Monday, July 16, 2007

Hitler: "Your eyes...!"

Foto: Ferintus Karbon





"Menjaring Poseur" karya Sigit Bapak


FESTIVAL Kesenian Yogyakarta (FKY) datang lagi. Kali ini FKY masuk tarikh ke-19. Tema pameran seni visual yang mengiringi festival itu ialah “Shout Out!”. Seiring dengan tematika, di ruang pamer – Taman Budaya Yogyakarta – berhumbalang karya-karya yang berebutan ‘berteriak-teriak’.

Pada acara pembukaan, Jumat malam (22/6), seseorang yang kita kenal sebagai Hitler memandu acara. Dari sayap kiri, menumpang moge yang dikendarai oleh perupa Nurcholis, ‘Hitler” itu muncul, lengkap dengan seragam militer, kumis, dan potongan rambut khusus itu.

Lantas Fühller itu berteriak: “Assalammualaikum…!” Sontak pengunjung riuh terkekeh. Tatkala dia disoraki, dengan tangkas Hendro Plered – pemeran ‘Hitler Ngayogyakartan’ – membalas: “Your eyes!” Seluruh pengunjung kembali ngakak. Mereka paham plesetan itu – seperti ‘dagadu’ – berarti ‘matamu’. Ini sarkasme khas ala Yogya pada acara yang disesaki anak-anak muda itu: pisuhan yang mengundang gelak.

Kira-kira seperti itu pula gaya kuratorial “Shout Out!”, riuh-rendah, yang menampilkan 36 kelompok seniman dan perorangan. Sebuah pameran dengan antusiasme tinggi yang, oleh duet kurator Kuss Indarto dan Arie Dyanto, ingin menghadirkan seni eksperimentatif kawula ‘muda’ (yang usianya dipatok di bawah 35 tahun). Juga menolak kecenderungan ‘linier’ keindahan seni yang konvensional atau konservatif. Termasuk pula hasrat menghalau ‘mitos’ kesuksesan pameran seni rupa yang, secara salah kaprah, diukur dari banyaknya karya yang terjual. Pameran itu juga meragukan premis ‘keindahan’ dalam seni dimutlakkan dan melekat dalam setiap karya. Konon, seni tidak lagi bicara tentang ‘indah atau tidak indah’, akan tetapi bisa dibaca sebagai artifak kebudayaan yang hendak ‘berbicara dan berpihak ke mana’.

Akhirnya, tema ‘netral’ kuratorial itu ditendensikan sebagai wilayah longgar bagi seniman muda untuk berkarya apa saja. Tematika kuratorial justru membuka peluang sebesar-besarnya pada tren kreatif yang digeluti seniman muda sekarang.

***
Dengan koridor kuratorial semacam itu, agaknya pameran “Shout Out!” ditendensikan sebagai suatu peristiwa radikal mendobrak tatanan seni yang usang (kata kurator: konvensional dan konservatif). Tetapi, lihatlah, di dalam ruang pamer berserak karya-karya yang, sayang sekali, masih sebatas koridor artistika. Sebagian bahkan karya-karya yang dibuat tergesa, kurang serius, dan pula tidak menunjukkan jejak gagasan yang fundamental.

Melongok pameran “Shout Out!” itu dan menyandingkannya dengan tematika kuratorial, pada hemat saya, ada paradoks yang perlu diluruskan. Ketika yang bertautan dengan seni tidak lagi diartikan ‘indah’, namun sekadar dilihat sebagai alat bantu sosial yang menyorongkan ‘keberpihakan’, agaknya kita mesti menata ulang parameter karya dan pameran yang (masih) diniatkan sebagai acara seni itu.

Gayut dengan hal itu, tak perlu lagi pendakuan mereka yang terlibat di dalam pameran itu adalah seniman. Jauh lebih menarik jika kedua kurator berani meloloskan ‘orang-orang biasa’ (bukan seniman!) berpartisipasi dalam pameran itu. Toh tak perlu ada karya yang estetis selain karya ideologis. “Shout Out!” pun tidak perlu didaku sebagai pameran seni visual. Dengan begitu napas eksperimentasi lebih terasa.

Andaikata terma ‘indah’ tidak hanya dimaksudkan sebagai artistika wujudiah, tentu saja, banyak orang bersepaham. Sebab, kita tahu, disiplin estetika telah melampui perkara keindahan maujud. Akan tetapi, pada dasarnya pameran “Shout Out!” masih sekadar menyuguhkan artistika konvensional. Alhasil, karya-karya yang tersaji belum maksimal sesuai dengan kerangka kuratorial.
***
Dengan menafikan apapun penamaan atas karya-karya itu – seperti street art, toys art, object art, video art, moving image, instalasi, atau komik – maka terlihat sentimen estetik tertentu yang dimiliki oleh kurator. Tampak mereka dengan sengaja, meski tak sesukses yang diharapkan, menyorongkan karya-karya beragam bahan.

Pameran “Shout Out!” sarat dengan karya tiga dimensional. Hanya ada tiga karya lukis yang dipajang dan itu pun berkesan ‘kecelakaan’. Mengenai hal itu, tentu, banyak orang sepakat karya-karya lukis (Aji Yudalaga, Robi Fathoni, dan Tri Wahyudi) itu sangat konvensional dan konservatif. Bandingkan ketiganya dengan karya “Menjaring Poseur” (Sigit Bapak) yang inspiratif: sosok penunggang kuda itu terkesan menjebol kebekuan panel.

“Pisuhan Paman Petani” (M Aldi Yupri) adalah tiga pokok pohon dengan siluet pohon berdaun lebat memantul di pojok dinding. Ini menyoal tematika lingkungan. Namun, jika diteliti, visualitasnya cuma imitasi dari sejumlah besar gambar kartun dengan gagasan yang sama pula.

Perupa I Gede Made Surya Darma mengusung areal sawah di ruang pamer (“Menanam Tentara di Sawah”). Ia tanami sawah itu dengan batang lidi berkepala mainan plastik berupa sosok tentara. Di dinding ada dua panel foto ketika dia beraksi performans. Satu monitor TV menayangkan aksinya terus-menerus. Ini sebuah karya yang segar dan menarik meskipun, belum lama ini, pernah dipertontonkan di luar ruang sebagai karya performans. Jika dibaca, maka teks rupa ini menjangkau wilayah signifikasi yang meluas.

Selain itu di ruang pamer tetap ada beberapa karya yang mencuri perhatian. Sebagai misal, peti mati (murahan) yang terbungkus oleh ratusan stiker (“Kubur Gelap Masa Lalumu” karya Wijayanto B), objek rumah panggung Alexis (“Coffee Morning”), deretan ‘rumah mini’ I Gusti Ngurah Udiantara (“Home Alone Series”), puluhan boneka anjing Dona Prawita (“Resistence and It’s Paradox”), sayur terong-terongan Kusna Hardiyanto (“Don’t Look the Cover”), atau instalasi video “Quis on TV on My Head on” karya para pekerja film Four Colors.

Sebaliknya, beberapa karya dalam ragam ‘street art’, ambil contoh “JMF Finding Space”, hilang kegarangan dan dinamika jalanannya. Karya ini terjerembab pada ekspresi artistika yang kemayu.

Pantas dicatat bahwa tendensi perupaan para seniman muda itu, dalam beberapa tahun terakhir, memang terlihat mewabah di Yogyakarta. Jadi, kecenderungan rupa itu sulit didaku, atau pula ditimbang, sebagai ‘baru’ dan ‘segar’. Pilihan tematika dan teknologi pengolahan medium pun tak terlalu mengejutkan. Saya menduga, anak-anak muda itu sedang merayakan tanda-tanda estetik kulit luar saja. Entahlah apakah ini gelagat menepiskan institusionalisasi seni auratik. Atau, jangan-jangan, ini gejala stagnansi pada proses kreatif anak-anak muda itu. Beberapa nama yang sebelumnya sangat kreatif dan menjanjikan – seperti Iwan Effendi, Terra Bajragosha, dan Wedhar Riyadi – kali ini tidak menunjukkan kualifikasi optimumnya.

Hemat saya, karya-karya “Shout Out!” cuma mengekor pada beberapa pameran yang pernah diadakan di Yogyakarta sebelumnya. Satu ruang pamer ternama di sana sudah sejak lama mengapropriasi kecenderungan visual yang digeluti anak-anak muda itu. Dilihat dari sisi ini, boleh dibilang, publik tidak mendapat pengayaan yang berarti ketika menikmati pameran ini.

Terlepas dari rumpang-rumpang kuratorial, ‘teriakan’ (baca: kerja keras) kedua kurator muda itu pantas dihargai. Alih-alih, jangan biarkan mereka menuai hardikan “your eyes!” (Tubagus P Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang)

[CATATAN: Artikel ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat 6/7]

No comments: