannya sendiri (rubrik Hiburan & Seni), sedangkan yang kedua ditulis oleh kritikus atau pengamat seni (rubrik Bianglala).

Meski ditulis oleh kritikus atau penulis khusus seni rupa, esai seni rupa yang diterbitkan di media massa tak lain adalah kritik seni jurnalistik. Jenis kritik ini cukup ringkas mengingat koran tak leluasa memuat tulisan yang berpanjang-panjang. Kendati begitu, ada perbedaan yang cukup signifikan antara reportase atau esai seni rupa itu. Tulisan reportase hanya memuat unsur-unsur pemberitaan yang esensial. Esai seni lebih condong pada sisi analitik dan sarat dengan opini penulisnya.

Jurnalis cum Kritikus

Reportase atau kritik seni jurnalistik tersebut berguna, antara lain, untuk mendekatkan pemahaman suatu karya seni visual (termasuk pameran seni, misalnya) dan gagasan seniman di satu sisi dengan publik pada sisi lainnya. Dalam penelitiannya, Mamannoor (Penerbit Nuansa: 2002) menemukan fakta bahwa tulisan atau informasi seni rupa di beberapa media cukup bermanfaat dalam membantu publik mengapresiasi karya atau kegiatan seni rupa (63,44%).

Setakat ini bahasa tekstual, dalam situasi atau demi kepentingan khusus, tergantikan oleh simbol atau kode visual. Ragam bahasa gambar itu diyakini sebagai wahana atau bersamanya orang modern saling berkomunikasi. Karenanya, pengetahuan tentang kesenirupaan niscaya diperlukan oleh masyarakat di dalam dunia yang penuh dengan “ledakan gambar” itu. Dalam bahasa Susan Sontag (Picador: 1990), “Today everything exists to end in a photograph.”

Sementara itu, perguruan tinggi yang mempunyai jurusan seni rupa (khususnya di Jawa Tengah) menyimpan rapat-rapat, disengaja atau tidak, hasil pengajaran atau penelitiannya. Publik hampir tidak pernah menyaksikan kelahiran pemikir atau kritikus seni dari kalangan kampus itu. Celakanya medan sosial seni kita pun kurang mengakrabi tradisi kritik seni rupa yang diskursif.

Lowongnya kritikus atau penulis seni rupa, dalam beberapa segi, semestinya bisa tergantikan oleh jurnalis dengan minat khusus pada topik kesenirupaan. Dalam praktiknya, yang bersangkutan barangkali jauh lebih menguasai medan sosial seni yang menjadi area peliputannya. Sosok Cotter pantas disebut sebagai jurnalis cum kritikus. Peran Cotter, atau jurnalis khusus seni rupa, di samping sebagai pewarta informasi, tak lain berfungsi pula sebagai lembaga penilai. Dari merekalah publik mempercayakan mata-telinganya untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang “benar” mengenai aspek-aspek kesenirupaan. Kita paham, figur seperti ini, dalam perjalanannya, niscaya memiliki pengetahuan dan integritas yang kian teruji.

Sebagai penulis seni, sosok seperti Cotter sangat mungkin melahirkan cara pandang, metode kritik, atau teorisasi baru. Mata-telinganya senantiasa terasah dengan cara mengamati langsung karya dan kegiatan seni yang berserak. Justru inilah salah satu kelebihan seorang jurnalis ketimbang kritikus seni. Pada posisi seperti ini, Rukardi, wartawan harian Suara Merdeka dengan atensi khusus pada diskursus seni rupa, punya peran penting. Dengan independensinya, ia mengamati dan melaporkan praktik kesenirupaan suatu kota (Semarang) secara intens. Seperti Cotter, jurnalis Semarang tersebut melaksanakan fungsi sebagai kritikus seni pula.

Barometer

Masalahnya, seberapa penting kajian seni rupa bagi media massa itu sendiri maupun bagi masyarakat pembacanya. Untuk itu mesti dipahami bahwa unsur kreativitas adalah penopang utama di dunia penciptaan karya seni apa pun. Karenanya, dengan pelaporannya tentang kesenian secara mendalam, khususnya mengenai kesenirupaan, media massa turut menyumbang konstruk industri kreatif yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Tentang industri kreatif ini, para pekerja kreatif Indonesia dengan keragaman budayanya punya peluang besar sebagai pemasok gagasan atau kreasi yang bernilai jual tinggi. Pada sisi lain, media massa yang peduli pada diskursus atau praksis kesenian bakal menuai penghargaan sebagai media yang berbudaya, bukan sebagai mesin yang kemaruk pada laba saja.

Kenyataan di atas mewajibkan media massa yang berkelas untuk mendidik dan memberikan kesempatan lebih luas kepada jurnalisnya menggeluti diskursus kesenian secara serius. Barangkali reportasenya akan menjadi barometer praktik penulisan atau cermin bagi praksis kesenian tertentu. Pada akhirnya masyarakatlah yang mengenyam manfaat terbesarnya.

Satu hal yang penting, media massa—khususnya harian Suara Merdeka sebagai media besar dan tua di Jawa Tengah—mesti turut membantu kelahiran tradisi penulisan atau kritik seni yang “benar” dan bermartabat. Tujuannya agar medan sosial seni terhindar dari situasi tuna-acuan yang bakal menjerumuskan banyak pihak pada situasi khaostik dengan kemungkinan merugi finansial dalam skala besar. Tegasnya, harian tersebut diharapkan kian menyiapkan halamannya lebih luas untuk peliputan atau penulisan kesenian pada umumnya.

Publik seni kita berharap membaca dan belajar dari tulisan-tulisan seni rupa yang cerlang, akurat, dan dramatis seperti karya Cotter. Kapankah jurnalis sekelas peraih Hadiah Pulitzer itu lahir dari rahim harian Suara Merdeka? (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Minggu 17/05/2009. Esai tidak terterbitkan.]

Saturday, May 23, 2009

Menghargai Raden Saleh


Art works by I Made Aswino Aji showed at Rumah Seni Yaitu, May 6--30, 2009.

RADEN SALAEH Syarif Bustaman disebut-sebut sebagai Bapak Seni Lukis (Modern) Indonesia. Ia adalah sosok bumiputera pertama yang mengenyam gemerlap art scene Eropa abad 19. Ada pula yang menyebutnya sebagai “orang Jawa kosmopolit pertama, manusia modern Indonesia pertama” (Werner Kraus, 2004). Menariknya, “orang Jawa kosmopolit pertama” itu lahir di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah.

Sarip Saleh adalah anak dari pasangan Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Raden Ayu Sarif Husen bin Alwi bin Awal (versi lain: Mas Ajeng Zarip Husen). Ketika bocah ia tinggal bersama dengan pamannya, Raden Adipati Surohadimenggolo, bupati Semarang. Tahun kelahirannya tak jelas, diperkirakan antara 1812 atau 1814. Ia mendapat pelajaran menggambar pertama kali dari Theodorus Bik. Namun, bakat besarnya ditemukan oleh Antoine Paijen, pelukis Belgia, yang di kemudian hari menjadi teman yang kebapakan di Jawa dan Eropa.

Antara lain atas jasa Paijen, pemuda Sarip Saleh, ketika itu berumur sekitar 16 tahun, diberangkatkan ke Belanda untuk belajar seni lukis. Di Den Haag anak muda itu belajar dari pelukis potret penting Cornelis Kruseman dan pelukis lanskap Andreas Schelfhout. Pemuda itu lantas menunjukkan perkembangan pesat dan memiliki ketrampilan melukis yang luar biasa.

Barangkali dikarenakan perbedaan kultur dan pandangan hidup, Raden Saleh tak sepenuhnya diterima oleh keluarga-keluarga terkemuka di Den Haag. Ia pun hidup sebagai seorang bohemian dan berfoya-foya; bahkan ia pernah tidak mampu membayar tagihan tukang jahitnya.

Rencananya, Raden Saleh akan dikirim pulang ke tanah jajahan, dimasukkan ke birokrasi kolonial dan dipekerjakan sebagai pelukis peta di luar Jawa. Pemuda ini memang berminat besar pada ilmu pengetahuan. Suatu kali ia pernah mengajukan ke Pemerintah Belanda untuk “melanjutkan pelajarannya di bidang matematika, survei tanah, mekanika”.

Di kemudian hari Raden Saleh terbukti memperlihatkan ketekunannya pada kajian antropologi budaya Jawa. Kepeloporannya di bidang paleontropologi diakui oleh para pakar E Dubois dan GHR Keonigswald. Tak banyak orang memperhatikan riwayatnya di ranah keilmuan ini. (Baca tulisan Harsja W Bachtiar “Raden Saleh: Bangsawan, Pelukis dan Ilmuwan” dalam Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu: 2009)

Sebagai inlander Raden Saleh terlalu pintar dan jelas itu bakal membahayakan pemerintahan kolonial. “Anak ini bisa bikin kacau jika memegang jabatan dalam birokrasi kolonial,” kata JC Baud yang mengawasi Raden Saleh selama di Belanda. Namun, oleh karena kepiawaiannya dalam hal seni lukis, Raja William III mengangkat Raden Saleh sebagai “Pelukis Sang Raja” atau Peintre de Son Majeste le Roi de Pay Bas (Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda).

Pada akhirnya Belanda mendorong agar Raden Saleh melakukan lawatan artistik ke negara Eropa lainnya. Artinya, kepulangannya ke Hindia Belanda ditunda. Tiba di Jerman, tepatnya di Dresden, kehidupan dan kecakapan Raden Saleh berkembang maksimal. Di sinilah Raden Saleh bertemu dengan Johan Clausen Dahl dan Caspar David Friedrich, yang mempengaruhinya sepanjang hayatnya. Dari merekalah Raden Saleh belajar seni lukis aliran Romantik. Ia pun sangat terpengaruh oleh gaya Eugene Delacroix, sang tokoh utama Romantisisme.

Anak Zaman Kolonialisme
Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengizinkan pemuda Jawa ini belajar ke Belanda? Alasannya tak jelas. Menurut Kraus, kemungkinan perjalanan inlander ini ke Eropa adalah bukti prinsip Pencerahan atau, bagi sebagian masyarakat Belanda, pendidikan Raden Saleh di Belanda dianggap sebagai sebuah eksperimen filosofis.

Dalam analisis JJ Rizal (2009), fenomena Raden Saleh saat itu harus ditempatkan dalam konteks zaman dan lingkungan pergaulannya. Ia adalah produk dan cocok dengan pola pertengahan abad 19 itu yang oleh Edward Said dicirikan sebagai “wabah Orientalia yang mempengaruhi setiap penyair, eseis, dan filsuf besar pada masa itu”.

Kolonialisme yang berwajah oriental niscaya menggambarkan tanah jajahan sebagai wilayah yang indah, adem-ayem dan menghanyutkan perasaan. Realitas yang terbekukan ini melahirkan konsep yang disebut “Mooi Indie”. Rizal menyebutkan, cara pandang khas itu adalah politic of seeing pemerintah kolonial Belanda. Langgam lukisan Raden Saleh juga mencerminkan paham (kuasi) keindahan seperti itu.

Rezim Orde Baru pun, dalam gaya yang mirip, menerapkan praktik politic of seeing kolonial terhadap, ambil contoh, Bali. Lama sekali “Pulau Seribu Pura” itu diperlakukan sebagai surga dunia terakhir yang eksotis, damai-tenteram, dan nihil konflik. Tujuannya jelas: demi menangguk devisa dari industri pariwisata. Terang-terangan Orde Baru meneruskan konstruk estetik pelancong budaya Barat—Rudolf Bonnet dkk—yang diwujudkan dalam perkumpulan seniman Pita Maha. Tegasnya, Orde Baru atau Pita Maha memainkan politik pencitraan terhadap suatu entitas budaya sesuai yang dimauinya.

Memandang Raden Saleh, dalam perspektif Eropa pertengahan abad 19, adalah santir sempurna dari produk kolonialisme Belanda di tanah jajahan. Ia pintar, eksotis-modis, penuh misteri, dan selaras dengan konsep “Mooi Indie”. Jelaslah, Raden Saleh memang anak zaman kolonialisme—tepatnya adalah anak emas pemerintah kolonial Belanda. “...Loyalitas, kepatuhan, serta rasa terimakasih kepada rajaku, pemerintah dan bangsa Belanda,” katanya. Pada suatu ia menegaskan hal tersebut tatkala menolak tuduhan turut mendalangi suatu pemberontakan di Tambun, Bekasi.

Raden Saleh, Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda, wafat pada 23 April 1880 di Buitenzorg (Bogor). Meski antek kolonialis, ia pantas dikenang sebagai seorang bumiputera, seniman dengan bakat dan karya-karya luar biasa, yang telah turut mengharumkan nama bangsanya. Tentang relasinya dengan Semarang? Ia memang lahir di sini. Itu saja. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis 7/5/2009. Esai tidak terterbitkan.]

Dicari: Kritikus Seni Bermartabat



KRITIK seni rupa di Indonesia, pada kenyataannya, belum punya kosa dan gramatika kritik fundamental. Bandingkan dengan tradisi kritik di Barat yang punya sejarah panjang. Walhasil, suka atau tidak, dari terminologi hingga metodologi kritik di sini senantiasa meminjam cara pandang asing.

Meski demikian, kehadiran kritikus seni selayaknya dipandang sebagai rekan dialogis, seperti apapun kompetensinya. Martabat kritikus, pada akhirnya, ditentukan oleh bobot gagasan dan ketajaman analisisnya. Sama halnya para senirupawan—senantiasa akan dinilai berdasar aspek-aspek kekaryaan dan wacana di sebaliknya. Pantas pula kita mengenang kata (alm) Sanento Yuliman bahwa kritik seni, tak lain, juga suatu karya seni.

Sebagai rekan dialogis, keduanya niscaya sejajar. Sebab, keduanya mengemban tanggung jawab masing-masing di hadapan medan sosial seninya. Seni bukan cuma memproduksi sesuatu keindahan, demikian pula kritik bukan sekadar untaian kata berirama. Keduanya mesti bertumpu pada standar nilai, dalam suatu “kelaziman” konvensi kesenian, yang mesti benar-benar dihayati dan dipraktikkan sungguh-sungguh.

Tradisi kritik yang baik harus berani mengajukan penilaian, atau diskursus, yang dirasanya “benar” dan bertanggung jawab atasnya. Sebab, seperti dituturkan oleh kritikus Pauline J. Yao (2008), analisa kritis terhadap sesuatu karya seni bukan sekadar suatu analisa deskriptif, tetapi artikulasi dari kompleksitas kultural di sebalik karya seni itu dan kepekaan atas karya-karya seni, teori-teori, dan ide-ide lain yang mendahului atau mengikutinya.

Di China, seturut Yao, seni rupa kontemporer yang hidup dari kedigdayaan pasar telah melahirkan sejumlah penyimpangan. Tak jarang “kritikus” menerima gratifikasi—uang atau karya—sebagai imbalan dari tulisannya. Yang lebih parah, ada yang bertindak sebagai pialang atau agen bagi seniman tertentu.

Akan halnya majalah seni, yang umumnya dimiliki oleh pemodal besar sekaligus juga kolektor kelas kakap, tidak jarang menurunkan artikel dan iklan yang hanya mempromosikan pameran-pameran dan seniman-seniman yang diageninya. Sebagian penulis seni, oleh karena lemahnya tanggung jawab editorial dan kedekatannya dengan para kenalan atau sejawatnya, menggadaikan kredibilitasnya dengan menulis esai-esai yang menjilat.

Bukan tidak mungkin fenomena miring di atas juga berlangsung di Indonesia. Kasuk-kasuk menyebutkan, satu atau dua penulis seni, termasuk beberapa kurator dan pengajar seni rupa yang terhormat, telah lama merangkap jabatan sebagai agen para pemodal atau galeris. Disebutkan juga, penerbitan seni yang ada pun disinyalir cuma sebagai corong bagi konstruk kesenian dan kepentingan kalangan tertentu. Sengkarut kepentingan beginilah yang, barangkali, tak membuka peluang lahirnya tradisi kritik seni yang dialektis.

Kritik Seni ialah Kompas

Sesungguhnya, kita bisa bertanya: untuk apakah seni itu diproduksi? Jika seni ialah, katakanlah, semacam kesaksian seniman atas masyarakatnya, yang semasa, maka seni niscaya mempunyai konteks sosio-kultural tertentu.

Hemat saya, demikian pula halnya posisi sosio-kultural kritikus seni—menawarkan dan mengusung diskursus tertentu, dan barangkali mampu memberikan gambaran atau prediksi arah perkembangan seni di suatu area atau masa yang diamatinya.

Acapkali kritikus seni menganalisis karya seni dan korelasinya dengan kehidupan masyarakat tempat seni itu diproduksi. Singkatnya, ia memandang produk seni dan senimannya berkelindan dalam ruang yang beririsan—interkontekstualitas—dengan masyarakatnya. Seni tidak lahir di ruang vakum dan steril. Begitu juga posisi dan wacana kritik dari seseorang kritikus.

Makin dalam, makin luas amatan seseorang kritikus, maka makin berharga bagi publik yang mengapresiasinya. Signifikansi peran ini sering diabaikan oleh pemangku kepentingan lainnya. Kerap kehadiran kritikus seni dipandang secara taksa oleh seniman: kritikannya dibenci, pujiannya dinanti-nanti.

Dalam suatu riset untuk tesis pascasarjananya, Mamannoor (2002) mencatat kemenduaan sikap seniman atas kehadiran sesuatu kritik. Meski sebagian besar seniman peduli (54,74%) dan mengakui bahwa tulisan kritik bermanfaat bagi peningkatan prestasi (57,89%), hanya sedikit yang mangamini relevansi antara kualitas tulisan kritik dengan kondisi kekaryaan mereka (3,16%).

Sedangkan di kalangan masyarakat, tulisan atau informasi seni rupa di beberapa media dipandang cukup bermanfaat dalam membantu mereka mengapresiasi karya atau kegiatan seni rupa (63,44%). Meski begitu, sebagian besar (59,14%), saat mengunjungi suatu pameran, kurang mendapat penjelasan memadai dari penyelenggara pameran. Bahkan ada yang tidak mendapat penjelasan sama sekali (23,66%).

Hemat saya, temuan-temuan (alm) Mamannoor, secara eksplisit, mengungkap perlunya kritik atau tulisan seni rupa di media massa. Di lain pihak, penting pula meningkatkan kualitas kritik seni itu sendiri. Pada ujungnya, kritik atau esai seni itu akan bermanfaat bagi tumbuh dan berkembangnya diskursus seni yang sehat. Dari sana akan terbentuk art world yang dewasa dan menghargai fungsi serta peran masing-masing komponen pendukungnya.

Hadirnya kritik seni yang bermartabat, yang bestari, meski bukan obat mujarab, mampu mengerem laju euforia kapitalisasi karya-karya seni yang banal. Jika tidak diimbangi dengan kritik yang “baik”, banyak pihak akan terperosok dalam-dalam ke situasi tuna-acuan, merugi besar secara finansial, dan membodohi diri sendiri. Kondisi demikian niscaya merobohkan bangunan art world yang diangankan.

Justru pada situasi halai-balai pasar seni rupa, seperti barusan terjadi setahun belakangan ini, kritikus seni mesti unjuk diri: menjadi kompas yang bermartabat. Bukan kritikus majal dengan retorika semenjana dan yang gemar bersekutu dengan kepentingan sesaat.

Tubagus P. Svarajati

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Koran Tempo, Senin 09/03/2009. Esai tidak terterbitkan.]