Sunday, January 20, 2008

Bahasa

FUNGSI bahasa terutama, dalam praktik keseharian, adalah perangkat lingua franca. Manusia berkomunikasi dan menyampaikan gagasannya melalui bahasa: ujaran atau tulisan. Maka, manusia berada dalam linguistikalitas.

Tak ada yang lebih menjebak eksistensi manusia selain, pertama-tama, ialah manusia selalu sudah terikat dalam kebahasaan semenjak dilahirkan. Dari perspektif ini tidak ada lagi kebebasan mutlak bagi manusia, sebab dia telah berkubang dalam tatanan dan konstruksi sosio-kultural tertentu. Dus, kebebasan manusia selalu dalam framing linguistikalitas. Lantas, ketika berkomunikasi – via ujaran atau tulisan – adakah manusia mampu membebaskan dirinya untuk tidak terperangkap lebih dalam pada takdirnya?

Pada galibnya, manusia mengidentifikasi diri dan kediriannya melalui bahasa. Lewat bahasa pula manusia memandang dunia ini. Dunia di hadapan manusia adalah dunia yang tidak linier, namun dunia yang sudah terkontaminasi oleh tatanan dan struktur kebahasaan. Bahasa, dengan begitu, adalah penuntun atau penjangkar bagi manusia untuk memandang dan mengalami dunianya.

Lantas, apakah bahasa itu universal sehingga orang di seluruh dunia mengerti segala sesuatunya persis yang dialami oleh pribadi tertentu? Atau, pada pengguna bahasa yang sama, apakah juga akan dialami pengalaman yang sama? Bisakah atau adakah bahasa tunggal sehingga orang paham pada asas universalitas?

Sangat tak masuk akal ketika orang menganggap, bahwa bahasa mampu mewadahi semua pengalaman kemanusiaan kita atau cara pandang kita terhadap dunia. Bahasa itu terbatas dan pengalaman, syahdan, jauh lebih luas dan rumit ketimbang bahasa. Batas pengalaman adalah tak bertepi dan bersifat ekstralinguistik. Keyakinan ini tampak jelas ketika bentuk pengalaman hendak dideskripsikan atau dijelaskan secara eksplisit dengan kata-kata. Bahwa eksplisitas atau deskripsi pengalaman dalam bahasa tidak serta-merta merepresentasikan keseluruhan pengalaman kita. Semua penjelasan itu sekaligus juga mengurangi dan menciutkan kadar pengalaman.

Tetapi, sebaliknya, bahasa dapat dan memang memperdalam pengalaman juga, justru dengan cara mengangkat segala hal ambiguitas ke permukaan lewat refleksi dan dengan mengangkat segala hal partikular ke taraf konsep yang bersifat umum (Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Bambang I. Sugiharto, Kanisius, Cet. 6, 2003, hlm. 85). Bahasa, dengan begitu, bukan sekadar teks, struktur, atau makna. Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman yang dihayati (ibid., hlm. 95).

Satu pengalaman berbahasa – yang relatif gampang dihayati – adalah pemahaman kehadiran yang tampak pada visualitas foto. Foto, dengan demikian, diandaikan sebagai sebentuk linguistikalitas. Padanya bukan dihayati sebagai linguistik yang terstruktur secara ketat, namun sebagai bahasa perlambangan. Metaforisitas itu bertumpu pada elemen-elemen visual yang terdapat dari foto.

Dan metafor – dalam wilayah antropologi filosofis – merupakan karakter fundamental hubungan linguistik manusia dengan dunia (ibid., hlm. 102). Secara analogis asersi di atas bisa diderivasikan, bahwa: jika foto dihayati sebagai metafor, maka foto adalah (salah satu) wahana relasi manusia dengan dunianya. Melalui foto manusia berbicara dan menyatakan eksistensinya.

Tetapi, dalam masa yang sangat panjang, sebagian orang menafikan signifikansi kehadiran fotografi dalam kebudayaan manusia modern. Padahal, jelas sekali, fotografi telah mempengaruhi dan membongkar kesadaran cara pandang dan cara pikir manusia dalam korelasinya dengan dunia di hadapannya. Manusia juga kian disadarkan tentang masalah ‘waktu-fotografis’, yaitu diskontinuitas permanen pada realitas momen-momen yang terekam dalam foto. ‘Waktu-fotografis’ mencekam kesadaran manusia pada titik yang paling fundamental, sebab manusia sadar bahwa ia juga mengalami kemewaktuan ketika dia berada dalam situasional yang sama dengan realitas atau momen yang terekam. Kesadaran manusia perihal fluiditas waktu, akhirnya, (hanya) hadir dalam korelasinya dengan momen-momen fotografis yang menggetarkan.

Foto-foto yang menggetarkan ialah yang mampu memaku pemandang untuk melihat, menelisik, dan melakukan pembermaknaan atas ‘realitas’ dalam foto. Pengalaman pemandang (beserta seluruh historisitasnya) sangat menentukan apakah sebuah foto – baginya – bernilai atau tidak. Secara struktural, semua anasir fotografis selembar foto bisa dideskripsikan – dalam konteks semiotika – namun, dengan perasaan dan pengalamannya, seorang pemandang akan berdialog dan menemukan kediriannya (dalam ‘realitas’ atau ‘momen’ foto).

Jadi, foto adalah bahasa dan cara manusia berbahasa dengan segenap aksentuasinya. Foto tak sekadar urusan teknis – melalui kamera – membekukan semua kejadian, realitas, gejala-gejala yang teramati, atau visualisasi gagasan-gagasan genial; foto adalah suatu dunia-bahasa.

Berfoto-ria bukan cuma perkara menekan shutter kamera, namun cara seseorang mengidentifikasi dirinya dalam linguistikalitas fotografis. (Tubagus P. Svarajati)

No comments: