Monday, April 7, 2008

Kritik Seni Rupa Kosmologis

(Resensi Buku)

Judul:
Wacana Kritik Seni Rupa Di Indonesia
Penulis:
Mamannoor
Pengantar:
DR. Bambang Sugiharto
Penerbit:
Yayasan Nuansa Bandung,
Cetakan Pertama, Oktober 2002
Tebal:
212 halaman

Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

BUKU "Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia - Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis" yang ditulis oleh Mamannoor mengisi kekosongan langkanya buku kritik seni rupa Indonesia. Buku ini sebenarnya merupakan tesis S2 dari penulisnya di Jurusan Seni Rupa FSRD- ITB pada semester genap tahun akademik 1997-1998. Penulisnya selama ini dikenal pula sebagai kritikus seni rupa.

Mamannoor, selama beberapa tahun, menjabat sebagai salah satu Kurator di Galeri Nasional Jakarta. Kritikus seni yang sempat memberikan lokakarya kreatif seni rupa di Semarang itu meninggal dunia tahun lalu, Minggu (7/10). Almarhun menderita sakit kelenjar getah bening.

Selayaknya tesis, Mamannoor menulis dengan pendekatan dan pola akademis yang ketat. Isi bukunya memaparkan penelitiannya – selama 3 tahun: awal 1993 hingga akhir 1995 (hlm. 13) – mengenai seluk-beluk kritik jurnalistik seni rupa modern yang bertebaran di sejumlah penerbitan, majalah maupun koran, dalam kurun waktu 1950-an hingga 1997 (hlm. 30). Penelitian terbatas pada kritik yang ditulis oleh kritikus Indonesia terhadap kegiatan dan karya para seniman Indonesia.

Mamannoor membagi tulisannya menjadi dua bagian besar, yakni: Bagian Pertama: Kritik Jurnalistik Seni Rupa Indonesia (Bab I-V) dan Bagian Kedua: Metode Pendekatan Kritik Seni Rupa Berdasarkan Penghayatan Kosmologis (Bab VI).

Kritik Jurnalistik
Kritik diartikan sebagai "pembicaraan langsung mengenai seni dalam rangka menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya seni" (hlm. 39). Mengutip Edmund Burke Feldman, kritik jurnalistik seni rupa dinyatakan dalam kategori berita, namun ia juga berupa tulisan analisis secara sistematis tentang suatu karya seni rupa yang akan, sedang, atau telah dipamerkan (hlm. 44).

Umumnya paparan kritik seni rupa akan menunjukkan tahapan deskripsi sebuah karya seni rupa, analisis formal, proses apresiasi, dan terakhir disodorkan hasil evaluasinya. Namun, paparannya itu tidak selalu harus tampil berurutan. Sedangkan penilaian kritik atas karya seni rupa berdasarkan pertimbangan Formalisme, Ekspresivisme, dan Instrumentalisme.

Selama ini kritik seni rupa di Indonesia, menurut Mamannoor, meminjam perangkat pengkajian/teori asal Barat. Teori kritik seni rupa modern Barat membaginya menjadi Kritik Jurnalistik, Pedagogik, Akademik, dan Populer. Keempatnya membawa berbagai konsekuensi penelaahan dan sasaran yang berbeda.

Perangkat pinjaman itu diyakini tidak mampu secara lengkap membaca karya seni rupa yang dihasilkan oleh seniman Indonesia. Sebab, seni rupa modern Indonesia berbeda secara signifikan dengan seni rupa modern pada umumnya di dunia Barat. Seni rupa Indonesia tumbuh dengan nilai-nilai historisitasnya sendiri dan tidak selalu berpadanan linear dengan sejarah seni rupa modern Barat.

Begitu juga seniman Indonesia tumbuh dan dibesarkan dalam kultur serta nilai-nilai kosmologis yang tidak sama pula dengan seniman modern Barat. Inilah pokok persoalan yang menimbulkan keyakinan Mamannoor, perlunya suatu pendekatan kritik seni rupa modern Indonesia berdasar nilai-nilai lokalitasnya sendiri, sehingga dia menawarkan suatu metode pendekatan kritik seni rupa berdasar penghayatan kosmologis (uraian lengkap pada Bagian Kedua, Bab VI).

Pada Bab I-V Mamannoor memaparkan penelitiannya tentang kritik jurnalistik seni rupa di berbagai media penerbitan. Pada umumnya, disimpulkan bahwa kritik jurnalistik itu dapat meningkatkan apresiasi pembaca/masyarakat awam terhadap karya seni rupa. Keyakinan itu juga diamini oleh para senimannya. Namun, sebagian besar seniman meragukan kualitas tulisan kritik seni rupa yang ada selama ini. Bahkan Jim Supangkat - kritikus seni rupa terkemuka - menilai "sebagian tulisan kritik seni rupa kita adalah ulasan yang buruk bahkan menyesatkan" (hlm. 108).

Apa latar belakang sinyalemen Jim di atas? Kembali Mamannoor mencangkok pendapat Jim Supangkat dan Edmund Burke Feldman, bahwa pada umumnya penulis kritik jurnalistik seni rupa itu adalah para wartawan, yang terkadang wartawan umum, yang tidak mafhum tentang seni rupa (hlm. 108).

Padahal, menurut kritikus Almarhum Sanento Yuliman, "Sesungguhnya kritik itu sendiri suatu karya seni". Untuk itu pada seorang kritikus tidak saja dibutuhkan intuisi dan intelegensi, tetapi juga kecakapan penggunaan bahasa (hlm. 76).

Penghayatan Kosmologis
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

Istilah "kosmologis" dimaksudkan sebagai "permasalahan kesemestaan, keduniaan, atau kejagatan yang bersifat fisik dan metafisik" (hlm. 133). Dengan begitu Mamannoor "memberi tekanan berat pada konstruksi "dunia" di balik seniman maupun di balik karya" (Pengantar DR. Bambang Sugiharto, hlm. 8).

"Dunia" makrokosmos dan mikrokosmos peradaban seni rupa modern Barat diyakini Mamannoor berbeda dengan "dunia" dalam penghayatan seniman Indonesia. Baginya, seniman Indonesia memiliki nilai-nilai spiritualitas dan kosmologis nusantara di mana seniman itu hidup di dalamnya. Itulah mengapa untuk menelaah suatu karya seni rupa Indonesia, tidak bisa begitu saja meminjam semua pola pengkajian dan pisau analisis model Barat.

Metode pendekatan yang ditawarkan mengacu kepada pemahaman kosmologis yang bersifat metafisik, yang merupakan pelanjutan dan perluasan filsafat manusia. Prototipe objek formal dalam kosmologi metafisik dan titik pangkal penelitian adalah manusia, sejauh dia secara sadar berkorelasi dengan masyarakat dan dunia; atau pula sejauh dia merupakan bagian dunia dan sejauh dia adalah duniawi (hlm. 133).

Dan dalam penghayatan kosmologis seniman Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai unsur spiritualitasnya. Mamannoor menandai dua macam spiritualitas, yakni religius dan sekuler. Menurutnya, dalam suatu fase, seni rupa modern Barat meninggalkan spritualitas religiusnya, maka lahirlah wacana "art for art sake" yang lebih menitikberatkan pembahasan estetika formal saja (hlm. 137).

Pembahasan suatu karya seni tidak bisa lepas dari kreatornya, sehingga posisi seniman menjadi sentral. Ia menekankan penelaahan kosmologis senimannya yang meliputi pendekatan genetis, biografis, juga pernyataan seniman bersangkutan (hlm. 166). Disamping itu juga harus dibicarakan kosmologis proses karya si seniman berikut kosmologis karya seninya itu sendiri. Mamannoor menggambarkan seniman, proses berkarya, dan hasil karya dalam suatu lingkaran mikrokosmos. Sedangkan stimulus/rangsangan dan apresiator berada dalam lingkaran makrokosmos.

Catatan
Photo Exhibition "Relatives" by Tino Djumini
at Rumah Seni Yaitu, January 2007. (Photo: Ferintus Karbon)

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi pada buku ini, misal waktu dan materi penelitian yang tidak sinkron (lihat alinea 2 bahasan ini). Disadari pula bahwa salah satu kelemahan kritik jurnalistik seni rupa, ialah keterbatasan waktu tenggat muat dan halaman media/penerbitan termaksud. Oleh sebab itu, tawaran metode kritik berdasar penghayatan kosmologis tidak memberikan solusi ideal. Kita tahu, metode itu memerlukan waktu dan bahan penelaahan yang komprehensif, sehingga hasil telaah itu sendiri menjadi lebih panjang. Belum lagi penelaah yang menyiratkan orang yang kompeten atas persoalan seni rupa.

Pada kenyataannya, metode yang ditawarkan bisa melengkapi kecenderungan pengkajian, yang marak akhir-akhir ini, seperti pendekatan fenomenologi, postrukturalisme, ataupun hermeneutik. Mamannoor mengingatkan kita betapa pentingnya pembahasan mengenai subjek senimannya.

Kendati buku ini tidak menyodorkan teknik yang aplikatif seperti halnya keharusan suatu metode/disiplin ilmu, tetapi tetap saja menarik untuk dicermati oleh penekun/peminat seni rupa, mahasiswa seni rupa, juga para wartawan budaya pada umumnya. Tuturan bahasanya lancar dan dilengkapi sejumlah diagram yang membantu pemahaman. (Tubagus P. Svarajati)