Wednesday, October 15, 2008

Kuasa Pasar atau Nilai

Detail of "Lullaby" by Sitok Srengenge

PRAKTIK produksi, distribusi, dan konsumsi seni rupa kontemporer bukan perkara sederhana, tetap, atau ajeg. Dalam konteks Indonesia, oleh karena sejarahnya yang masih muda dan lowongnya infrastruktur, seni rupa kontemporer tumbuh dengan standar nilai dan etika yang rapuh.

Produksi artistika seni rupa kontemporer, entah berasal dari seniman individual atau kolektif, niscaya dipengaruhi dan terpengaruh oleh perkembangan seni kontemporer global. Kehadiran teknologi internet semakin mengikis batas teritorial yang, pada skala tertentu, bisa menghilangkan ciri-ciri indigenous atau kearifan lokal. Sebaliknya, lahirlah bentuk-bentuk seni individualistik yang unik dan menawan. Ironis, globalisasi yang merayakan kesetaraan, toh, tetap melahirkan keberbedaan.

Modus distribusi seni pun melebar dan tak terkawal jelas. Tegasnya, suatu karya seni lokal sangat mungkin disebarkan, dalam tempo singkat atau bersamaan, di sudut dunia lain. Contoh yang jelas ialah para seniman seni media baru yang memanfaatkan teknologi dan jaringan internet dalam menayangkan atau mendistribusikan karya-karyanya. Modus semacam itu memungkinkan seni dimediasi secara omni-present.

Gelagat globalisasi dalam distribusi seni kontemporer ini, pada akhirnya, juga mempengaruhi pola konsumsi dan kepemilikannya. Dalam hal seni media baru, cara meresepsinya terbilang demokratis dan egaliter—tak perlu ada kepemilikan yang posesif. Buka YouTube dan tontonlah video Importal, misalnya. Gratis pula.

Cara resepsi seni media baru terbilang paling “maju” dibandingkan dengan pola penikmatan pada, misalnya, seni lukis. Meski begitu, dalam era internet dan citraan serba digitalis, orang (terasa) tak perlu menikmati lukisan secara langsung. Para pembutuh lukisan, di Indonesia maupun di dunia, cukup melihat image di komputer dan transaksi pun terjadilah.

Seturut kertas kerja Diana Crane (2008)—akademisi dari University of Pennsylvania—praktik pembelian karya seni dengan basis citraan digital menunjukkan bahwa nilai suatu karya seni sekarang (lebih) tergantung pada wacana mengenai karya itu (di media massa) ketimbang karakteristik visual atau kualitasnya. Agaknya Crane hendak mengatakan bahwa suatu karya seni tidak tergantung pada nilai-nilai intrinsiknya belaka, melainkan juga dipengaruhi oleh kuasa eksternal.

Komoditas Seni
Kiranya nilai-nilai simbolik, yang diagungkan dalam modernisme, bukan hal utama dan penting dalam diskursus seni kontemporer. Pertukaran “nilai” itu, pada tataran tertentu, mengarus pada perilaku produksi-konsumsi dalam fenomena budaya popular.

Dalam konteks budaya popular itu, mengapresiasi seni termasuk kategori life style. Sebagai gaya hidup, perhatian pada seni cuma ditujukan pada nilai permukaan materialnya. Jadi, mengapresiasi lukisan (atau seni visual pada umumnya) tereduksi sebagai cara mengkonsumsi saja.

Perilaku yang sekadar memuja aspek materialitas itu membuktikan adanya pergeseran ukuran nilai. Berbagai “penjaga nilai” tradisional—seperti lembaga museum, kurator, atau kritikus—semakin terpinggirkan. Dunia nilai, lantas, ditentukan oleh kuasa kapital. Termasuk dalam jaringan kuasa kapital itu ialah: pialang, galeri, spekulan, atau—terutama—para kolektor kelas kakap.

Crane memastikan bahwa pasar seni rupa kontemporer global dipicu oleh selera orang-orang super kaya yang digdaya dalam perekonomian global. Mereka adalah konsumer barang mewah. Singkatnya, karya seni juga dianggap barang konsumtif seperti perhiasan, kapal mewah, pesawat jet, mobil canggih, atau pakaian haute couture. Para jetsetter itu mewakili 80% “mega-kolektor” pembeli seni rupa kontemporer global. Konsekuensinya, selera para anggota kelas “atas” itu mempengaruhi karakteristik objek dan pasar seni tempat karya-karya kontemporer itu dipasarkan.

Padahal, seturut J.J. Charlesworth (Artreview, May 2008), seni kontemporer itu “(…) berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun paham—seperti sekumpulan makhluk asing”.

Jika banyak orang tak paham “bahasa” seni kontemporer, bagaimana menjelaskan praktik konsumtif itu?

Praktik konsumsi seni—untuk kesenangan hedonistik atau fetistik—bukanlah satu-satunya perilaku yang menonjol dalam konstelasi pasar seni global. Juga, karya seni tidak cuma dihargai dari nilai simbolik atau transendentalnya, melainkan lebih pada apresiasi nilai tukarnya. Dus, karya seni dianggap sebagai barang dagangan saja. Sebagai suatu komoditas, karya seni mesti menghasilkan keuntungan. Inilah yang diburu oleh kebanyakan “kolektor”—dalam konteks Indonesia adalah “kolekdol”—atau spekulan.

Keuntungan berlipat dari perdagangan karya seni itulah daya tarik utama pada wacana seni kontemporer setakat ini di belahan dunia manapun. Tak penting apakah seseorang paham pada “bahasa”-nya. Tujuan utamanya: uang, uang, dan uang.

Sejarah Terpental
Berbagai cara ditempuh agar nilai tukar suatu karya seni berlipat. Disusunlah berbagai isu dan diskursus seputar seniman atau karya seni tertentu. Bekerja sama dengan kurator dibuatlah pameran-pameran pendukung. Praktik pelelangan insider—seperti terjadi di China—pun dijalankan (Barbara Pollack, ARTnews, September 2008). Media massa pun dimanfaatkan sebagai ajang promosi. Strategi-strategi pencitraan tersebut lazim pula dipraktikkan dalam artworld kita.

Lalu, di manakah posisi seniman dalam konstelasi pasar yang hegemonik itu? Seniman kontemporer—dalam hal ini adalah living artists—yang berhasil, tak bisa lain, mesti piawai melansir beragam isu, gaya atau pokok soal kekaryaannya. Kira-kira modus itulah yang dikerjakan oleh seniman kontemporer kelas dunia seperti Jeff Koon, Damien Hirst, atau Takashi Murakami. Di Indonesia, Agus Suwage ialah contoh seniman yang terbilang piawai memainkan isu-isu keseniannya.

Strategi pencitraan dan isu-isu di atas, ditambah dengan unsur spekulasi, pada akhirnya membuat karya seni kontemporer bisa bernilai ekonomi sangat tinggi. Secara sosiologis, karya seni tergantung pada lingkungan di mana ia dikonstruksi. Rosenberg (2008), kritikus, bahkan menegaskan: “In the art world, geography is destiny.”

Kenyataannya, praktik atau strategi pengkoleksian karya seni kontemporer lebih bertumpu pada paradigma nilai tukarnya. Akan tetapi, pada hemat saya, hanya mengunggulkan nilai-nilai ekonomisnya saja dan melupakan ide-ide bernas atau nilai-nilai transendentalnya adalah langkah keliru.

Pasar seni global—khususnya seni kontemporer China—akhir-akhir ini menampakkan gelagat melemah. Harga-harga yang fantastis mulai terkoreksi. Situasi itu juga mempengaruhi pasar seni Indonesia. Para pembutuh seni (termasuk spekulan) kian dewasa dan kritis. Tak semua karya ditelan mentah-mentah; yang buruk niscaya dimuntahkan.

Barangkali seniman yang menghamba pada kelancungan pasar gampang terpental dari panggung sejarah. Dalam bahasa Arahmaiani (“Studio Megah atau Ide”, Suara Merdeka, Minggu, 14/9), mereka adalah seniman-seniman yang hanya “berdimensi tunggal” dan “tak memiliki ide”. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu, 19/09/2008]

No comments: