Wednesday, November 28, 2012

Fatamorgana dan Gelembung Sabun

[Mural di Kampung Jambe. Photo: Tubagus P. Svarajati.]

SEPERTI peribahasa “Kepala sama berbulu, pikiran lain-lain”, lagak-rupa seniman pun berjenis-jenis. Uniknya, sudah paham ranah kesenian tak menjanjikan kelimpahan materi, toh, banyak orang tetap bertungkus-lumus dalam kesenian dan menjadikannya sebagai ”jalan-pedang”nya. Apakah predikat dan privilese sebagai seniman itu daya tariknya?

Buku Why Are Artists Poor? The Exceptional Economy of the Arts karangan Hans Abbing (Amsterdam University Press, 2002) mengungkai sebagian paradoks itu. Abbing senirupawan kontemporer sekaligus ekonom dan peneliti sosial. Analisisnya mendasar dan detail: berpusar dalam kajian ekonomi, sosiologi dan psikologi. Ia mencatat, seni sangat dihargai dan meraih status tinggi dalam masyarakat beradab. Apa pasalnya? Seni dianggap intrinsik punya nilai-nilai agung, otentik, dan sakral.

Dalam persepsi awam, seni tak berelasi langsung dalam tiap aspek kehidupan sehari-hari kendati pengaruh dan manfaatnya ada. Diyakini, seni merupakan ‘makanan’ spiritual dan bersama atau di dalam praksis produksi-konsumsi seni orang-orang saling bersosialisasi dan berekspresi. Dualitas, pengaruh atau manfaat, itu menguarkan aspek ”magis” seni dan sosok senimannya. Alhasil, posisi seni-seniman krusial dan ambigu: ditolak, tak selalu dimengerti, tapi di lain pihak diharapkan kontribusinya pada kebudayaan. Pengertian ini muncul terutama setelah seni tak lagi dianggap sebagai bagian dari praksis budaya kolektif-organis, melainkan praktik kultural manusia modern.

Gagasan keagungan seni-seniman dalam subyektivitas atawa mitos masyarakat modern bersifat antroposentris. Manusia dianggap sebagai ”pusat dunia”, tak terkecuali seniman. Alasan utamanya, menurut Abbing, masyarakat percaya, seniman melahirkan ilusi-ilusi tentang dunia yang ”lebih baik” melalui imajinasinya. Perspektif romantik itu mendudukkan seni-seniman dalam berbagai posisi ambiguitas dan paradoksal. Contohnya, seniman dituntut menghadirkan suatu nouveau, kebaruan. Seniman seolah melompat beberapa langkah ke depan daripada publiknya. Di titik inilah seniman senantiasa dicap sebagai pemberontak. Alhasil, tindak-tanduk dan kreasi seniman tak mudah dipahami.

Paradoksnya, dari sudut ekonomi, ada seniman makmur dan berkelimpahan materi. Sedangkan sebagian seniman cuma bisa bertahan hidup melalui keseniannya, bahkan ada juga yang selalu berkekurangan. Sepintas sungguh tak adil mengharap seniman di posisi garda depan namun di balik itu kesejahteraannya kerap terabaikan. Realitanya, magnet kesenian tetap punya daya tarik kuat bagi sebagian orang.

Dalam konteks sakralitas, kita tak bisa abai pada risalah Walter Benjamin yang masyhur, yakni “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” (Illuminitions, pengantar oleh Hannah Arendt, Pimlico, 1999). Awalnya seni bukan karya manusia yang bersifat eksklusif-personal. Dalam masyarakat tradisional, ”benda seni” itu diperuntukkan dan berfungsi sebagai bagian dari komunalitas, yakni sebagai media ritualitas. Akhirnya benda seni itu punya nuansa magis, lantas bersifat religius dan, karena itu, dianggap punya aura. Ia otentik dan sakral.

Mitos auratik itu inheren melekat pada karya-karya seni di tengah-tengah masyarakat modern. Bila masyarakat tergugah atau hanyut oleh keindahan benda seni, maka itu tetap dalam ranah ritualitas, meski berbeda ruang-waktu. Signifikasi karya seni pun tak lepas dari upaya mistifikasi. Juga ada anggapan, pencerapan estetik demi praksis ”mengalami” itu sendiri.

Tetapi, bagaimana diskursus seni-seniman dalam era posmo?

Remaja Gelembung Sabun
Setakat ini seniman bukan rujukan utama dalam praktik produksi-konsumsi seni kontemporer. Seniman bukan ”pusat dunia” lagi. Perhatian publik beralih atau terebut oleh berbagai isu sosial-politik-kultural yang berubah secara cepat dan masif. Satu isu yang menonjol ialah tentang budaya massa dalam konstruks kapitalisme. Dalam paham ini sesuatu mudah usang, tertukar-bertukar, dan acap ada tanpa alasan spesifik. Menurut Ariel Heryanto (”Pop Culture and Competing Identities” dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, Routledge, 2008: 8), pencipta budaya pop tidak selalu berniat menyampaikan pesan atau nilai politik dalam karyanya, dan konsumernya tidak perlu mencari pesan atau nilai semacam itu.

Bauran seni-komoditas mengakibatkan pudarnya aura seni-seniman. Seni atau bukan-seni saling bertukar. Predikat seniman atau bukan-seniman, mengabur. Posisi sosial seniman jadi ambigu. Adanya anggapan “setiap orang adalah seniman”, gagasan Joseph Beuys yang dipakai semena-mena tidak sesuai konteks, makin merontokkan mitos seniman, kesenimanan, dan karyanya. Mengikuti alur paradigma ini, berbagai komunitas anak muda lahir dan tak segan mendaku kegiatannya sebagai kesenian pula. Gejala ini terutama meruah di kota-kota urban di republik ini, tak terkecuali di Semarang.

Komunitas semacam itu di Semarang, khusus dalam ranah seni rupa, ada satu atau dua biji saja. Saya duga, para pegiatnya ingin mengusung praksis seni sebagai ekspresi kegirangan personal atau paling jauh sebagai aksi (sosial) komunal. Pilihan tersebut membuat aktivitas mereka acap melibatkan banyak orang, tanpa beban diskursif (pesan atau nilai), dan berkesan rileks. Apakah hal itu keliru? Apakah aktivisme mereka bak pepatah ”Indah kabar dari rupa”?

Saya ingin menyebut mereka sebagai remaja gelembung sabun (soap bubble youth). Inilah generasi yang lahir dan menyusu di masyarakat yang gamang: terombang-ambing antara tradisi rural-agraris dan urban-kontemporer produk ideologi global. Selaik gelembung sabun, meskipun berpendar warna pelangi tatkala kena cahaya, namun ia pucat lesi, mudah pecah, tanpa suara, tanpa bekas.

Benarkah aktivisme bergirang-ria yang mendepak diskursus paradigmatik dan ingkar pada kekaryaan kulminatif menjadi pujaan dan dielu-elukan kalangan pegiat muda seni kiwari? Jika ditilik, remaja gelembung sabun itu berpanggung dan memanggungkan kegiatan dari mereka dan untuk mereka saja. Jadi, semacam pemuasan diri sendiri (self amusement). Menelisik gelagat begini, hemat saya, mereka sulit bertengger di atas panggung seni rupa Republik atau mondial, apalagi bila craftmanship mereka minim atau terbilang nihil.

Meskipun saya tak berharap, gelagatnya medan seni rupa kota ini bakal lama berkabung. Anda yang bermimpi menikmati seni diskursif, bersiaplah kecewa. Saat mendusin, kita cuma tersuguhi lanskap fatamorgana.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai terbit di harian Suara Merdeka, Minggu, 25 November 2012.]